Senin, April 29, 2013

MARI BERANTAS NARKOBA DAN MINUMAN KERAS



Untuk kesekian kalinya, publik kembali digemparkan dengan berita para pesohor yang terjerat kasus narkoba. Negeri ini sepertinya sudah menjadi surga bagi peredaran barang haram yang satu ini. Penggunanya merata di semua kalangan, tidak pandang bulu.

Artis, selebritis, politisi, pejabat, preman dan tentunya generasi muda sebagai kelompok yang  paling terancam. Tidak salah jika masalah narkoba dan sejenisnya menjadi musuh kedua terbesar bangsa ini setelah korupsi. Keduanya sama-sama merusak moral dan tatanan kehidupan berbangsa.

Keharaman Narkoba diserupakan dengan keharaman khamar (miras), karena kedua-duanya memiliki ‘illat yang sama yaitu memabukkan dan dapat menutupi akal orang yang mengkonsumsinya. Selain itu, Narkoba juga merupakan makanan yang buruk yang diharamkan Allah dalam firman-Nya, “… dan Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk…” (Q.S. Al A’raf: 157)

Untuk memberantas peredaran dan penggunaan Narkoba di Indonesia, bangsa ini sudah selayaknya belajar dari Alquran. Bagaimana Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. 14 abad yang lalu mampu membebaskan ummat dari budaya miras yang sudah menggurita.

Konon, orang-orang Arab terbiasa minum khamar seperti layaknya kita minum air biasa. Sudah begitu mendarah dagingnya kebiasaan buruk ini. Namun hanya dalam tempo hitungan tahun, Alquran berhasil menyelesaikan problem sosial yang mengancam kehidupan ini.

Menurut Muhammad Ali As Shabuni  dalam At Tibyan fi ‘Ulumil Quran, Allah Swt  tidak mengharamkan khamar secara sekaligus. Namun pengharaman ini berlangsung secara tadarruj (bertahap). Ada empat tahapan ayat-ayat yang Allah turunkan terkait dengan pengharaman khamar ini.

Ayat pertama, firman Allah, “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti.” (Q.S. An Nahl : 67).

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan nikmatnya kepada manusia melalui dua pohon; kurma dan anggur. Namun ada manusia yang menjadikan buahnya untuk sesuatu yang buruk, yaitu membuat minuman yang memabukan. Dan ada yang menjadikannya wasilah mendapat rezeki yang baik. Bagi orang yang berakal yang melihat ayat (tanda kebesaran Allah) tentu akan menghindari tipe pertama.

Kemudian turun ayat kedua, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al Baqarah : 219)

Ayat ini jelas menyebutkan adanya unsur dosa dalam khamar. Walaupun ayat ini belum menegaskan keharamannya. Namun bagi orang yang menjaga kesucian diri, tentunya akan memilih menghindari setiap perbuatan yang menyeretnya pada lembah dosa.

Ayat yang ketiga QS. An Nisa : 43, “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai sadar apa yang kamu katakan…” Ayat ini mengharamkan khamar pada sebagian waktu saja, yaitu pada waktu-waktu shalat. Namun demikian, bagi orang yang menjaga shalatnya tentu sudah tidak ada waktu lagi untuk bersantai menyia-nyiakan waktu bersama barang haram ini.

Adapun ayat keempat yang merupakan tahap pengharaman secara mutlak yaitu; QS. Al Maidah : 90. “Wahai orang-orang yang beriman ! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”

Ketika ayat ini turun, sontak Madinah saat itu banjir khamar, karena kaum muslimin bergegas memenuhi seruan Ilahi ini dengan membuang semua persediaan khamar yang ada. Sebuah keta’atan yang tidak akan terjadi pada undang-undang dan peraturan manapun di dunia ini. Sebab undang-undang Allah direspon dan dicerna dengan aqidah dan keimanan.  

Dari tahapan-tahapan ayat pengharaman khamar ini, kita bisa mempelajari kiat dan cara menjauhi narkoba, miras dan sejenisnya. Pertama dengan meningkatkan keimanan melalui pembacaan ayat-ayat Allah.

Kedua, selalu berusaha menghindari perbuatan-perbuatan dosa. Sebab dosa ibarat siklus; yang satu dan lainnya saling terkait dan terhubung, satu dosa akan menghadirkan dosa lainnya, dan begitu seterusnya.

Ketiga membentengi diri dengan shalat, sebab shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Keempat, berlindung diri dari godaan setan dan menjauhi tipu dayanya.

