Merenung atau berpikir merupakan arti yang disematkan pada kata
tafakur. Dalam Islam, aktivitas ini sangat dianjurkan. Muslim memikirkan
tanda-tanda alam dan kejadian di sekitarnya. Merenung sesaat, ujar
Rasulullah, lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang
dikerjakan dua jenis makhluk hidup, yaitu manusia dan jin.
Pernyataan Rasulullah itu tertulis dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah. Allah SWT juga menegaskan, sesungguhnya dalam penciptaan
lagit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat
tanda-tanda orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring.
Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve menyebutkan
bahwa merenung atau memikirkan kejadian alam dan segala fenomenanya bisa
menuntun Muslim mengetahui semua pertanda keberadaan pencipta. Bagi
para sufi, bertafakur tak hanya dijadikan sebagai sarana untuk
mengetahui keberadaan Tuhan.
Lebih dari itu, mereka menelisik nilai dan rahasia dari sesuatu yang
mereka renungkan.
Kemudian menyadarkan mereka bahwa objek itu diciptakan
bukan dalam kesia-sian. Kalangan sufi menyimpulkan, tafakur adalah
jalan yang berguna untuk memperoleh pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Menurut ulama besar Al-Ghazali, perenungan dimulai dari hati yang
berpusat di dada, bukan dari akal yang berpusat di kepala. Hati, jelas
dia, bagaikan cermin yang mampu menangkap sesuatu yang ada di luarnya.
Agar mampu menjalankan fungsinya itu, hati harus bersih dari beragam
dosa.
Dalam pandangan Abu al-Qasim Abdil Karim al-Qusyairi-seorang sufi,
perangkat untuk meraih pengetahuan hakiki ia namakan sirr. Ada perbedaan
pandang antara sufi dan orang-orang kebanyakan. Bagi orang kebanyakan,
tafakur dianggap sebagai kegiatan untuk mengenal Tuhan melalui akal.
Sedangkan, sufi melakukannya melalui hati.
Menurut ulama besar, Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Alquran
Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, puluhan ayat Makkiyah
maupun Madaniyah dalam Alquran mendorong manusia untuk berpikir. Ia
mengutip pemikiran Raghib al-Ashfahani yang menyatakan, pemikiran adalah
kekuatan yang berupaya menggapai ilmu pengetahuan.
Tafakur dimaknai oleh al-Ashfahani sebagai bekerjanya kekuatan itu
dengan bimbingan akal. Al-Qaradhawi mengatakan, dengan kelebihan itulah
manusia berbeda dengan hewan. Banyak kalangan terdahulu yang membiasakan
diri bertafakur. Mereka merenungi apa yang telah mereka perbuat dan
merancang perbaikan di masa depan.
Seorang laki-laki bertanya kepada Ummu Darda setelah wafatnya Abu
Darda, mengenai ibadahnya. Ummu Darda berkata, "Hari-harinya diisi
dengan tafakur." Tentang tafakur, Al-Fudhail mengungkapkan, itu cermin
yang akan memperlihatkan pada seseorang kebaikan dan keburukannya.
Kamis, Desember 26, 2013
Senin, Desember 23, 2013
SIFAT-SIFAT WANITA AHLI SURGA
Tidak ada kekayaan yang lebih berharga di dunia ini melainkan wanita yang salihah. (HR Ahmad). Jika demikian, wahai wanita salihah, rawat dan jagalah dirimu dari noda-noda yang dapat mengotorimu.
Mengapa wanita salihah diibaratkan sebagai harta kekayaan yang berharga? Karena, wanita salihah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia. Itulah sosok wanita mulia yang selalu dirindukan surga.
Sifat-sifat wanita ahli surga itu,sbb;
Pertama, selalu taat kepada Allah SWT. “Sebab itu, maka wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Kedua, menghormati dan memuliakan suaminya. “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia kecuali istrinya dari bidadari surga berkata, “Janganlah kamu menyakitinya. Atau, Allah akan membunuhmu. Sesungguhnya, dia padamu adalah orang asing yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan pergi kepada kami.” (HR Ibnu Majah).
Ketiga, selalu taat kepada suaminya. “Tiga golongan yang shalatnya tidak akan diangkat dari atas kepalanya walaupun sejengkal, yaitu lelaki yang mengimami suatu kaum yang mereka membencinya; wanita yang tinggal (di rumah) dan suaminya marah kepadanya; dan dua saudara yang saling bermusuhan.” (HR Ibnu Majah).
Keempat, tidak keluar rumah kecuali seizin suaminya. “Tidak dibolehkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah untuk meminta izin ketika berada di rumah suaminya, saat dia (suaminya) benci, atau keluar saat dia benci, atau menaati orang lainya di hadapannya, tidak menjauh dari tempat tidurnya, tidak memukulnya. Jika dia berbuat zalim maka temuilah sampai dia ridha. Jika dia menerimanya maka bahagialah dia. Allah akan menerima permintaan maafnya dan memperlihatkan hujjah-nya dan tidak ada dosa bagimu. Jika dia tidak menerimanya maka permintaan maafnya sudah sampai kepada Allah.” (HR Hakim).
