Senin, November 25, 2013

LIHATLAH ORANG YANG BERADA DIBAWAH KITA



Ahmad bin Abi al-Hawari bertutur, saya masuk menemui Abu Sulaiman ad-Darani dan kujumpai ia tengah menangis. Lalu aku pun bertanya, "Apa yang menyebabkanmu menangis, Tuanku?"

Ia pun menjawab, Ya Ahmad, sesungguhnya Ahlul Mahabbah (Sang Pencinta Ilahi) itu, jika malam telah larut, ia membentangkan kakinya, sementara air matanya meleleh di atas pipinya bersamaan dengan rukuk dan sujud. Ketika mereka berada dalam keadaan demikian, Allah Jalla Jalaluh pun memuliakan mereka, seraya berseru.

"Hai Jibril, demi Dzat-Ku, barang siapa yang merasa lezat dengan berbicara/berdoa kepada-Ku, dan merasa nyaman dengan munajat kepada-Ku, Aku sungguh menyaksikan mereka, menyimak ucapan mereka, melihat penderitaan dan tangis mereka. Maka, serulah mereka, dan katakan kepada mereka, hai Jibril, 'Apa arti dari keluh kesah yang kulihat dari kalian ini? Apakah ada yang mengabarkan bahwa seorang kekasih akan menyiksa kekasihnya di neraka?’"

"Jika perbuatan seperti itu tidak pantas dilakukan oleh seorang hamba yang hina dina, maka bagaimana mungkin hal itu dilakukan oleh Allah Yang Maha Berkuasa lagi Mahamulia? Maka, demi keagungan-Ku, Aku bersumpah, ketika mereka menemuiku pada Hari Kiamat, Aku sungguh akan memberikan hadiah kepada mereka di mana Aku akan menyingkapkan Wajah-Ku yang mulia kepada mereka, lantas Aku melihat mereka, dan mereka pun melihat Aku."

"Wahai Ahmad," ujar Abu Sulaiman kemudian, "Apakah engkau masih juga mencerca aku, ketika aku meratapi ketertinggalanku dari kaum Ahlul Mahabbah itu?!" Apa yang dilakukan oleh Abu Sulaiman ad-Darani, tokoh tasawuf Suni abad ketiga Hijriyah ini, sesungguhnya menampar banyak orang yang hanyut dalam derasnya gelombang materialistis.

Di mana mereka hanya gundah gulana ketika hal-hal duniawinya lebih rendah dibandingkan orang lainnya. "Duh, saldo saya belum ada apa-apanya dibanding rekening dia yang gendut. Rumah saya, hanya mirip kandang hewan jika disejajarkan dengan istananya. Gaji saya, hanya setara dengan belanja pulsa dia. Soal kendaraan, saya tak punya mobil, sementara dia, garasinya mirip show room." Dan, kegalauan-kegalauan semisalnya.

Padahal Nabi berpesan, "Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian." (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Sementara menyangkut akhirat, kita nyaman-nyaman saja ketika belum bisa membaca Alquran, misalnya, sementara orang lain, bahkan anak kecil sudah hafal 30 juz. Kita juga sudah cukup puas, jika bisa shalat lima waktu, meski sering terlambat. Sedangkan orang lain, bukan hanya menjalankan shalat lima waktu dengan berjamaah dan tepat waktu, melainkan juga sangat tekun menambahkannya dengan shalat-shalat nawafil (sunah).

Kita pun sudah lega jika bisa berinteraksi dengan masyarakat selama satu jam dalam sepekan melalui taklim mingguan, misalnya. Sementara orang lain, justru mencurahkan hampir seluruh waktunya, tenaganya, pikirannya, bahkan materinya demi agama atau masyarakatnya.
Wallahu a’lam.

Jumat, November 22, 2013

MENYESAL KEMUDIAN TIADA BERGUNA

Cukup banyak anak-anak di negeri ini yang sudah belajar menabung sejak dini. Oleh orang tuanya, ada yang dibelikan celengan untuk diisi sejumlah uang setiap hari, setiap minggu, setiap dua minggu, dan seterusnya.

Bahkan, terlepas dari pro dan kontra, tidak sedikit sekolah dasar atau yang sederajat yang memfasilitasi siswanya menabung. Tujuannya agar kelak sesudah dewasa mereka terbiasa atau terlatih merancang masa depannya.

Ketika anak saya diajarkan untuk  menabung melalui guru di sekolahnya, saya berikan Rp 5.000 per minggu. Saat itu saya berpikir sederhana saja, jika anak saya secara teratur menabung Rp 5.000 per minggu maka dalam sebulan akan terkumpul Rp 20 ribu.

Asumsinya, dalam satu tahun pelajaran akan  terkumpul Rp 200 ribu maka saat anak saya tamat sekolah dasar akan terkumpul Rp 1,2 juta. Jumlah yang lumayan besar. Apalagi, jika anak saya dapat menabung dalam jumlah lebih besar.

Namun, angan-angan mengajarkan anak saya menabung tidak berjalan mulus. Sejak anak saya kelas tiga atau kelas empat, dia sudah mulai malas atau jarang menabung. Alasannya macam-macam mulai dari gurunya berhalangan hadir hingga uangnya terpakai untuk jajan.

Akibatnya, uang tabungan yang sudah disimulasikan sejak awal tidak tercapai. Waktu berlalu hampir tidak terasa. Undangan pelepasan kelas enam sudah di tangan. Alkisah, kami berbagi tugas. Saat itu, istri saya  berangkat menghadiri prosesi pelepasan kelas enam tersebut.

Rupanya pada acara itulah seluruh tabungan siswa dibagikan atau lebih tepatnya dikembalikan kepada pemiliknya. Hasilnya? Anak saya hanya berhasil mengumpulkan Rp 575 ribu.  Dia pun menyesal setelah tahu ada temannya yang mengumpulkan belasan juta rupiah!

Dalam konteks Islam, dalam hidup yang sebentar ini mestinya diisi dengan investasi atau menabung amal saleh. Kita mesti ingat, Ad-Dunyaa mazra’atu al-aakhirati atau dunia adalah ladang akhirat. Siapa menanam kebaikan, niscaya menuai kebaikan.

Siapa menanam keburukan, niscaya menuai keburukan. Bahkan, bukan sekadar itu. Siapa menanam banyak, niscaya menuai banyak. Siapa menanam sedikit, niscaya menuai sedikit. Lalu, bagaimana?

Semua kita akan dihadirkan atau dikumpulkan pada saat perhitungan amal. Saat itu semua amal manusia akan diaudit secermat-cermatnya.

Allah SWT berfirman, "Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.’’ (QS az-Zalzalah [99] : 7 – 8).

Semua orang beriman tidak meragukan akan terjadinya peristiwa ini. Peristiwa ini niscaya adanya. Dalam berbagai referensi ditemukan sejumlah sinonim Hari Kiamat di antaranya Hari Perhitungan (Yaum al-Hisaab), Hari Pembalasan (Yaum al-Jazaa), dan Hari Penyesalan (Yaum al-Hasrah).

Menyangkut hari perhitungan amal dan hari pembalasan amal kiranya sudah cukup jelas. Karena itu, tidak perlu dijelaskan (lagi) dalam rubrik ini. Namun, menyangkut hari penyesalan saya kira masih diperlukan.

Diriwayatkan pada Yaum al-Hasrah, semua orang tak terkecuali yang di dunianya gemar beramal baik akan merasa menyesal. Mereka menyesal karena amal baiknya ternyata kurang banyak.

Laksana orang yang gemar menabung, mereka bisa saja menyesal kalau ternyata tabungannya kurang banyak. Apalagi orang yang sama sekali tidak pernah beramal baik dan menyaksikan azab neraka telah tampak nyata di hadapannya

Rabu, November 20, 2013

JANGANLAH MENGANGGAP DIRIMU SUCI

Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS an-Najm [53]: 32).
Janganlah kalian menganggap diri kalian suci dan bersih kerena hakikat diri kalian berada dalam ilmu Allah SWT. Janganlah kalian memuji-muji keunggulan kalian sebab mata manusia tidaklah buta.

Sungguh, tidak ada manusia yang lebih bodoh dibandingkan dengan manusia yang menganggap dirinya bersih dan suci. Tidak ada manusia yang lebih pandai dibandingkan dengan manusia yang menceritakan kebaikan dan kemuliaan dirinya.

Dan, tidak ada manusia yang lebih dungu dibandingkan dengan manusia yang menganggap dirinya tidak pernah salah. Kira-kira demikianlah penjabaran dari pesan Allah SWT pada ayat di atas.

Jika direnungkan, apa yang dimiliki oleh manusia hingga ia layak merasa bangga? Bukankah manusia selalu berada dalam curahan nikmat Allah SWT yang tidak akan mampu ia syukuri?
Bukankah ia memiliki dosa-dosa yang belum tentu diampuni? Bukankah ia memiliki rahasia yang memalukan yang belum terbongkar? Bukankah ia masih memiliki dosa-dosa yang masih ditutupi oleh Allah SWT?

Orang-orang yang bersikap demikian (mengaku diri sok bersih dan suci) tidak sadar dengan hakikat dirinya. Bukankah Allah SWT telah menerima dengan baik amal ibadahnya yang hanya sedikit, kemudian mengampuni dosanya yang sangat besar?

Bukankah yang telah memberikan taufik kepadanya hingga ia mampu berpaling dari jalan yang salah adalah Allah SWT? Bukankah Allah telah menutupi kesalahan dan mengampuni dosanya?

Dengan demikian, layakkah manusia memamerkan serta mengaku-ngaku bersih dan suci di hadapan Allah SWT? Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sungguh tidak layak jika seseorang yang mengaku sebagai manusia yang bersih dan suci.

Pola pikir yang salah dan keinginan yang buruk telah mengilhami iblis untuk berkata kepada Allah SWT, “Aku lebih baik daripadanya karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS Shaad [38]: 76).

Sifat sombong telah menyebabkan iblis menjadi makhluk terkutuk sepanjang masa. Bila manusia merasa diri sok suci dan paling bersih maka apa bedanya dia dengan perilaku iblis? Jangan sampai dia ikut terkutuk karenanya.

Sifat Firaun yang merasa dirinya kuat dan mulia telah mendorongnya untuk berkata, “Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku?” (QS az-Zukhruuf [43] : 51).

Allah SWT lalu menghinakan Firaun. Qarun juga merasa dirinya bersih, kuat, dan mulia sehingga dia berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (QS al Qashash [28] : 78).

Dengan demikian, tidakkah manusia berusaha mengekang diri dan berhenti dari sikap demikian, kemudian menyerahkan penilaian tersebut kepada Allah SWT? Mengapa manusia masih saja menggunakan lisannya untuk menggambarkan dirinya kepada orang lain?
Padahal, sikap dan perilaku sudah cukup memberikan gambaran tentang dirinya yang sebenarnya. Karena manusia dipandang bukan dari bualan tentang kebaikan dirinya, tetapi dari sikap, perilaku akhlak,dan amalannya.

Selasa, November 19, 2013

WANITA TELADAN BERNAMA UMMU SHAHBA

Mu’adzah binti ‘Abdillah al-’Adawiyyah dikenal juga sebagai Ummu Shahba. Dia adalah salah seorang wanita yang berasal dari kota Basrah.

Mu'adzah merupakan tabi'in yang lahir dalam keluarga yang sangat taat pada Allah SWT. Dia pun menjadi seorang istri yang selalu berada dalam kebajikan dan dicintai.

Muadzah memikiki suami bernama Shikah bin Azhim yang juga zuhud dalam beribadah. Kebahagiaan rumah tangganya terasa lengkap dengan memikiki anak-anak yang berbakti.

Dalam menjalani kehidupannya dia tidak pernah silau oleh kehidupan dunia. Baginya kehidupan sejati hanya ketika di akhirat kelak.

Wanita shalihah ini tidak pernah sekalipun meninggalkan dzikir, shalat malam, dan membaca Alquran di setiap malam. Dia selalu berlinangan air mata saat meminta ampunan pada Maha penciptanya.

Kesaksian bagaimana kehidupan Mu'adzah diceritakan oleh Imam adz-Dzahabi terhadapnya, beliau berkata: “Telah sampai kepadaku kabar tentang Mu’adzah , bahwa dia senantiasa menghidupkan malamnya dan berkata, “Aku heran dengan mata yang bisa terpejam di malam hari padahal ia tahu betapa lamanya tidur di alam kubur”.

Begitu juga menurut Al-Hakam bin Sinan al-Bahili pernah bercerita bahwa salah seorang wanita yang pernah menjadi pelayan Mu’adzah berkata: “Mu’adzah menghidupkan malamnya dengan sholat, jika rasa kantuk membuatnya tertidur, maka ia segera beranjak dan mondar-mandir di dalam rumah sambil berkata: “Wahai diriku, (lihatlah) rasa kantuk menghampirimu, jika kamu kalah dan tertidur, niscaya tidurmu di kubur akan sangat panjang, entah kesedihan atau kebahagiaan (yang akan kamu rasakan nanti)”. Menurut pengakuan si pelayannya: “Begitulah yang ia (Mu’adzah) lakukan hingga pagi hari”.

Mu’adzah adalah sosok wanita yang patut dijadikan panutan, sosok yang bisa membuat malu setiap Muslim dan Muslimah yang masih suka bermalas-malasan dan merasa lemah untuk bangun di keheningan malam.

Muadzah selalu mengatakan datangnya setiap waktu seakan-akan telah dekat kematian kepadanya. Sehingga dia tidak pernah tidur hanya untuk beribadah.

Muhammad bin Fudhoil pernah berkata: ” Ayahku pernah bercerita kepadaku, dia berkata: “Jika datang waktu siang, Mu’adzah berkata, “Inilah hari dimana aku akan meninggal, maka ia tidak tidur hingga sore”. Jika malam hari telah tiba, ia berkata (lagi), “Inilah malam dimana aku akan meninggal”. Maka, ia tidak tidur hingga pagi. Jika dia merasa dingin (di malam hari), ia mengenakan baju yang berbahan tipis hingga rasa dingin tersebut tidak membuatnya tidur.”

Selain beribadah dia juga giat menambah ilmu. Dia sempat menimba ilmu dari istri Rasulullah Aisyah, Ali bin Abi Thalib, dari Hisyam bin Amir dan Ummu Amr binti ‘Abdillah bin Zubair.

Beberapa Ulama terkenal dari kalangan Tabi’in sempat berguru kepada Mu’adzah. Sebut saja, seperti Abu Qilabah, Qatadah, Ayyub as-Sakhtiyani, Ashim al-Ahwal, Sulaiman bin ‘Abdillah al-Bashri dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kesabaran Muadzah terlihat saat Allah mengujinya dengan kematian suami dan anak-anaknya yang sangat dicintai dalam satu waktu sekaligus ketika mereka berperang melawan musuh-musuh Allah. Wanita mulia ini begitu tabah menghadapi musibah tersebut.

Dia juga tidak pernah sedih berlarut-larut. Bahkan ia berkata: ” Demi Allah, tidaklah saya suka tinggal lama di dunia hanya untuk menikmati keindahan hidup dan angin sepoi-sepoi di dalamnya, akan tetapi saya suka tinggal di dunia ini untuk mencari cara agar saya bisa dekat dengan Rabb saya. Semoga Allah mengumpulkanku dengan Abu Shahba beserta anak-anaknya di surga”.

