Potret kehormatan tertinggi terhadap perempuan tumbuh setelah diutusnya Rasulullah SAW.
Jauh
sebelum itu, zaman yang kita kenal sebagai zaman Arab Jahiliyah,
menganggap bahwa perempuan tidak lebih dari makhluk yang dapat
diperjualbelikan, dicerai kapan saja suaminya menginginkan, tidak
mendapat warisan dan bahkan hanya sebagai makhluk yang berkewajiban
melayani nafsu lelaki hidung belang hingga terpuaskan.
Kondisi
mengenaskan juga terjadi pada wanita sejak zaman Yunani kuno di mana
perempuan hanya dipandang sebagai fasilitas kenikmatan seksual.
Juga pada peradaban Romawi, perempuan dapat diperjualbelikan.
Sedangkan peradaban India menganggap bahwa perempuan adalah makhluk
najis karena mereka tidak berhak hidup jika suaminya meninggal dunia.
Dari
keempat peradaban tentang wanita tersebut di atas, perspektif teologi
pun turut memberikan sumbangsihnya dalam memandang perempuan. Sekiranya
terdapat empat faktor yang berpotensi menjadi sebab penting dalam
memengaruhi pembentukan anggapan stereotip terhadap perempuan.
Pertama,
anggapan bahwa perempuan tercipta sebagai pelengkap Adam. Kedua, tempat
di mana manusia diciptakan (surga) telah melahirkan pelbagai mitos yang
merendahkan perempuan.
Ketiga, anggapan perempuan tercipta dari
tulang rusuk laki-laki menjadikan posisi wanita lebih rendah dari
laki-laki. Keempat, anggapan bahwa godaan perempuanlah yang menyebabkan
Adam dan Hawa terusir dari surga.
Beragam kondisi dan anggapan
yang dinilai kurang relevan karena seolah merendahkan martabat perempuan
terhapuskan kala Rasulullah SAW diutus dan menganjurkan kaum lelaki
untuk memuliakan para wanita—bahkan, salah satu surah Alquran dinamai
An-Nisaa (para wanita) karena memuat beberapa syariat Allah dan
keterkaitan hukum.
An-Nisa sendiri dibuka tentang penciptaan
laki-laki dan perempuan (An-Nisa: 1), pemeliharaan harta anak yatim dan
isyarat monogami demi kemaslahatan perempuan (An-Nisa: 2-3), pemberian
mahar untuk perempuan (An-Nisa: 4), dan keseimbangan hak waris untuk
lelaki juga perempuan (An-Nisa: 7).
Juga tentang hak istri untuk
mendapatkan teguran dari suami jika ia nusyuz (An-Nisa: 34),
kekhawatiran nusyuz dan hak wanita untuk mengadakan perdamaian dengan
suaminya dan larangan agar suami tidak mencari kesalahan istri (An-Nisa:
128), serta kewaspadaan bagi kaum lelaki dalam mengambil keputusan
berpoligami, sebab penegasan Allah ada kecenderungan bersikap tidak adil
terhadap istri-istrinya (An-Nisa: 129).
Betapa luhurnya penghargaan Allah untuk perempuan hingga seluruh
syariat-Nya termaktub rapi. Jika Allah dan Rasul-Nya memberikan
penghormatan yang apresiatif terhadap partner lelaki ini, maka
memuliakan perempuan yang sering dianggap second sex (makhluk kedua
setelah lelaki), adalah suatu keharusan yang bukan sekedar penghormatan
secara lahiriah saja.
Dalam konteks kekinian, penghormatan itu
termasuk dalam menjaga hak seorang istri demi kelangsungan ranah
keharmonisan rumah tangga. Jika kita kaitkan akhir-akhir ini dengan
kasus seorang bupati yang menikahi gadis lalu dengan sekehendak hatinya
menceraikan via pesan singkat. Tentu bukan hal demikian yang dianjurkan
Islam.
Memuliakan perempuan berarti menaruh empati terhadap
kebaikan dan penghidupan mereka sepenuhnya baik lingkup rumah tangga,
sosial masyarakat, bahkan lingkup Negara—menjadikan mereka partner
ibadah kepada Allah dengan tanpa keluar dari lingkup kodrati.
“Janganlah
seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu
tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan
tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar