Sabtu, Juli 31, 2010

BERKAH RAMADHAN UNTUK PROKLAMASI RI 1945

Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta (lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81)
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87) sebagai berikut:
” Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
 Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memprokla­masikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyata­kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.


Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.

Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).

Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks Proklamasi

Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.

Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.

Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (kepala pemerintahan umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi ­ jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde ­ kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicara­kan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha ­ langi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.

Menurut Soebardjo (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.

Setelah kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.

“Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing”. Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada “Declaration of Independence ” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi

Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Peristiwa besar bersejarah yang telah mengubah jalan sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung hanya satu jam, dengan penuh kehidmatan. Sekalipun sangat sederhana, namun ia telah membawa perubahan yang luar biasa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . “Gema lonceng kemerdekaan” terdengar ke seluruh pelosok Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Para pemuda, mahasiswa, serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia pada jawatan-jawatan perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan isi proklamasi itu ke seluruh pelosok negeri. Para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei , sekalipun telah disegel oleh pemerintah Jepang, mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke seluruh dunia.

Jumat, Juli 30, 2010

ENDE KOTA SERIBU MASJID

Kota 1.000 Masjid? Benarkah ada? Maaf, judul tulisan ini mungkin sedikit hiperbola namun tidak mengurangi kenyataan bahwa di sebuah kota kecil di Pulau Flores, jauh dari hingar bingar Ibukota, terdapat begitu banyak masjid dan surau. Sampai-sampai ada yang bilang, “setiap jengkal ada masjid!”
Selama ini saya memang tidak menyadarinya sampai seorang teman, Ilham Himawan, berceloteh tentang kunjungan-kunjungannya ke Ende. Tentang ketercengangannya akan masjid-masjid yang ditemui di kota mungil ini. Dan dia lah yang menjuluki Ende sebagai, “Kota seribu masjid…”
Ende, sebuah kota yang merupakan ibukota dari Kabupaten bernama sama; ENDE.
Anda belum mengenal Ende?
Kota kecil ini terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Di sini lah Pancasila ditemukan oleh Bung Karno (iya, Presiden pertama RI, saat beliau diasingkan ke Ende pada tahun 1934). Dalam masa pengasingan tersebut Bung Karno melakukan meditasi di bawah sebuah pohon bernama pohon Sukun. Dan dalam meditasinya itu beliau menemukan nilai-nilai Pancasila. Di tempat tersebut sekarang berdiri patung Bung Karno dan sebuah prasasti yang menandakan bahwa di tempat tersebut Bung Karno menemukan Pancasila.
“Di Pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berdjam-jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan bahwa aku mentjiptakan Pancasila. Apa jang kukerjakan hanjalah menggali tradisi kami djauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara jang indahö (Cidy Adams, 1966-300).
Bagi saya, Ende merupakan kota dengan iklim toleransi yang super tinggi. Masjid, gereja, pura, wihara, berdampingan selaras. Namun tak bisa dipungkiri bahwa pembangunan masjid ‘ada di mana-mana’. Ke mana pun Anda pergi, pasti bertemu masjid atau surau.
Nah, di kota sekecil Ende terkenal beberapa istilah untuk wilayah-wilayahnya, seperti; Ende pesisir (ya letaknya di pesisir pantai kira-kira bagian barat), Ende kota (daerah tengah kota) ada juga Ende Lio (ini Ende di bagian pegunungan atau luar kota arah timur) dan Ende daerah Nangapanda (menuju ke sana, terhampar laut biru dan tebing. Iseng saya dan seorang teman pernah menamakan tebing-tebing ini dengan Ende Canyon, hehehe). Juga ada wilayah-wilayah lainnya yang tidak bisa saya jelaskan satuper satu
Di bagian Ende pesisir (daerah dekat pasar Ende) ini mata Anda akan lebih sering bertemu masjid. Betul itu, setiap jengkal. Dalam jangkauan jalan kira-kira 2 km, terpeta 5 masjid dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Hal ini memang mewakili mayoritas penduduk yang beragama Islam. Adzan berkumandang sahut-sahutan ketika waktu sholat tiba. Anda akan malu rasanya bila sengaja mengabaikan seruan-seruan Adzan tersebut.
Sebentar lagi Ramadhan. Rindu suasana Ramadhan di kota Ende. Jangan ditanya lagi kehidupan Ramadhan di Ende. Pasti ramai. Pasti meriah. Setiap pagi, usai Sholat Subuh, jalanan dipenuhi manusia yang menikmati udara pagi. Yang dari utara ke selatan, yang dari selatan ke utara. Amboy… asyik sangat! Belum lagi kaum mudanya yang berbusana rapi di pagi hari.
Sore hari adalah moment yang ditunggu. Banyak yang mendadak jadi pedagang, menjaja aneka makanan dan minuman khas Ramadhan, bekal berbuka. Mulai dari aneka kue; tradisional dan modern, kolak, es cendol, aneka lauk-pauk hingga kurma!
Suasananya itu yang bikin rindu :)
Seolah-olah setiap Ramadahan perasaan saya diganti dengan perasaan khusus bernama Ramadahan.
Baiklah, kembali ke kota 1.000 masjid. Saya mencoba menghitung-hitung ada berapa banyak masjid + surau yang ada di Ende.
Luas kota Ende = 286.89 km2
(didapat dari penggabungan 5 Kecamatan yang ada di kota Ende; Ende, Ende Tengah, Ende Utara, Ende Selatan, Ende Timur).
Masjid + surau di kota Ende = sekurang-kurangnya miniman 20-an!
Amboy…. :)
Ingin menikmati suasana ‘kota santri’? Mari berkunjung ke kota 1.000 masjid…

By: Tuteh Pharmantara
http://www.ende-islam.co.id

Rabu, Juli 28, 2010

BELAJAR DARI KISAH KELINCI DAN KATAK

Kelinci memang dari dulu terkenal sebagai hewan yang bernyali kecil, sering ketakutan tanpa alasan yang jelas, sesegera mungkin menyingkir bila dia merasa terganggu keamanannya.

Suatu hari, terlihat sekelompok kelinci sedang berkumpul di tepi sebuah sungai, mereka sibuk berkeluh kesah meratapi nyalinya yang kecil, mengeluh kehidupan mereka yang senantiasa dibayangi dengan mara bahaya. Semakin mereka ngobrol, semakin sedih dan ketakutan memikirkan nasib mereka.

Alangkah malangnya lahir menjadi seekor kelinci. Mau lebih kuat tidak punya tenaga, ingin terbang ke langit biru tidak punya sayap, setiap hari ketakutan melulu. Mau tidur nyenyak pun sulit karena terganggu oleh telinga panjang yang tajam pendengarannya sehingga matanya yang berwarna merah pun semakin lama semakin merah saja.

Mereka merasa hidup ini tidak ada artinya. Dari pada hidup menderita ketakutan terus, mereka berpikir lebih baik mati saja. Akhirnya mereka mengambil keputusan beramai-ramai hendak bunuh diri dengan melompat dari tepian tebing yang tinggi dan curam. Maka para kelinci terlihat berbondong-bondong menuju ke arah tebing.

Saat mereka melewati pinggir sungai, ada seekor katak yang terkejut melihat kedatangan kelinci yang berjumlah banyak. Tergesa-gesa si katak ketakutan dan segera meloncat ke sungai melarikan diri.

Walaupun si kelinci sering menjumpai katak yang melompat ketakutan saat melihat kelinci melintas, tetapi sebelum ini mereka tidak peduli. Berbeda untuk kali ini. Tiba-tiba ada seekor kelinci yang tersadar dari kesedihannya dan langsung berteriak, "Hei, berhenti! Kita tidak usah ketakutan sampai perlu harus bunuh diri.

Karena lihat lah, ternyata ada hewan lain yang lebih tidak bernyali dibandingkan kita yakni si katak yang terbirit-birit saat melihat kita! Mendengar kata-kata itu, kelinci yang lain tiba-tiba pikiran dan hatinya terbuka, seoleh-oleh tumbuh tunas keberanian di hati mereka. Maka dengan riang gembira mereka mulai saling membesarkan diri masing-masing, "iya, kita tidak perlu ketakutan!". "Tuh kan, ada mahluk lain yang lebih pengecut dari kita", "Iya, kita harus semakin berani". Perlahan-lahan mereka berbalik arah kembali kearah pulang dengan riang gembira dan melupakan niatnya untuk bunuh diri.

Saat keberuntungan sedang tidak memihak kepada kita, Jangan suka meratapi nasib yang dirundung malang seakan-akan hanya kitalah mahluk paling menderita di muka bumi ini. Lihatlah disekeliling kita. Masih begitu banyak orang yang lebih susah, sengsara dan sial dibandingkan kita. Jika mereka yang hidup dalam kekurangan tetapi mampu menjalaninya dengan tegar dan tetap berjuang, kenapa kita tidak?

