Jumat, September 27, 2013

MENGENAL KARAKTERISTIK ARSITEKTUR ISLAM

“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan,” hadis riwayat Muslim. Arsitektur termasuk dalam salah satu jenis seni. Seperti seni lainnya, disebutkan Encyclopaedia Britannica, praktik arsitektur meliputi estetika dan manfaat akhir. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dipisahkan serta memiliki kapasitas berbeda di setiap kerja.

Dalam budaya sederhana telah berkembang karakteristik bentuk arsitektur. Masyarakat yang lebih kompleks pun membangkitkan berbagai macam gaya, teknik, dan tujuan yang membentuk bangunan mereka. “Arsitektur terutama adalah hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, merupakan seni yang menuntut banyak penalaran daripada ilham, dan lebih banyak pengetahuan faktual daripada semangat,” kata James C Snyder dan Anthony J Catanese dalam Pengantar Arsitektur.

Lalu, bagaimana dengan arsitektur Islam? Banyak pendapat yang menyatakan arsitektur Islam berarti arsitektur yang bernapaskan Islam. Dengan kata lain, arsitektur tersebut tidak memiliki unsur-unsur yang bertentangan dengan syariat. Namun, bagaimana perkembangan arsitektur itu sendiri di dunia Islam? Di tempat kelahiran Islam, tanah Arab, seni arsitektur nyaris tak pernah digalakkan.

Philip K Hitti dalam History of the Arabs menuturkan, jika memang arsitektur itu ada di dunia Arab maka itu hanyalah dapat ditemui di Yaman. Itu pun sangat miskin arsitektur dengan bangunan yang menggunakan batu bata sebagai dinding, kayu pohon kurma, dan tanah liat sebagai atap, sangat sederhana tanpa hiasan.

Di Arab Utara memang ditemui arsitektur yang indah dari era kuno, di antaranya, Petra di Yordania dan Palmyra di Suriah. Namun, menurut Hitti, itu bukanlah arsitektur asli Arab melainkan adopsi dari Mesir dan Suriah-Yunani.

Masjid-masjid pada era awal pun hanya sekadar lahan terbuka yang dikelilingi dinding dengan mimbar berupa pohon yang kemudian diganti dengan kayu seperti podium yang bertangga tiga. Kemudian masjid berkembang dengan didirikan di atas lahan tersebut sebuah bangunan. Hal tersebut dapat dilihat dari bangunan asli masjid pertama Muslimin, Masjid Quba dan Masjid Nabawi di Madinah.

Ketika dakwah Islam menyebar dan Muslimin membuka banyak wilayah maka masjid mulai banyak didirikan. Inilah era perkembangan arsitektur Islam dimulai. Disebutkan oleh Rom Landau dalam Islam and The Arabs, beberapa masjid yang berdiri seiring perkembangan Islam, yakni abad ke-7 Dome of the Rock (Jerusalem), Abad ke-8 Masjid Uqba bin Nafi (Kairouan) dan Umayyad (Damaskus), abad ke-9 Masjid Ibnu Tulun (Kairo), Abad ke-12 Giralda (Seville) dan Kutubia (Marrakesh), erta abad ke-17 Masjid Sultan Ahmad (Istanbul).

Era Umayyah
Arsitektur di dunia Islam baru benar-benar digalakkan ketika masa Bani Umayyah. Banyak inovasi arsitektur yang dilakukan di era tersebut. Antara lain, mihrab dan menara. Mihrab selalu menjadi bagian utama dalam dekorasi masjid hingga kini. Khalifah Umayyah, Al Walid dipandang sebagai orang pertama yang memperkenalkan struktur mihrab. Masjid Madinah merupakan masjid pertama yang memiliki mihrab. “Struktur tersebut kemudian segera menjadi karakteristik umum di semua masjid,” ujar Hitti.

Menara juga diperkenalkan pada masa Dinasti Umayyah. Menurut Hitti, Suriah menjadi tempat kelahiran menara masjid. Di sana, menara mengambil bentuk menara jam seperempat atau menara gereja yang berbentuk persegi empat. Lagi-lagi, Khalifah Al Walid yang dianggap sebagai pembangun banyak menara di Suriah dan Hijaz. Sang khalifah memang terkenal banyak membangun. Bahkan, disebutkan sang khalifah merupakan seorang arsitek.

Namun, meski menara Masjid Suriah menjadi yang tertua dan prototipe menara lain di dunia Islam, terutama Afrika Utara dan Spanyol, menara tersebut bukanlah satu-satunya jenis menara yang dikembangkan di dunia Islam. Menara-menara masjid mengikuti banyak bentuk tradisional di setiap wilayah kekuasaan Islam. Di Irak, misalnya, gaya menara masjidnya mengadopsi gaya Asysyiria Kuno.

Sejak masa Kekhalifahan Umayyah inilah arsitektur kemudian terus berkembang. Inilah era pemicu perkembangan arsitektur Islam yang kemudian mengalami kemajuan yang pesat. Hampir semua karya arsitektur Islam pada tiap masa merupakan bangunan masjid. Sebagai seni paling awal dan permanen meskipun untuk tujuan keagamaan, kata Hitti, arsitektur selalu menjadi representasi utama seni bangunan. “Jadi, ditemukan dalam sebuah masjid representasi sejarah perkembangan peradaban Islam,” ujar Hitti

Selasa, September 24, 2013

TUJUH UJIAN HIDUP DI DUNIA

Dalam menghadapi kehidupan di dunia ini, manusia selalu berhadapan dengan dua keadaan silih berganti. Suatu saat merasakan suka, saat lain merasakan duka. Pada saat bahagia, terkadang manusia menjadi lupa. Sebaliknya, saat duka mendera, seringkali manusia berkeluh kesah.

Bagi hamba Allah SWT yang beriman, hidup adalah ujian. Selama hidup, selama itulah kita diuji Allah SWT. ''Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.'' (QS Al-Mulk [67]: 2).

Minimal ada tujuh ujian hidup yang wajib kita ketahui. Insya Allah, Allah SWT luruskan dari ujian-ujian-Nya, sehingga meraih gelar shobirin dan mujahidin. ''Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji perihal kamu.'' (QS Muhammad [47]: 31).

Pertama, ujian berupa perintah Allah, seperti Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT menyembelih putra tercintanya bernama Ismail.

Kedua, ujian larangan Allah SWT, seperti larangan berzina, korupsi, membunuh, merampok, mencuri, sogok-menyogok, dan segala kemaksiatan serta kezaliman.

Ketiga, ujian berupa musibah. ''Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.'' (QS Al-Baqarah [2]: 155).

Keempat, ujian nikmat, sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 7. ''Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.''

Kelima, ujian dari orang zalim buat kita, baik kafirun (orang yang tidak beragama Islam), musyrikun (menyekutukan Allah SWT), munafiqun, jahilun (bodoh), fasiqun (menentang syariat Allah), maupu hasidun (dengki, iri hati).

Keenam, ujian keluarga, suami, istri, dan anak. Keluarga yang kita cintai bisa menjadi musuh kita karena kedurhakaanya kepada Allah SWT.

Ketujuh, ujian lingkungan, tetangga, pergaulan, tempat dan suasana kerja, termasuk sistem pemerintahan/negara.

Subhanallah, Allah SWT amat sayang kepada kita. Allah SWT tunjukkan cara menjawab ujian itu semua. ''Dan minta pertolonganlah kamu dengan kesabaran dan dengan shalat, dan sesungguhnya shalat sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusuk tunduk jiwanya.'' (QS Al-Baqarah [2]: 48). Semoga kita dijadikan Allah SWT, hamba-Nya yang lulus dari ujian. Amin ya mujibas sailin.

Jumat, September 20, 2013

SPIRIT HAJI

Labaik Allahumma Labaik. Panggilan haji kembali tiba. Jamaah haji Indonesia sudah mulai diberangkatkan menuju tanah suci Makkah serta menjadi tetamu Allah SWT.  Momen haji adalah momen yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan kemanusiaan.

Proses ini ditandai dengan jutaan manusia berbondong-bondong ke baitul Ka’bah, simbol pemersatu umat Islam. Dalam ritual haji, manusia diperlakukan secara sama dan adil, tanpa melihat ras, suku dan latarbelakang dunia lainnya. Harkat dan martabat mereka sebagai manusia adalah sama. Hak dan kewajiban mereka sebagai hamba juga sama. Tujuan dan arah perjuangan hidup mereka hakikatnya juga sama, yaitu berusaha meraih kebahagiaan yang sejati abadi.

Itulah sesungguhnya yang menjadi hikmah dan tujuan utama di syariatkannya ibadah haji. Dalam bahasa Alquran, hikmah dan tujuan ibadah haji - yang merupakan puncak tertinggi ajaran rukun Islam – diungkapakan dengan istilah liyasyhaduu manaafi`a lahum, yaitu untuk “menyaksikan” kemanfaatan-kemanfaatan duniawi dan ukhrawi (kebahagiaan sejati) yang mahadasyat yang akan terus mengalir dan menjadi “milik” mereka yang berhasil menunaikan haji secara mabrur (QS. Al-Hajj 22:28)

Secara etimologis, sebagaimana dikemukan Ibn Mandzur dalam kitabnya, Lisaan al-Arab, kata hajj antara lain berarti “menuju pada target tertentu” (al-qashd). Lebih spesifik lagi, al-Ishfahani dalam kitabnya, Mufradaat Alfaadz al-Qur`aan, menjelaskan pengertian hajj sebagai “menuju kepada target tertentu untuk dikunjungi” (al-qashd li al-ziyarah). Dari situlah muncul istilah haji dalam Islam yang berasal diambil dari kalimat hajj al-bait atau “berkunjung ke baitullah”, yaitu kunjungan khusus ke Masjidil Haram dengan tujuan menunaikan manasik haji (QS. Ali `Imran 3:97).

Ditilik dari segi filosofis makna kata (fiqh qiyaas al-lughah), kata hajj yang dibentuk oleh rangkaian tiga huruf dasar haa`jiim, jiim pada hakikatnya menunjukan simpul makna dasar yang menggambarkan “keberadaan sesuatu yang bisa dijadikan landasan, sandaran, atau fokus perhatian” (ma u`tumida`alaihi) atau “berproses menuju landasan, sandaran, atau fokus  perhatian” (al-i`timaad).

Misalnya, kata hujjah yang memiliki arti dasar argumentasi (al-daliil) atau bukti kebenaran (al-burhaan). Begitu juga kata mahajjah  yang berarti jalan terbuka yang arah-arahnya (al-thariiq al-jaaddah). Disebut demikian karena jalan tersebut bisa dijadikan sandaran untuk sampai pada alamat yang dituju. Atau kata hajj (al-syijaaj) yang memiliki arti memeriksa luka di kepala secara teliti, terfokus, dan penuh perhatian untuk keperluan pengobatan serta penyembuhan.

Jadi, substansi haji adalah mencari dan mengukuhkan sandaran atau landasan yang hakiki begi kehidupan menuju kebahagiaan sejati yang merupakan fokus perhatian dan target pencarian yang dituju oleh seluruh umat manusia.. Karena itu, banyak ulama menyebutkan, haji mabrur adalah yang disertai dengan tanda-tanda ke-mabrur-an setelah berhaji, diantaranya akhlak dan amal perbuatannya menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Selasa, September 17, 2013

MENDIDIK BUAH HATI MENJADI ANAK YANG SALEH

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar,” (Qs Al-Anfaal: 28)

Manusia dibekali beragam tanggung jawab dan berpotensi untuk berhasil maupun gagal dalam mengemban amanah di serangkaian usia yang diberikan Allah untuknya. Tanggung jawab itu ada yang bersifat Rubuubiyyah, tanggung jawab pada Allah berupa melaksanakan seluruh ibadah lengkap dengan meninggalkan larangan-Nya, juga tanggung jawab sosial kemasyarakatan, karena kita hidup dalam kultur budaya, bahasa, suku, serta latar belakang pendidikan yang sangat berbeda.

