“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar,” (Qs Al-Anfaal: 28)
Manusia
dibekali beragam tanggung jawab dan berpotensi untuk berhasil maupun
gagal dalam mengemban amanah di serangkaian usia yang diberikan Allah
untuknya. Tanggung jawab itu ada yang bersifat Rubuubiyyah, tanggung
jawab pada Allah berupa melaksanakan seluruh ibadah lengkap dengan
meninggalkan larangan-Nya, juga tanggung jawab sosial kemasyarakatan,
karena kita hidup dalam kultur budaya, bahasa, suku, serta latar
belakang pendidikan yang sangat berbeda.
Kendati demikian
banyaknya tanggung jawab tersebut, yang paling vital dari serangkaian
tanggung jawab itu ialah tanggung jawab orang tua kepada ‘para
cobaannya’—dalam konteks ini Al-Quran merujuk pada harta dan anak.
Al-Quran
surah Al-Anfaal di atas menggunakan makna ‘fitnah’ yang berarti cobaan.
Cobaan yang dimaksud disini ialah bukan bencana, seperti yang diurai
oleh Prof M Quraish Shihab. Anak-anak diistilahkan sebagai ‘fitnah’,
karena mereka dapat menjadi surga jika ditempa, dididik, dirawat dengan
baik hingga menjadi buah hati yang shaleh dan mendoakan kebaikan untuk
kedua orangtuanya.
Namun sebaliknya, anak justru akan menjadi
sumber petaka, jika sang penerima amanah itu tidak dapat menjalani
fungsi seharusnya sebagai kepala rumah tangga, atau ibu yang memfokuskan
diri sebagai coordinator dari seluruh tanggung jawab rumah tangga.
Memang,
papar Prof Qurasih Shihab dalam karya ‘Perempuan’-nya, ibu tidak
diharamkan untuk bekerja selama—sekali lagi—selama pekerjaan itu
membutuhkannya dan ia pun dapat mengembangkan diri berkat pekerjaan itu,
tidak bertentangan dengan norma agama, dan lebih penting lagi, tidak
mengabaikan tanggungjawab utamanya sebagai istri bagi suami dan ibu bagi
anak-anaknya yang dapat membawa ketenangan.
Dalam surah lain,
dalam bunyi ayat yang sedikit berbeda dengan maksud senada, Allah Swt
berfirman, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar,” (Qs At Thagaabun:
15)
Betapa Allah mengulang ayatnya yang nyaris sama ini dua kali.
Perbedaannya terletak pada ‘penegasan’ atau lit-ta’kiid sebagai penguat
dengan lafadz ‘Inna’ agar kita, sebagai orangtua atau calon orangtua
betul-betul merawat, mendidik, dan membekali anak-anak dengan suplai
iman dan pendidikan yang berkualitas. Mendidik anak bukanlah melimpahkan
mereka materi yang tak terhitung jumlahnya, lantas meninggalkan mereka,
atau bahkan menitipkan mereka kepada keluarga dan orang lain tanpa
pantauan.
Mendidik, sejatinya ialah mendampingi dan memantau
tumbuh kembang anak dari baru ia dilahirkan ke dunia hingga ia cukup
dewasa dalam mengambil pilihan hidupnya (aqil baligh). Fenomena yang
terjadi saat ini sebaliknya. Orangtua sungguh sibuk berkarier di luar,
sedangkan buah hati mereka ditinggalkan dengan berlimpah materi yang
sejatinya ada hal yang ‘hilang’ dan tak mereka rasakan, yakni kasih
sayang. Padahal, rumah, khususnya ibu adalah madrasah pertama bagi
anak-anaknya.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar,” (Qs. An-Nisaa: 9)
Dari uraian di atas,
semoga kiranya cukup bagi kita tragedy tragis anak penyanyi ternama,
yang usianya masih sangat belia itu menjadi ‘ibrah berharga. Betapa
kurangnya pengawasan orangtua, dapat menjadi petaka yang tak hanya
menimpa buah hatinya saja, namun menewaskan belasan nyawa dan korban
lain luka-luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar