Senin, Maret 18, 2013

HIDANGAN SUPER LEZAT DARI TUHAN



"Seandainya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Berbagai perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir." (QS. al-Hasyr [59]: 21).

Alkisah, sebelum masuk Islam, Umar bin al-Khattab terkenal sebagai pemberani sekaligus keras kepala, dan sangat anti-Islam. Hidayah Allah itu datang menghampiri hatinya melalui sebuah prosesi spiritual yang mengharukan.

Ketika Umar bin al Khattab bertekad membunuh Nabi saw di tengah perjalanan dia transit di rumah adiknya, Fatimah binti al-Khattab. Saat berada di depan pintu rumah adiknya, dia mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran yang sangat puitis.

Setelah mendengar lantunan ayat: “Thaha. Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu menjadi susah (sengsara dan menderita), tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi (QS. Thaha/20: 1-4).

Hati ‘Umar bin Al-Khattâb yang keras bagai batu gunung pun luluh, lalu menemui Nabi saw bukan untuk membunuhnya, melainkan masuk Islam.

Alquran merupakan 'hidangan spesial' Allah SWT (ma’dubatullah) bagi hamba-Nya. Hidangan kemuliaan ini tentu harus dinikmati dan dimaknai. Memaknai Alquran identik dengan membaca, memahami, menghayati, mengapresiasi, menerjemahkan, dan mengamalkan pesan-pesan moral dan spiritualnya dalam kehidupan.

Dengan begitu, Alquran sebagai petunjuk (huda) kehidupan manusia dapat berfungsi. Hanya saja, menikmati dan memaknai 'hidangan Ilahi' memerlukan kerendahan hati dan keterbukaan diri agar dapat memancarkan cahaya (nur), menjadi obat, (syifa’), dan rahmat bagi semua.

Imam al-Ghazali memberikan sepuluh amalan spiritual untuk menikmati hidangan Ilahi tersebut. Pertama, memahami keagungan firman Allah dan diyakini sebagai bacaan paling mulia yang menunjukkan keagungan dan ketinggian-Nya.

Kedua, mengagungkan Dzat yang berfirman, Allah. Ini dilakukan dengan selalu membaca ta’awwudz dan basmalah serta menghadirkan keagungannya itu dalam hatinya sebelum membacanya.

Ketiga, kehadiran hati (khusyû’) dan menjauhkan diri dari bisikan jiwa yang dapat merusak konsentrasi saat menikmati jamuan itu. Keempat, merenungi (tadabbur) kedalaman, keindahan, dan kesesuaian pesannya bagi kehidupan.

Kelima, berusaha memahami (tafahhum) jamuan ayat-ayat-Nya, sehingga merasa terkesan dan penasaran untuk selalu membaca dan membacanya.

Keenam, menghindari hambatan-hambatan pemahaman selama menikmati jamuan, karena ketika hati lengah, godaan setan pasti datang untuk mengalihkan perhatian. Ketujuh, menyadari sasaran pesan moral jamuan (takhshîsh). Sang penikmat jamuan itulah yang dituju oleh pesan moralnya.

Kedelapan, berusaha menghayati dan menerima pesan (ta’atssur) dari jamuan itu, agar sang penikmat berusaha mengamalkan pesannya.
Kesembilan, meningkatkan penghayatan (taraqqî) terhadap makna jamuan, agar hati menjadi khusyu’, ucapan terjaga, sikap bijaksana, pikiran positif, dan amalan selalu istiqâmah.

Kesepuluh, melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan (tabarrî) selain Allah dengan penuh keridhaan hati dan dengan selalu menyucikan diri dari dosa dan maksiat kepada Allah.

Alangkah nikmat hidangan Ilahi itu, jika kita semua selalu mengamalkan sabda Nabi saw: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau mempelajari Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Rumah yang selalu menikmati hidangan Ilahi adalah rumah yang penghuninya selalu shalat berjamaah dan membaca Alquran.
Gerakan 'Maghrib mengaji' (maksudnya selepas shalat Maghrib membaca Alquran) perlu diapresiasi dan didukung. Sebab, godaan tontonan melalui TV dan lainnya di waktu Maghrib hingga Isya’ seringkali meninabobokan anak-anak kita.

Marilah kita semua membudayakan hidup sehat dan “nikmat spiritual” dengan menikmati hidangan Allah yang superlezat itu. Wallahu a’lam.

Senin, Maret 11, 2013

JANGAN TERLENA DENGAN MEGAHNYA DUNIA

Judul tulisan di atas merupakan kesimpulan dari penegasan Alquran dalam berbagai ayatnya, bahwa romansa dunia kerap menipu dan mempedaya manusia.

Maka tidak ada kata lain bagi kaum beriman, kecuali harus senantiasa waspada dan tidak terlena oleh megah dunia. Kaum beriman harus senantiasa sigap dengan segala pernik dunia yang kerap menjerumuskan dan menghancurkan.

Ingatlah firman Allah, “Dihiaskan pada manusia kecintaan yang diinginkan berupa wanita-wanita, anak-anak, harta melimpah dari jeis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (Ali Imron: 14).

Tidak kurang 117 kali Alquran menyebut kata ad-dunya. Semuanya mengacu pada peringatan keras bagi para pembaca Alquran agar memahami rupa dan pernik dunia, kedudukannya bagi hidup dan mati manusia, seberapa kebaikan, kelezatan, dan kemudaratannya, serta bagaimana cara kita mendapatkan dan menghindari dunia agar selamat.

Betapa gamblang penjelasan Alquran untuk keselamatan manusia itu. Jika mengacu pada surah Ali Imran di atas, maka ada berbagai rupa kenikmatan atau kesenangan dunia.
Pertama, berupa wanita. Persis sabda Rasulullah, “Dunia adalah kesenangan sementara, sedangkan sebaik-baik kesenangan sementara adalah wanita yang shalihah”.

Kedua, berupa anak-anak. Jelas anak-anak merupakan kebahagiaan, pewaris, pendoa, dan pembantu utama jika orangtua lanjut usia.

Ketiga, berupa harta yang banyak, seperti uang, emas, perak, dan harga tidak bergerak maupun bergerak.

Keempat, berupa kuda-kuda pilihan, dalam bahasa sekarang kendaraan, seperti mobil atau motor.

Kelima, binatang-binatang ternak, semacam kerbau, kambing, sapi, dan lainnya. Keenam, sawah atau ladang, termasuk perkebunan dan perhutanan.

Seluruhnya, itu adalah mata’ al-ghurur (kesenangan yang menipu). Dan ternyata tidak sedikit manusia yang tertipu olehnya. Mereka mengira dunia itu menyenangkan.

Jungkir balik mereka meraihnya, ternyata dunia malah menyusahkan dan membuat hidup mereka berantakan. Lihatlah para pelaku koruptor dan penyeleweng jabatan serupa yang wajahnya kerap menghiasi layar media negeri kita tercinta. Kesuksesan mereka atas gemerlap dunia justru menghasilkan petaka.

Itu karena mereka lupa bahwa kesenangan dunia amat sedikit (mata’ al-qalil). Terlebih jika dibanding kesenangan akhirat. Perbandingan itu sudah disebutkan dalam hadis, bahwa kesenangan dunia hanya setetes dari kesenangan akhirat. Atau seperti pisang, dimana kesenangan dunia hanya kulitnya sementara kesenangan akhirat adalah isi pisangnya itu sendiri.

Memang sebutan lain bagi dunia adalah sebagai zinah atau perhiasan (Al-Kahfi: 28 dan 46, Al-Qashas: 60). Tetapi, bukankah perhiasan hanya ornamen dan bukan esensi? Seperti hiasan ornamen pada rumah, esensinya adalah tempat tinggal agar kita tidak kehujanan dan aman dari penjahat. Yang lebih kita butuhkan tentu rumahnya, bukan ornamennya. Dunia hanya kembang atau gemerlap yang bukan pokok (Thaha: 131). Bahkan hanya permainan (Al-Ankabut: 64, Muhammad: 36, Al-Hadid: 20).

Akhirat, itulah kehidupan yang hakiki dan abadi. “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta benda dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning kemudian menjadi hancur, dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta ridla-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menimpa” (Al-Hadid 20).

Teringatlah saya sabda Rasulullah, “Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau, dan sesungguhnya Allah memberikan kuasa padamu dalam dunia itu, maka Allah akan melihat bagaimana kamu sekalian berbuat. Sesungguhnya Bani Israil saat dunia dilimpahkan kepada mereka, mereka pun berbangga-bangga dengan perhiasan, wanita-wanita, wangi-wangian, dan pakaian” (Muttafaq Alaih).

Sudahkah kita mewaspadai romansa dunia, sehingga modal hidup yang singkat ini bisa menjadi tiket menuju surge kelak di alam baka?

Jumat, Maret 08, 2013

JELANG PILGUB NTT 2013 - PILIH PEMIMPIN YANG AKHLAKNYA BAIK



Dalam sebulan terakhir, sejumlah media massa memberitakan seputar krisis kepemimpinan yang jujur ditingkat elit politik. Krisis kepemimpinan yang dilandasi kejujuran semakin menggema ketika tidak sedikit petinggi partai politik yang terjerat dalam kasus hukum.
Tentu sebagai rakyat kita merasa prihatin akan kondisi saat ini.  Kejujuran sepertinya menjadi barang mahal di negeri ini. Rakyat sepertinya merasa kesulitan mencari pemimpin yang benar-benar memegang teguh kejujuran.

Terlebih saat ini hiruk pikuk Pemilu 2014 sudah sangat terasa. Elite politik yang tengah bertarung untuk memenangi Pemilu 2014 terlihat berlomba-lomba melakukan pencitraan menjelang pesta demokrasi prosedural 2014. Yang disayangkan, lagi-lagi pencitraan politik tidak dilandasi dengan kejujuran. Sehingga rakyat sepertinya hanya disuguhi kamuflase (kebohongan) elite politik.

Negeri ini butuh pemimpin yang jujur. Mungkin kita semua sepakat soal itu. Karena kita tidak ingin negeri ini mengalami kehancuran hanya gara-gara dipimpin oleh para pemimpin yang  tidak jujur dalam mengelola pemerintahaan.

Sebagai seorang Muslim, bisa kita patut mencontoh Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai sosok yang jujur, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi. Atas dasar kejujuran yang sudah terbukti itu, Nabi Muhammad SAW mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk menjadi pemimpin. Bahkan menjadi pemimpin di 'negeri tetangga', Madinah, bukan di tempat kelahirannya sendiri, Makkah.

Sebagai umat Islam, seharusnya kita mencontoh kepemimpinan Nabi Muhammad. Sebagai pemimpin teladan yang menjadi model ideal pemimpin, Rasulullah dikaruniai empat sifat utama, yaitu: Sidiq, Amanah, Tablig dan Fathonah. Sidiq berarti jujur dalam perkataan dan perbuatan, amanah berarti dapat dipercaya dalam menjaga tanggung jawab, Tablig berarti menyampaikan segala macam kebaikan kepada rakyatnya dan fathonah berarti cerdas dalam mengelola masyarakat.

Pertama, kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan sesuatusebagaimana dengan fakta. Di antaranya yaitu kata rajulun shaduq (sangat jujur), yang lebih mendalam maknanya daripada shadiq (jujur). Al-mushaddiqyakni orang yang membenarkan setiap ucapanmu, sedang ash-shiddiq ialah orang yang terus menerus membenarkan ucapan orang, dan bisa juga orang yang selalu membuktikan ucapannya dengan perbuatan.

Di dalam Quran disebutkan (tentang ibu Nabi Isa), “Dan ibunya adalah seorang shiddiqah.” (Al-Maidah: 75). Maksudnya ialah orang yang selalu berbuat jujur.

Seorang pemimpin yang sidiq atau bahasa lainnya honest akan mudah diterima di hati masyarakat, sebaliknya pemimpin yang tidak jujur atau khianat akan dibenci oleh rakyatnya. Kejujuran seorang pemimpin dinilai dari perkaataan dan sikapnya. Sikap pemimpin yang jujur adalah manifestasi dari perkaatannya, dan perkatannya merupakan cerminan dari hatinya.

Kedua, terpercaya. Muhammad SAW bahkan sebelum diangkat menjadi rasul telah menunjukkan kualitas pribadinya yang diakui oleh masyarakat Quraish. Beliau dikenal dengan gelar Al-Amien, yang terpercaya. Oleh karena itu ketika terjadi peristiwa sengketa antara para pemuka Quraish mengenai siapa yang akan meletakkan kembali hajar aswad setelah renovasi Ka’bah, meraka dengan senang hati menerima Muhammad sebagai arbitrer, padahal waktu itu Muhammad belum termasuk pembesar.

Ketiga Tablig atau Komunikatif. Kemampuan berkomunikasi merupakan kualitas ketiga yang harus dimiliki oleh pemimpi sejati. Pemimpin bukan berhadapan dengan benda mati yang bisa digerakkan dan dipindah-pindah sesuai dengan kemauannya sendiri, tetapi pemimpin berhadapan dengan rakyat manusia yang memiliki beragam kecenderungan.