Kelima, tidak berhias kecuali untuk suaminya. “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya...(QS an-Nur [24]: 31).
Keenam, ridha dengan yang telah Allah berikan untuknya. Rasul SAW bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri suaminya padahal dia sangat membutuhkannya.” (HR Nasa’i).
Semoga Allah membimbing kita, para istri, dan anak-anak putri kita agar selalu berhias dengan sifat-sifat wanita yang berkarakter surga. Amin.
Mengapa wanita salihah diibaratkan sebagai harta kekayaan yang berharga? Karena, wanita salihah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia. Itulah sosok wanita mulia yang selalu dirindukan surga.
Sifat-sifat wanita ahli surga itu,sbb;
Pertama, selalu taat kepada Allah SWT. “Sebab itu, maka wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Kedua, menghormati dan memuliakan suaminya. “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia kecuali istrinya dari bidadari surga berkata, “Janganlah kamu menyakitinya. Atau, Allah akan membunuhmu. Sesungguhnya, dia padamu adalah orang asing yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan pergi kepada kami.” (HR Ibnu Majah).
Ketiga, selalu taat kepada suaminya. “Tiga golongan yang shalatnya tidak akan diangkat dari atas kepalanya walaupun sejengkal, yaitu lelaki yang mengimami suatu kaum yang mereka membencinya; wanita yang tinggal (di rumah) dan suaminya marah kepadanya; dan dua saudara yang saling bermusuhan.” (HR Ibnu Majah).
Keempat, tidak keluar rumah kecuali seizin suaminya. “Tidak dibolehkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah untuk meminta izin ketika berada di rumah suaminya, saat dia (suaminya) benci, atau keluar saat dia benci, atau menaati orang lainya di hadapannya, tidak menjauh dari tempat tidurnya, tidak memukulnya. Jika dia berbuat zalim maka temuilah sampai dia ridha. Jika dia menerimanya maka bahagialah dia. Allah akan menerima permintaan maafnya dan memperlihatkan hujjah-nya dan tidak ada dosa bagimu. Jika dia tidak menerimanya maka permintaan maafnya sudah sampai kepada Allah.” (HR Hakim).
Kelima, tidak berhias kecuali untuk suaminya. “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya...(QS an-Nur [24]: 31).
Keenam, ridha dengan yang telah Allah berikan untuknya. Rasul SAW bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri suaminya padahal dia sangat membutuhkannya.” (HR Nasa’i).
Semoga Allah membimbing kita, para istri, dan anak-anak putri kita agar selalu berhias dengan sifat-sifat wanita yang berkarakter surga. Amin.
Selasa, Desember 17, 2013
SEJARAH ISLAM DI MALAKA
Kesultanan ini mencapai puncak masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Mansyur Syah.
Malaka. Nama ini mengena pada sebuah area di Semenanjung Malaya dengan nama sebuah selat yang memisahkannya dengan Pulau Sumatra.
Letaknya sangat vital. Yakni, merupakan sebuah jalur laut ramai dilalui orang yang melewati jalur Asia, terutama bagi para pedagang antarnegara.
Karena letaknya sangat strategis, masyarakatnya tumbuh dengan cepat. Budaya-budaya yang dibawa oleh para pedagang, termasuk Islam, diterima dengan baik dan berkembang dengan cepat.
Di lokasi yang banyak menjadi incaran para penguasa ini pernah berdiri sebuah kesultanan yang sangat terkenal dengan armada maritimnya yang kuat, yaitu Kesultanan Malaka.
Kesultanan Malaka, menurut pengamat sejarah Islam dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof Dien Madjid, didirikan oleh seorang tokoh yang bernama Parameswara.
Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan di Pulau Sumatra yang mulai runtuh karena serbuan Majapahit. Parameswara bersama rombongannya kemudian melakukan hijrah, melarikan diri menyeberangi Selat Malaka.
“Ia lari hingga ke Tumasik (Singapura), kemudian lari lagi ke Muar (sekarang Johor, Malaysia), hingga sampailah ia ke Semenanjung Malaya,” ujarnya kepada Republika, pekan lalu.
Asal muasal nama Malaka sendiri, kata pengamat sejarah dan kebudayaan Melayu Mahyudin Al Yudra, berasal dari pohon rindang yang oleh penduduk setempat dinamakan pohon Malaka.
Suatu ketika, Parameswara sedang berburu dan beristirahat di bawah pohon rindang Malaka. Tiba-tiba anjing yang dibawanya untuk membantunya berburu diserang oleh seekor pelanduk berwarna putih.
Parameswara pun kagum dengan apa yang dilakukan pelanduk atau kancil tersebut, yang bisa mengalahkan anjingnya yang lebih besar hingga tercebur ke air. Ketika itulah, ia mendapatkan ilham dan memberi nama tempat yang akan ditinggalinya dengan nama Malaka.
Versi lain, ia menyebutkan Malaka berasal dari bahasa arab. “Dari kata malqa, yang berarti tempat pertemuan,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Balai Kajian dan Pengembangan Melayu yang berkantor di Yogyakarta itu.
Parameswara datang ke daerah yang kemudian dikenal sebagai Malaka ini sekitar tahun 1377. Tadinya, daerah tersebut merupakan dusun yang masih sangat sepi.
Penduduknya sangat sedikit dan masih percaya dengan animisme dan dinamisme. “Buktinya, banyak ditemukan patung-patung, menhir, dan batu-batu besar untuk upacara,” katanya.
Parameswara pun mulai membangun kawasan tersebut. Melihat lokasinya yang sangat strategis, ia membangun sebuah kota di bandar pelabuhan dan sebuah pasar.
Ia pun bisa membuat semua kapal yang melewati daerahnya, Selat Malaka, harus singgah di Malaka dan mendapatkan surat jalan darinya.
Malaka menjadi ramai oleh para saudagar yang melewati kawasan itu dengan kapal-kapal besarnya. Saingannya kala itu hanya satu, yakni Kerajaan Samudra Pasai.
Adapun satu kelebihan Samudra Pasai, yakni karena kerajaan tersebut Islam. Itu membuat saudagar dan pedagang dari Arab serta pedagang Islam lainnya lebih senang singgah di sana daripada di Malaka.
Parameswara pun sadar agar bisa menarik minat para saudagar Muslim tersebut, ia dan penduduknya harus masuk Islam. Tahun 1414 Parameswara resmi masuk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Iskandar Syah.
Ia juga meminang putri dari Sultan Zainal Abidin, yaitu Raja Samudra Pasai, untuk menjadi istrinya. Raja-raja yang memimpin setelahnya, semuanya Islam dan bisa mengembangkan kawasan Malaka menjadi bandar pelabuhan persinggahan yang lebih besar. Penduduknya yang Islam juga semakin bertambah.
Kesultanan Malaka mencapai puncak masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1458-1477). Tak hanya sebagai bandar perdagangan, tetapi Malaka juga berkembang menjadi pusat penyebaran dan perkembangan agama Islam.
Pemerintahan berlangsung dengan menjalankan hukum-hukum Islam dan ekonomi yang kuat. Daerah kekuasaannya pun semakin meluas hingga ke pantai timur Sumatra, seperti Kampar, Siak, Rokan, dan daerah lainnya. Ia juga bisa menguasai seluruh daerah di Semenanjung Malaya.
Demi memperkuat kedudukan Malaka di mata dunia, ia banyak menjalin kerja sama dengan berbagai kerajaan lain yang lebih besar. Bahkan, hingga menjalin hubungan dengan Cina.
Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah. Ia bisa memimpin dan memakmurkan Kesultanan Malaka.
Ia melakukan pengamanan dalam negeri dari segala tindak kejahatan yang membuat saudagar yang singgah semakin betah.
Dalam masa pemerintahannya, dibuat aturan siapa pun yang berjalan di malam hari harus membawa suluh atau obor. Ia juga membangun balai sebagai pusat kegiatan masyarakat yang dijaga oleh seorang penghulu. Kekuasaan Malaka mulai melemah di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1488-1511).
Sultan ini naik takhta dalam usia yang masih belia sehingga tak mempunyai pengalaman dalam memimpin pemerintahan. Justru, ia banyak berfoya-foya dan main perempuan serta mengutamakan emosi.
Malangnya, ketika Kesultanan Malaka sedang dipimpin oleh raja yang lemah, Portugis mengetahui dan memanfaatkan situasi tersebut.
Portugis datang di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque, yang awalnya datang untuk menjalin perdagangan, namun maksud ini berubah ketika mereka tiba.
Karena tak mendapatkan izin untuk membuat sebuah gudang di Malaka, Portugis pun naik pitam, kemudian menyerang dan ingin menaklukkan Kesultanan Malaka.
Ancaman yang datang tersebut disambut dengan perlawanan yang sengit oleh rakyat Malaka. Dalam serangan pertama, portugis gagal dan kalah, tak sanggup melawan rakyat Malaka yang dipimpin Sultan Mahmud Syah dan Bendahara Sri Maharaja.
Namun, dengan kelicikannya melakukan politik adu domba, Portugis berhasil memecah belah para pembesar kerajaan. Kemudian, pada Agustus 1511 dilancarkanlah serangan kedua dan berhasil. Malaka kalah dan pelabuhan besarnya dikuasai Portugis.
Kesultanan Malaka berakhir saat itu. Pun berikut kedudukannya sebagai pusat penyebaran agama Islam karena tak banyak lagi saudagar Muslim yang singgah di sana.
Namun, bagi masyarakat lokalnya sendiri, Islam sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka dan mereka terus mengembangkannya
Malaka. Nama ini mengena pada sebuah area di Semenanjung Malaya dengan nama sebuah selat yang memisahkannya dengan Pulau Sumatra.