Wallahu a’lam bishawab! 

Selasa, April 16, 2013

SI TAMPAN DEWA PENOLONG

Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tiada penolong yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).
Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang-orang sibuk dengan kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba-tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.

Setelah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat. Yaitu Malaikat Munkar  dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.

Tetapi si tampan itu berkata,” Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan untuk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga.”

Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Alquran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.”

Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. (Himpunan Fadhilah Amal : 609)

Allahu Akbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadis ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Alquran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada  pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Alquran akan menuntut kita. Allah… terimalah bacaan Alquran kami. Sempurnakanlah kekurangannya.

Banyak riwaya yang menerangkan bahwa Alquran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah SWT. Upaya agar mendapatkan syafaat Alquran tentu saja dengan mendekatkan diri kepada Alquran. Salah satu cara yang sangat baik dalam “memaksa” kita untuk dekat dengan Alquran adalah dengan menghafalkannya.

Dengan berniat menghafal Alquran hati kita seakan-akan terpanggil untuk selalu memegang Alquran. Ada tanggung jawab yang membuat kita merasa “bersalah” jika tidak memegang Al-Qur’an. Walaupun mungkin sekedar membacanya.

Pada akhirnya kita mau tidak mau “dipaksa” untuk mendekat kepada Alquran. Dapat dikatakan dengan menghafalkan Alquran kita telah mengikatkan diri dengan Al-Qur’an. Sesibuk apapun kita, kita dipaksa untuk selalu dekat Alquran. Dan itu sungguh bukan termasuk “pemaksaan” yang aniaya. Melainkan pemaksaan yang penuh kebaikan.

Semoga hadis di atas menjadi cambuk bagi kita ketika rasa malas menerpa kita. Semoga Allah dengan kemuliaanNya menjadikan Alquran sebagai syafa’at bagi kita, bukan sebagai penuntut kita.

Semoga Alquran menjadi “teman” bagi kita ketika tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menemani kita. Amin. Mari menghafal Alquran.

Jumat, April 12, 2013

APAKAH KAMU TIDAK MEMPUNYAI AKAL?

Qarun adalah manusia kaya raya yang hidup di zaman Nabi Musa. Di dalam Alquran dijelaskan  kekayaannya sangat melimpah. Bahkan, untuk kunci-kuncinya saja harus dipikul sejumlah orang dengan badan yang besar dan kuat. (QS al-Qashash [28]: 76).

Tapi sayang, Qarun berbuat aniaya, ia angkuh dan sombong. Hatinya beku dan akalnya keras, sehingga ia tidak bisa menerima nasehat kebenaran.

Ketika diperingatkan agar tidak angkuh dan sombong dengan harta yang dimilikinya ia malah berpaling sembari berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (QS al-Qashash [28]: 78).

Menurut Ibnu Katsir, ucapan Qarun itu menunjukkan dirinya tidak butuh dengan nasehat kebenaran. Bahkan ia tidak merasa butuh dengan apapun, termasuk ampunan dan ancaman Allah SWT. Ia merasa dirinya hebat dan harta yang dimilikinya murni karena kepintarannya.

Sikap Qarun yang tidak bisa menghargai orang lain dan selalu menganggap dirinya lebih baik dan lebih terhormat hanya semata-mata karena harta yang dimiliki adalah sikap orang yang kurang akal. Sikap demikian biasanya umum terjadi pada mereka yang dititipi harta kekayaan.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitabnya, Taj al-‘Aruus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus menjelaskan, “Hal pertama yang semestinya engkau tangisi adalah akalmu. Sebagaimana kekeringan bisa terjadi pada rumput, akal juga bisa mengering.''

Ia menambahkan, ''Berkat akal, manusia dapat hidup berdampingan bersama manusia lain dan bersama Allah. Bersama manusia dengan akhlak yang baik dan bersama Allah dengan mengikuti apa yang diridai-Nya.”

Jadi, kriteria orang berakal atau tidak, sama sekali bukan pada berapa kekayaan yang dimiliki, tapi pada bagaimana akhlak yang dimiliki, baik akhlak kepada sesama manusia maupun akhlak kepada Allah SWT.

Semakin baik akhlak seseorang terhadap sesama manusia dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu adalah orang yang berakal. Sebaliknya, semakin buruk akhlak seseorang terhadap sesama dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu tidak berfungsi akal sehatnya.

Lebih jauh orang berakal adalah orang yang paling ingin mendapat cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti adalah yang paling baik akhlaknya, yaitu yang tawadhu’ yang mencintai dan dicintai” (HR Thabrani).

Di dalam Alquran, orang yang berakal disebut sebagai Ulul Albab. “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran [3]: 191).

Dengan demikian dapat dipahami, orang berakal bukanlah orang yang semata-mata kaya, tapi orang yang memanfaatkan siang dan malamnya untuk dzikir dan pikir, sehingga tidak bertambah usia melainkan bertambah baik keimanan dan ketakwaannya, serta semakin baik pula akhlaknya baik kepada sesama maupun kepada Allah SWT.

Jumat, April 05, 2013

MANFAATKAN WAKTU SECARA EFEKTIF DAN EFISIEN


Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran ( QS  Al ´Ashr (103; 1-3)

Karena waktu yang terus berlari. Manusia pada saatnya mengalami kerugian yang besar. Kerugian yang membuat malang. Kerugian yang akan dirasakan ketika semuanya telah berlalu.

Waktu itu tidak akan kembali. Ia selalu melangkah. Pada setiap langkah yang suci itu, tinggal kita maukah mengisi dengan jejak sejarah dan karya. Ataukah hanya berkhayal dan bermimpi dengan hari esok yang indah.

 Tapak kehidupan ini sesungguhnya kita sendiri-lah yang mengaturnya. Mendesignnya menjadi bidang-bidang yang kita inginkan. Bukan lagi pada takdir ataupun suratan nasib. Kita adalah kita yang terus berlari, berlomba bersama sang waktu.

Setiap dari kita mempunyai jatah waktu yang sama yakni 24 jam dalam sehari semalam. Namun, bila kita amati dengan seksama, waktu yang sama tersebut bisa jadi akan menghasilkan perbedaan yang tajam antar satu sama lain. Ada yang karena kejeniusannya memanfaatkan waktu, seseorang dapat memperoleh kekayaan yang berlipat, tetapi dalam kurun waktu yang sama, banyak orang yang tidak mendapatkan apa-apa dari bergulirnya sang waktu.

Tiba-tiba saja detik berganti jam, jam berganti bulan, bulan berganti tahun. Tiba-tiba terasa rambut sudah memutih, keriput di kulit sudah mulai tampak, tetapi kita terasa belum melakukan apa-apa dalam perjalanan panjang waktu.

Sebegitu berharganya waktu, sehingga sering kita temui orang menyesali perbuatan karena gagal menjadikan waktu sebagai pedoman hidup. Ia dilindas kecepatan waktu tanpa berbuat banyak bagi kehidupan dirinya sendiri ataupun orang lain. Waktu adalah kehidupan yang setiap detiknya tidak akan kembali.

Sekarang ataupun nanti, waktu adalah penguasa bagi kemutlakan yang kekuasaannya tanpa batas.  Sebab, apapun yang kita lakukan semuanya berhubungan dengan waktu. Kita tidak bisa menyuruhnya untuk memperlambat jalannya ataupun menghentikannya. Yang kita bisa adalah bagaimana mengisi waktu untuk mencapai apa yang menjadi keinginan-keinginan kita di masa depan.

Yang harus kita lakukan menggunakan waktu sebaik-baiknya secara efektif dan efisien untuk mengejar mimpi-mimpi, bukan sebaliknya bersantai-santai menikmati waktu luang. Jika tidak, kita akan terlindas oleh derap langkah sang waktu yang tidak mengenal kompromi pada siapapun. Karenanya, diri kita sendirilah yang mesti bertanggung jawab terhadap waktu kita, mau kita pergunakan untuk apa waktu yang milikinya.Tidak cukup menghargainya dengan berleha-leha, bermimpi akan datangnya keajaiban.

Sehingga tepat bila dikatakan, waktu sangat penting bagi orang yang sedang mengejar mimpi. Sampai-sampai bagi pebisnis menyebut waktu sama dengan uang. Setiap detik baginya adalah aliran uang yang masuk ke kantong sakunya.

Mengisi waktu dengan tujuan bermanfaat dan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna adalah sebuah aktivitas yang sama ( Ali Imran 3 : 104).

Tinggal kita mau pilih yang mana ?

