Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada Abu Dzar Al-Ghifari. "Wahai Abu Dzar, apakah menurutmu banyaknya harta itu merupakan kekayaan?” Abu Dzar diam saja, tidak menjawab.
Pertanyaan itu lalu dijawab sendiri oleh Nabi: “Kekayaan
hakiki adalah kekayaan hati; dan kemiskinan sejati adalah kemiskinan
hati. Siapa yang memiliki kekayaan hati, maka kondisi duniawi apapun
yang dialaminya tidak akan mendatangkan kemudharatan baginya.
Sebaliknya, siapa yang miskin hati, maka apapun yang melebihi isi
dunia tidak akan pernah mencukupinya." (HR Ibnu Hibban)
Nabi SAW lalu melanjutkan pesan moralnya, “Jadilah
engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling
ahli ibadah; dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (qana’ah),
niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (HR Al-Baihaqi).
Sebab Allah SWT menegaskan, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 13). Dengan kata lain, bersikap qana’ah merupakan kunci menjadi orang yang bersyukur.
Qana’ah
berarti merasa cukup, puas, dan ridha (menerima) terhadap bagian rezki
atau apapun yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita.
Orang yang qana’ah, menurut al-Jahizh, selalu merasa
berkecukupan, tidak merasa kurang dengan terus mengeluh, dan tidak juga
serakah dalam meraih kekayaan, kedudukan, dan jabatan, termasuk jabatan
politik.
Karena setiap manusia pada dasarnya sangat mencintai kekayaan/kedudukan duniawi (QS Al-Adiyat [100]: 8). Qana’ah itu tak ubahnya seperti rem yang dapat mengendalikan nafsu duniawi dan syahwat politik menuju tawakkal dan bersyukur kepada Allah SWT.
Qana’ah dalam berbagai hal, termasuk jabatan politik, sangat penting menjadi benteng moral, terutama bagi penguasa dan calon penguasa.
Qana’ah merupakan manifestasi kecerdasan moral yang dapat
memerdekakan seseorang dari penghambaan diri terhadap urusan duniawi
yang menyilaukan dan tidak pernah memuaskan.
Sikap ini juga menjadi terapi mental penyakit hati seperti: tama', hasad (iri hati), namimah (adu domba, provokasi), dan kebohongan publik.
Qana’ah juga
dapat menumbuhkan kelapangan jiwa (legowo), zuhud (asketis), dan rasa
percaya diri bahwa rezki dan rahmat Allah SWT itu maha luas, tidak
terbatas pada kedudukan dan jabatan yang disandang seseorang.
Karena itu, belajar qana’ah dalam
menjalani kehidupan ini merupakan salah satu bentuk pendakian spiritual
yang sangat penting dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT.
Tanpa belajar qana’ah, manusia cenderung menjadi serakah, tama’ dan korup.
Lebih-lebih jika ketiadaan qana’ah itu disandingkan dengan
kekuasaan politik, maka yang bersangkutan akan semakin tidak bisa
mengendalikan dirinya dari korupsi dan memperkaya diri sendiri.
"Jika engkau mempunyai hati yang qana’ah, maka engkau dan pemilik dunia ini sama saja." Perkataan Imam Syafi'i ini senada dengan wasiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, "Qana’ah itu merupakan kekayaan yang tidak pernah sirna."
Jabatan dan kekayaan itu datang silih berganti, dan tidak pernah abadi. “Siapa bersikap dan belajar qanaah, hidupnya selalu bahagia. Sebaliknya siapa berlaku tama’, ia akan menderita sepanjang masa,” demikian kata Imam Ibn al-Jauzi.
Belajar menjadi qana’ah sebenarnya tidak sulit. Menurut Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, dalam bukunya, al-Qanaah Mafhumuha, Manafi’uha, al-Thariq Ilaiha, ada beberapa kiat menjadi qana’ah.
Pertama, pengakuan secara tulus bahwa Allah itu Mahaadil dalam membagi rezki bagi semua makhluk-Nya, termasuk manusia.
Rezeki yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak diukur menurut
tingkat pendidikan, kedudukan, dan jabatan. Rezki tidak selalu
berbanding lurus dengan status sosial, jabatan, dan jenjang pendidikan.
Kedua,
melatih diri untuk tidak iri dan dengki terhadap kelebihan dan kekayaan
yang diberikan kepada orang lain. Sebab iri dan dengki hanya akan
menambah penderitaan jiwa dan pengikisan amal kebajikan si pendengki.
Kekayaan
yang diberikan oleh Allah merupakan ujian bagi yang menerimanya: apakah
dia bisa memanfaatkan dan mensyukurinya dengan baik atau justeru
mengingkarinya?
Ketiga, menyadari sepenuh hati jabatan dan kekayaan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Karena itu, ambisi berlebihan untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan, khususnya kekuasaan politik, hanya akan memperturutkan nafsu
politik daripada mengedepankan kearifan dan peningkatan kinerja demi
kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.
Keempat, menyikapi dan
meresponi segala anugerah, kecil maupun besar, sedikit maupun banyak,
dengan meningkatkan rasa syukur. Yakinilah bahwa yang membuat pemberian
Allah itu bermakna dan bernilai tambah adalah syukur.
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim [14]: 7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar