Selasa, Desember 25, 2012
AL-BITRA KOTA PETRA YANG INDAH
Kota Petra sempat hilang dari peradaban manusia selama 500 tahun, tepatnya sejak berakhirnya Perang Salib pada abad ke-12 M.
Berjarak sekitar 3-5 jam perjalanan dari kota Amman, Yordania, terdapat sebuah situs bersejarah. Bahkan, pada 2007 situs tersebut menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia. Peninggalan bersejarah yang begitu indah dan menakjubkan itu bernama Kota Petra.
Petra dalam bahasa Yunani berarti batu. Sedangkan, orang Arab menyebutnya al-Bitra. Situs arkeologi itu terletak di sebuah dataran rendah yang diapit oleh gunung-gunung yang membentuk sayap. Sejarah kota Petra pun tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Hadis tersebut memang tak menjelaskan secara langsung kota Petra. Namun, yang disebuat adalah bangsa Arab kuno bernama Anbath Asy-Syam. Menurut kitab Al-Qamus al-Islami, kota Petra yang indah dan menakjubkan merupakan peninggalan Anbath Asy-Syam – yakni bangsa Arab kuno yang tinggal di antara Semenanjung Sinai dan Harun.
Kota itu sempat menjadi pusat perdagangan para kafilah yang melakukan perjalanan antara Mesir, Jazirah Arab, dan Syam. Di awal kemunculan Islam, menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith al-Nabawi, ada beberapa peninggalan bangsa Anbath yang telah bercampur dengan bangsa lain.
‘’Konon, peradaban bangsa Anbath memiliki jenis tulisan (kaligrafi) yang dinamakan Khath Nabthi ,’’ ujar Dr Syauqi. Kota Petra sempat hilang dari peradaban manusia selama 500 tahun, tepatnya sejak berakhirnya Perang Salib pada abad ke-12 M.
Kota yang hilang itu baru diketahui peradaban Barat pada 1812. Adalah petualang berkebangsaan Swiss bernama Johann Ludwig Burckhardt yang kembali memperkenalkan kota itu. Yang mengetahui keberadaan kota itu adalah suku Badui yang tinggal di sekitar wilayah itu.
Keindahan dan kemegahan kota Petra dilukiskan oleh BBC dalam seuntai kalimat, ‘’Ini adalah satu dari 40 tempat yang harus Anda lihat sebelum mati.’’ Betapa tidak. Petra merupakan kota yang unik. Kota itu dibangun dengan cara memahat dinding-dinding batu.
Kota Petra merupakan simbol teknik dan perlindungan. Kota tersebut didirikan dengan menggali dan mengukir cadas setinggi 40 meter. Tak heran, jika kota itu sulit untuk ditembus musuh. Petra pun dikenal sebagai kota yang aman dari bencana alam, seperti badai pasir.
Kota itu di kelilingi gunung-gunung. Salah satunya ada yang memiliki ketinggian sekitar 1.350 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi itu disebut Gunung Harun (Jabal Harun) atau Gunung Hor atau El-Barra. Banyak yang meyakini, di puncak Jabal Harun itulah Nabi Harun meninggal dan dimakamkan oleh Nabi Musa. Konon, Rasulullah SAW pernah mengunjungi gunung itu bersama pamannya Abu Thalib, saat berdagang ke Syam (Suriah).
Tradisi Arab meyakini, Petra merupakan tempat Nabi Musa (Musa) memukul batu dengan tongkatnya hingga keluarlah air dari batu tersebut. Di kota itu juga terdapat nama tempat Wadi Musa untuk menyebut lembah sempit di wilayah itu.
Pada abad ke-14 Masehi, sebuah masjid dibangun di tempat itu dengan kubah berwarna putih yang terlihat dari berbagai area di sekitar Petra. Konon, Nabi Harun tiba di wilayah itu ketika mendampingi Nabi Musa membawa umatnya keluar dari Mesir dari kejaran Raja Firaun.
***
Petra didirikan enam tahun Sebelum Masehi. Ia merupakan ibukota kerajaan Nabatean. Adalah Raja Aretas IV yang membangun kota yang unik dan ajaib itu. Konon, Suku Nabatean membangun kota Petra dengan sistem pengairan yang luar biasa rumit. Peradaban itu memiliki teknologi hidrolik untuk mengangkat air.
Untuk menghidupi penduduknya, di kota itu, terdapat terowongan dan bilik air untuk menyalurkan air bersih ke kota. Selain itu, mereka juga sangat mahir dalam membuat tangki air bawah tanah untuk mengumpulkan air bersih yang bisa digunakan saat mereka bepergian jauh. Sehingga, di mana pun mereka berada, mereka bisa membuat galian untuk saluran air guna memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih.
Di akhir abad ke-4 Sebelum Masehi, berkembangnya dunia perdagangan membuat suku Nabatean turut berkecimpung dalam perdagangan dunia. Rute perdagangan dunia mulai tumbuh subur di bagian selatan Yordania dan selatan Laut Mati. Mereka lalu memanfaatkan posisi tempat tinggal mereka yang strategis itu sebagai salah satu rute perdagangan dunia.
Suku Nabatean akhirnya bisa menjadi para saudagar yang sukses, dengan berdagang dupa, rempah-rempah, dan gading yang antara lain berasal dari Arab bagian selatan dan India timur. Letaknya yang strategis untuk mengembangkan usaha dan hidup, serta aman untuk melindungi diri dari orang asing, membuat suku Nabatean memutuskan di kota batu itu.
Untuk mempertahankan kemakmuran yang telah diraih, mereka memungut bea cukai dan pajak kepada para pedagang setempat atau dari luar yang masuk ke sana. Suku Nabatean akhirnya berhasil membuat kota internasional yang unik dan tak biasa.
Seiring waktu, kota Petra pun dihuni puluhan ribu warga, hingga akhirnya berkembang menjadi kota perdagangan karena terletak di jalur distribusi barang antara Eropa dan Timur Tengah. Pada tahun 106 Masehi, Romawi mencaplok Petra, sehingga peran jalur perdagangannya melemah.
Sekitar 700 M, sistem hidrolik dan beberapa bangunan utama yang menunjang kehidupan masyarakat di kota itu hancur menjadi puing. Petra pun menghilang dari peta bumi saat itu dan tinggal legenda. Hingg akhirnya ditemukan lagi pada Abad ke-12 M.