Apapun keadaan kehidupan kita hari, seharusnya kita jalani dengan optimis dan aktif, nasib tidak akan dapat kita robah tanpa manusia itu sendiri yang siap merobahnya, Karena sesungguhnya ‘sukses adalah hak setiap orang' success is my right, bagi siapa saja yang mau berjuang dengan sungguh-sungguh.

Selasa, Juli 27, 2010

PILIH HIDUP SENANG ATAU TENANG?

Senang ataukah tenang yang diinginkan seseorang? Menurut Abu Hamid Al-Ghazali, orang yang senang (al-Sa'id) itu belum tentu tenang (al-Nafs al-Mutmainnah). Misalnya, orang yang melakukan korupsi, tentu merasa senang karena mendapatkan harta dengan segera tanpa susah payah, dan dia tinggal menikmatinya saja. Tapi, apakah hati menjadi tenang dengan perolehan harta terlarang yang bukan haknya itu?

Demikian pula, orang yang melakukan perselingkuhan, boleh jadi ia dapat mengenyam kenikmatan sesaat, tetapi apakah hatinya jadi tenang dan tenteram? Atau, seseorang yang mengonsumsi narkoba, mungkin dia bisa merasa senang dan bahagia untuk sementara. Akan tetapi, apa benar dia tidak dihantui perasaan takut?

Jika sudah menyadari hal seperti ini, mengapa manusia itu berlaku zalim terhadap dirinya sendiri dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Padahal, mereka berani menanggung risiko ketidaktenangan dan ketidaktenteraman dalam hidupnya.

Kebahagiaan itu kenyataannya tidak bermula pada kesenangan, melainkan berangkat dari ketenangan. Orang yang memiliki banyak uang pasti senang karena segala kebutuhannya tercukupi, tetapi uang tidak menjamin seseorang mendapatkan ketenangan hidup.

Seringkali kita temukan, orang kaya malah jadi bertambah cemas karena takut dan khawatir hartanya berkurang atau habis. Siapa pun jika mendapatkan jabatan dan kedudukan prestisius menjadi senang, tapi adakah jabatan itu bisa membuat dia tenang dalam hidupnya? Jawabnya pasti belum tentu! Jika begitu, mengapa kita tidak mementingkan ketenangan hidup ketimbang memulai kesenangan hidup? Karena ketenangan jiwa, insya Allah akan menghasilkan kesenangan dan kebahagiaan yang hakiki.

Ada adagium dalam dunia tasawuf  yang patut untuk direnungkan. "Lastu Aras Sa'adata Jam'a Malin, Walakin at_Taqiya Lahaiya as-Sa'idu" (Saya tiada merasa bahagia jika berada dalam kekayaan harta, tapi takwa ini bahagia yang hakiki).

Dalam Alquran, banyak sekali ayat yang menerangkan tentang tenang dan manfaatnya. "Orang tenang (mengikuti petunjuk Alquran) itu mendapat rahmat atau kasih-sayang Allah." (QS 7:204). "Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan orang-orang beriman." (QS 9:26). "Allah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang Mukmin supaya keimanan bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada." (QS 48: 4 dan 18).

Ketenangan jiwa niscaya akan menghilangkan rasa cemas hingga hidup menjadi ringan tanpa beban. Segala penyakit fisik pun akan hilang atau berkurang dengan sendirinya jika jiwa kita menjadi tenang. Orang yang tenang akan dengan mudah mendapat kesenangan dan kebahagiaan. Sebagai orang yang beriman, sudahlah tentu kita akan memilih hidup tenang dahulu sebelum mendapatkan yang senang.

Rabu, Juli 14, 2010

TORQUATO CARDILLI ANTARA ISLAM DAN ITALIA

Sekitar delapan tahun yang lalu, publik Italia dikejutkan oleh pengumuman seorang staf kedubesnya di Riyadh, Arab Saudi. Dubes mereka, Torquato Cardilli, menyatakan diri sebagai seorang Muslim. Sebelum Cardilli, sebenarnya sudah ada pejabat negara Eropa yang masuk Islam, yakni Dubes Jerman untuk Maroko, Murad Wilfried Hofmaan, dan Dubes Amerika Serikat untuk Fiji-Nauru-Tonga-Tuvalu, Osman Siddique. Namun, mereka ini masuk Islam sebelum menjabat dubes, sedangkan Cardilli masuk Islam saat menjabat sebagai duta besar.

Tak hanya publik Italia, masyarakat Muslim di negara-negara Eropa pun terkejut. Sejumlah media massa internasional saat itu memberitakan keislaman Cardilli. Stasiun televisi CNN dan kantor berita Reuters, misalnya, memberitakan bahwa Torquato Cardilli, seorang diplomat yang saat itu menjabat sebagai dubes Italia untuk Arab Saudi, mengungkapkan keputusannya untuk memeluk Islam kepada surat kabar Saudi. Pengakuan Cardilli tersebut disampaikan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-59.

Dalam pemberitaan yang dilansir pada 26 November 2001, CNN dan Reuters menyebutkan, hal tersebut merupakan yang kedua kalinya terjadi dalam tujuh tahun terakhir, di mana seorang utusan pemerintahan Roma untuk Kerajaan Arab Saudi berpindah keyakinan ke agama Islam. Sebelumnya, rekan sejawat Cardilli yang juga pernah menjadi dubes Italia untuk Kerajaan Arab Saudi pada periode 1994-1995, Mario Scialoja, menyatakan masuk Islam. Scialoja kini menjabat sebagai ketua Pusat Kebudayaan Islam Italia.

Menurut CNN dan Reuters, Cardilli secara resmi masuk Islam pada 16 November 2001. Namun, kantor berita Arab News menyebutkan bahwa dubes Italia tersebut masuk Islam tepatnya pada 15 November 2001, sehari menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.

Kelas kajian Islam Sebelum masuk Islam, lelaki kelahiran L'Aquila, 24 November 1942, ini diketahui kerap mengikuti kelas-kelas kajian Islam yang diselenggarakan oleh The Batha Center, sebuah instansi yang menangani para calon mualaf. "Ia (Cardilli--Red) sering mengikuti kelas kajian Alquran dan studi mengenai kebudayaan Islam," ujar Nouh bin Nasser, direktur The Batha Center, kepada kantor berita Prancis, AFP.

Di lembaga pembinaan mualaf tersebut, Cardilli mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam dan membaca dua kalimat syahadat di hadapan para pengurus dan anggota The Batha Center. "Di sana, ia membaca syahadat dengan fasih karena memang sudah dikenalnya sejak lama," ujar dia. Nouh menjelaskan, Cardilli masuk Islam dengan keikhlasan dan kesadarannya tanpa paksaan dari pihak mana pun. "Tak ada paksaan sama sekali. Ia masuk Islam dengan kesadaran sendiri. Agama Islam tidak pernah memaksakan seseorang untuk memeluk Islam," terangnya.

Nouh mengungkapkan bahwa rata-rata tiga hingga empat orang setiap harinya datang ke The Batha Center untuk menyampaikan keinginannya masuk Islam. Jumlah tersebut, menurut dia, meningkat hingga lima orang selama bulan Ramadhan. Arab News melaporkan, sebanyak 20 lembaga serupa juga beroperasi di Riyadh dan beberapa kota lainnya di wilayah Kerajaan Arab Saudi.

Cardilli yang lulusan fakultas studi bahasa dan kebudayaan timur Universitas Naples ini telah menghabiskan sebagian besar karier diplomatiknya di negaranegara Muslim. Hal ini pula yang kemungkinan membuatnya menjadi dekat dengan ajaran dan kebudayaan Islam.

Cardilli yang fasih berbahasa Arab itu memulai karier diplomatiknya pada tahun 1967. Dia pernah ditugaskan sebagai diplomat untuk beberapa negara Timur Tengah, antara lain Sudan, Suriah, Irak, Libya, Tanzania, dan Albania. Sejak tahun 2000, ia ditunjuk menjadi dubes Italia untuk Arab Saudi.

Dalam pernyataan resminya, ayah dua orang anak itu mengungkapkan kebahagiaannya setelah menjadi Muslim. Peralihan agama tersebut, katanya, ia putuskan dengan penuh keyakinan dan tanpa penekanan serta paksaan dari siapa pun. Ia merasakan kesucian kandungan Alquran yang kerap dibacanya saat dirinya masih memeluk agama Katolik. "Saya merasa inilah agama yang benar dan lurus. Alquran sangat menakjubkan dan tak ada yang mampu meragukannya. Isinya benar-benar mengagumkan," terangnya.

