Selasa, Juni 28, 2011

HIKMAH ISRA MI'RAJ

Sekarang kita telah memasuki separo lebih bulan rojab dimana pada akhir bulan ini kita sebagai seorang muslim telah diingatkan kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat islam. Sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW yaitu peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama:  سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya; Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untuk lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:

Pertama: Konteks situasi terjadinya

Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).

Kedua: Pensucian Hati

Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman"  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.

Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar

Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.

Keempat: Imam Shalat Berjama'ah

Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.

Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat

Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).

Jumat, Juni 24, 2011

DUNIA FARMAKOLOGI DAN FARMASI ISLAM

''Setiap penyakit pasti ada obatnya.'' Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmakologi dan farmasi.


Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.

Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh.

Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmakologi. ''Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,'' papar Turner.

Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep.

Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam praktiknya, farmakologi dan farmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam.

Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.

Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah - namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.

Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.

Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan - mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.

Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia.

Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.

Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat.

Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. "Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat ini," papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?

Jumat, Juni 17, 2011

KHADIJAH SANG WANITA AGUNG

Khadijah dilahirkan pada tahun 68 sebelum Hijriyah, di sebuah keluarga yang mulia dan terhormat. Dia tumbuh dalam suasana yang dipenuhi dengan perilaku terpuji. Ulet, cerdas dan penyayang merupakan karakter khusus kepribadiannya. Sehingga masyarakat di zaman Jahiliyah menjulukinya sebagai At-Thahirah (seorang wanita yang suci).

Selain itu, Khadijah juga berprofesi sebagai pedagang yang mempunyai modal sehingga bisa mengupah orang untuk menjalankan usahanya. Kemudian Khadijah akan membagi keuntungan dari perolehan usaha tersebut. Rombongan dagang miliknya juga seperti umumnya rombongan dagang kaum Quraisy lainnya.

Lalu, suatu saat dia mendengar tentang Rasulullah SAW, sesuatu yang menarik perhatian Khadijah tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak beliau.

Pada saat itu, Abu Thalib berkata pada keponakannya, Muhammad SAW, “Aku adalah orang yang tidak mempunyai harta sedangkan kebutuhan zaman semakin hari semakin mendesak. Umur telah kita lalui dengan sia-sia tanpa ada harta dan perniagaan. Lihatlah Khadijah, dia mampu mengutus beberapa orang untuk menjalankan niaganya, sehingga mereka mendapatkan hasil dari barang yang diniagakan. Andai engkau datang kepadanya (untuk menjalankan niaganya) dengan keutamaanmu dibandingkan yang lainnya, tentu tidak akan ada yang menyaingimu, terutama sekali dengan kesucianmu.”

Kemudian Khadijah memberikan pekerjaan kepada Rasulullah agar menjalankan barang dagangannya ke negeri Syam dengan ditemani anak bernama Maisarah. Beliau diberi modal yang cukup besar dibandingkan lainnya. Rasulullah menerima pekerjaan tersebut dan disertai Maisarah menuju kota Syam.

Sesampainya di negeri tersebut beliau mulai menjual barang dagangannya, dan kemudian hasil dari penjualan tersebut beliau belikan barang lagi untuk dijual di Makkah. Setelah misi dagangnya selesai, beliau bergabung dengan kafilah kembali ke Makkah bersama Maisarah. Keuntungan yang didapatkan Rasulullah sungguh berlipat ganda, sehingga Khadijah menambahkan bonus untuk beliau dari hasil penjualan tersebut.

Sesampainya di Makkah, Maisarah menceritakan perilaku baik Rasulullah yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Khadijah merasa tertarik dengan cerita tersebut dan segera mengutus Maisarah untuk datang pada Rasulullah. Dan menyampaikan pesannya untuk beliau. “Wahai anak pamanku, aku senang kepadamu karena kekerabatan, kekuasaan terhadap kaummu, amanahmu, kepribadianmu yang baik, dan kejujuran perkataanmu.” Kemudian Khadijah menawarkan dirinya kepada Rasulullah.

Rasulullah menceritakan perihal ini kepada para pamannya. Tidak lama kemudian Hamzah bin Abdul Muthalib bersama Rasulullah datang pada Khuwailid bin Asad, bermaksud meminang putrinya itu untuk Rasulullah.

Kemudian Khuwailid berkata, “Dia itu kuda yang tidak dicocok hidungnya.” (Maksudnya, seorang yang mulia).

Rasulullah kemudian menikahi Khadijah dan memberinya dua puluh unta muda. Saat itu Khadijah berumur 40 tahun dan Rasulullah berumur 25 tahun. Dialah perempuan pertama yang dinikahi Nabi SAW dan beliau tidak menikah dengan siapa pun kecuali setelah Khadijah meninggal dunia. Dari Khadijah lahirlah Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Saat menerima risalah kenabian, Khadijah merupakan orang pertama yang percaya kepada Allah dan Rasul beserta ajaran-ajaran-Nya. Nabi Muhammad pun tidak menghiraukan berbagai ancaman dan propaganda yang datangnya dari kaum musyrikin. Karena disampingnya terdapat sang kekasih pilihan Allah yang dengan setia mendampingi dan memperkuat aktifitas dakwahnya, sehingga terasa ringan beban yang diemban dan ringan pula menghadapi cobaan apa pun yang dilakukan oleh kaumnya.

Setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira, Rasulullah kembali ke rumah dengan perasaan takut seraya berkata kepada Khadijah, ”Selimuti aku! Selimuti aku!” Maka Khadijah menyelimutinya hingga hilang perasaan takutnya itu. Beliau menceritakan semua yang telah terjadi. “Aku khawatir pada diriku,” kata Rasulullah.

Khadijah menjawab, “Tidak perlu khawatir, Allah tidak akan pernah menghinakanmu, sesungguhnya engkau orang yang menjaga tali silaturrahmi, senantiasa mengemban amanah, berusaha memperoleh sesuatu yang tiada, selalu menghormati tamu dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu.”

Khadijah mengajak suaminya menemui Waraqah bin Naufal, sepupunya yang memeluk agama Nasrani di zaman Jahiliyah dan menulis buku Injil dengan bahasa Ibrani. “Dengarkan sepupuku, kata-kata dari keponakanmu ini!” kata Khadijah.

“Wahai keponakanku, apa yang engkau lihat?” tanya Waraqah pada Muhammad SAW. Rasulullah menceritakan tentang apa yang telah dilihatnya.

Waraqah berkata, “Ini adalah Malaikat yang telah Allah turunkan kepada Nabi Musa. Andai aku dapat bertahan, aku berharap masih hidup ketika kaummu mengusirmu.”

Rasulullah bertanya, “Kenapa mereka mengusirku?”

“Tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu sebagaimana yang kau emban ini kecuali dimusuhi oleh kaumnya. Jika aku masih hidup sampai pada harimu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh,” jawabnya.

Waraqah tidak sempat terlibat dalam aktifitas dakwah Nabi, karena keburu meninggal dunia dan tidak sempat mendengarkan ajaran wahyu yang diturunkan pada Muhammad SAW.

Rasulullah dan Khadijah tetap berdiam di Makkah dan melakukan shalat secara rahasia dengan kehendak Allah. Khadijah memang sangat dicintai dan dihormati oleh Rasulullah. Beliau juga tidak pernah berselisih dengan apa yang dikatakan Khadijah pada beliau, terutama pada saat sebelum wahyu turun.

Bahkan walau Khadijah telah tiada, Rasulullah selalu menyebut-nyebutnya dalam setiap kesempatan, dan tidak bosan-bosan memujinya. Sehingga Aisyah, Ummul Mukminin, merasa cemburu. Sampai suatu saat, Aisyah berkata pada Rasulullah, “Allah telah mengganti wanita tua itu.”

Tentu saja Rasulullah tersinggung dengan ucapan Aisyah ini, hingga ia berkata pada dirinya, “Ya Allah, hilangkanlah perasaan marah Rasulullah terhadapku dan aku berjanji untuk tidak lagi menjelek-jelekkan Khajidah.”