Ketika orang-orang datang berta’ziah, Mu’adzah justru berkata: “Jika kalian datang untuk mengucapkan selamat, maka aku akan sambut kalian. Akan tetapi, jika kalian datang untuk tujuan lain, maka silahkan kembali ke rumah kalian”.

Wanita teladan ini meninggal pada 83 Hijriah.

Senin, November 18, 2013

MENGENAL CINTA SAHABAT NABI SALMAN AL-FARISI

Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.

Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.

Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.

Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.

Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.

“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.

“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita.

Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putrid.

“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi.

Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.

“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.

Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.

Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.

Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.

Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.

Kamis, November 14, 2013

PESAN MORAL BAGI CALON PEMIMPIN KABUPATEN ENDE

Beruntung orang yang beriman. Tapi, jika hanya iman jelas tidaklah cukup. Karena itu, cukupkanlah dengan amal saleh. Tapi sayang, pesan Alquran dalam surah al-'Ashr, iman dan amal saleh masih dianggap belum cukup; kecuali diiringi dengan upaya saling mengingatkan kepada kebaikan dan kesabaran.

Pesan moral Alquran dalam surah ke-103 ini melandasi atas pentingnya nilai-nilai yang disebut di atas. Bahkan atas dasar itu, Allah SWT harus turut bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya yang bernama 'waktu' (al-'Ashr). Ada hasrat Allah yang tersurat, yaitu ingin semua manusia berada dalam keberuntungan hidup bukan justru berkubang dalam sumur kerugiaan.

Nah, untuk menyebut supaya kita tidak didera kerugiaan (lafii khusrin), upaya memupuk keimanan dan amal saleh harus juga disertai dengan usaha saling mengingatkan kepada kebaikan dan kesabaran. Mengapa harus iman? Karena, ia adalah fondasi; hal yang fundamental dalam membangun sikap keberagamaan manusia.

Iman yang menyebabkan rasa aman, damai, dan tenang dalam menapak di planet kehidupan. Iman pula yang menghadirkan rasa tanggung jawab (amanah) dalam hidup. Karena iman, ia akan dipercaya (amin) dan dalam setiap rangkaian harap dan doa akan sangat didengar (amin). Ada keselamatan dan bimbingan keberuntungan hidup dengan kita beriman.

Surah an-Nisa, ayat 138 menyebutkan, “Barang siapa yang tidak beriman (kufur) kepada Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul, dan Hari Akhir maka ia tersesat dengan kesesatan yang jauh.” Lalu, mengapa kita harus beramal saleh dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran? Karena, di hampir semua ayat dalam Alquran kata iman selalu digandeng dengan kata amal saleh.

Kalau iman banyak berhubungan dengan garis vertikal, amal saleh dan kebajikan lain lebih sering berkaitan dengan sesuatu yang horizontal. Kedua konsep ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu dari keduanya tiada maka kesempurnaan dari salah satunya akan berkurang.

Hal ini terlihat dari sabda Nabi SAW, “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR Ath-Thabrani). Seperti dalam firman-Nya, “Dan, orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 82).

Hal luar biasa adalah yang disebut dalam surah an-Nuur, bahwa Allah menjanjikan satu keadaan yang istimewa saat nilai keimanan dan amal saleh telah dihidupkan. Apalagi, sampai upaya luhur saling memberi nasihat kepada kebaikan dan kesabaran terus diciptakan. Pendeklarasian Allah, yaitu, “Bersiaplah untuk menjadi pemimpin di muka bumi!”

“Dan, Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan  yang beramal saleh, bahwa sungguh mereka akan 'memimpin' di muka bumi, sebagaimana orang-orang yang terdahulu sebelum mereka telah memimpin, dan sungguh Allah akan meneguhkan kedudukan agama mereka yang telah diridai oleh Allah untuk mereka. Juga akan diubah keadaan mereka oleh Allah sesudah mereka merasa ketakutan menjadi aman sentosa ...” (QS an-Nuur : 55).

Subhanallah, langkah strategis saat 'syahwat' memimpin sedang menggelayuti kita. Tidak harus berburu apalagi saling sikut. Kita hanya cukup bersiap dengan upaya menanamkan iman, amal saleh, dan terus berupaya saling menasihati kepada kebaikan dan kesabaran.

Selasa, November 12, 2013

KISAH NABI YESAYA BAGI BANI ISRAIL

Setelah Bani Israil ditinggal sangat lama dengan kematian Nabi Sulaiman, Allah kemudian mengutus Nabi Yesaya (Isaiah). Ketika beliau diutus, Bani Israil pun tengah dipimpin seorang raja yang saleh, Hizkia (Hezekiah). Itulah salah satu masa kedamaian bangsa Yahudi di Yerussalem.

Yesaya hadir memberikan nasihat kepada mereka. Ia juga menjadi penasihat bagi Hizkia, memberikan saran baik ataupun melarang hal buruk bagi kerajaan Yahudi. Sang nabiyullah pula yang mengambil keputusan segala urusan bagi Bani Israil.

Suatu hari, Raja Hizkia ditimpa sebuah penyakit. Kakinya terkena infeksi yang berat sangat. Kematian sudah ada dihadapannya. Sementara raja sakit, rombongan pasukan Raja Babilonia,  Sennacherib (Sinharib) dikabarkan tengah menuju Yerussalem. Mereka bermaksud menyerbu negeri pimpinan Hizkia dengan 60 ribu pasukan.

Raja Hizkia pun kebingungan. Ia khawatir rakyatnya tewas sia dan negerinya porak poranda. Namun ia tak dapat melakukan apa-apa dengan penyakit yang tengah dideritanya. Ia pun meminta nasihat kepada Yesaya, apa yang harus ia lakukan.

“Apakah Allah memberikan wahyu kepada Anda mengenai pasukan Sanherib?” Tanya raja, lemas.

“Allah belum memberikan wahyu apapun kepadaku tentang itu,” jawab Yesaya.

Setelah beberapa hari, Yesaya mendapat perintah dari Allah agar Hizkia bersedia turun tahta dan mengangkat raja baru sebagai penggantinya untuk menghadapi serangan Babilonia. Pasalnya, takdir ajal telah dekat dengan Hizkia. Dengan berat hati, Yesaya pun mengatakannya pada sang raja. Namun raja dengan lapang dada menerimanya.

Raja Hezkia kemudian segera menghadap kiblat kemudian menengadahkan tangan berdoa. Dengan hati yang tulus, sang raja memanjatkan doa, “Ya Tuhan dari segala Tuhan, Ya Raja dari segala raja…. Ya Tuhan yang penuh kebajikan dan penyanyang, Yang tidak tidur dan tidak mengantuk, Yang dapat mengalahkan segala sesuatu… Ingatlah hambaMu ini atas apa yang telah hamba perbuat bagi bangsa Israel. Dan Engkau tentu lebih mengetahuinya, Engkau mengetahui setiap perbuatan hamba dan segala rahasia hamba,” ujar Raja Hezkia, menangis, meminta belas kasih dari Allah Ta’ala.

Allah pun menjawab doa raja yang saleh itu. Kepada Yesaya Allah berfirman bahwa Dia sangat senang Hezkia memanjatlkan doa kepadaNya. Allah pun memperpanjang usia Hizkia hingga 15 tahun lagi. Mendapat wahyu itu, Yesaya pun segera member kabar kepada sang raja dengan gembira.

Mendengar kabar tersebut, Raja Hezkia pun segera menyungkur sujud dan memanjatkan syukur. “Ya Tuhan, Engkau memberikan kerajaan bagi siapa yang Engkau kehendaki. Engkau mengangkat kedudukan siapa saja yang Engkau kehendaki. Engkau mengetahui segala hal ghaib dan nyata. Engkau adalah Al Awwal dan Al Akhir, Engkau memberikan rahmat dan menjawab orang-orang yang kesulitan,” ujar Hezkia memuji Tuhan seluruh alam.

Usai sujud syukur, Yesia meminta sang raja untuk mengusap kaki yang infeksi dengan sari daun Ara. Dengan kehendak Allah, penyakit raja sembuh seketika. Tak hanya menyembuhkan oenyakit raja, Allah pun menolong Bani Israil dengan mengalahkan tentara Sanherib. Tiba-tiba di pagi hari, seluruh pasukan mati tergeletak, kecuali sang Raja Sanherib dan kelima tangan kanannya, termasuk Nebukadnezar.

Mereka dibelenggu selama 70 hari, kemudian dipulangkan ke Babilonia. Saat kembali, Raja Sanherib pun menanyakan hal aneh yang terjadi pada mereka. Para tukang sihir negeri itu pun mengatakan kepadanya, “Kami bercerita tentang Tuhan dan nabi mereka, tapi Anda tak pernah mendengarkan kami. Mereka adalah bangsa yang memiliki Tuhan,” ujar para tukang sihir. Sang raja Babilonia pun berkidik, ia kemudian merasa sangat takut akan Allah.

Sementara di Yerussalem, setelah perpanjangan usia yang diberikan Allah, Raja Hezkia pun menemui ajalnya. Pasca meninggalnya Hezkia, Yerussalem porak poranda. Kondisi Bani Israil sangat buruk. Yesaya yang masih hidup di tengah mereka pun tetap mendakwahkan tauhid dan menyeru Bani Israil agar tetap di jalan Allah. Ia mengingatkan Bani Israil untuk tetap mengingat Allah meski kondisi negara carut marut.

Namun salah satu sifat Yahudi adalah menentang para nabi. Meski Yesaya selalu menjadi wali bagi mereka, bangsa Israil itu justru marah kepadanya. Mereka geram dengan ceramah Yesaya. Mereka pun kemudian memusuhi nabiyullah dan berencana membunuhnya.

Hingga suatu hari, Yesaya tengah melewati sebuah pohon. Sementara Bani Israil mengejarnya untuk membunuhnya. Lalu tiba-tiba pohon yang dilewati sang utusan Allah itu terbuka. Yesaya pun masuk dan berlindung di dalam pohon. Namun Syaithan melihat Yesaya masuk ke dalam pohon. Syaithan pun kemudian membuah jubah sang nabi terjepit sehingga terlihat oleh Bani Israil. Melihatnya, Bani Israil pun segera mengambil gergaji kemudian menggergaji pohon itu. Yesaya pun wafat dibunuh oleh umatnya sendiri.

Kisah Nabi Yesaya tersebut tak tercantum dalam Al Qur’an, pun tak dikabarkan oleh Rasulullah. Dalam ajaran Islam, nama Yesaya juga tak termasuk dalam nama 25 nabi yang harus diketahui. Hanya saja, Ibnu Katsir memasukkan kisah Yesaya tersebut dalam kitabnya “Qashshashul Anbiya”.

Menurut Ibn Katsir, mmengutip dari riwayat Muhammad Ibn Ishaq, Nabi Yesaya merupakan nabi yang muncul sebelum era Nabi Zakaria dan Yahya. Beliau bahkan salah satu nabi yang bernubuat mengenai Nabi Isa dan Nabi Muhammad Rasulullah. Silahkan merujuk kembali kitab Ibn Katsir tersebut.

Jumat, November 08, 2013

MOMENTUM TAHUN BARU UNTUK PERBAIKAN AKHLAK

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah (9):36).