Letaknya sangat vital. Yakni, merupakan sebuah jalur laut ramai dilalui orang yang melewati jalur Asia, terutama bagi para pedagang antarnegara.
Karena letaknya sangat strategis, masyarakatnya tumbuh dengan cepat. Budaya-budaya yang dibawa oleh para pedagang, termasuk Islam, diterima dengan baik dan berkembang dengan cepat.
Di lokasi yang banyak menjadi incaran para penguasa ini pernah berdiri sebuah kesultanan yang sangat terkenal dengan armada maritimnya yang kuat, yaitu Kesultanan Malaka.
Kesultanan Malaka, menurut pengamat sejarah Islam dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof Dien Madjid, didirikan oleh seorang tokoh yang bernama Parameswara.
Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan di Pulau Sumatra yang mulai runtuh karena serbuan Majapahit. Parameswara bersama rombongannya kemudian melakukan hijrah, melarikan diri menyeberangi Selat Malaka.
“Ia lari hingga ke Tumasik (Singapura), kemudian lari lagi ke Muar (sekarang Johor, Malaysia), hingga sampailah ia ke Semenanjung Malaya,” ujarnya kepada Republika, pekan lalu.
Asal muasal nama Malaka sendiri, kata pengamat sejarah dan kebudayaan Melayu Mahyudin Al Yudra, berasal dari pohon rindang yang oleh penduduk setempat dinamakan pohon Malaka.
Suatu ketika, Parameswara sedang berburu dan beristirahat di bawah pohon rindang Malaka. Tiba-tiba anjing yang dibawanya untuk membantunya berburu diserang oleh seekor pelanduk berwarna putih.
Parameswara pun kagum dengan apa yang dilakukan pelanduk atau kancil tersebut, yang bisa mengalahkan anjingnya yang lebih besar hingga tercebur ke air. Ketika itulah, ia mendapatkan ilham dan memberi nama tempat yang akan ditinggalinya dengan nama Malaka.
Versi lain, ia menyebutkan Malaka berasal dari bahasa arab. “Dari kata malqa, yang berarti tempat pertemuan,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Balai Kajian dan Pengembangan Melayu yang berkantor di Yogyakarta itu.
Parameswara datang ke daerah yang kemudian dikenal sebagai Malaka ini sekitar tahun 1377. Tadinya, daerah tersebut merupakan dusun yang masih sangat sepi.
Penduduknya sangat sedikit dan masih percaya dengan animisme dan dinamisme. “Buktinya, banyak ditemukan patung-patung, menhir, dan batu-batu besar untuk upacara,” katanya.
Parameswara pun mulai membangun kawasan tersebut. Melihat lokasinya yang sangat strategis, ia membangun sebuah kota di bandar pelabuhan dan sebuah pasar.
Ia pun bisa membuat semua kapal yang melewati daerahnya, Selat Malaka, harus singgah di Malaka dan mendapatkan surat jalan darinya.
Malaka menjadi ramai oleh para saudagar yang melewati kawasan itu dengan kapal-kapal besarnya. Saingannya kala itu hanya satu, yakni Kerajaan Samudra Pasai.
Adapun satu kelebihan Samudra Pasai, yakni karena kerajaan tersebut Islam. Itu membuat saudagar dan pedagang dari Arab serta pedagang Islam lainnya lebih senang singgah di sana daripada di Malaka.
Parameswara pun sadar agar bisa menarik minat para saudagar Muslim tersebut, ia dan penduduknya harus masuk Islam. Tahun 1414 Parameswara resmi masuk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Iskandar Syah.
Ia juga meminang putri dari Sultan Zainal Abidin, yaitu Raja Samudra Pasai, untuk menjadi istrinya. Raja-raja yang memimpin setelahnya, semuanya Islam dan bisa mengembangkan kawasan Malaka menjadi bandar pelabuhan persinggahan yang lebih besar. Penduduknya yang Islam juga semakin bertambah.
Kesultanan Malaka mencapai puncak masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1458-1477). Tak hanya sebagai bandar perdagangan, tetapi Malaka juga berkembang menjadi pusat penyebaran dan perkembangan agama Islam.
Pemerintahan berlangsung dengan menjalankan hukum-hukum Islam dan ekonomi yang kuat. Daerah kekuasaannya pun semakin meluas hingga ke pantai timur Sumatra, seperti Kampar, Siak, Rokan, dan daerah lainnya. Ia juga bisa menguasai seluruh daerah di Semenanjung Malaya.
Demi memperkuat kedudukan Malaka di mata dunia, ia banyak menjalin kerja sama dengan berbagai kerajaan lain yang lebih besar. Bahkan, hingga menjalin hubungan dengan Cina.
Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah. Ia bisa memimpin dan memakmurkan Kesultanan Malaka.
Ia melakukan pengamanan dalam negeri dari segala tindak kejahatan yang membuat saudagar yang singgah semakin betah.