Rabu, Desember 19, 2012
DUNIA INI PANGGUNG SANDIWARA
Ibarat panggung sandiwara, manusia lahir ke dunia (naik panggung) dan
meninggalkan dunia (turun panggung) dalam waktu yang sangat singkat.
Sebagaimana panggung sandiwara, kehidupan dunia bukanlah kehidupan sesungguhnya. Akhiratlah (setelah turun panggung) kehidupan yang sesungguhnya.
“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).
Karena itu, kerugianlah bagi orang-orang yang salah persepsi, yakni bersungguh-sungguh dalam permainan dunia dan bermain-main (tidak serius) dalam mempersiapkan akhiratnya. Dunia harusnya bisa menjadi penting, terutama dalam konteks mengumpulkan bekal pulang menuju akhirat. Selebihnya dunia tidak ada artinya dan tidak perlu dilebih-lebihkan.
Seperti panggung sandiwara, kehidupan dunia ada sutradaranya dan ada bintangnya. Kita semua adalah bintang sandiwara dunia. Namun, Allahlah sang Mahasutradara dan penyebab yang sesungguhnya.
Walau hanya permainan dan senda gurau, sang bintang tidak boleh lalai dari skenario yang ada. Berimprovisasi dan merespons reaksi penonton sah-sah saja asal tak berlebihan dan melenceng dari naskah.
Sebagaimana sandiwara, apa yang terjadi di dunia bukanlah sesuatu yang harus terlalu diseriusi atau dilebih-lebihkan. Jika ada yang memberi kesenangan, dia tidak benar-benar memberi kesenangan. Jika ada yang memberi kesusahan, dia tidak benar-benar memberi kesusahan.
Akankah kita marah kepada mitra sandiwara yang pura-pura memukul kita? Akankah kita membenci mitra sandiwara yang tidak mengembalikan uang kita? Tentu tidak. Semua itu sekadar panggung sandiwara.
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (QS at-Taghabun [64]: 11).
Izin Allahlah yang memungkinkan kesulitan dan kesenangan datang melalui seseorang atau kejadian. Akankah kita marah kepada Allah karena kesulitan-kesulitan kita? Tentunya tidak.
Akankah kita marah kepada orang ataupun keadaan yang menyulitkan kita? Sulit menjawabnya. Karena kita sudah terlatih dalam sandiwara dunia. Sandiwara yang melatih kita membesarkan dan melebih-lebihkan dunia serta isi dan kejadiannya. Jika kita tidak berani marah kepada Allah, seharusnya tidak juga perlu kebakaran jenggot atas kejadian maupun orang yang menyalahi kita.
Yang paling penting adalah selalu meningkatkan iman, agar Allah memberi petunjuk kepada hati-hati kita. Dan Allah itu Mahaluas serta Mahamengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” (QS Ali Imran [3]: 191). Wallahu a'lam.
Sebagaimana panggung sandiwara, kehidupan dunia bukanlah kehidupan sesungguhnya. Akhiratlah (setelah turun panggung) kehidupan yang sesungguhnya.
“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).
Karena itu, kerugianlah bagi orang-orang yang salah persepsi, yakni bersungguh-sungguh dalam permainan dunia dan bermain-main (tidak serius) dalam mempersiapkan akhiratnya. Dunia harusnya bisa menjadi penting, terutama dalam konteks mengumpulkan bekal pulang menuju akhirat. Selebihnya dunia tidak ada artinya dan tidak perlu dilebih-lebihkan.
Seperti panggung sandiwara, kehidupan dunia ada sutradaranya dan ada bintangnya. Kita semua adalah bintang sandiwara dunia. Namun, Allahlah sang Mahasutradara dan penyebab yang sesungguhnya.
Walau hanya permainan dan senda gurau, sang bintang tidak boleh lalai dari skenario yang ada. Berimprovisasi dan merespons reaksi penonton sah-sah saja asal tak berlebihan dan melenceng dari naskah.
Sebagaimana sandiwara, apa yang terjadi di dunia bukanlah sesuatu yang harus terlalu diseriusi atau dilebih-lebihkan. Jika ada yang memberi kesenangan, dia tidak benar-benar memberi kesenangan. Jika ada yang memberi kesusahan, dia tidak benar-benar memberi kesusahan.
Akankah kita marah kepada mitra sandiwara yang pura-pura memukul kita? Akankah kita membenci mitra sandiwara yang tidak mengembalikan uang kita? Tentu tidak. Semua itu sekadar panggung sandiwara.
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (QS at-Taghabun [64]: 11).
Izin Allahlah yang memungkinkan kesulitan dan kesenangan datang melalui seseorang atau kejadian. Akankah kita marah kepada Allah karena kesulitan-kesulitan kita? Tentunya tidak.
Akankah kita marah kepada orang ataupun keadaan yang menyulitkan kita? Sulit menjawabnya. Karena kita sudah terlatih dalam sandiwara dunia. Sandiwara yang melatih kita membesarkan dan melebih-lebihkan dunia serta isi dan kejadiannya. Jika kita tidak berani marah kepada Allah, seharusnya tidak juga perlu kebakaran jenggot atas kejadian maupun orang yang menyalahi kita.
Yang paling penting adalah selalu meningkatkan iman, agar Allah memberi petunjuk kepada hati-hati kita. Dan Allah itu Mahaluas serta Mahamengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” (QS Ali Imran [3]: 191). Wallahu a'lam.
Selasa, Desember 18, 2012
SENJATA BARU PALESTINA MELAWAN ZIONIS ISRAEL
Palestina punya senjata baru untuk melawan usaha Israel memperluas
pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Senjata utama Palestina untuk
"menghancurkan" usaha Israel itu ada di forum PBB.
Palestina berencana mengadukan setiap usaha perluasan pemukiman Yahudi kepada Dewan Keamanan PBB. "Sangat penting dan perlu mengambil tindakan terhadap Israel dengan membawanya ke Dewan Keamanan PBB," kata juru bicara Palestina, Nabil Abu Rudeina seperti dikutip Aljazeera.
Usaha yang dilakukan Palestina ini dipastikan akan menyeret atensi Dewan Kaeamanan PBB. Pasalnya, kini status Palestina telah ditingkatkan menjadi negara peninjau non-anggota.
Status ini mendapat dukungan dari mayoritas negara dunia kecuali selegintir anggota PBB, salah satunya Amerika Serikat. Kendati tidak didukung Amerika di PBB, Palestina bergeming.
Mereka tetap yakin perjuangan di forum PBB akan jadi senjata melumpuhkan Negara Zionis. Ini karena dukungan dari mayoritas negara di dunia.
Atas dasar itulah, Nabil optimis usaha membawa masalah perluasan pemukiman Yahudi ke PBB akan membuahkan hasil. Israel, kata dia, bisa dihentikan! "Kita melapor ke PBB untuk mencegah tindakan semena-mena Israel," tegas dia.
Palestina berencana mengadukan setiap usaha perluasan pemukiman Yahudi kepada Dewan Keamanan PBB. "Sangat penting dan perlu mengambil tindakan terhadap Israel dengan membawanya ke Dewan Keamanan PBB," kata juru bicara Palestina, Nabil Abu Rudeina seperti dikutip Aljazeera.
Usaha yang dilakukan Palestina ini dipastikan akan menyeret atensi Dewan Kaeamanan PBB. Pasalnya, kini status Palestina telah ditingkatkan menjadi negara peninjau non-anggota.
Status ini mendapat dukungan dari mayoritas negara dunia kecuali selegintir anggota PBB, salah satunya Amerika Serikat. Kendati tidak didukung Amerika di PBB, Palestina bergeming.
Mereka tetap yakin perjuangan di forum PBB akan jadi senjata melumpuhkan Negara Zionis. Ini karena dukungan dari mayoritas negara di dunia.
Atas dasar itulah, Nabil optimis usaha membawa masalah perluasan pemukiman Yahudi ke PBB akan membuahkan hasil. Israel, kata dia, bisa dihentikan! "Kita melapor ke PBB untuk mencegah tindakan semena-mena Israel," tegas dia.
Jumat, Desember 14, 2012
KRITERIA CALON PASANGAN HIDUP DALAM ISLAM
Suatu malam, ketika Umar bin Khattab sedang meronda dan
ingin mengetahui kondisi rakyatnya, ia mendengar seorang wanita berkata kepada
putrinya. “Bangun dan bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya.”
Mendengar hal itu, putrinya menjawab, “Ibu, tidakkah Ibu tahu ketetapan Amirul Mukminin?”
Ibunya berkata, “Bukan, itu bukan ketetapan Amirul Mukminin.”
Atas hal itu, putrinya berkata, “Justru itu perkara yang diserukannya. Ia mengimbau, janganlah mencampur susu dengan air.”
Namun sang ibu tetap ngotot. “Bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya. Karena engkau berada di tempat yang tak dilihat Umar dan ia juga tidak menyerukannya.”
Spontan putrinya menjawab, “Ibu, jika Umar tidak tahu, tapi Tuhan Umar tahu. Tidak, aku tidak mau taat pada-Nya hanya dalam keramaian saja, tetapi maksiat dalam kesendirian.”
Maka begitu tiba waktu pagi, Umar berkata kepada anaknya, Ashim. “Pergilah ke rumah itu karena di sana ada seorang gadis. Jika belum bersuami, nikahilah ia. Semoga Allah menganugerahimu keturunan yang diberkahi.” Setelah mengetahuinya statusnya, Ashim pun melamar gadis itu dan menikahinya.
Benar saja, setelah Ashim menikahi perempuan itu, ia dikaruniai seorang anak yang bernama Ummu Ashim (Laila). Setelah dewasa, anak itu dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dan, hasil dari pernikahan Abdul Aziz dan Ummu Ashim ini, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil.
Dari kisah tersebut, kita melihat bagaimana Umar bin Khattab memilih calon menantunya. Bukan melirik keturunan, kedudukan, apalagi kekayaan, melainkan agamanya, sekalipun ia seorang yang miskin. Seperti pesan Nabi SAW, “Pilihlah perempuan yang mempunyai agama, niscaya engkau beruntung.”
Umar sangat terkesan dengan kualitas keimanan gadis itu sehingga ia menjadikan anak itu sebagai pasangan untuk anaknya.
Apa yang dilakukan Umar ini merupakan langkah paling dini untuk meretas keturunan ideal dan generasi rabbani, yaitu memilih calon ibu yang salehah, paham akan hak Rabb-nya, hak suaminya, hak anak-anaknya, mengerti akan misinya dalam kehidupan.
Hari-hari belakangan ini, kita sering menyaksikan bagaimana pernikahan atau memilih calon menantu hanya dilandasi karena gengsi dan mengejar popularitas. Sementara kriteria agama diletakkan pada urutan terakhir, bahkan acap kali diabaikan.
Calon mertua amat bangga bila besannya memiliki sejumlah barang yang mewah dan perhiasan berlimpah kendati akhlak menantunya luput dari perhatiannya. Senada dengan orang tuanya, calon pengantin pun memiliki parameter yang sama.
Memang, kriteria harta, kecantikan, ketampanan, dan keturunan merupakan perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah. Namun, jika mengabaikan pertimbangan agama, semua itu ibarat angka nol yang berjejer tiga, tak memiliki nilai sama sekali. Namun, begitu ditambah dengan angka satu, yakni kualitas agamanya, angka nol itu pun berubah menjadi seribu. Wallahu a’lam.
Mendengar hal itu, putrinya menjawab, “Ibu, tidakkah Ibu tahu ketetapan Amirul Mukminin?”
Ibunya berkata, “Bukan, itu bukan ketetapan Amirul Mukminin.”
Atas hal itu, putrinya berkata, “Justru itu perkara yang diserukannya. Ia mengimbau, janganlah mencampur susu dengan air.”
Namun sang ibu tetap ngotot. “Bergegaslah ke (tempat) susu, campurkan air ke dalamnya. Karena engkau berada di tempat yang tak dilihat Umar dan ia juga tidak menyerukannya.”
Spontan putrinya menjawab, “Ibu, jika Umar tidak tahu, tapi Tuhan Umar tahu. Tidak, aku tidak mau taat pada-Nya hanya dalam keramaian saja, tetapi maksiat dalam kesendirian.”
Maka begitu tiba waktu pagi, Umar berkata kepada anaknya, Ashim. “Pergilah ke rumah itu karena di sana ada seorang gadis. Jika belum bersuami, nikahilah ia. Semoga Allah menganugerahimu keturunan yang diberkahi.” Setelah mengetahuinya statusnya, Ashim pun melamar gadis itu dan menikahinya.
Benar saja, setelah Ashim menikahi perempuan itu, ia dikaruniai seorang anak yang bernama Ummu Ashim (Laila). Setelah dewasa, anak itu dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dan, hasil dari pernikahan Abdul Aziz dan Ummu Ashim ini, lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil.
Dari kisah tersebut, kita melihat bagaimana Umar bin Khattab memilih calon menantunya. Bukan melirik keturunan, kedudukan, apalagi kekayaan, melainkan agamanya, sekalipun ia seorang yang miskin. Seperti pesan Nabi SAW, “Pilihlah perempuan yang mempunyai agama, niscaya engkau beruntung.”
Umar sangat terkesan dengan kualitas keimanan gadis itu sehingga ia menjadikan anak itu sebagai pasangan untuk anaknya.
Apa yang dilakukan Umar ini merupakan langkah paling dini untuk meretas keturunan ideal dan generasi rabbani, yaitu memilih calon ibu yang salehah, paham akan hak Rabb-nya, hak suaminya, hak anak-anaknya, mengerti akan misinya dalam kehidupan.
Hari-hari belakangan ini, kita sering menyaksikan bagaimana pernikahan atau memilih calon menantu hanya dilandasi karena gengsi dan mengejar popularitas. Sementara kriteria agama diletakkan pada urutan terakhir, bahkan acap kali diabaikan.
Calon mertua amat bangga bila besannya memiliki sejumlah barang yang mewah dan perhiasan berlimpah kendati akhlak menantunya luput dari perhatiannya. Senada dengan orang tuanya, calon pengantin pun memiliki parameter yang sama.
Memang, kriteria harta, kecantikan, ketampanan, dan keturunan merupakan perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah. Namun, jika mengabaikan pertimbangan agama, semua itu ibarat angka nol yang berjejer tiga, tak memiliki nilai sama sekali. Namun, begitu ditambah dengan angka satu, yakni kualitas agamanya, angka nol itu pun berubah menjadi seribu. Wallahu a’lam.
Selasa, Desember 11, 2012
MENGENAL KOTA BETHLEHEM PALESTINA
Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW
bersabda, “Aku diberikan kendaraan lebih baik dari keledai dan bukan
bagal, jalannya begitu cepat, lalu aku mengendarainya bersama Jibril as,
lalu aku sampai pada suatu tempat. Jibril berkata, ‘Turun dan
shalatlah.’ Maka, aku pun melakukannya. Lalu, dia berkata, ‘Tahukah
engkau tadi shalat di mana?’ Aku berkata, ‘Aku shalat di Tiba (Madinah)
dan kepadanya aku berhijrah.’
Kemudian, dia berkata, ‘Turun dan shalatlah!’ Maka, aku pun melakukannya. Kemudian, dia berkata, ‘Tahukah engkau tadi shalat di mana?’ Aku berkata, ‘Tadi aku shalat di Bukit Sinai dan di situlah Nabi Musa berbicara langsung dengan Allah SWT.’ Kemudian, dia berkata, ‘Turun dan shalatlah!’ Maka, aku pun melakukannya. Kemudian, dia berkata, ‘Tahukah engkau tadi shalat di mana?’ ‘Tadi aku shalat di Bethlehem dan di situlah Nabi Isa dilahirkan. Kemudian, aku masuk ke Baitul Maqdis dan di situ dikumpulkan para nabi maka akupun diperintahkan oleh Jibril untuk menjadi imam mereka.’” ( HR an-Nasa’i).
Hadis di atas menggambarkan sebagian perjalanan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam peristiwa Isra Mi’raj. Bagi umat Islam, ini merupakan peristiwa yang sangat penting karena saat itu Rasulullah mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu. Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.
Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara 620-621 M. Sementara, menurut al-Allamah al- Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian dan inilah yang populer. Namun demikian, Syekh Shafiyurrahman al- Mubarakfuri menolak pendapat tersebut. Alasannya, Khadijah ra wafat pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yaitu dua bulan setelah bulan Rajab. Dan, saat itu belum ada kewajiban shalat lima waktu.
Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa, yakni Isra dan Mi’raj. Dalam Isra, Rasulullah “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Nah, dalam perjalanan dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa inilah, Rasulullah sempat singgah di tempat kelahiran Nabi Isa al-Masih, Bethlehem.
Lalu, dalam Mi’raj, Rasulullah dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.
Kota budaya dan wisata
Berada di wilayah Palestina, Bethlehem merupakan kota budaya dan wisata, khususnya wisata rohani. Hal ini dimungkinkan karena umat Islam maupun Kristiani meyakini, di kota inilah Nabi Isa al-Masih (umat Kristiani menyebutnya Yesus) lahir, lebih dari 2.000 tahun silam.
Berpenduduk sekitar 29 ribu jiwa (pada 2005), Bethlehem berada di wilayah Tepi Barat, Palestina. Sejak 1995, Otoritas Palestina memegang kekuasaan penuh atas kota ini. Sebelumnya, sejak perang 1967, Bethlehem berada di bawah ceng keram an Israel. Penyerahan Bethlehem kepada Palestina pada 1995 diikuti dengan perayaan Natal yang juga dihadiri Pemimpin PLO Yasser Arafat.
Selain penting bagi umat Islam dan Nasrani, kota ini juga penting bagi kaum Yahudi. Mereka meyakini, Bethlehem adalah kota tempat Daud dilahirkan. Daud adalah raja Israel yang diyakini telah merebut Jerusalem dari genggaman kaum Jebusit.
Dalam bahasa Ibrani, menurut bethlehem- city.org, Bethlehem berarti “rumah roti”, sementara dalam bahasa Arab disebut Bayt Lahm yang berarti “rumah daging”. Namun, ada yang menyebutkan, kata Bethlehem diambil dari kata “lahmo”, yakni dewa kesubur an orang-orang Khaldea, yang diambil dari bahasa orang-orang Kanaan, yakni Lahama.
Secara geografis, Bethlehem terletak sekitar 10 km sebelah selatan Jerusalem. Kota ini berada dalam sebuah cekungan dengan bagian pinggiran kota lebih tinggi dari pusatnya. Berada pada ketinggian 765 meter di atas permukaan laut, Bethlehem dikelilingi perbukitan yang membentang ke arah Gurun Yudea. Sejauh mata memandang ke arah gurun tersebut, yang tampak adalah hamparan kebun anggur, pohon zaitun, dan rumahrumah kecil di perkampungan. Kota raya Bethlehem juga mencakup kota kecil Beit Jala dan Beit Sahour.