Kendati demikian banyaknya tanggung jawab tersebut, yang paling vital dari serangkaian tanggung jawab itu ialah tanggung jawab orang tua kepada ‘para cobaannya’—dalam konteks ini Al-Quran merujuk pada harta dan anak.

Al-Quran surah Al-Anfaal di atas menggunakan makna ‘fitnah’ yang berarti cobaan. Cobaan yang dimaksud disini ialah bukan bencana, seperti yang diurai oleh Prof M Quraish Shihab. Anak-anak diistilahkan sebagai ‘fitnah’, karena mereka dapat menjadi surga jika ditempa, dididik, dirawat dengan baik hingga menjadi buah hati yang shaleh dan mendoakan kebaikan untuk kedua orangtuanya.

Namun sebaliknya, anak justru akan menjadi sumber petaka, jika sang penerima amanah itu tidak dapat menjalani fungsi seharusnya sebagai kepala rumah tangga, atau ibu yang memfokuskan diri sebagai coordinator dari seluruh tanggung jawab rumah tangga.

Memang, papar Prof Qurasih Shihab dalam karya ‘Perempuan’-nya, ibu tidak diharamkan untuk bekerja selama—sekali lagi—selama pekerjaan itu membutuhkannya dan ia pun dapat mengembangkan diri berkat pekerjaan itu, tidak bertentangan dengan norma agama, dan lebih penting lagi, tidak mengabaikan tanggungjawab utamanya sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya yang dapat membawa ketenangan.

Dalam surah lain, dalam bunyi ayat yang sedikit berbeda dengan maksud senada, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar,” (Qs At Thagaabun: 15)

Betapa Allah mengulang ayatnya yang nyaris sama ini dua kali. Perbedaannya terletak pada ‘penegasan’ atau lit-ta’kiid sebagai penguat dengan lafadz ‘Inna’ agar kita, sebagai orangtua atau calon orangtua betul-betul merawat, mendidik, dan membekali anak-anak dengan suplai iman dan pendidikan yang berkualitas. Mendidik anak bukanlah melimpahkan mereka materi yang tak terhitung jumlahnya, lantas meninggalkan mereka, atau bahkan menitipkan mereka kepada keluarga dan orang lain tanpa pantauan.

Mendidik, sejatinya ialah mendampingi dan memantau tumbuh kembang anak dari baru ia dilahirkan ke dunia hingga ia cukup dewasa dalam mengambil pilihan hidupnya (aqil baligh). Fenomena yang terjadi saat ini sebaliknya. Orangtua sungguh sibuk berkarier di luar, sedangkan buah hati mereka ditinggalkan dengan berlimpah materi yang sejatinya ada hal yang ‘hilang’ dan tak mereka rasakan, yakni kasih sayang. Padahal, rumah, khususnya ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar,” (Qs. An-Nisaa: 9)

Dari uraian di atas, semoga kiranya cukup bagi kita tragedy tragis anak penyanyi ternama, yang usianya masih sangat belia itu menjadi ‘ibrah berharga. Betapa kurangnya pengawasan orangtua, dapat menjadi petaka yang tak hanya menimpa buah hatinya saja, namun menewaskan belasan nyawa dan korban lain luka-luka.

Rabu, September 11, 2013

SAMBUT MUSIM HAJI 2013 : MENGENAL LEBIH DEKAT KA'BAH



Arsitektur suci Islam yang paling awal adalah Baitullah (Ka'bah), dengan titik poros langit yang menembus bumi.

Monumen primordial yang dibangun oleh Nabi Adam As dan kemudian dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim As, ini merupakan refleksi duniawi dari monumen surgawi yang juga terpantul dalam hati manusia. 
Keselarasan dimensi Ka'bah, keseimbangan dan simetrisnya, sekaligus merupakan pusat dari kosmos Islam, yang dapat ditemukan dalam arsitektur suci di seluruh dunia Islam.

Geometri, bentuk dan ukuran Ka'bah semuanya memainkan peranan penting dalam kemunculan arsitektur Islam. Menurut beberapa riwayat, pada waktu Nabi Ibrahim As membina Ka'bah, bahan untuk pembikinan Ka'bah itu diambil dari enam buah gunung (bukit).