Dzulhijjah telah pergi, Muharram pun tiba. Muharram, sebagai bulan yang ditetapkan sebagai awal pergantian tahun hijriyah dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah pada surah at-Taubah ayat 36 di atas.

Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu.

Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam.

Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makka ke Yatstrib (Madinah).

Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.

Sejarah hijrah memang tak terlepas dari berpindahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, hijrah era kekinian dipahami sebagai bentuk transformasi global di seluruh lapisan masyarakat.

Jika kita mengamati pemberitaan akhir-akhir ini, maka keadaan yang memiriskan ialah kasus adegan seks yang menimpa generasi muda. Mereka, yang diharapkan menjadi ‘
dzurriyah’ yang memiliki iman, takwa, serta kecerdasan yang membanggakan justru sebaliknya. Rasa malu tak terhingga dirasa oleh guru, kepala sekolah, kawan-kawan, terlebih orang tua.

Menanggapi kasus ini, ada sebagian kalangan yang menyalahkan teknologi, ada pula yang menuding orangtua, karena kurangnya pengawasan. Lebih dari itu, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Tentu semua pihak berpengaruh dalam masa-masa ini. Dampak negatif dan positif dari teknologi pasti berpengaruh jika kurangnya kontrol dari segenap pihak.

Oleh sebab itu, adanya perhatian khusus dari orangtua, pembekalan dari para guru, serta kesadaran spiritual dan sosial siswa menentukan sikap anak-anak remaja kita saat ini.

Sejatinya, pemaknaan hijrah sangatlah dekat, tak perlu mengukur jarak antara Makkah-Madinah. Cukuplah kesadaran pribadi sebagai ukuran, bahwa hijrah sejati ialah perpindahan dinamis—meminimalisasi akhlak madzmumah menuju akhlak mahmudah.

Wallahu a'lam bish shawwaab..

Jumat, November 01, 2013

GERAKKAN SADAR HUKUM 2013


Suatu ketika, Abdurrahman Ibnu Umar tidak sengaja dan tanpa sepengetahuannya, meminum minuman yang memabukkan. Dengan keadaan menyesal, Abdurrahman menghadap Gubernur Mesir untuk dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya, yakni dicambuk dan digunduli di depan khalayak ramai.


Namun, sang gubernur tidak berkenan, mengingat Abdurrahman adalah putra seorang kepala negara. Abdurrahman terus mendesak gubernur, bahkan jika tetap tidak mau, ia mengancam akan melaporkannya kepada ayahnya.

Dengan berat hati, gubernur pun mengeksekusi Abdurrahman sebagaimana aturan yang berlaku waktu itu. Namun, hal ini dilakukan hanya di dalam rumah gubernur, bukan di depan massa.

Singkat cerita, tanpa berniat melaporkannya, ternyata kabar itu menyebar dan akhirnya sampailah ke telinga Umar bin Khattab, yang tiada lain adalah kepala negara sekaligus ayah kandung Abdurrahman Ibnu Umar.

Kemudian Umar bin Khattab mengirim surat kepada gubernur atas perlakuan istimewanya kepada putranya. ''Engkau mencambuk dan mencukur Abdurrahman di dalam rumahmu. Engkau tahu, hal ini menyalahi aturanku. Abdurrahman tidak lain adalah salah seorang dari rakyatmu yang seharusnya engkau perlakukan sebagaimana warga negara lainnya.''

''Tapi engkau berpendapat bahwa Abdurrahman adalah putra Amirul Mukminin. Bukankah engkau telah mengetahuinya bahwa bagiku tidak ada suatu perlakuan istimewa untuk seorang pun di hadapan hak Allah yang harus dipertanggungjawabkan.''

Gubernur sangat paham maksud isi surat tersebut dan segera memulangkan Abdurrahman  seperti yang diperintahkan kepala negara. Kemudian Umar bin Khattab menghukum kembali putranya meski kondisi Abdurrahman pada saat itu masih belum pulih dari hukuman sebelumnya.