Sejarah mencatat, kota ini dihuni manusia sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Sementara, orang-orang Kanaan adalah kelompok manusia yang diyakini menjadi penduduk pertama Bethlehem. Kota ini juga memiliki nama lain, yakni Afrat atau Afratah, yang artinya kesuburan dan tumbuh-tumbuhan.
Kemudian, dia berkata, ‘Turun dan shalatlah!’ Maka, aku pun melakukannya. Kemudian, dia berkata, ‘Tahukah engkau tadi shalat di mana?’ Aku berkata, ‘Tadi aku shalat di Bukit Sinai dan di situlah Nabi Musa berbicara langsung dengan Allah SWT.’ Kemudian, dia berkata, ‘Turun dan shalatlah!’ Maka, aku pun melakukannya. Kemudian, dia berkata, ‘Tahukah engkau tadi shalat di mana?’ ‘Tadi aku shalat di Bethlehem dan di situlah Nabi Isa dilahirkan. Kemudian, aku masuk ke Baitul Maqdis dan di situ dikumpulkan para nabi maka akupun diperintahkan oleh Jibril untuk menjadi imam mereka.’” ( HR an-Nasa’i).
Hadis di atas menggambarkan sebagian perjalanan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam peristiwa Isra Mi’raj. Bagi umat Islam, ini merupakan peristiwa yang sangat penting karena saat itu Rasulullah mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu. Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.
Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara 620-621 M. Sementara, menurut al-Allamah al- Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian dan inilah yang populer. Namun demikian, Syekh Shafiyurrahman al- Mubarakfuri menolak pendapat tersebut. Alasannya, Khadijah ra wafat pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yaitu dua bulan setelah bulan Rajab. Dan, saat itu belum ada kewajiban shalat lima waktu.
Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa, yakni Isra dan Mi’raj. Dalam Isra, Rasulullah “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Nah, dalam perjalanan dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa inilah, Rasulullah sempat singgah di tempat kelahiran Nabi Isa al-Masih, Bethlehem.
Lalu, dalam Mi’raj, Rasulullah dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.
Kota budaya dan wisata
Berada di wilayah Palestina, Bethlehem merupakan kota budaya dan wisata, khususnya wisata rohani. Hal ini dimungkinkan karena umat Islam maupun Kristiani meyakini, di kota inilah Nabi Isa al-Masih (umat Kristiani menyebutnya Yesus) lahir, lebih dari 2.000 tahun silam.
Berpenduduk sekitar 29 ribu jiwa (pada 2005), Bethlehem berada di wilayah Tepi Barat, Palestina. Sejak 1995, Otoritas Palestina memegang kekuasaan penuh atas kota ini. Sebelumnya, sejak perang 1967, Bethlehem berada di bawah ceng keram an Israel. Penyerahan Bethlehem kepada Palestina pada 1995 diikuti dengan perayaan Natal yang juga dihadiri Pemimpin PLO Yasser Arafat.
Selain penting bagi umat Islam dan Nasrani, kota ini juga penting bagi kaum Yahudi. Mereka meyakini, Bethlehem adalah kota tempat Daud dilahirkan. Daud adalah raja Israel yang diyakini telah merebut Jerusalem dari genggaman kaum Jebusit.
Dalam bahasa Ibrani, menurut bethlehem- city.org, Bethlehem berarti “rumah roti”, sementara dalam bahasa Arab disebut Bayt Lahm yang berarti “rumah daging”. Namun, ada yang menyebutkan, kata Bethlehem diambil dari kata “lahmo”, yakni dewa kesubur an orang-orang Khaldea, yang diambil dari bahasa orang-orang Kanaan, yakni Lahama.
Secara geografis, Bethlehem terletak sekitar 10 km sebelah selatan Jerusalem. Kota ini berada dalam sebuah cekungan dengan bagian pinggiran kota lebih tinggi dari pusatnya. Berada pada ketinggian 765 meter di atas permukaan laut, Bethlehem dikelilingi perbukitan yang membentang ke arah Gurun Yudea. Sejauh mata memandang ke arah gurun tersebut, yang tampak adalah hamparan kebun anggur, pohon zaitun, dan rumahrumah kecil di perkampungan. Kota raya Bethlehem juga mencakup kota kecil Beit Jala dan Beit Sahour.
Sejarah mencatat, kota ini dihuni manusia sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Sementara, orang-orang Kanaan adalah kelompok manusia yang diyakini menjadi penduduk pertama Bethlehem. Kota ini juga memiliki nama lain, yakni Afrat atau Afratah, yang artinya kesuburan dan tumbuh-tumbuhan.
PELAJARAN DARI KISAH JOHA DAN KELEDAI
Alkisah, dalam kitab “Azhraf al-Zharfa'”, Joha bersama putranya pergi ke
pasar mengendarai keledai, sementara putranya berjalan di sampingnya.
Ketika melewati kerumunan, terdengar celoteh, "Dasar orang tua semena-mena, masak anaknya disuruh berjalan kaki."
Merasa tidak nyaman dengan celotehan, Joha turun dari punggung keledai dan berganti posisi dengan anak.
Di kerumunan lain, terdengar cemoohan, "Dasar anak durhaka, tega sekali membiarkan bapaknya berjalan kaki sementara ia duduk enak." Ia menyuruh putranya turun dan berjalan kaki bersamanya sementara keledainya dituntun.
Beberapa langkah kemudian, orang-orang berkomentar, "Orang aneh, mengapa keledai itu tidak dinaiki." Ia bersama sang anak menaiki punggung keledai.
Di lokasi selanjutnya, orang-orang berseloroh, "Bapak dan anak sama dungunya, masak seekor keledai lemah ditunggangi berdua." Tak mau dianggap orang bersalah, Joha dan anaknya turun, lalu keledai itu dipanggul berdua.
Anak-anak kecil yang melihatnya girang dan tertawa-tawa. Keduanya berjalan hingga sampai di jembatan kecil. Joha bingung dan serbasalah. Akhirnya, keledai itu dilemparnya ke sungai.
Cerita di atas adalah gambaran orang yang tidak teguh dalam prinsip. Nashruddin Joha atau dikenal dengan Nashruddin Hoja, tokoh unik pada masa keemasan Islam. Ia bermaksud pergi ke pasar untuk berdagang bersama putranya.
Dalam perjalanan, ia terjebak dalam tindakan yang membuat dirinya kebingungan. Bingung bukan lantaran tawar-menawar harga atau menghitung keuntungan, melainkan bingung karena melakukan tindakan yang tak dimengerti oleh dirinya sendiri.