Dalam masa pemerintahannya, dibuat aturan siapa pun yang berjalan di malam hari harus membawa suluh atau obor. Ia juga membangun balai sebagai pusat kegiatan masyarakat yang dijaga oleh seorang penghulu. Kekuasaan Malaka mulai melemah di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1488-1511).
Sultan ini naik takhta dalam usia yang masih belia sehingga tak mempunyai pengalaman dalam memimpin pemerintahan. Justru, ia banyak berfoya-foya dan main perempuan serta mengutamakan emosi.
Malangnya, ketika Kesultanan Malaka sedang dipimpin oleh raja yang lemah, Portugis mengetahui dan memanfaatkan situasi tersebut.
Portugis datang di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque, yang awalnya datang untuk menjalin perdagangan, namun maksud ini berubah ketika mereka tiba.
Karena tak mendapatkan izin untuk membuat sebuah gudang di Malaka, Portugis pun naik pitam, kemudian menyerang dan ingin menaklukkan Kesultanan Malaka.
Ancaman yang datang tersebut disambut dengan perlawanan yang sengit oleh rakyat Malaka. Dalam serangan pertama, portugis gagal dan kalah, tak sanggup melawan rakyat Malaka yang dipimpin Sultan Mahmud Syah dan Bendahara Sri Maharaja.
Namun, dengan kelicikannya melakukan politik adu domba, Portugis berhasil memecah belah para pembesar kerajaan. Kemudian, pada Agustus 1511 dilancarkanlah serangan kedua dan berhasil. Malaka kalah dan pelabuhan besarnya dikuasai Portugis.
Kesultanan Malaka berakhir saat itu. Pun berikut kedudukannya sebagai pusat penyebaran agama Islam karena tak banyak lagi saudagar Muslim yang singgah di sana.
Namun, bagi masyarakat lokalnya sendiri, Islam sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka dan mereka terus mengembangkannya
Jumat, Desember 13, 2013
WASPADA BAHAYA PERGAULAN BEBAS
Baru-baru ini, mayoritas Umat Islam dikejutkan oleh kebijakan
kontroversial bernama Pekan Kondom Nasional. Pada program itu dilakukan
pembagian kondom secara gratis di sejumlah kampus, seakan mengajak
kalangan mahasiswa menggunakan kondom.
Tentu saja aneh. Mahasiswa yang notebene mayoritas belum menikah itu diajak untuk melakukan hubungan badan dengan menggunakan kondom.
Kebijakan kontroversial itu diklaim sebagai upaya untuk menekan angka penularan penyakit AIDS. Tentu saja kebijakan seperti itu sangat aneh. Di satu sisi pemrintah ingin menekan pengidap AIDS di Indonesia yang setiap tahunnya meningkat. Tetapi di sisi lain, program itu seperti mengajak penduduk Indonesia untuk melakukan seks bebas dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom.
Kebijakan itu sangat melukai hati umat Islam. Perilaku seks bebas d ikalangan remaja dan orang dewasa saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Ditambah dengan kebijakan Pekan Kondom Nasional, dipastikan banyak remaja dan orang dewasa yang semakin melakukan gaya hidup seks bebas.
Sudah jelas-jelas bahwa gaya hidup ini merupakan gaya hidup masyarakat barat dimana orang bebas untuk melakukan hal-hal diatas tanpa takut menyalahi norma-norma yang ada dalam masyarakat. Berbeda dengan budaya timur yang menganggap semua itu adalah hal tabu sehingga sering kali kita mendengar ungkapan “jauhi pergaulan bebas”.
Dalam Islam, pergaulan bebas yang mengarah kepada seks bebas sudah jelas-jelas dilarang. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur: 30-31 Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An-Nuur: 30-31)
Dalam ayat itu sudah sangat jelas bahwa Islam telah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis. Ayat itu juga menerangkan bahwa hendaknya setiap Umat Islam menjaga pandangan mata dalam bergaul.
Dalam ayat lain, Allah SWT sudah melarang prilaku-prilaku yang dapat mengarah kepada perbuatan zina. Firman Allah, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sejelek – jelek jalan." (Q.S. Al Isra' : 32)
Sabda Nabi Muhammad SAW : “Demi Allah sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah wanita.”(HR Bukhari-Muslim).
------------------------------------
www.ende-islam.co.id
Tentu saja aneh. Mahasiswa yang notebene mayoritas belum menikah itu diajak untuk melakukan hubungan badan dengan menggunakan kondom.
Kebijakan kontroversial itu diklaim sebagai upaya untuk menekan angka penularan penyakit AIDS. Tentu saja kebijakan seperti itu sangat aneh. Di satu sisi pemrintah ingin menekan pengidap AIDS di Indonesia yang setiap tahunnya meningkat. Tetapi di sisi lain, program itu seperti mengajak penduduk Indonesia untuk melakukan seks bebas dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom.