Rabu, April 03, 2013

ETIKA BERPOLITIK DALAM ISLAM



Setelah dibaiat para sahabat Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar Ash-Shiddiq naik mimbar dan menyampaikan pidoto politik. "Wahai para sahabat, aku diangkat menjadi khalifah, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian,'' ujarnya.

Jika aku berlaku benar, kata Abu Bakar, dukunglah aku. Jika aku menyeleweng, luruskanlah aku. Kejujuran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan adalah khianat.

''Orang yang kuat di antara kalian itu menurutku lemah, sebelum aku mengambil haknya bagi yang lemah. Sebaliknya, orang yang lemah itu menurutku kuat sebelum aku memberikan hak dari yang kuat kepada yang lemah,'' ujar Abu Bakar.

Ia melanjutkan, ''Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, maka jangan taati aku. Laksanakanlah salat, niscaya Allah akan merahmati kalian."

Pidato politik tersebut mencerminkan etika berpolitik yang sangat santun, rendah hati, dan terbuka. Sifat rendah hati tawadlu' sangat diperlukan dalam berpolitik dan memimpin umat.

Pemimpin yang rendah hati pasti akan membuka diri untuk mau dikoreksi dan dikritisi. Sebaliknya pemimpin yang sombong dan arogan akan memicingkan mata terhadap pendapat dan kebenaran dari orang lain.
 
Pemimpin yang rendah hati akan senantiasa mengemban tanggung jawab kepemimpinannya dengan amanah, jujur, dan menomorsatukan rakyat, bukan partainya.
Kejujuran, menurut Abu Bakar, adalah pangkal tegaknya amanah kepemimpinan politik, sedangkan kebohongan adalah pangkal terjadinya pengkhianatan, penyalahgunaan jabatan, dan ketidak-percayaan rakyat.

Membangun kejujuran dan membasmi kebohongan merupakan tugas utama pemimpin yang memiliki etika politik yang religius seperti Abu Bakar. Amanah kepemimpin adalah juga amanah dari Allah dan Rasul.

Jadi, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu menaati syariat (ajaran, petunjuk, jalan kebenaran) Allah dan Rasul. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas (amanah) kepemimpinannya." (HR Muslim).

Pemimpin yang amanah tidak akan pernah menyalahi janjinya kepada rakyat. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu memperhatikan dan melayani kepentingan rakyat, bukan mengurusi dan melayani kepentingan partainya.

Ia tidak memihak kepada yang kuat dan kaya, tetapi berusaha adil dan bijaksana dalam mengakomodasi dan mengadvokasi hak-hak mereka, terutama yang lemah dan miskin.
Pemimpin yang amanah menyadari doa kaum lemah dan miskin itu mustajab, sehingga jika kebijakannya menyengsarakan rakyat,i sang pemimpin tidak didukung dan didoakan kekuasaannya segera runtuh.

Pemimpin yang jujur selalu mengajak kepada kebaikan, seperti salat; dan selalu berani memberantas kemungkaran seperti korupsi.
Ini berarti, sebelum menginstruksikan kepada orang lain, dirinya berikut keluarga dan koleganya sendiri harus mampu menjadi teladan yang baik uswah hasanah.

Sejarah membuktikan, Abu Bakar adalah pelopor penegak keadilan sosial ekonomi dengan menumpas kelompok yang anti membayar zakat yang dimotori Musailamah al-Kazdzdab.
Abu Bakar benar-benar membuktikan janjinya: “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat.”
 
Santun, rendah hati, jujur, amanah, terbuka, peduli terhadap nasib rakyat yang dipimpin, dan berani menegakkan keadilan itulah etika berpolitik yang seharusnya dimiliki para pemimpin politik kita agar bangsa ini terurus dengan baik, tidak semakin "amburadul" dan rakyatnya semakin menderita.

Etika politik yang religius menuntut pemimpin 'mewakafkan' dirinya untuk menjadi pelayan rakyat sejati, bukan 'berselingkuh' dengan partai yang mengusungnya, sehingga kinerjanya menjadi tidak fokus dan energinya tersita untuk kepentingan partai.

Allah berfirman: ”Setiap golongan/partai (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).” (QS.al-Mu’minun [23]: 53)

Karena itu, tidak sedikit pemimpin yang lebih menomorsatukan loyalitasnya terhadap partai daripada kepada rakyat yang memilihnya sebagai pemimpin. Sudah saatnya, pemimpin negeri ini hanya mempunyai monoloyalitas, yaitu: rakyat, bukan partai. Wallahu a'lam bish-shawab!