Hakikat ibadah yang diterima hanya Allah yang mengetahui. Namun, hal itu
bisa dinilai dengan sesuatu yang tampak dari ibadahnya. Di antaranya,
"hubbul 'ibadah", sangat senang beribadah.
Muazin baru saja
melewati rumahnya, artinya azan belum sama sekali dikeraskan, hatinya
terliputi bahagia. Apalagi ketika azan sudah dikumandangkan. Dia sudah
memastikan berada di barisan shaf shalat terdepan dan lisannya terus
menjawab setiap bait-bait azan.
Inilah tanda kedua yaitu
"intizharul awqat", merindukan dan menanti-nanti waktu ibadah. Wajahnya
memancar aura cemas, yaitu takut ketinggalan apalagi sampai
meninggalkannya.
Seperti semalam dia ketiduran, karena lelah
yang hebat, sehingga tahajud menjadi terlalaikan. Maka pagi hari, wajah
ketidaknyamanan menyebar pada aktivitas hariannya. Sering murung dan
selalu komat-kamit beristighfar. Padahal, dia sudah merangkai shalat
Dhuha dengan mengqadha tahajud.
Berikutnya, berusaha maksimal
untuk mempelajari kualitas ibadah yakni tercapainya kekhusyukan dan
keikhlasan. Ada kesungguhan dalam menyempurnakan kekurangan ilmu dan
bersegera menerapkannya berulang-ulang. Baik dalam prosesi ibadah maupun
penerjemahannya dalam amaliah harian.
Dalam shalat, ia
bermujahadah, tunduk, pasrah bersedekap, merendahkan bacaan, dan diam
tumakninah (QS Thaha: 108). