Senin, Januari 26, 2015

PERSAHABATAN ERAT BERSAMA DI JALAN ALLAH

Pada saat ini, persahabatan pada umumnya hanya bermakna semu. Persahabatan menjadi tidak abadi jika hal itu bertujuan untuk mendapatkan harta atau jabatan.

Pada saat pilkada ataupun pemilu, para calon pejabat rela repot-repot mendatangi rakyat demi mendapatkan suara. Sementara pejabat yang sudah pensiun, tidak mudah baginya untuk mendapatkan sahabat.

Lantas, adakah persahabatan yang abadi? Jawabnya, ada. Salah satu contohnya adalah persahabatan antara Rasulullah SAW, Abu Bakar, serta Umar bin Khattab. Di mana saja Rasulullah berada dan pada kondisi apa pun, termasuk dalam kondisi yang memilukan, senang, ataupun kondisi berperang, dapat dipastikan ada Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai sahabat beliau yang paling dekat untuk menemani.

Ketika Rasulullah SAW dinobatkan Allah SWT menjadi Rasul, tidak semua orang bisa menerima hal itu dengan baik. Bahkan, banyak yang sangat menentang kebenaran yang datangnya dari Allah ini. Namun, tidak demikian halnya dengan Umar, yang langsung meyakininya.

Abu Bakar bahkan mengakui Rasulullah SAW di tengah-tengah orang lain yang tidak pernah mengakuinya. Ini menunjukkan bagaimana keyakinan Abu Bakar terhadap Rasulullah sebagai seseorang yang diutus Allah untuk manusia di bumi serta mengatur segala urusan umat manusia.

Hal itulah yang sering diungkapkan Rasulullah ketika ditanya oleh orang-orang perihal siapa yang paling disayangi pada kalangan umat manusia, baik dari golongan perempuan maupun laki-laki. Ketika mendapat pertanyaan itu, Rasulullah senantiasa menjawab: Aisyah, Abu Bakar, atau Umar.

Ternyata, rasa sayang dalam persahabatan itu bisa terjalin dengan baik ketika ada hubungan dekat yang dibangun atas dasar kekeluargaan, bukan sebatas teman tertawa, melainkan juga teman bersedih dan berjuang bersama di jalan Allah.

Padahal, siapa saja yang dekat dengan Rasulullah pada masa itu bisa mendapatkan konsekuensi yang tidak ringan. Sebab, masyarakat pada masa itu belum sepenuhnya menerima ajaran Islam. Suatu kali, misalnya, terjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan ketika Rasulullah dan Abu Bakar dikejar orang-orang kafir Quraisy sehingga mereka terpaksa bersembunyi di dalam gua Hira.

Saat itu, Abu Bakar sempat mengungkapkan ketakutannya kepada Rasulullah. Ia takut orang-orang kafir Quraisy akan mengetahui tempat persembunyian mereka. Apalagi, para kafir Quraisy sempat melintas di depan mulut gua. Melihat kegundahan itu, Rasulullah berusaha menenangkan hati Abu Bakar dan meyakinkan bahwa Allah akan menyelamatkan mereka berdua dari kejaran kaum kafir Quraisy.

Tercatat dalam sejarah, Abu Bakar adalah sosok yang sangat pemurah. Ia juga sangat suka bersedekah kepada orang miskin. Bahkan, ia sering sekali mencari-cari orang miskin untuk diberi sedekah. Ia pun sangat suka mencari orang yang baru saja meninggal dunia untuk diantarkan jenazahnya. Abu Bakar pun sangat taat dalam beribadah dan rajin berpuasa.

Perilaku dan ibadah tersebut membuat kedudukan Abu Bakar di mata Rasulullah SAW sangat baik sehingga beliau selalu menyebut Abu Bakar sebagai salah satu orang yang sangat disayangi.(ROL).

Senin, Januari 19, 2015

PERBEDAAN ANTARA BIJAK DENGAN PINTAR

Sobat! Orang bersemangat muda banyak ditemukan di masyarakat, namun orang bijak adalah sesuatu yang langka adanya. Kehadiran dan sikapnya sering kali ditentang bahkan dibenci oleh banyak orang.
Di sisi lain, orang orang pandir atau dangkal pikiran dan ilmunya biasanya berada pada barisan terdepan dari barisan penentang orang orang bijak.