Setelah kembali ke Roma, Cardilli dikabarkan menemui Perdana Menteri Silvio Berlusconi. Kepada pemimpin Italia itu, ia menjelaskan mengapa memutuskan masuk Islam. Sejumlah pihak di Italia saat itu mengharapkan keputusan sang dubes tidak sampai memberi angin kepada para teroris. Karena, yang menjadi sorotan kala itu bukan sekadar perpindahan keyakinan agama, tapi juga keputusannya yang berdekatan dengan peristiwa serangan pada 11 September 2001 ke menara kembar, World Trade Center, di New York, Amerika Serikat.

Setelah tragedi 11 September 2001 itu, di dalam negeri Italia sendiri muncul sentimen negatif terhadap umat Islam. Maka, wajarlah ada pihak yang menganggapnya masuk Islam karena pengaruh tragedi tersebut. Namun, masyarakat Muslim Eropa mengharapkan masyarakat Italia dapat menghargai keputusan Cardilli serta tidak mengaitkannya dengan peristiwa tersebut.

Mungkin, di tiga negara yang jumlah Muslimnya signifikan, seperti Jerman, Inggris, dan Prancis, figur publik yang masuk Islam semakin biasa. Namun, Italia mempunyai nilai kesensitifan tersendiri, terlebih karena di Italia terdapat pusat agama Katolik dunia, yakni Vatikan. Karena itu, wajarlah bila sejumlah pendeta mengkhawatirkan keislaman Cardilli akan menjadi preseden buruk bagi negara tersebut.

Saat ini, tercatat warga Muslim menjadi pemeluk agama terbesar kedua di Italia. Data statistik resmi Italia terakhir, yakni tahun 2005, menyebutkan bahwa jumlah Muslim yang tinggal di Italia diperkirakan antara 960 ribu hingga 1 juta orang. Sekitar 40 ribu hingga 60 ribu orang di antaranya merupakan warga negara Italia.

Peresmian Islamic Center tahun 1973 merupakan peristiwa penting bagi terciptanya dialog antara warga Muslim dan non-Muslim di Italia. Pada tahun 1999, kemudian dibentuk Islamic Council. Tak kurang dari empat ribu masjid sudah berdiri di sana, termasuk bangunan bekas gereja. Tentu saja, yang terbesar adalah Masjid Agung Roma.

SUKSESKAN GERAKAN YAYASAN ATE SARE ENDE

YAYASAN ATE SARE (YASSER)

Mari semua masyarakat Ende sukseskan gerakan YAYASAN ATE SARE (YASSER). Lembaga ini sangat membantu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat daerah/kabupaten Ende melalui program dan kegiatan guna mengangkat dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Islam daerah Ende.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan berkunjung web site http://atesare.org.




Di dukung oleh : http://www.ende-islam.co.id
Ende, 14 Juli 2010 / 1431 Hijriyah.

PERKEMBANGAN MUSLIM TIONGHOA DI INDONESIA

Pertumbuhan Muslim Tionghoa di Indonesia semakin pesat, khususnya di Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Bidang Kesra DPP Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Budijono.

"Di Jakarta saja jumlah Muslim Tionghoa saat ini sudah ratusan ribu orang," ujar Budijono yang juga memiliki nama Nurul Fajar, di sela Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pimpinan Pusat dan Daerah Intern Agama Islam di Pontianak, Kalbar, Rabu (14/7).

Dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia, menurut Budijono, 15 persen di antaranya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. ''Dan sebanyak lima persen dari 15 persen tersebut adalah Muslim,'' katanya.

Budijono mengingatkan, Islam sudah masuk ke Cina sejak 1.400 tahun lalu ketika Said bin Abu Waqos membangun Mesjid di Guangzhou, Cina. Sementara di Indonesia, Islam baru masuk 700 tahun lalu.

"Jadi sebenarnya di Cina, Islam sudah lebih dulu berkembang dan dianut puluhan juta orang. Kalau ada yang memisahkan antara keturunan Cina dengan warga Indonesia yang lain itu sebenarnya hanya politik penjajah untuk adu domba Cina-pribumi di masa lalu," kata Budijono.

Budijono mencontohkan, istilah 'baju koko' bagi pakaian pria untuk shalat, sebenarnya merupakan kosakata yang berasal dari kalangan orang Tionghoa. Namun demikian, ujar dia, kebanyakan Muslim Tionghoa di Indonesia bukan karena asal-usulnya, tapi lebih disebabkan masuk Islam karena 'panggilan hati'.