Kebijakan itu sangat melukai hati umat Islam. Perilaku seks bebas d ikalangan remaja dan orang dewasa saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Ditambah dengan kebijakan Pekan Kondom Nasional, dipastikan banyak remaja dan orang dewasa yang semakin melakukan gaya hidup seks bebas.
Sudah jelas-jelas bahwa gaya hidup ini merupakan gaya hidup masyarakat barat dimana orang bebas untuk melakukan hal-hal diatas tanpa takut menyalahi norma-norma yang ada dalam masyarakat. Berbeda dengan budaya timur yang menganggap semua itu adalah hal tabu sehingga sering kali kita mendengar ungkapan “jauhi pergaulan bebas”.
Dalam Islam, pergaulan bebas yang mengarah kepada seks bebas sudah jelas-jelas dilarang. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur: 30-31 Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An-Nuur: 30-31)
Dalam ayat itu sudah sangat jelas bahwa Islam telah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis. Ayat itu juga menerangkan bahwa hendaknya setiap Umat Islam menjaga pandangan mata dalam bergaul.
Dalam ayat lain, Allah SWT sudah melarang prilaku-prilaku yang dapat mengarah kepada perbuatan zina. Firman Allah, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sejelek – jelek jalan." (Q.S. Al Isra' : 32)
Sabda Nabi Muhammad SAW : “Demi Allah sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah wanita.”(HR Bukhari-Muslim).
------------------------------------
www.ende-islam.co.id
Senin, Desember 09, 2013
KISAH SANG GURU ABU DARDA
Namanya Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan panggilan
Abu Darda. Sebelum Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin
Rawahah. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang teman
akrab tersebut berbeda jalan.
Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.
Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung marahnya, kesadarannya muncul.
“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.
Temannya tidak hanya lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.
Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya. Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.
Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.
Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”
Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”
Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”
Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”
“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.” Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus
Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.
Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung marahnya, kesadarannya muncul.
“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.
Temannya tidak hanya lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.
Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya. Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.
Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.
Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”
Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”
Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”
Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”
“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.” Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus
Rabu, Desember 04, 2013
SUARA EMAS ISLAM MENANG DALAM PILKADA KABUPATEN ENDE 2013
Hasil penghitungan suara yang dikeluarkan KPU
Kabupaten Ende menyebutkan pasangan Ir. Marsel Petu dan Djafar Achmad (Paket
Marsel-Djafar) semain tak terkejar dalam perolehan suara sementara Pilkada
Kabupaten Ende putaran kedua.
Data yang diperoleh Pos Kupang dari anggota KPU
Kabupaten Endehasil perolehan sementara yang dientri dari berita acara model
lampiran C1 sampai hari Selasa (3/12/2013) pukul 17.00 Wita, Paket Darmawan
(Drs. Don Bosco Wangge-drg.Dominikus M.Mere, M.Kes) meraih 42.084 suara atau
44,92 persen dan Marsel-Djafar (Ir. Marsel Petu-Djafar Achmad) meraih 51.593
suara atau 55.08 persen.
Total suara masuk 93.677 suara atau 57.03 persen
dari 17 kecamatan. Empat kecamatan yang belum dientri, yakni Kecamatan Detusoko,
Lio Timur, Wolowaru dan Kecamatan Ende. Walaupun kondisi minus empat kecamatan
ini, hamper dapat dipastikan pasangan Marsel-Djafar tetap unggul untuk
memenangkan Pilkada Ende tahun 2013 ini.
KPU Ende dalam merekapitulasi data langsung
melalui model C1 asli, tidak melalui telepon atau pesan singkat handphone (HP).
Hal ini dilakukan untuk menjaga akurasi data. Petugas langsung turun ke setiap
kecamatan menjemput model C1 untuk diinput di KPU Ende.
Menurut beberapa para analisis politik di
Ende-NTT, dongkraknya suara paket Marsel-Djafar ini karena adanya kekuatan
suara umat Islam Kabupaten Ende, dimana sebagaian besar suara Kota Ende dan
sebagian Kabupaten Ende adalah mayoritas umat Islam yang mendukung salah satu
pasangan calon wakil Bupati Djafar Achmad yang mewakili suara umat Islam
Kabupaten Ende.
Suara umat Islam Kabupaten Ende untuk Pilkada
tahun ini sangat berpengaruh, karena sebelumnya pasangan Bupati-Wakil Bupati
yang masih menjabat saat ini Don Bosco juga memenangkan Pilkada Kabupaten Ende
periode lalu dengan menggandeng Achmad Mochdar menjadi Wakil Bupati Ende yang
nota bene mewakili suara umat Islam Kabupaten Ende.
Untuk Pilkada-Pilkada Kabupaten Ende di masa yang
akan datang bukan mustahil suara dan kekuatan umat Islam akan sangat
diperhitungkan dan diprediksi akan lebih mendominasi dalam Pilkada mendatang.
Senin, Desember 02, 2013
SELALU BAHAGIA DENGAN EMPAT CARA BERSIKAP
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada Abu Dzar Al-Ghifari. "Wahai Abu Dzar, apakah menurutmu banyaknya harta itu merupakan kekayaan?” Abu Dzar diam saja, tidak menjawab.