Mereka menduga bahwa orang orang bijak bersikap aneh, bahkan gila seakan kehilangan akal pikirannya. Walau demikian halnya, orang orang bijak kembali membuktikan kebijakan dan kearifannya kepada semua orang.

Walau dimusuhi dan ditentang, Orang orang bijak tetap saja sabar dan menghadapi segala kondisi dengan ilmu dan kearifannya bukan dengan emosi dan perasaannya. Karena itu, belajarlah untuk bersabar bila menghadapi orang orang berilmu dan pendapat pendapatnya.

Bisa jadi saat ini, daya nalar anda belum mampu mengikuti pemikiran mereka, namun percayalah bahwa suatu saat nanti anda akan termanggut manggut karena kagum mengakui betapa dalamnya ilmu dan nalar mereka.

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan harta kepada sekelompok orang, sedangkan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas duduk menyaksikan pembagian tersebut. Betapa terkejutnya sahabat Sa’ad, karena menyaksikan ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memberi seseorang yang menurutnya lebih mulia dibanding orang orang yang mendapat pembagian.
Segera sahabat Sa’ad bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi si fulan, padahal sungguh demi Allah, aku meyakininya sebagai seorang (mukmin) yang benar benar beriman?”.
Rasulullah shallallah alaihi wa sallam menimpali ucapan sahabat Sa’ad dengan bersabda: “mungkin yang lebih tepat dia adalah seorang muslim“.

Sahabat Sa’ad untuk sesaat terdiam, namun karena tidak kuasa menahan rasa herannya, maka tidak selang berapa lama sahabat Saad kembali mengulang pertanyaannya dan berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melewatkan si fulan, padahal sungguh demi Allah, aku meyakininya sebagai seorang (mukmin) yang benar benar beriman?”.
Namun, lagi lagi Rasulullah shallallah alaihi wa sallam bersabda: “mungkin yang lebih tepat dia adalah seorang muslim“.

Kembali, Sahabat Sa’ad terdiam sejenak, namun karena tidak kuasa menahan rasa herannya, maka kembali lagi sahabat Saad mengulang pertanyaannya, dan lagi-lagi Rasulullah shallallah alaihi wa sallam mengulang jawabannya lalu bersabda:
«يَا سَعْدُ إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ، وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ» البخاري
Wahai Saad, sesungguhnya aku memberi harta kepada seseorang padahal orang lain yang tidak aku beri lebih aku cintai dibanding dia (yang aku beri), karena aku khawatir orang yang aku beri tersebut tersungkur dalam api neraka (karena lemah imannya, ia menggadaikan imannya demi mencari harta)” (HR. Bukhari).

Ya Allah, karuniakanlah kebijakan dan kearifan kepada para juru dakwah dan ulama’ kami agar dakwah islam ini maju dengan pesat dan persatuan ummat dapat terrajut erat. Amiin.

Penulis: Ust. Dr. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Selasa, Januari 13, 2015

INGATLAH KALIAN SEMUA KEPADA SANG MAHA PENCIPTA

Allah memerintahkan setiap orang beriman untuk mengingat-Nya. Dalam istilah aslinya disebut dzikrullah. Allah berfirman, “Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku serta janganlah (sekali-kali) kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS al-Baqarah [2]: 152). Dia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS al-Ahzab [33]: 41).

Alla juga berfirman, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan (cara) tidak mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf [7]: 205). Dia berfirman, “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS al-Ahzab) [33]: 35).

Empat ayat tersebut sebenarnya sudah mencakup perintah berzikir sebanyak-banyaknya, adab/ etika berdzikir sebaik-baiknya, dan fadilah berdzikir setinggi-tingginya. Tetapi, rupanya masih dipandang belum cukup jelas oleh sebagian orang. Buktinya masih saja ada yang bertanya, “Mengapa setiap orang beriman diperintahkan untuk (senantiasa) mengingat Allah?”

Ibnu al-Qayyim dalam salah satu buku karyanya menulis, fadilah dzikir itu ada 80 macam. Semuanya penting kita ketahui. Namun, agar tidak bertele-tele, kita ambil saja lima fadilah di ataranya. Apa saja?

Pertama, dzikir dapat menghilangkan kesusahan, kesedihan, dan kegundahan dari hati. Dzikir dapat menghadirkan kesenangan, kegembiraan, kekuatan, dan kehidupan ke dalam hati. Ibnu al-Qayyim berkata, “Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Anda dapat bayangkan, bagaimana kondisi ikan itu bila tanpa air”.