Pemimpin dituntut untuk membuka diri kepada rakyatnya, sehingga mendapat simpati dan juga rasa cinta. Keterbukaan pemimpin kepada rakyatnya bukan berarti pemimpin harus sering curhat mengenai segala kendala yang sedang dihadapinya, akan tetapi pemimpin harus mampu membangun kepercayaan rakyatnya untuk melakukan komunikasi dengannya.

Dan keempat Fathonah/cerdas. Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehinga memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah frustasi menghadapai problema, karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari solusi.

Pemimpin yang cerdas tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama, karena dia selalu tertantang untuk menyelesaikan masalah tepat waktu. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran. “Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS.Al Mujadalah:11).
Semoga kedepan, sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah tersebut benar-benar membumi di negeri ini.

Senin, Maret 04, 2013

PENDIDIKAN CINTA DALAM ISLAM



Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92).

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seseorang tidak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah).

Ayat dan hadis tersebut menunjukkan urgensi cinta sebagai spirit kebajikan dan keluhuran  akhlak. Energi cinta dalam diri manusia perlu dididik dan diaktualisasikan dalam bentuk kedermawanan sosial. Etos filantropi dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama memang harus dilandasi rasa cinta.

Kedermawanan berbasis cinta (filantropi) merupakan akhlak mulia, karena etos derma dalam Islam intinya adalah memberi dan memberi (give more and more) dengan semangat menyayangi dan memberdayakan.

Ingatlah bahwa “Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).” (HR Muslim). Jadi, esensi cinta sejati –dalam segala hal, mulai dari cinta anak dan istri hingga cinta Ilahi— adalah memberi dan mendedikasikan diri.

Pendidikan cinta berbagi telah dipelopori dan diteladankan Nabi SAW dan istri beliau tercinta, Khadijah. Sedemikian cintanya kepada Islam, Khadijah mendermakan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah dan kejayaan Islam.

Para sahabat juga selalu dididik oleh Nabi SAW untuk gemar berderma dengan menyisihkan sebagian rezki sebagai bukti cinta terhadap Islam, sekaligus sebagai sikap peduli terhadap sesama. Sejarah membuktikan, tradisi tersebut menjadi solusi jitu dalam mengatasi masalah umat, terutama kemiskinan dan kebodohan.

Pendidikan cinta berbagi termasuk ajaran Islam yang paling dini diperkenalkan Nabi setelah pendidikan iman. Pendidikan ini ditanamkan dengan menjauhkan diri dari sikap pamrih, sebab pamrih itu hanya akan menghilangkan nilai derma sekaligus menyuburkan penyakit riya’.

Oleh karena itu, pada masa awal kerasulannya,  Allah SWT dengan tegas menyatakan: “dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS Almudatstsir [74]: 6).

Larangan ini juga sekaligus mendidik Nabi SAW dan para sahabatnya untuk mandiri dalam membangun sistem ekonomi umat yang solid, kuat, dan menyejahterakan semua, sehingga tidak tergantung pada sistem ekonomi kapitalistik dan individualistik ala kafir Quraisy Makkah.

Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, dan sebagainya.

Zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial itu dapat terwujud dengan sangat indah.

Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Attaghabun [64]: 16).Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

Gagasan pendirian Baitul Mal oleh Umar bin al-Khaththab merupakan upaya institusionalisasi filantropi dengan menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan kekayaan dari, oleh, dan untuk kemaslahatan umat.

Baitul Hikmah dan Universitas al-Azhar di Mesir, misalnya, didirikan, dikembangkan, dan dibesarkan oleh donasi filantropi sebagai manifestasi pendidikan cinta berbagi.

Umat Islam sesungguhnya tidak pernah miskin jika aset kedermawanan sosial umat  dapat didata, dikelola,  dikembangkan, dan dimanfaatkan dengan penuh amanah dan manajemen modern. Karena itu, yang sangat diperlukan saat ini adalah sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan cinta berbagi pada diri umat Islam.

Pendidikan cinta berbagi idealnya juga dapat mengikis budaya korupsi, karena sikap dan perilaku korup merupakan cerminan hati yang terlalu cinta harta dan cinta duniawi. Dengan pendidikan cinta berbagi, setiap orang selalu belajar untuk memberi, bukan mencuri dan korupsi!
n