Pertanyaan itu lalu dijawab sendiri oleh Nabi: “Kekayaan hakiki adalah kekayaan hati; dan kemiskinan sejati adalah kemiskinan hati. Siapa yang memiliki kekayaan hati, maka kondisi duniawi apapun yang dialaminya tidak akan mendatangkan kemudharatan baginya. Sebaliknya, siapa yang miskin hati, maka apapun yang melebihi isi dunia tidak akan pernah mencukupinya." (HR Ibnu Hibban)
Nabi SAW lalu melanjutkan pesan moralnya, “Jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah; dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (qana’ah), niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (HR Al-Baihaqi).
Sebab Allah SWT menegaskan, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 13). Dengan kata lain, bersikap qana’ah merupakan kunci menjadi orang yang bersyukur.
Qana’ah berarti merasa cukup, puas, dan ridha (menerima) terhadap bagian rezki atau apapun yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita.
Orang yang qana’ah, menurut al-Jahizh, selalu merasa berkecukupan, tidak merasa kurang dengan terus mengeluh, dan tidak juga serakah dalam meraih kekayaan, kedudukan, dan jabatan, termasuk jabatan politik.
Karena setiap manusia pada dasarnya sangat mencintai kekayaan/kedudukan duniawi (QS Al-Adiyat [100]: 8). Qana’ah itu tak ubahnya seperti rem yang dapat mengendalikan nafsu duniawi dan syahwat politik menuju tawakkal dan bersyukur kepada Allah SWT.
Qana’ah dalam berbagai hal, termasuk jabatan politik, sangat penting menjadi benteng moral, terutama bagi penguasa dan calon penguasa.
Qana’ah merupakan manifestasi kecerdasan moral yang dapat memerdekakan seseorang dari penghambaan diri terhadap urusan duniawi yang menyilaukan dan tidak pernah memuaskan.
Sikap ini juga menjadi terapi mental penyakit hati seperti: tama', hasad (iri hati), namimah (adu domba, provokasi), dan kebohongan publik.
Qana’ah juga dapat menumbuhkan kelapangan jiwa (legowo), zuhud (asketis), dan rasa percaya diri bahwa rezki dan rahmat Allah SWT itu maha luas, tidak terbatas pada kedudukan dan jabatan yang disandang seseorang.
Karena itu, belajar qana’ah dalam menjalani kehidupan ini merupakan salah satu bentuk pendakian spiritual yang sangat penting dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT. Tanpa belajar qana’ah, manusia cenderung menjadi serakah, tama’ dan korup.
Lebih-lebih jika ketiadaan qana’ah itu disandingkan dengan kekuasaan politik, maka yang bersangkutan akan semakin tidak bisa mengendalikan dirinya dari korupsi dan memperkaya diri sendiri.
"Jika engkau mempunyai hati yang qana’ah, maka engkau dan pemilik dunia ini sama saja." Perkataan Imam Syafi'i ini senada dengan wasiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, "Qana’ah itu merupakan kekayaan yang tidak pernah sirna."
Jabatan dan kekayaan itu datang silih berganti, dan tidak pernah abadi. “Siapa bersikap dan belajar qanaah, hidupnya selalu bahagia. Sebaliknya siapa berlaku tama’, ia akan menderita sepanjang masa,” demikian kata Imam Ibn al-Jauzi.
Belajar menjadi qana’ah sebenarnya tidak sulit. Menurut Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, dalam bukunya, al-Qanaah Mafhumuha, Manafi’uha, al-Thariq Ilaiha, ada beberapa kiat menjadi qana’ah.
Pertama, pengakuan secara tulus bahwa Allah itu Mahaadil dalam membagi rezki bagi semua makhluk-Nya, termasuk manusia.
Rezeki yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak diukur menurut tingkat pendidikan, kedudukan, dan jabatan. Rezki tidak selalu berbanding lurus dengan status sosial, jabatan, dan jenjang pendidikan.
Kedua, melatih diri untuk tidak iri dan dengki terhadap kelebihan dan kekayaan yang diberikan kepada orang lain. Sebab iri dan dengki hanya akan menambah penderitaan jiwa dan pengikisan amal kebajikan si pendengki.
Kekayaan yang diberikan oleh Allah merupakan ujian bagi yang menerimanya: apakah dia bisa memanfaatkan dan mensyukurinya dengan baik atau justeru mengingkarinya?
Ketiga, menyadari sepenuh hati jabatan dan kekayaan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Karena itu, ambisi berlebihan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, khususnya kekuasaan politik, hanya akan memperturutkan nafsu politik daripada mengedepankan kearifan dan peningkatan kinerja demi kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.
Keempat, menyikapi dan meresponi segala anugerah, kecil maupun besar, sedikit maupun banyak, dengan meningkatkan rasa syukur. Yakinilah bahwa yang membuat pemberian Allah itu bermakna dan bernilai tambah adalah syukur.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim [14]: 7).