Kedua, dzikir dapat mendekatkan diri kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Dzikir dapat mendorong hati orang beriman untuk selalu kembali kepada-Nya dalam segala situasi dan kondisi.

Ketiga, dzikir dapat menjadi penyebab bagi Allah untuk selalu mengingat setiap hamba-Nya yang berdzikir kepada-Nya (QS al-Baqarah [2] : 152). Rasulullah SAW meriwayatkan firman Allah berikut, “Barang siapa mengingat-Ku dalam dirinya, (niscaya) Aku akan mengingat dia dalam diri-Ku. Dan, barang siapa mengingat-Ku dalam suatu kumpulan, (niscaya) Aku akan mengingat dia dalam suatu kumpulan yang lebih baik dari kumpulannya”.

Keempat, dzikir itu ibarat makanan bergizi bagi hati dan ruh. Anda dapat bayangkan, badan dapat saja “merana” bila tanpa makanan bergizi. Demikian pula hati dan ruh. Ibnu al-Qayyim berkata, “Suatu ketika saya mendatangi Syekh Islam Ibnu Taimiyah saat beliau sedang shalat Subuh. Setelah selesai shalat, beliau lanjutkan dengan dzikir hingga menjelang tengah hari. Lalu, beliau menoleh ke arahku, ‘Inilah makan siangku. Kalau aku tidak makan siang, (tentu) energiku akan habis”. Kelima, zikir itu dapat menghadirkan ampunan dari kesalahan dan dosa

Jumat, Januari 09, 2015

PEWARIS SURGA FIRDAUS

Selayaknya orang yang meninggal dunia dan bergelimang harta, semasa hidupnya pasti meninggalkan harta warisan. Sudah tentu anak-anaknya yang diwarisi harta benda berlimpah akan senang karena akan mendapat jatah harta warisan demi kesenangan dunia.

Tak jarang dari sinilah timbul konflik antara keluarga ahli waris. Bahkan, sampai berujung perpecahan dan saling bunuh. Tentunya kita sebagai Muslim tidak menginginkan hal itu sampai terjadi pada keluarga kita.

Sebenarnya, Allah SWT telah menyiapkan warisan yang sangat berharga bagi setiap hamba-Nya. Bahkan, lebih berharga dari harta warisan orang tua kita.
Dalam Alquran surah al-Mukminun [23] ayat 1-11 Allah SWT menyebutkan tujuh golongan pewaris Firdaus. Siapa sajakah mereka? Apakah kita termasuk ke golongan itu?

Pertama, orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. Yaitu, orang-orang yang pada waktu salat memusatkan perhatian hanya kepada Allah serta ikhlas dalam menjalankannya.
Memang, untuk mencapai khusyuk dalam shalat sangat berat. Tapi dengan ketulusan hati dan tetap fokus pada setiap apa yang kita baca serta menghayati artinya, kekhusyukan akan tercapai.

Dalam tafsir Ibu Abbas, orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, yakni orang-orang yang merendahkan diri, tawadu', tidak melirik ke kanan dan kiri, dan tidak pula meninggikan tangan mereka (mengangkat kedua sikut) dalam shalat.

Kedua, orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan tidak berguna, yakni orang-orang yang meninggalkan kebatilan dan sumpah yang tak perlu.
Ketiga, orang-orang yang menunaikan zakat. Zakat memberi banyak manfaat bagi pelakunya, di antaranya membersihkan diri dari sifat kikir dan cinta berlebihan pada dunia. Serta menyucikan hati sehingga menumbuhkan sifat-sifat kebaikan dalam diri.

Keempat, orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan keji dan zina. Saat ini, menjaga kemaluan dari hal-hal yang haram terasa berat. Karena untuk mendekati perbuatan zina, sudah semakin mudah diakses. Untuk itu kita berusaha menahan hati dan pandangan agar tidak tergoda mendekati perbuatan terkutuk di mata Allah SWT.
Berusahalah setia terhadap istri yang kita miliki, sesungguhnya itu tiada tercela. Barang siapa mencari di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, yakni orang-orang yang melanggar halal dan mengerjakan yang haram.

Kelima, orang-orang yang menahan pandangannya. Artinya, menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT. Pandangan mata itu panah beracun yang membuat kita terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan.

Keenam, orang-orang yang memelihara amanah dan menepati janji, yakni terhadap perkara-perkara yang diamanahkan kepada mereka, seperti shaum, wudhu, mandi janabat, titipan, dan sebagainya.
Wa’ahdihim (dan janjinya) baik terhadap Allah SWT maupun terhadap sesama manusia. Raa’uun (memelihara), yakni menjaganya dengan cara menunaikannya.

Ketujuh, orang-orang yang memelihara salatnya, yaitu senantiasa menunaikan shalat tepat pada waktunya dan berjamaah di masjid bagi kaum Muslimin. Hal ini terasa berat bagi orang-orang yang tidak terbiasa. Banyak saja alasan yang menyebabkan mereka enggan menunaikan salat di masjid berjamaah.

Itulah ketujuh golongan, yakni si pemilik sifat-sifat tersebut. Humul waaritsuun (orang-orang yang akan mewarisi) merupakan orang-orang yang akan menghuni surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Sukses, selamat, dan berbahagialah orang-orang yang bertauhid dengan mengesakan Allah Ta’ala. Mereka termasuk orang-orang yang akan mewarisi surga, sedangkan orang-orang kafir tidak.
Inilah buah yang mereka petik, panen raya amal perbuatan semasa di dunia. Ibadah, kesabaran, dan limpahan rahmat Allah membawa mereka berhak menerima warisan dari Allah. Semoga kita salah satu di antaranya. Aamiin. Wallahu’alam bish shawab

Selasa, Januari 06, 2015

JANGAN LALAI DALAM BERIBADAH

Lalai merupakan kondisi dimana seseorang menunda-nunda kewajibannya, baik yang menyangkut dalam hal dunia maupun akhirat tanpa udzur yang jelas (syar’i). Lalai tersebut bisa dalam bentuk menjalankan aktifitas sehari-hari maupun dalam beribadah kepada Tuhannya. Lalai dengan sengaja sangat merugikan bagi kehidupan seseorang. Karena tidak hanya merugikan diri sendiri, namun juga orang lain.

Di saat kelalaian dan kesesatan melanda umat manusia, Allah subhaanahu wa ta’ala selalu mengutus seseorang untuk memberi petunjuk kepada mereka supaya kembali ke jalan yang benar mematuhi segalan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).” (QS. Al-Baqarah: 268).

Nabi Muhammad shallallahu’alayhi wa salam merupakan salah satu utusan-Nya. Yang di dalam hatinya selalu aktif untuk ikut andil dalam berdakwah dan melakukan perubahan kepada umatnya menuju kebaikan. Tidak henti-hentinya beliau berdakwah, walau hambatan dan rintangan selalu menghiasi hidupnya.
“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’araa:3).

Bila diperhatikan, banyak diantara kita yang lebih mementingkan kehidupan duniawinya saja. Bekerja dari pagi hingga malam, bahkan tak jarang mungkin pula ada yang sampai pagi lagi. Sedangkan ibadah dilakukan seadanya saja. Ini merupakan salah satu tindak kelalaian yang melanda umat manusia. Begitu pula bila kehidupan hanya dihiasi dengan beribadah saja, tanpa memerhatikan keadaan sekitar, ini pun juga tidak benar.

Kita harus cerdas dalam membagi waktu. Agar semua ruang lingkup kehidupan dapat diakses dengan baik dan mudah. Kita bisa berpartisipasi menjalani aktifitas maupun berhubungan langsung dengan Allah subhaanahu wa ta’ala. Lalai bisa terjadi bila diri malas dalam mengerjakan sesuatu sehingga setiap pekerjaan yang ada justru selalu menumpuk dan tidak kunjung selesai. Setiap manusia adalah pemimpin, maka dari itu, manusia yang baik adalah bermanfaat kepada sesama dan tidak melalaikan tugas. Bagaimana bisa menjadi seorang pemimpin berkualitas, bila di dalam dirinya masih tersimpan rasa malas dan lalai.

“Bersemangatlah dalam hal-hal yang akan memberikan kemanfaatan kepadamu! Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menyerah. Jika kamu terkena satu musibah janganlah kamu berkata, ‘Jika tadi saya melakukan yang lain, maka akan terjadi hal yang lain pula.’ Akan tetapi, katakanlah,’Semua ini adalah kekuasaan Allah. Apa yang dia kehendaki, Dia kerjakan.’ Sesungguhnya kata ”jika/seandainya”, bisa menjadi pintu masuk setan (untuk menggoda kalian).”