Aisyah pernah berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-isrti Rasulullah kecuali pada Khadijah. Walaupun aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Rasulullah sering menyebutnya setiap saat. Ketika beliau memotong kambing, tak lupa beliau sisihkan dari sebagian daging tersebut untuk kerabat-kerabat Khadijah. Ketika aku katakan, seakan-akan tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah. Beliau berkata, sesungguhnya dia telah tiada dan dari rahimnya aku dapat keturunan.”

Aisyah berkata, “Dulu Rasulullah SAW setiap keluar rumah, hampir selalu menyebut Khadijah dan memujinya. Pernah suatu hari beliau menyebutnya sehingga aku merasa cemburu. Aku berkata, ‘Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik?’ Lalu, Rasulullah marah hingga bergetar rambut depannya karena amarah dan berkata, ‘Tidak, demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia percaya padaku di saat semua orang ingkar, dan membenarkanku di kala orang-orang mendustakanku, menghiburku dengan hartanya ketika manusia telah mengharamkan harta untukku. Dan Allah telah mengaruniaiku dari rahimnya beberapa anak di saat istri-istriku tidak membuahkan keturunan.’ Kemudian Aisyah berkata, ‘Aku bergumam pada diriku bahwa aku tidak akan menjelek-jelekannya lagi selamanya.”

Khadijah, seorang tangan kanan Rasulullah yang senantiasa membantu beliau dalam menjalankan dakwah dan menyebarkan ajaran-ajarannya, meninggal pada tahun ke-3 sebelum Hijrah di kota Makkah pada usia 65 tahun. Di saat ajal menjemputnya, Rasulullah menghampiri Khadijah sembari berkata, “Engkau pasti tidak menyukai apa yang aku lihat saat ini, sedangkan Allah telah menjadikan dalam sesuatu yang tidak engkau kehendaki itu sebagai kebaikan.”

Saat pemakamannya, Rasulullah turun ke liang lahat dan dengan tangannya sendiri memasukkan jenazah Khadijah. Wafatnya Khadijah merupakan musibah besar, di mana setelahnya diikuti berbagai musibah dan peristiwa yang datangnya secara beruntun. Rasulullah SAW memikul beban dengan penuh ketabahan dan kesabaran demi mencapai ridha Allah SWT.

Jumat, Juni 10, 2011

TIGA PANGGILAN WAJIB

Sedikitnya ada tiga panggilan Allah yang wajib dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya. Pertama, panggilan shalat, yaitu ketika azan berkumandang lima waktu sehari semalam. Seruan lima kali sepanjang 24 jam ini terus menggema susul-menyusul bergantian dari satu masjid ke masjid lainnya. Selesai dari negeri yang satu, berpindah ke belahan bumi yang lain, berputar terus selama bumi masih berotasi mengelilingi porosnya. "Allahu akbar … Allahu akbar …!"

Sahabat Ibnu Abbas adalah orang yang sering kali menangis manakala mendengar panggilan azan bergema. Serbannya sering basah oleh tetesan airmatanya yang terus mengalir mengiringi alunan suara sang muazin. Ketika ada yang menanyakan mengapa sampai begitu? Ibnu Abbas menjawab, "Seandainya semua orang tahu makna seruan muazin itu, pasti tidak akan dapat beristirahat dan tak akan dapat tidur nyenyak." Kalimat Allahu akbar saja mengandung makna panggilan kepada orang beriman yang sedang sibuk mengurusi harta duniawi agar berhenti sejenak, menyambut seruan itu. Mengistirahatkan badan dan segera beramal demi meraih kepentingan dan keuntungan hakiki.

Kedua, panggilan haji. Allah menyeru di dalam firman-Nya: "Dan, berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh ..." (QS al-Hajj [22] : 27).

Oleh karena itulah, mereka yang menunaikan ibadah haji menjawab seruan itu dengan kalimat talbiah, "Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi penggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu."

Ketiga, panggilan kematian. Sifat manusia sering kali menunda-nunda panggilan azan. Begitu juga ketika panggilan haji telah tiba, ia pun belum tergerak memenuhinya, walau sudah mampu. Akan tetapi, terhadap panggilan yang satu ini, tidak ada satu pun yang sanggup menghalanginya, apalagi menundanya. Malaikat Izrail, sang pencabut nyawa, atas perintah Tuhannya akan melaksanakan perintah Allah. Ia tidak akan mempercepat walau sesaat jika belum tiba saatnya. Juga tidak akan mengulur waktu walau sedetik apabila sudah datang waktunya.

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Munafiqun [63]: 11).

Dalam ayat lainnya, Allah SWT juga sering mengingatkan umat manusia untuk senantiasa memperhatikan seruan-Nya, mengerjakan segala perintah-Nya, dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Dengan penuh kesadaran diri dan keinsafan iman, marilah kita penuhi panggilan Allah berupa azan shalat saat memanggil, dan panggilan haji ke tanah suci bila kita telah mampu menunaikannya.

Demikian juga panggilan-panggilan yang lain, seperti panggilan dakwah, panggilan jihad, dan panggilan kebaikan lainnya. Sebelum datang panggilan Allah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi kehadirannya, yakni panggilan kematian. Sementara mereka yang masih hidup pun hanya sanggup berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali.

Jumat, Juni 03, 2011

MENGGAPAI DERAJAT MUKMIN

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak ciptaan-Nya  dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah  jadi, sehingga  masih  harus  berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan  ini  amat  dimungkinkan  karena  pada  naturnya manusia  itu  fitri,  hanif  dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial  ini  masih  ditambah  lagi dengan  datangnya  Rasul  Tuhan  pembawa  kitab  suci  sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174).

Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat  yang  berbunyi: Man 'arafa nafsahu  faqad 'arafa rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan  diri  adalah  tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki  ke  jenjang  yang  lebih  tinggi  dalam  rangka mengenal Tuhan.

Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin  seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.

Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah  menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada  akhirnya akan  menuntut  imbalan  pahala  atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.

Demikianlah,  bila  ilmu  fiqih  cenderung  mengenalkan  Tuhan sebagai  Maha  Hakim,  maka  ilmu  kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan  sebagai  Maha  Akal,  sementara  ilmu  tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.

Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia,  di  mana  manusia  itu lahir,  tumbuh  dan  berkembang  dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi,   bila  langkah  pertama  untuk  mengenal  Tuhan  adalah mengenal diri  sendiri  terlebih  dahulu  secara  benar,  maka langkah   pertama  yang  harus  kita  tempuh  ialah  bagaimana mengenal diri kita secara benar.

Bagi  mereka  yang  berpandangan  atau  terbiasa dengan metode berpikir  empirisme-materialistik  akan  sulit  diajak   untuk menghayati  makna  penyempurnaan  kualitas  insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan  para  sufi.  Kritik  terhadap aliran  materialisme  akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai  pada  berbagai  bidang  studi  keilmuan  Barat kontemporer  dengan  dalih,  antara  lain,  faham  ini  telah mereduksi keagungan  manusia  yang  dinyatakan  Tuhan  sebagai
moral and religious being.

Pandangan  yang  begitu  dangkal  tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut  doktrin  Al-Qur'an,  manusia adalah   wakil   Tuhan   di   muka   bumi  untuk  melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3).  Lebih  dari  itu  dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa  manusia  sengaja  diciptakan  Tuhan karena   dengan   penciptaan   itu   Tuhan  akan  melihat  dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
 
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni
—Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.

Terlepas  apakah  riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits  tersebut,  namun  dengan  beberapa penafsiran  yang  berbeda.  Meski  demikian,  mereka cenderung sepakat  bahwa  manusia  adalah  microcosmos   yang   memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan  (Bandingkan  QS.  41:53).  Dalam  QS.  15:29, misalnya,  Allah  menyatakan  bahwa  dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi  yang  dalam  Al-Qur'an  beristilah  "min ruhi."  Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut  dari  bawah  unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.

Dari jenjang pertama sampai ketiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam  lingkup  dunia  materi  dan  dunia materi  selalu  menghadirkan  polaritas  atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks  inilah yang  dimaksud  bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah  berkeping-keping.  Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia,  dan  makin  jauh  pula  manusia  untuk  mampu mengenal dirinya secara utuh.

Dalam   kaitan   definisi,  tradisi  tasawuf  belum  mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf  adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai  seseorang  bukanlah  terletak   pada   wujud   fisiknya melainkan  pada  kesucian  dan  kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin  dengan  Tuhan  yang  Maha  Suci. 

Ajaran spiritualitas  seperti  ini  tidak  hanya  terdapat pada Islam melainkan pada agama  lain,  bahkan  dalam  tradisi  pemikiran filsafat  akan  mudah  pula  dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak  terlalu  salah  bila   ada   yang   berpendapat   bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah  kehidupan  mistik  bersifat  natural  dan  universal.

Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan)  karena dalam  kontak  dan  kedekatan  antara  nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling  prima. 

Kalangan sufi  yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan  merupakan  natur manusia   yang   paling   dalam,  yang  pertumbuhannya  sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan  hewani yang  melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir"  bagi  kendaraan "jasad"  kita  ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya  sebagai  master. 

Bila  hal   ini   terjadi   maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada  prestasi  akumulasi dan  konsumsi  materi.  Artinya,  jiwa  yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya  yang  mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci  dan Abstrak,  lalu  turunlah  tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.

Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf  adalah  membantu  seseorang bagaimana  caranya  seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia  merasa  damai  dan juga  kembali  ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS. 89:27).

Secara garis besar tahapan seorang mukmin  untuk  meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran  hati  dan  pikiran  kita  kepada  Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir   untuk   Tuhannya  (QS.  3:191).  Dari  dzikir  ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu,  secara  sadar meniru  sifat-sifat  Tuhan  sehingga  seorang  mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa  juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."

Maqam   ketiga   tahaqquq.   Yaitu,   suatu   kemampuan  untuk mengaktualisasikan kesadaran  dan  kapasitas  dirinya  sebagai seorang  mukmin  yang  dirinya  sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia.  Maqam  tahaqquq  ini  sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi  yang  menyatakan  bahwa  bagi  seorang mukmin  yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya  dengan  Tuhan  maka  Tuhan  akan  melihat  kedekatan hamba-Nya.

Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau  hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan  dan  anggotanya bagai  istana  dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.

Dalam sebuah hadits Qudsi  disebutkan  bahwa  meskipun  secara fisik  hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun  luasnya  hati  Insan  Kamil  (qalb  al-'arif)  melebihi luasnya  langit  dan  bumi  karena  ia  sanggup menerima Arsy Tuhan,  sementara  bumi  langit  tidak  sanggup.  Menurut  Ibnu Arabi,  kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan.  Taqallub-nya  hati sang  sufi,  kata  'Arabi,  adalah  seiring dengan tajalli-nya Tuhan. 

Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam  pengertian  metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang  paling mampu  menangkap  lalu  memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam  konteks  inilah,  menurut  Ibnu Arabi, yang dimaksudkan dengan  ungkapan  siapa  yang  mengetahui  jiwanya,  ia   akan mengetahui  Tuhannya  karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana Arsy Tuhan berada di  situ,  tetapi  Tuhan bukan  pengertian  huwiyah-Nya  atau  "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan  dalam  sifat-Nya  yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.
 
Bila  upaya  penyucian  jiwa  merupakan  inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati  dan  menggapai  kasih  Tuhan, maka  tasawuf  bisa  dikatakan  sebagai  inti  keberagaman dan karenanya setiap  muslim  semestinya  berusaha  untuk  menjadi sufi.

Melalui   tahapan  ta'alluq,  takhalluq,  dan  tahaqquq,  maka seorang mukmin akan mencapai  derajat  khalifah  Allah  dengan kapasitasnya  yang  perkasa  tetapi  sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang  saleh  adalah sekaligus  juga  wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print  dan  proyek untuk  memakmurkan  bumi,  dan  bukankah  hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai  mandataris-Nya?  Jadi,  secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di  hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.