Pertanyaan itu lalu dijawab sendiri oleh Nabi: “Kekayaan hakiki adalah kekayaan hati; dan kemiskinan sejati adalah kemiskinan hati. Siapa yang memiliki kekayaan hati, maka kondisi duniawi apapun yang dialaminya tidak akan mendatangkan kemudharatan baginya. Sebaliknya, siapa yang miskin hati, maka apapun yang melebihi isi dunia tidak akan pernah mencukupinya." (HR Ibnu Hibban)
Nabi SAW lalu melanjutkan pesan moralnya, “Jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah; dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (qana’ah), niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (HR Al-Baihaqi).
Sebab Allah SWT menegaskan, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 13). Dengan kata lain, bersikap qana’ah merupakan kunci menjadi orang yang bersyukur.
Qana’ah berarti merasa cukup, puas, dan ridha (menerima) terhadap bagian rezki atau apapun yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita.
Orang yang qana’ah, menurut al-Jahizh, selalu merasa berkecukupan, tidak merasa kurang dengan terus mengeluh, dan tidak juga serakah dalam meraih kekayaan, kedudukan, dan jabatan, termasuk jabatan politik.
Karena setiap manusia pada dasarnya sangat mencintai kekayaan/kedudukan duniawi (QS Al-Adiyat [100]: 8). Qana’ah itu tak ubahnya seperti rem yang dapat mengendalikan nafsu duniawi dan syahwat politik menuju tawakkal dan bersyukur kepada Allah SWT.
Qana’ah dalam berbagai hal, termasuk jabatan politik, sangat penting menjadi benteng moral, terutama bagi penguasa dan calon penguasa.
Qana’ah merupakan manifestasi kecerdasan moral yang dapat memerdekakan seseorang dari penghambaan diri terhadap urusan duniawi yang menyilaukan dan tidak pernah memuaskan.
Sikap ini juga menjadi terapi mental penyakit hati seperti: tama', hasad (iri hati), namimah (adu domba, provokasi), dan kebohongan publik.
Qana’ah juga dapat menumbuhkan kelapangan jiwa (legowo), zuhud (asketis), dan rasa percaya diri bahwa rezki dan rahmat Allah SWT itu maha luas, tidak terbatas pada kedudukan dan jabatan yang disandang seseorang.
Karena itu, belajar qana’ah dalam menjalani kehidupan ini merupakan salah satu bentuk pendakian spiritual yang sangat penting dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT. Tanpa belajar qana’ah, manusia cenderung menjadi serakah, tama’ dan korup.
Lebih-lebih jika ketiadaan qana’ah itu disandingkan dengan kekuasaan politik, maka yang bersangkutan akan semakin tidak bisa mengendalikan dirinya dari korupsi dan memperkaya diri sendiri.
"Jika engkau mempunyai hati yang qana’ah, maka engkau dan pemilik dunia ini sama saja." Perkataan Imam Syafi'i ini senada dengan wasiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, "Qana’ah itu merupakan kekayaan yang tidak pernah sirna."
Jabatan dan kekayaan itu datang silih berganti, dan tidak pernah abadi. “Siapa bersikap dan belajar qanaah, hidupnya selalu bahagia. Sebaliknya siapa berlaku tama’, ia akan menderita sepanjang masa,” demikian kata Imam Ibn al-Jauzi.
Belajar menjadi qana’ah sebenarnya tidak sulit. Menurut Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, dalam bukunya, al-Qanaah Mafhumuha, Manafi’uha, al-Thariq Ilaiha, ada beberapa kiat menjadi qana’ah.
Pertama, pengakuan secara tulus bahwa Allah itu Mahaadil dalam membagi rezki bagi semua makhluk-Nya, termasuk manusia.
Rezeki yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak diukur menurut tingkat pendidikan, kedudukan, dan jabatan. Rezki tidak selalu berbanding lurus dengan status sosial, jabatan, dan jenjang pendidikan.
Kedua, melatih diri untuk tidak iri dan dengki terhadap kelebihan dan kekayaan yang diberikan kepada orang lain. Sebab iri dan dengki hanya akan menambah penderitaan jiwa dan pengikisan amal kebajikan si pendengki.
Kekayaan yang diberikan oleh Allah merupakan ujian bagi yang menerimanya: apakah dia bisa memanfaatkan dan mensyukurinya dengan baik atau justeru mengingkarinya?
Ketiga, menyadari sepenuh hati jabatan dan kekayaan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Karena itu, ambisi berlebihan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, khususnya kekuasaan politik, hanya akan memperturutkan nafsu politik daripada mengedepankan kearifan dan peningkatan kinerja demi kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.
Keempat, menyikapi dan meresponi segala anugerah, kecil maupun besar, sedikit maupun banyak, dengan meningkatkan rasa syukur. Yakinilah bahwa yang membuat pemberian Allah itu bermakna dan bernilai tambah adalah syukur.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim [14]: 7).
Langganan:
Postingan (Atom)