Di antara bentuk ibadah atau ketaatan yang acap kali terlupakan dan tidak mendapat banyak perhatian adalah berpikir dan merenung. Allah subhaanahu wa ta’ala dalam menciptakan segala sesuatu tentu tidaklah sia-sia. Untuk itu, sebaiknya manusia mampu berpikir, siapa yang menciptakan, bagaimana ia diciptakan, untuk apa ia diciptakan, dan lain sebagainya. Berpikir tentang siapa yang menciptakan dan diri sendiri adalah hal yang utama.

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu (susunan tubuh)-mu seimbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS: Al-Infithaar:6-8).”

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk lain). Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS: Al-Mu’minuun:12-14).

Jika manusia dapat berpikir kepada hal-hal positif, misalkan tentang alam semesta yang sangat luas, berpikir tentang kematian dan alam akhirat, tentang Al-Qur’an, nilai dunia dan akhirat, nikmat yang telah diberikan Allah subhaanahu wa ta’ala, fenomena alam, kebesaran Allah Yang Maha Esa, hal positif lainnya, maka kelalaian, kesesatan maupun bentuk keburukan lain, bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Perkara ini memang bukanlah hal yang mudah untuk dikendalikan. Terlebih, bila sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang terus saja mengganggu. Tidak dapat dipungkiri, manusia yang memiliki sifat lalai, kurang memiliki kedisiplinan dalam hidup, kurang memahami hakikat tauhid dalam agama dan tidak terjalinnya keharmonisan dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala.

Allah subhaanahu wa ta’ala merahasiakan masa depan setiap manusia, itu menandakan agar kita bisa berprasangka baik, merencanakan yang terbaik, berusaha yang terbaik, dan selalu bersyukur serta bersabar atas apa yang dilakukan dan diraihnya ke depan. Kelalaian dengan tidak melakukan hal yang bermanfaat, bisa mengikis semua impian tersebut. Kerja keras memang dibutuhkan agar bisa mewujudkan hakikat kehidupan yang lebih baik dan.

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian mempunyai ilmu maka gunakanlah secara maksimal ilmu kalian itu. Dan sesungguhnya kalian mempunyai masa akhir, maka berjalanlah menuju akhir masa kalian. Sesungguhnya seorang mukmin berada dalam dua kekhawatiran: Apakah yang diputuskan oleh Allah atas (amal perbuatan yang dilakukan pada) masa yang telah lewat? Dan apakah yang akan ditetapkan oleh Allah kepadanya pada masa yang masih tersisa. Oleh karena itu, hendaknya seseorang mempersiapkan dirinya dengan berbagai bekal di dunia ini untuk kebaikannya di akhirat nanti. Hendaklah ia menyiapkan diri pada waktu mudanya sebelum datang masa tua dan di saat sedang sehat sebelum datang waktu sakit. Sesungguhnya kalian diciptakan adalah untuk kehidupan akhirat. Adapun dunia diciptakan untuk (keperluan) kalian. Demi Zat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, setelah kematian tidak ada (manfaatnya) orang yang mencela dan seteah kehidupan dunia tidak ada tempat bersinggah, melainkan surga dan neraka. Saya memohon ampun kepada Allah swt. semoga dosa-dosa kita diampuni-Nya.” (HR. al-Baihaqi dalam “Syu’abul-limaan,”Abu Nu’aim dalam “al-Hilyah dari al-Hasan al-Basri, dan ad-Dailamy dalam al-Firdaus).

Sangat disayangkan, bila ilmu yang kita miliki tidak digunakan dengan baik. Melainkan, diramu dengan kelalaian dan kemaksiatan dengan menghalalkan segala cara Dalam memanajamen waktu, memang tidak mudah, maka dari itu, keutamaan dalam menjalankan hal-hal positif, melalui dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah subhaanahu wa ta’ala. Komitmen dalam memperbaiki diri merupakan cerminan akhlak yang baik bagi setiap orang. Untuk bisa menghindari sifat lalai seperti ini, tentulah kita harus teladani Nabi Muhammad shallallahu’alayhi wa salam beserta para sahabatnya. Bagaimana dalam aktifitas dan kehidupan sehari-harinya selalu digunakan untuk beribadah kepada Allah serta menjadi pribadi yang bermanfaat kepada sesama manusia, walau ujian dan cobaan terus menerpa