Pertumbuhan Islam di kalangan warga keturunan Tionghoa akan terus melaju karena menurut Budijono, ajaran Islam sangat komprehensif dan paling sempurna. "Saya sebelum ini sudah belajar agama-agama lain, tapi Islam yang menjawab semua pertanyaan saya sekaligus paling logis. Tidak ada dogma dalam Islam. Islam untuk orang yang beriman sekaligus berakal," kata ahli pengobatan yang masuk Islam sejak SMP itu.

Budijono mengatakan, PITI juga memiliki program pertukaran ulama antara Muslim keturunan Cina di Indonesia dan masyarakat Muslim di Cina. "Kami juga memiliki korps Mubaligh yang berdakwah untuk kalangan Tionghoa Indonesia. Banyak dari mereka ini masih cadel bahasa Indonesia karena biasa berbahasa Cina, tapi bahasa Arabnya juga jago," tegasnya.

Jumat, Juli 09, 2010

KABUPATEN ENDE SAMBUT BULAN PUASA RAMADHAN TAHUN INI DENGAN GEMBIRA

Bulan puasa Ramadhan tinggal 1 bulan lagi, masyarakat daerah Kabupaten Ende Flores NTT sangat antusias menyambut tamu agung tahun 2010 ini.

Berbagai persiapan menjelang bulan puasa Ramadhan baik secara fisik, maupun secara mental mulai dilakukan. Sebagian masyarakat Ende mulai menyiapkan berbagai kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder untuk bulan puasa nanti.

Persiapan fisik masyarakat Ende biasanya dilakukan dengan berolahraga teratur seperti jogging pagi ataupun jalan kaki di pagi hari untuk menjaga kesehatan sebelum puasa Ramadhan.

Persiapan secara mental yang dijalankan oleh masyarakat Kabupaten Ende adalah dengan melatih dan mengendalikan emosi maupun perasaan.

Dengan adanya persiapan-persiapan diatas diharapkan pada bulan Ramadhan nanti masyarakat Ende dapat menjalankan puasa Ramadhan dengan kusyu' dan menjaga konsentrasi dalam beribadah.

Selamat datang bulan Agung Ramadhan, selamat datang bulan yang penuh berkah dan pengampunan dari ALLAH SWT.

"MARHABAN YAA RAMADHAN 1431 HIJRIYAH / 2010 M"
 _____________________________________________________

www.ende-islam.co.id

Minggu, Juli 04, 2010

HIKMAH ISRA' MI'RAJ 1431 HIJRIYAH

Kalau kita baca sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, Rasulullah mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya dikala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang (walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas Nabi. Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya  kepada Nabi, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah SAW.
Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasullah semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah "menghibur" Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan menemui Allah. Hingga kini, peristiwa ini seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dalam peringatan Isra' Mi'raj. Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka beribadah (ibadah dalam artian ibadah ritual khusus). Namun peringatan tersebut juga terdapat beberapa catatan. Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di bawah ini.
Dalam Al Qur'an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya ada 4 ayat yang menjelaskan tentang Isra' Mi'raj, yaitu QS. Bani Israil ayat 1, dan QS. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya, kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra' Mi'raj ini, tapi pada konsepnya, sistemnya, muatannya, dan sebagainya. Pada surat An Najm ayat 13-15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra Mi'raj. Sebelumnya Rasulullah juga pernah menjumpai malaikat jibril dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (QS. Al Alaq: 1-5) dari Allah SWT, yaitu ketika di gua Hira.
Dan di antara 25 nabi, hanya 2 Nabi yang yang pernah berbicara langsung kepada Allah, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana dengan Nabi Adam, bukankah beliau juga pernah berdialog dengan Allah? Ya, tapi Nabi Adam ketika itu masih di Surga. Setelah diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog secara langsung. Nabi Musa berdialog dengan Allah secara langsung yaitu ketika di bukit Tursina (di bumi), sedangkan Nabi Muhammad di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi), kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya, di muatannya. Oleh karena itulah, peristiwa Isra' Mi'raj sendiri tidak perlu secara berlebihan diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri merupakan mukjizat imani, maksudnya adalah mukjizat yang hanya bisa diterima apabila kita beriman.
Meskipun hanya Nabi Muhammad yang telah diperjalankan pada malam harinya (Isra' Mi'raj), tapi dia tetaplah manusia biasa, hamba Allah. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum Islam (Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.