Namanya Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan panggilan
Abu Darda. Sebelum Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin
Rawahah. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang teman
akrab tersebut berbeda jalan.
Abdullah bin Rawahah segera menjadi
Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia
menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap
hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.
Kesadarannya
baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur
berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah
bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung
marahnya, kesadarannya muncul.
“Seandainya berhala itu benar
Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin
Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia
sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.
Temannya tidak hanya
lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang
Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi
aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan
beribadah sepuasnya.
Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang
dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke
mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami
mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung
kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki
sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya.
Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam
bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan
Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.
Maka,
berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid,
tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar.
Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang
bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.
Abu
Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke
jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang
laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”
Dijelaskan
bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu
Darda bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur,
apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur
itu?”
Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian
memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka
bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya
membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya
maka dia adalah saudara saya.”
Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”
“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.” Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar