Jumat, Oktober 31, 2014

HIJRAH SEBAGAI MOMENTUM REVOLUSI MENTAL SEJATI

Hijrah tak hanya bermakna berpindah secara fisik (jasadiyah), tetapi lebih penting dari itu, yakni berpindah secara mental (hijrah qalbiyah).
Baik dalam arti fisik maupun mental, hijrah pada intinya mengandung makna perubahan, yaitu berpindah dan bergerak menuju kemuliaan dan keadaban.

Perubahan sebagai inti hijrah sungguh penting, paling tidak karena tiga alasan. Pertama, perubahan merupakan watak dari alam ini atau dengan perkataan lain, perubahan adalah sunnatullah.
  
Kedua, perubahan merupakan tanda dari kehidupan (min ‘alamat al-hayah). Kalau sesuatu tidak bergerak dan tidak bergeser dari posisinya yang semula, ia sama dengan mati atau adanya, sama dengan tidak adanya (wujuduhu ka’adamih).
  
Ketiga, perubahan selalu membawa harapan pada keadaan yang lebih baik. Pergantian hari, bulan, dan tahun baru menimbulkan harapan baru.
Begitu juga dengan pergantian pimpinan baru. Seluruh rakyat dan bangsa pasti berharap semoga kehidupan membaik, lebih makmur, dan sejahtera.
  
Dakwah Nabi SAW dan hijrah yang dilakukannya, sesungguhnya merupakan bagian dari proses perubahan ini, perubahan mental: dari kufur kepada iman, dari jahliah kepada Islam.

Sebagaimana firman Allah, “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (QS Ibrahim [14]: 1).

Rauf Syalabi, dalam Usus al-Takwin al-Mujatama’ al-Muslim, mencatat beberapa perubahan mental dan kultural yang secara fundamental berhasil dilakukan Nabi SAW sebagai berikut.
  
Pertama, Nabi SAW mengubah bangsa Arab dari budaya pedang (kekerasan) kepada budaya perdamaian (min al-sayf ila al-musalamah). Pedang merupakan simbol dari kekerasan yang menjadi watak kehidupan bangsa Arab pra Islam.

Orang Madinah dari suku al-Aus dan al-Khazraj terus bertikai dan berperang satu dengan yang lain tanpa kesudahan, sampai datang Islam (Nabi Muhammad SAW) mendamaikan mereka. (Baca QS Ali Imran [3]: 103).

Kedua, Nabi SAW mengubah cara penyelesaian masalah dengan kekuatan pada penyelesaian dengan hukum atau undang-undang (min al-quwwah ila al-qanun).

Seperti diketahui, pada masa jahiliah, semua persoalan diselesaikan dengan otot alias adu kuat (hukum rimba). Pasa masa Islam, setiap persoalan dibawa ke ranah hukum, diputuskan sesuai syariat dan hukum-hukum Allah.

Ketiga, Nabi SAW mengubah budaya paganisme, syirik (politeisme) kepada paham Ketuhanan Yang Maha Esa (min al-watsaniyah ila al-tauhid).
Bangsa Arab pra-Islam merupakan penyembah berhala. Di sekitar Ka’bah saja pada waktu itu terdapat tak kurang dari 200-an patung, besar dan kecil.

Belum lagi di setiap rumah juga ada berhala yang mereka sembah. Nabi SAW berhasil mengubah mereka menjadi muwahhid sejati, yaitu orang-orang yang menyembah hanya kepada Allah SWT semata.

Nabi SAW juga berhasil membangun keadilan dan kesetaraan gender, juga mengajarkan kepada mereka adanya tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial, bukan tanggung jawab kesukuan.

Apa yang dilakukan Nabi SAW di atas dapat disebut sebagai revolusi mental dan kultural dalam arti yang sebenarnya. Revolusi yang dilakukan Nabi bersifat transformasional bukan transaksional dan universal bukan partikular. Wallahu a’lam.

Jumat, Oktober 24, 2014

Rabu, Oktober 22, 2014

MENYATU DENGAN ALAM

Dalam hidupnya, manusia membutuhkan matahari, bulan, bintang, dan alam semesta lainnya. Lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang hidup di bumi yang menjadi  bagian dari jagat raya atau alam semesta. Hidup manusia pun tidak dapat dipisahkan dengan alam semesta.

Sebagai makhluk yang tidak bisa dipisahkan dengan alam semesta hendaknya kita mampu menyatukan diri dengannya. Caranya, yakni melakukan berbagai interaksi dengan alam semesta dalam berbagai kesempatan.

Allah SWT dan Rasul-Nya memerintahkan kepada kita untuk menyatukan diri dengan alam. Hal ini terlihat dari diperintahkannya diri kita untuk mentadaburi alam semesta ini. Allah SWT berfirman, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191).

Dalam ayat lain, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Mahapemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS al-Mulk [67] : 3-4).

Perintah lain, kita diminta untuk merespons kejadian atau keunikan alam yang kita lihat atau kita hadapi. Misalnya, ketika kita menyaksikan gerhana bulan, baik gerhana bulan maupun matahari, kita diperintahkan untuk berzikir dan melaksanakan shalat gerhana.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dan keduanya tidak gerhana karena kematian seseorang, atau kehidupannya (kelahirannya). Jika kalian melihat gerhana maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, bersedekahlah, dan shalatlah.” (HR Bukhari).

Ketika kita mampu menyatukan diri kita dengan alam semesta maka kita akan menyakini akan kebesaran dan keagungan Allah SWT yang membuat keimanan kita semakin kuat dan menumbuhkan rasa syukur kepada-Nya. Selain itu, ketika kita menyatukan diri dengan alam semesta, sesungguhnya kita telah menyatukan zikir atau ketundukan kita dengan zikir atau ketundukkan alam semesta kepada Allah SWT. Sebab, alam semesta pun berzikir dan tunduk kepada-Nya.

Allah SWT berfirman, “Apakah kamu tiada mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar daripada manusia? Dan, banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS al-Hajj [22] : 18)

Dengan demikian, wujud dari penyatuan diri kita dengan alam semesta dapat direalisasikan dengan menadaburi alam semesta dan merespons setiap keunikan dan fenomen alam dengan doa, zikir, dan ibadah-ibadah lainnya. Wallahu’alam.

Rabu, Oktober 15, 2014

MAKNA BANGKRUT MENURUT ISLAM

Suatu riwayat menyebutkan, Rasulullah pernah berdiskusi dengan para sahabatnya tentang definisi orang yang merugi. "Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?" tanya Rasul SAW. Para sahabat berpendapat, orang bangkrut adalah mereka yang tidak mempunyai dirham maupun dinar. Ada juga yang berpendapat mereka yang rugi dalam perdagangan. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah mereka yang datang pada Hari Kiamat dengan banyak pahala shalat, puasa, zakat, dan haji.

Tapi di sisi lain, ia juga mencaci orang, menyakiti orang, memakan harta orang (secara bathil), menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan cara membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang pernah dizaliminya. Ketika telah habis pahalanya, sementara masih ada yang menuntutnya maka dosa orang yang menuntutnya diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam neraka." (HR Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).
Hadis ini mengubah cara pandang para sahabat tentang kerugian yang sebenarnya bukanlah persoalan harta, melainkan amal ibadah. Amal ibadah tak bernilai apaapa, kecuali diikuti dengan amal sosial.

Pahala menggunung tak ada artinya tanpa diikuti dengan akhlak yang baik. Baiknya pemahaman agama seseorang dibuktikan dengan baiknya akhlak dan perilaku. Rasulullah pernah bersabda, "Kebanyakan yang menjadikan manusia masuk surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia." (HR Ahmad).

Sebagaimana kisah berangkat haji seorang tabi’in, Ali bin Muwaffaq. Dari 60 ribu jamaah haji yang datang ke Tanah Suci, hanya haji Ali bin Muwaffaq seorang yang mabrur. Padahal, sebenarnya ia tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Ali menemukan satu keluarga yang kelaparan dalam perjalanan hajinya dari Damaskus. Ia pun membatalkan perjalanan hajinya dan memberikan bekalnya kepada orang yang kelaparan itu.

Kisah masyhur yang ditulis Abdullah bin Mubarak ini mengisyaratkan, tak ada artinya ibadah sehebat apa pun tanpa peduli dengan kondisi sosial. Betapa banyak mereka yang pulang pergi ke Tanah Suci, namun tetangganya sendiri berada dalam kesusahan. Apa artinya seorang Muslim berangkat haji dari lingkungan yang melarat dan kelaparan.

Ibadah haji sebagai rukun Islam terakhir menjadi ibadah tertinggi di sisi Allah. Tak ada balasan yang lebih pantas bagi seorang yang mendapatkan haji mabrur, kecuali surga. Namun pada kenyataannya, kepedulian sosial jauh lebih mahal harganya dari ibadah individual. Menyakiti orang lain bisa menghapuskan nilai ibadah yang telah susah payah di perjuangkan.

Kepedulian seorang Ali bin Muwaffaq telah menuntunnya mendapatkan haji mabrur. Kendati tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci, ia diberikan hadiah haji mabrur dari Sang Khaliq. Memperlihatkan akhlak yang baik merupakan bukti kesempurnaan ibadah seseorang.

Allah SWT tak menginginkan hasil, Ia hanya melihat prosesnya saja. Proses perjalanan haji seorang Ali bin Muwaffaq telah memperlihatkan akhlak yang agung. Itulah alasannya ia mendapatkan balasan yang baik dari perjalanan hajinya. Rasulullah SAW dikenal sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Lisannya tak pernah menghardik apalagi menyakiti orang lain. Sikap dan tindak tanduk Beliau senantiasa disukai, baik kawan maupun lawan. Tak pernah Rasulullah melukai siapa pun.

Baiknya hubungan vertikal kepada Allah SWT harus dipadu dengan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Keindahan Islam terlihat dari keagungan akhlak para penganutnya. Mereka yang dilembutkan hatinya (mualaf) terbuka untuk menerima Islam sebagai agamanya kebanyakan karena melihat keindahan akhlak yang dituntunkan Islam.

Jumat, Oktober 10, 2014

MERAIH DAN MENJAGA IBADAH YANG KHUSYUK

Ada yang tidak biasa pada suatu sore di Madinah ketika Rasulullah SAW dan para sahabat usai melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Setelah mengucapkan salam dalam shalatnya, tiba-tiba Rasulullah SAW bangkit melangkahi leher (barisan) para sahabat dengan tergesa-gesa menuju kamar salah seorang istrinya.

Semua sahabat tidak mengetahui apa yang terjadi dengan Rasulullah SAW. Sikap Rasulullah SAW yang tergesa-gesa itu membuat para sahabat terkejut dan diliputi rasa takut. Biasanya, bila Rasulullah SAW berjalan usai shalat menuju rumah kamar seorang istrinya, Nabi SAW berjalan pelan-pelan sambil menunduk. Namun, kali ini Rasulullah SAW berjalan dengan tergesa-gesa.

Setelah keluar dan melihat para sahabatnya itu terkejut, Rasulullah SAW pun menenangkan para sahabat. Beliau memberitahukan hal ihwal yang membuatnya tergesa-gesa seraya bersabda, “Aku ingat sepotong emas dan aku tidak ingin hal itu menahanku (menggangguku dan membuyarkan konsentrasiku dalam tawajuh (menghadap) kepada Allah SWT) maka aku menyuruh untuk membagi-bagikannya.

Sepenggal kisah di atas memberikan pelajaran yang sangat penting kepada kita berkaitan dengan cara membuat diri kita khusyuk ketika bertawajuh (menghadap) Allah. Yakni, dengan cara membebaskan diri dari semua kesibukan hati yang membuat diri kita lupa kepada Allah SWT.

Khusyuk adalah kosongnya hati dari hal-hal yang melalaikan dari ingat kepada Allah SWT. Tegasnya, hati dan pikiran kita terfokus hanya kepada Allah SWT, tidak kepada selain-Nya.

Kekhusyukkan merupakan bagian penting yang harus kita raih dalam hidup ini dan kita realisasikan ketika kita menghadap kepada Allah, terutama saat kita shalat dan berzikir.

Kekhusyukkan merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati dan landasan utama tegaknya shalat dan zikir. Ketika seseorang memiliki kekhusyukan maka ia akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran surah al-Ahzab (33) ayat 35.

“Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Untuk itu, sebelum kita menghadap (tawajuh) kepada Allah SWT, selesaikan terlebih dahulu urusan-urusan yang kiranya dapat mengganggu konsentrasi kita. Buang hal-hal yang dapat membuyarkan konsentrasi kita ketika akan bertawajuh (menghadap) kepada Allah SWT.

Selain itu, senantiasa berdoa kepada Allah agar kita terhindar dari hati yang tidak khusyuk dan bisa meraih kekhusukan sebagaimana doa yang telah diajarkan Rasulullah SAW kepada kita, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim)

Jumat, Oktober 03, 2014

SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1435 HIJRIYAH


DAHSYATNYA IBADAH KURBAN

Ibadah Kurban memiliki pesan  moral yang sangat dalam. Seperti pesan yang terkandung dalam makna bahasanya. Qurb atau qurbân berarti “dekat” dengan imbuhan ân (alif dan nun) yang mengandung arti “kesempurnaan”, sehingga qurbân yang diindonesiakan dengan “kurban” berarti “kedekatan yang sempurna”. Kata Qurbân berulang tiga kali dalam al-Qur’an, yaitu pada QS.Ali Imran/3: 183, al-Ma’idah/5: 27, dan al-Ahqaf/46: 28.

Jadi, kurban adalah penyembelihan binatang tertentu yang dilakukan pada hari Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (hari tasyrik), yakni pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam ilmu fiqh, kurban juga disebut udhḫiyah (karena dilaksanakan dalam suasana Idul Adha) juga berasal dari kata dahwah atau dhuhaa (waktu matahari sedang naik di pagi hari), karena biasanya penyembelihan hewan qurban dilaksanakan pada waktu duha. Dari kata dahwah atau duhaa tersebut diambil kata daahiyah yang bentuk jamaknya udhḫiyah.

Adapun di antara hikmahnya adalah pertama, sebagai bukti nyata ekspresi syukur, “Supaya merek amenyebut nama Allah atas apa yang Allah karuniakan kepada mereka berupa binatang ternak….” (QS. al-Hajj, 22 : 34); kedua, bukti sebagai hamba bertaqwa, “Daging daging qurban dan darahnya itu sekali kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaanmulah yang dapat mencapainya…” (QS al-Hajj, 22 :37)

Ketiga, terakuinya sebagai umat Rasulullah Saw, “Barang siapa yang mempunyai keluasan (harta) dan tidak mau berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami!” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim, Ad Daruquthni dan Al Baihaqi). Keempat, meraih ampunan dosa, ”Fatimah, berdirilah dan saksikan hewan sembelihanmu itu. Sesungguhnya kamu diampuni pada saat awal tetesan darah itu dari dosa dosa yang kamu lakukan...” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)

Kelima, berpahala besar, "Pada setiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu kebaikan," (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Keenam, mendapat kesaksian yang indah dari hewan Qurban kita kelak, “Sesungguhnya ia (hewan qurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku dan bulunya. Dan sesungguhnya darah hewan qurban akan jatuh pada sebuah tempat di dekat Allah sebelum darah mengalir menyentuh tanah. Maka berbahagialah jiwa dengannya". (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).

Subhana Allah demikian besar keutamaan ibadah kurban ini wahai ikhwah! Semoga Allah beri keluasan rejeki kepada kita untuk memenuhinya dan menerima amal ibadah kurban kita. Aamiin.