Joha lupa bahwa tujuan perjalanannya adalah berdagang ke pasar. Maksud hati menyenangkan setiap orang, apa daya bingung yang didapat.
Karakter Joha dalam kisah di atas menurut teori kepribadian dikenal dengan //conformist personality, pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya.
Tindakan ini muncul karena ada perasaan khawatir tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Dampak dari kepribadian ini adalah rentan untuk dikuasai oleh pengaruh-pengaruh liar dan tak mampu mempertahankan tujuan atau prinsip.
Menurut hierarki Maslow, aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi (meta-needs) dalam hidup. Aktualisasi diri muncul karena adanya konsistensi terhadap tujuan. Aktualisasi diri penting sebab jika tak terpenuhi (bagi sebagian orang yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya) bisa berakibat metapatologi (penyakit kejiwaan), seperti sinisme, kebencian, kegelisahan, depresi dan metapatologi lainnya.
Namun, dalam kisah Joha, ia terlampau khawatir sehingga melakukan kekeliruan cara meraihnya, bahkan mengorbankan tujuannya. Akibatnya, Joha menderita kerugian waktu, energi, dan keledai.
Alquran memberi solusi untuk mengantisipasi kekeliruan di atas, yaitu dengan istiqamah (konsistensi). "Tetap teguhlah kamu pada jalan yang benar sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu." (QS Hud: 112).
Selanjutnya, bertawakal dengan keputusan yang telah diambil. "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159). Wallahu a'lam.
Ketika melewati kerumunan, terdengar celoteh, "Dasar orang tua semena-mena, masak anaknya disuruh berjalan kaki."
Merasa tidak nyaman dengan celotehan, Joha turun dari punggung keledai dan berganti posisi dengan anak.
Di kerumunan lain, terdengar cemoohan, "Dasar anak durhaka, tega sekali membiarkan bapaknya berjalan kaki sementara ia duduk enak." Ia menyuruh putranya turun dan berjalan kaki bersamanya sementara keledainya dituntun.
Beberapa langkah kemudian, orang-orang berkomentar, "Orang aneh, mengapa keledai itu tidak dinaiki." Ia bersama sang anak menaiki punggung keledai.
Di lokasi selanjutnya, orang-orang berseloroh, "Bapak dan anak sama dungunya, masak seekor keledai lemah ditunggangi berdua." Tak mau dianggap orang bersalah, Joha dan anaknya turun, lalu keledai itu dipanggul berdua.
Anak-anak kecil yang melihatnya girang dan tertawa-tawa. Keduanya berjalan hingga sampai di jembatan kecil. Joha bingung dan serbasalah. Akhirnya, keledai itu dilemparnya ke sungai.
Cerita di atas adalah gambaran orang yang tidak teguh dalam prinsip. Nashruddin Joha atau dikenal dengan Nashruddin Hoja, tokoh unik pada masa keemasan Islam. Ia bermaksud pergi ke pasar untuk berdagang bersama putranya.
Dalam perjalanan, ia terjebak dalam tindakan yang membuat dirinya kebingungan. Bingung bukan lantaran tawar-menawar harga atau menghitung keuntungan, melainkan bingung karena melakukan tindakan yang tak dimengerti oleh dirinya sendiri.
Joha lupa bahwa tujuan perjalanannya adalah berdagang ke pasar. Maksud hati menyenangkan setiap orang, apa daya bingung yang didapat.
Karakter Joha dalam kisah di atas menurut teori kepribadian dikenal dengan //conformist personality, pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya.
Tindakan ini muncul karena ada perasaan khawatir tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Dampak dari kepribadian ini adalah rentan untuk dikuasai oleh pengaruh-pengaruh liar dan tak mampu mempertahankan tujuan atau prinsip.
Menurut hierarki Maslow, aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi (meta-needs) dalam hidup. Aktualisasi diri muncul karena adanya konsistensi terhadap tujuan. Aktualisasi diri penting sebab jika tak terpenuhi (bagi sebagian orang yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya) bisa berakibat metapatologi (penyakit kejiwaan), seperti sinisme, kebencian, kegelisahan, depresi dan metapatologi lainnya.
Namun, dalam kisah Joha, ia terlampau khawatir sehingga melakukan kekeliruan cara meraihnya, bahkan mengorbankan tujuannya. Akibatnya, Joha menderita kerugian waktu, energi, dan keledai.
Alquran memberi solusi untuk mengantisipasi kekeliruan di atas, yaitu dengan istiqamah (konsistensi). "Tetap teguhlah kamu pada jalan yang benar sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu." (QS Hud: 112).
Selanjutnya, bertawakal dengan keputusan yang telah diambil. "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159). Wallahu a'lam.
Rabu, Desember 05, 2012
HAKIKAT DAN INDAHNYA IBADAH
Hakikat ibadah yang diterima hanya Allah yang mengetahui. Namun, hal itu
bisa dinilai dengan sesuatu yang tampak dari ibadahnya. Di antaranya,
"hubbul 'ibadah", sangat senang beribadah.
Muazin baru saja melewati rumahnya, artinya azan belum sama sekali dikeraskan, hatinya terliputi bahagia. Apalagi ketika azan sudah dikumandangkan. Dia sudah memastikan berada di barisan shaf shalat terdepan dan lisannya terus menjawab setiap bait-bait azan.
Inilah tanda kedua yaitu "intizharul awqat", merindukan dan menanti-nanti waktu ibadah. Wajahnya memancar aura cemas, yaitu takut ketinggalan apalagi sampai meninggalkannya.
Seperti semalam dia ketiduran, karena lelah yang hebat, sehingga tahajud menjadi terlalaikan. Maka pagi hari, wajah ketidaknyamanan menyebar pada aktivitas hariannya. Sering murung dan selalu komat-kamit beristighfar. Padahal, dia sudah merangkai shalat Dhuha dengan mengqadha tahajud.
Berikutnya, berusaha maksimal untuk mempelajari kualitas ibadah yakni tercapainya kekhusyukan dan keikhlasan. Ada kesungguhan dalam menyempurnakan kekurangan ilmu dan bersegera menerapkannya berulang-ulang. Baik dalam prosesi ibadah maupun penerjemahannya dalam amaliah harian.
Dalam shalat, ia bermujahadah, tunduk, pasrah bersedekap, merendahkan bacaan, dan diam tumakninah (QS Thaha: 108). Di luar shalat, memancar kearifan dengan menyibukkan diri dalam muhasabah (introspeksi).