Pertama bukit Qubaisy, bukit Thursina di Syam, bukit Qudus di Syam pula, bukit Warqon yang terletak antara Mekah dan Madinah, bukit Radhwi, sebuah bukit yang terletak antara Madinah dan Yanbu dekat Wadi Yanbu, dan yang terakhir adalah bukit Uhud yang terletak di Madinah. 

Dalam pengangkutan batu-batu dari bukit-bukit tersebut Allah SWT telah memerintahkan kepada para Malaikat Jabbal dan para Malaikat Hafadzhah untuk membantu Nabi Ibrahim. 
Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim As memiliki dua sudut yang diberi nama Rukun, yaitu ; Rukun yamani dan Rukun Hajar Aswad (batu hitam). 

Arah Ka'bah bertolak belakang dengan kedua rukun tersebut, yang berbentuk bulat (bundar) seperti bentuk Hijr Ismail, yang panjangnya 6 hasta. Pada masa kaum Quraisy, Hijr Ismail bergeser letaknya di luar Ka'bah karena dikurangi 6 hasta. 

Oleh karena itu, perbaikan yang dilakukan kaum Quraisy itu tidak sesuai dengan ukuran yang ditentukan oleh Nabi Ibrahim As. Selain itu, Ka'bah pada masa pembinaan Nabi Ibrahim As tidak memiliki atap (tidak beratap) seperti yang terdapat pada Ka'bah sekarang ini. Justru di masa itu, Ka'bah memiliki dua pintu yang menghadap ke Timur dan Barat. 

Pintu arah Timur melambangkan hakikat realitas penerbangan dan pendakian dalam melawan seluruh hal yang merendahkan derajat serta menurunkan dunia ini. Hal itu mengantarkan manusia pada kebebasan dari kungkungan duniawi yang serba terbatas. 

Juga, bermakna sebagai simbol cahaya yang memancar secara serempak di antara langit dan bumi yang mengungkapkan hubungan-hubungan kosmik tertentu. 

Sementara, pintu arah Barat melambangkan hukum Ilahi, yang berisi perintah-perintah bagi kaum muslim tentang "bagaimana berbuat bukan bagaimana membuat sesuatu." 
Ini bermakna pula sebagai upaya membantu setiap Muslim menembus ke dalam dan ditembusi oleh kehadiran Ilahi yang sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang.

Ketika seseorang memasuki Ka'bah, maka keheningan ruang Ka'bah akan mengingatkannya kepada yang gaib, seperti halnya seseorang yang harus bertelanjang kaki jika ingin mengenal tanah.

Jumat, September 06, 2013

ANALISIS TEST DNA ASAL USUL NENEK MOYANG



Kenal Dr Oz? Dokter ahli bedah yang nama lengkapnya Mehmet Cengiz Oz, ini beberapa kali muncul pada acara Oprah Winfrey Show dan Larry King Show. Dia seorang Muslim Amerika. Tapi, setelah dilakukan tes DNA terhadapnya, asal usul nenek moyangnya ternyata sama dengan Mike Nichols, seorang Yahudi Amerika.
Informasi tersebut tak pelak membuat Dr Oz terkesima. Mimik tersebut terlihat jelas pada video berjudul DNA Testing for Jew and Muslim, yang diunggah di situs berbagi video Youtube.

Bukti genetik ini mengonfirmasi cerita Biblikal yang menyatakan Muslim dan Yahudi berasal dari leluhur yang sama, yaitu Ibrahim, Ismail, dan Ishak, papar host acara tersebut kepada Dr Oz. Menurut penelusuran Republika, video pendek ini berasal dari program The Faces of America yang diproduksi Public Broadcasting Service (PBS), jaringan televisi nonprofit di Amerika, yang beranggotakan lebih dari 300 stasiun televisi. Program ini menelusuri latar belakang dan sejarah keluarga sejumlah orang terkenal Amerika, secara genetika. Tentang siapa mereka, dan dari mana mereka sebenarnya berasal.

Ada 12 orang yang ditelusuri asal-usulnya dalam acara yang ditayangkan berseri pada 10 Februari hingga 3 Maret 2010 itu. Selain Dr Oz, orang beken Amerika lainnya yang jadi sampel ada lah Elizabeth Alexander, Mario Batali, Stephen Colbert, Louise Erdrich, Malcolm Gladwell, Eva Longoria, Yo-Yo Ma, Mike Nichols, Queen Noor of Jordan, Meryl Streep, dan Kristi Yamaguchi. Untuk keperluan penelusuran itu, PBS bekerja sama dengan 23andMe, sebuah perusahaan bioteknologi terkemuka di Amerika, yang test kit genome-nya dikukuhkan sebagai ‘temuan tahun ini’ oleh majalah Time pada 2008 lalu.

Yang menjadi host acara ini pun bukan orang sembarangan, tapi seorang profesor jebolan Harvard, yaitu Henry Louis Gates Jr. Mike Nichols yang berbagi silsilah nenek moyang yang sama dengan Dr Oz, adalah seorang produser dan sutradara beken peraih Oscar. Ma sing-masing orang tuanya adalah Yahudi Jerman dan Yahudi Rusia. Salah satu film terkenal Mike adalah Charlie Wilson’s War, yang berkisah soal sepak terjang senator Amerika membantu Muslim Afghanistan melawan invasi Soviet. Film ini dibintangi aktor kawakan, Tom Hanks.

Lalu, apa komentar Dr Oz terhadap kesamaan tersebut? Surprise. Bagi saya, jenis informasi seperti ini bisa mengubah dunia, agar Muslim dan Yahudi mengenal diri mereka, betapa dekatnya mereka, kata pemandu acara Dr Oz Show di salah satu stasiun televisi Paman Sam, itu. Sepintas, tak ada masalah pada video tersebut. Kitab suci dan catatan sejarah memang mengabarkan bahwa orang Arab Muslim dan orang Yahudi mempunyai leluhur yang sama.

Ada yang mentrace kesamaan leluhur ter sebut sejak era generasi pertama keturunan Nabi Nuh. Bahwa, orang Arab dan Yahudi merupakan keturunan Shem, salah satu anak Nabi Nuh. Dari sinilah muncul istilah bangsa Shemitic, yang dinisbatkan kepada orang Arab dan Yahudi. Jika informasi genealogi sejak era anakanak Nuh itu sedikit kabur, masih ada informasi lain yang sangat terang benderang: orang Yahudi dan orang Arab merupakan keturunan Nabi Ibrahim.

Ibrahim atau Abraham adalah figur yang sangat dihormati Muslim, Yahudi, dan Nasrani. Orang Yahudi adalah keturunan Ibrahim dari garis Nabi Ishak dan Nabi Ya’kub (Israel). Sedangkan, orang Arab keturunan Ibrahim dari garis Nabi Ismail. Nah, di sinilah menariknya. Jika memang Dr Oz memiliki kesamaan asal-usul genetika dengan Yahudi, dia pasti juga keturunan para nabi suci tersebut. Dan, dia pasti berdarah salah satu di antara ke duanya, entah Arab atau Yahudi. Tapi, tunggu dulu. Ternyata Dr Oz bukan orang Arab, juga bukan Yahudi.

Kamis, September 05, 2013

KISAH MUHSIN DAN HADIAH TIDAK TERDUGA

Setelah selesai shalat 'Isya dan sunnah ba'diyah, sebagian besar jamaah Masjidil Haram berbondong-bondong ke luar. Ada yang langsung pulang ke pondokan dan ada juga yang mampir dulu di pusat-pusat perbelanjaan di sekitar masjid.

Pengunjung  pusat-pusat perbelanjaan masih tetap ramai, walaupun sebagian jamaah haji sudah pergi meninggalkan Makkah, pulang ke Tanah Air masing-masing atau ziarah ke Madinah.
   
Di antara kerumuman para pembeli di salah satu pusat perbelanjaan itu terdapat Pak Muhsin dari Indonesia. Dia sudah beberapa kali membolak balik sebuah sajadah buatan Suriah.

Dia sangat menyenanginya, tetapi sayang uangnya tidak cukup. Ini malam terakhir dia di Makkah, karena besok siang kloternya akan ke Jeddah untuk selanjutnya terbang kembali ke Tanah Air.

Sajadah buatan Suriah itu sangat bagus, tetapi sayang sekali uangnya tidak cukup. Dengan berat hati dia pergi meninggalkan toko sajadah itu.

Walaupun Pak Muhsin sudah menjauh dari toko tersebut, tetapi pikirannya kembali melayang ke sana.  Setelah memutari lantai dasar pusat perbelanjaan itu satu putaran, langkah kakinya kembali menuju toko sajadah itu.
Tangannya kembali memegangi sajadah itu sambil memegang uangnya yang tidak cukup itu. Tanpa disadarinya seorang Arab yang juga sedang memilih-milih sajadah di toko itu memperhatikannya.

Begitu sajadah itu dia letakkan, tiba-tiba saja orang Arab itu mengambil sajadah pilihan Pak Muhsin, lalu membayarnya dan  menyerahkannya kepada Pak Muhsin sambil berkata: "Hadiah, hadiah…tafadhdhal!". Pak Muhsin sangat senang sekaligus terharu.
   
Sampai di Tanah Air, peristiwa itu selalu dia kenang, apalagi setiap dia melihat sajadah hadiah dari orang Arab yang tidak dia kenal itu. Dia ingin melakukan hal yang sama.

Dia ingin membahagiakan orang-orang yang sangat menginginkan suatu barang, tetapi tidak sanggup membayarnya. Tentu saja bukan barang-barang yang mahal harganya.
   
Demikianlah, pada suatu hari,  setelah melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah di sebuah masjid, dia mampir ke toko buku kecil di samping masjid langganannya.

Pada saat dia sedang melihat-lihat buku tentang Islam terbitan terbaru, tiba-tiba matanya tertuju kepada seorang paroh baya yang sedang memegang-megang sebuah buku tanya jawab agama. Buku itu semua enam jilid.
"Pak, apakah nanti ba'da Maghrib masih buka?" tanyanya kepada penjual buku. Penjual buku menjelaskan pukul 16.00 tokonya akan tutup.
"Bapak kembali besok pagi saja." Kata penjual buku itu. "Wah sayang sekali besok pagi saya sudah kembali ke daerah", kata calon pembeli buku itu sambil beranjak pergi pelan-pelan.
   
Pak Muhsin kembali ingat peristiwa di Mekkah tempo hari. Segera saja dia bilang sama penjual buku: "Panggil Bapak itu kembali, dan serahkan buku itu sebagai hadiah. Biar saya yang bayar".

Bapak dari daerah itu kaget dan senang, tidak dia duga ada yang berbaik hati mau membayarkan  enam jilid buku yang diinginkannya. Buku tanya jawab agama ini sangat dia perlukan dalam berdakwah di daerah.
   
Pak Muhsin dapat merasakan kebahagiaan bapak yang tidak dia kenal itu, seperti kebahagiaanya waktu di Makkah dulu.

Rabu, September 04, 2013

DISIPLIN DALAM ISLAM



Di antara ajaran mulia yang sangat ditekankan dalam Islam adalah disiplin. Disiplin merupakan salah satu pintu meraih kesuksesan. Kepakaran dalam bidang ilmu pengetahuan tidak akan memiliki makna signifikan tanpa disertai sikap disiplin.

Sering kita jumpai orang berilmu tinggi tetapi tidak mampu berbuat banyak dengan ilmunya, karena kurang disiplin. Sebaliknya, banyak orang yang tingkat ilmunya biasa-biasa saja tetapi justru mencapai kesuksesan luar biasa, karena sangat disiplin dalam hidupnya.

Tidak ada lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan disiplin kepada anak didiknya. Demikian pula organisasi atau institusi apapun, lebih-lebih militer, pasti sangat menekankan disiplin kepada setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Semua pasti sepakat, rencana sehebat apapun akan gagal di tengah jalan ketika tidak ditunjang dengan disiplin. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan. Ketaatan berarti kesediaan hati secara tulus untuk menepati setiap peraturan yang sudah dibuat dan disepakatibersama. Orang hidup memang bukan untuk peraturan, tetapi setiap orang pasti membutuhkan peraturan untuk memudahkan urusan hidupnya. 

Analoginya sederhana. Kita bisa perhatikan pentingnya peraturan itu dalam lampu lalu lintas. Ketaatan setiap pengendara terhadap isyarat lampu lintas jelas membuat kondisi jalan menjadi tertib dan aman. Bayangkan ketika masing-masing pengendara mengabaikan peraturan berupa isyarat lampu lalu lintas itu. Pasti kondisi jalan akan kacau, macet, dan bahkan memicu terjadinya kecelakaan.

Contoh di atas tentu bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luasTegasnya, disiplin sangat ditekankan dalam urusan dunia, dan lebih-lebih urusan akhirat. Tidak heran jika Allah memerintahkan kaum beriman untuk membiasakan disiplin. Perintah itu, antara lain, tersirat dalam Al-Quran surat Al-Jumuah ayat 9-10.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah untukmengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumidan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS Al-Jumuah: 9-10).

Menurut ayat di atas, keberuntungan akan kita raih dengan disiplin memenuhi panggilan ibadah ketika datang waktunya dan kembali bekerja ketika sudah menunaikan ibadah. Bukan hanya urusan dagang yang harus ditinggalkan ketika sudah tiba waktu shalat. Sebab, menurut para mufasir, ungkapan “Tinggalkanlah jual beli” dalam ayat itu berlaku untuk segala kesibukan selain Allah. Dengan kata lain, ketika azan berkumandang, maka kaum beriman diserukan untuk bergegas memenuhi panggilan Allah itu.

Meskipun demikian, bukan berarti kaum beriman harus terus menerus larut dalam urusan ibadah saja. Ayat di atas juga memerintahkan supaya kaum beriman segera kembali bekerja setelah menunaikan ibadah. Dengan demikian, disiplin harus dilakukan secara seimbang antara urusan akhirat dan urusan dunia. Tidak dibenarkan mementingkan yang satu sambil mengabaikan yang lain. 

Disiplin yang dilakukan secara seimbang antara urusan ibadah dan kerja, akhirat dan dunia, itulah yang akan mengantarkan kaum beriman kepada kesuksesan. Perintah untuk menyeimbangkan antara urusan akhirat dan dunia juga dapat ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Qashash ayat 77.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan jatahmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kamu kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash: 77).

Kita juga bisa cermati ajaran disiplin dalam perintah shalat jamaah. Kewajiban shalat wajib lima waktu selama sehari semalam sangat dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah. Menurut keterangan Rasulullah SAW, nilai pahala shalat wajib secara berjamaah adalah dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian. Dari sini, dapat dipahami jika sebagian ulama kemudian menghukumi shalat jamaah sebagai sunnah muakkadah, sementara sebagian ulama lain menghukuminya wajib. 

Shalat jamaah jelas membutuhkan disiplin. Karena, umumnya shalat jamaah dikerjakan bersama-sama di masjid atau langgar tidak lama setelah azan berkumandang yang diikuti dengan iqamah. Dengan demikian, jika ingin mengikuti shalat jamaah, maka kita harus segera meninggalkan kesibukan setelah mendengar azan. Shalat jamaah di masjid atau langgar itu dikerjakan tepat waktuKalau kita masih saja ruwet dengan segala tetek bengek dunia, sementara azan sudah berkumandang, dipastikan kita akan ketinggalan, atau malah tidak mendapati shalat jamaah sama sekali.

Belum lagi tradisi itikaf atau berdiam diri ketika menunggu shalat jamaah dimulai. Ditambah tradisi berzikir setelah shalat jamaah selesai. Tanpa disiplin waktu yang bagus, mustahil kita dapat melakukan semua ituMembiasakan disiplin dalam segala urusan secara seimbang itulah yang akan menjadikan hidup kita indah, tertata, dan diliputiberkah