Tanda lain bisa dilihat dari kegemarannya yang tidak putus dalam berdoa. Selalu dalam setiap selesai shalat, terdengar doa-doa permohonan agar dimaafkan segala kekurangan, kesalahan, dan diterima semua ibadah. Dia telah memutus kebiasaan selesai shalat meninggalkan tempat (kabur). Sekarang, dia terlihat sangat menikmati saat berzikir dan munajat seusai shalat. Di tangannya tasbih terus melingkar.
Di akhir doa, dia merapatkan dahinya pada alas sejadah. Tersungkur dan menangis, bahkan hingga membengkak kedua kakinya (QS Maryam [19]: 58). Menangis karena rasa syukur bisa menikmati ibadah sekaligus rasa takut terhadap azab Allah, baik di dunia atau di akhirat kelak.
Rumah tangga yang dijalin terlihat "sakkanun”, sangat damai dan tidak beriak. Wajah suami-istri dan anak-anak sumringah bahagia. Santun dan penuh khidmat, baik pada keluarga maupun pada lingkungan dan tetangganya. Bahkan, sangat senang untuk berkumpul dalam lingkungan yang sama yang berbalut semangat ibadah dan dakwah.
Subhanallah. Menyenangkan dan menenangkan. Begitulah seharusnya efek dari menikmati ibadah. Tentu kita tidak mau ibadah yang kita senangi ini akan menjadi salat yang hanya tinggal gerak badan tanpa getar hati.
Ibadah haji dan umrah hanya menjadi salah satu di antara tujuan wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai Ramadhan.
Sekali lagi, nikmati keadaan ibadah saudara, dengan hati dan diniati mencari kebaikan semata-mata hanya rida Allah yang menjadi tujuannya
Muazin baru saja melewati rumahnya, artinya azan belum sama sekali dikeraskan, hatinya terliputi bahagia. Apalagi ketika azan sudah dikumandangkan. Dia sudah memastikan berada di barisan shaf shalat terdepan dan lisannya terus menjawab setiap bait-bait azan.
Inilah tanda kedua yaitu "intizharul awqat", merindukan dan menanti-nanti waktu ibadah. Wajahnya memancar aura cemas, yaitu takut ketinggalan apalagi sampai meninggalkannya.
Seperti semalam dia ketiduran, karena lelah yang hebat, sehingga tahajud menjadi terlalaikan. Maka pagi hari, wajah ketidaknyamanan menyebar pada aktivitas hariannya. Sering murung dan selalu komat-kamit beristighfar. Padahal, dia sudah merangkai shalat Dhuha dengan mengqadha tahajud.
Berikutnya, berusaha maksimal untuk mempelajari kualitas ibadah yakni tercapainya kekhusyukan dan keikhlasan. Ada kesungguhan dalam menyempurnakan kekurangan ilmu dan bersegera menerapkannya berulang-ulang. Baik dalam prosesi ibadah maupun penerjemahannya dalam amaliah harian.
Dalam shalat, ia bermujahadah, tunduk, pasrah bersedekap, merendahkan bacaan, dan diam tumakninah (QS Thaha: 108). Di luar shalat, memancar kearifan dengan menyibukkan diri dalam muhasabah (introspeksi).
Tanda lain bisa dilihat dari kegemarannya yang tidak putus dalam berdoa. Selalu dalam setiap selesai shalat, terdengar doa-doa permohonan agar dimaafkan segala kekurangan, kesalahan, dan diterima semua ibadah. Dia telah memutus kebiasaan selesai shalat meninggalkan tempat (kabur). Sekarang, dia terlihat sangat menikmati saat berzikir dan munajat seusai shalat. Di tangannya tasbih terus melingkar.
Di akhir doa, dia merapatkan dahinya pada alas sejadah. Tersungkur dan menangis, bahkan hingga membengkak kedua kakinya (QS Maryam [19]: 58). Menangis karena rasa syukur bisa menikmati ibadah sekaligus rasa takut terhadap azab Allah, baik di dunia atau di akhirat kelak.
Rumah tangga yang dijalin terlihat "sakkanun”, sangat damai dan tidak beriak. Wajah suami-istri dan anak-anak sumringah bahagia. Santun dan penuh khidmat, baik pada keluarga maupun pada lingkungan dan tetangganya. Bahkan, sangat senang untuk berkumpul dalam lingkungan yang sama yang berbalut semangat ibadah dan dakwah.
Subhanallah. Menyenangkan dan menenangkan. Begitulah seharusnya efek dari menikmati ibadah. Tentu kita tidak mau ibadah yang kita senangi ini akan menjadi salat yang hanya tinggal gerak badan tanpa getar hati.
Ibadah haji dan umrah hanya menjadi salah satu di antara tujuan wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai Ramadhan.
Sekali lagi, nikmati keadaan ibadah saudara, dengan hati dan diniati mencari kebaikan semata-mata hanya rida Allah yang menjadi tujuannya
Selasa, Desember 04, 2012
HORMATI DAN MULIAKAN PEREMPUAN
Potret kehormatan tertinggi terhadap perempuan tumbuh setelah diutusnya Rasulullah SAW.
Jauh sebelum itu, zaman yang kita kenal sebagai zaman Arab Jahiliyah, menganggap bahwa perempuan tidak lebih dari makhluk yang dapat diperjualbelikan, dicerai kapan saja suaminya menginginkan, tidak mendapat warisan dan bahkan hanya sebagai makhluk yang berkewajiban melayani nafsu lelaki hidung belang hingga terpuaskan.
Kondisi mengenaskan juga terjadi pada wanita sejak zaman Yunani kuno di mana perempuan hanya dipandang sebagai fasilitas kenikmatan seksual.
Juga pada peradaban Romawi, perempuan dapat diperjualbelikan. Sedangkan peradaban India menganggap bahwa perempuan adalah makhluk najis karena mereka tidak berhak hidup jika suaminya meninggal dunia.
Dari keempat peradaban tentang wanita tersebut di atas, perspektif teologi pun turut memberikan sumbangsihnya dalam memandang perempuan. Sekiranya terdapat empat faktor yang berpotensi menjadi sebab penting dalam memengaruhi pembentukan anggapan stereotip terhadap perempuan.
Pertama, anggapan bahwa perempuan tercipta sebagai pelengkap Adam. Kedua, tempat di mana manusia diciptakan (surga) telah melahirkan pelbagai mitos yang merendahkan perempuan.
Ketiga, anggapan perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki menjadikan posisi wanita lebih rendah dari laki-laki. Keempat, anggapan bahwa godaan perempuanlah yang menyebabkan Adam dan Hawa terusir dari surga.
Beragam kondisi dan anggapan yang dinilai kurang relevan karena seolah merendahkan martabat perempuan terhapuskan kala Rasulullah SAW diutus dan menganjurkan kaum lelaki untuk memuliakan para wanita—bahkan, salah satu surah Alquran dinamai An-Nisaa (para wanita) karena memuat beberapa syariat Allah dan keterkaitan hukum.
An-Nisa sendiri dibuka tentang penciptaan laki-laki dan perempuan (An-Nisa: 1), pemeliharaan harta anak yatim dan isyarat monogami demi kemaslahatan perempuan (An-Nisa: 2-3), pemberian mahar untuk perempuan (An-Nisa: 4), dan keseimbangan hak waris untuk lelaki juga perempuan (An-Nisa: 7).
Juga tentang hak istri untuk mendapatkan teguran dari suami jika ia nusyuz (An-Nisa: 34), kekhawatiran nusyuz dan hak wanita untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya dan larangan agar suami tidak mencari kesalahan istri (An-Nisa: 128), serta kewaspadaan bagi kaum lelaki dalam mengambil keputusan berpoligami, sebab penegasan Allah ada kecenderungan bersikap tidak adil terhadap istri-istrinya (An-Nisa: 129).
Betapa luhurnya penghargaan Allah untuk perempuan hingga seluruh syariat-Nya termaktub rapi. Jika Allah dan Rasul-Nya memberikan penghormatan yang apresiatif terhadap partner lelaki ini, maka memuliakan perempuan yang sering dianggap second sex (makhluk kedua setelah lelaki), adalah suatu keharusan yang bukan sekedar penghormatan secara lahiriah saja.
Dalam konteks kekinian, penghormatan itu termasuk dalam menjaga hak seorang istri demi kelangsungan ranah keharmonisan rumah tangga. Jika kita kaitkan akhir-akhir ini dengan kasus seorang bupati yang menikahi gadis lalu dengan sekehendak hatinya menceraikan via pesan singkat. Tentu bukan hal demikian yang dianjurkan Islam.
Memuliakan perempuan berarti menaruh empati terhadap kebaikan dan penghidupan mereka sepenuhnya baik lingkup rumah tangga, sosial masyarakat, bahkan lingkup Negara—menjadikan mereka partner ibadah kepada Allah dengan tanpa keluar dari lingkup kodrati.
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim).
Jauh sebelum itu, zaman yang kita kenal sebagai zaman Arab Jahiliyah, menganggap bahwa perempuan tidak lebih dari makhluk yang dapat diperjualbelikan, dicerai kapan saja suaminya menginginkan, tidak mendapat warisan dan bahkan hanya sebagai makhluk yang berkewajiban melayani nafsu lelaki hidung belang hingga terpuaskan.
Kondisi mengenaskan juga terjadi pada wanita sejak zaman Yunani kuno di mana perempuan hanya dipandang sebagai fasilitas kenikmatan seksual.
Juga pada peradaban Romawi, perempuan dapat diperjualbelikan. Sedangkan peradaban India menganggap bahwa perempuan adalah makhluk najis karena mereka tidak berhak hidup jika suaminya meninggal dunia.
Dari keempat peradaban tentang wanita tersebut di atas, perspektif teologi pun turut memberikan sumbangsihnya dalam memandang perempuan. Sekiranya terdapat empat faktor yang berpotensi menjadi sebab penting dalam memengaruhi pembentukan anggapan stereotip terhadap perempuan.
Pertama, anggapan bahwa perempuan tercipta sebagai pelengkap Adam. Kedua, tempat di mana manusia diciptakan (surga) telah melahirkan pelbagai mitos yang merendahkan perempuan.
Ketiga, anggapan perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki menjadikan posisi wanita lebih rendah dari laki-laki. Keempat, anggapan bahwa godaan perempuanlah yang menyebabkan Adam dan Hawa terusir dari surga.
Beragam kondisi dan anggapan yang dinilai kurang relevan karena seolah merendahkan martabat perempuan terhapuskan kala Rasulullah SAW diutus dan menganjurkan kaum lelaki untuk memuliakan para wanita—bahkan, salah satu surah Alquran dinamai An-Nisaa (para wanita) karena memuat beberapa syariat Allah dan keterkaitan hukum.
An-Nisa sendiri dibuka tentang penciptaan laki-laki dan perempuan (An-Nisa: 1), pemeliharaan harta anak yatim dan isyarat monogami demi kemaslahatan perempuan (An-Nisa: 2-3), pemberian mahar untuk perempuan (An-Nisa: 4), dan keseimbangan hak waris untuk lelaki juga perempuan (An-Nisa: 7).
Juga tentang hak istri untuk mendapatkan teguran dari suami jika ia nusyuz (An-Nisa: 34), kekhawatiran nusyuz dan hak wanita untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya dan larangan agar suami tidak mencari kesalahan istri (An-Nisa: 128), serta kewaspadaan bagi kaum lelaki dalam mengambil keputusan berpoligami, sebab penegasan Allah ada kecenderungan bersikap tidak adil terhadap istri-istrinya (An-Nisa: 129).
Betapa luhurnya penghargaan Allah untuk perempuan hingga seluruh syariat-Nya termaktub rapi. Jika Allah dan Rasul-Nya memberikan penghormatan yang apresiatif terhadap partner lelaki ini, maka memuliakan perempuan yang sering dianggap second sex (makhluk kedua setelah lelaki), adalah suatu keharusan yang bukan sekedar penghormatan secara lahiriah saja.
Dalam konteks kekinian, penghormatan itu termasuk dalam menjaga hak seorang istri demi kelangsungan ranah keharmonisan rumah tangga. Jika kita kaitkan akhir-akhir ini dengan kasus seorang bupati yang menikahi gadis lalu dengan sekehendak hatinya menceraikan via pesan singkat. Tentu bukan hal demikian yang dianjurkan Islam.
Memuliakan perempuan berarti menaruh empati terhadap kebaikan dan penghidupan mereka sepenuhnya baik lingkup rumah tangga, sosial masyarakat, bahkan lingkup Negara—menjadikan mereka partner ibadah kepada Allah dengan tanpa keluar dari lingkup kodrati.
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim).
Langganan:
Postingan (Atom)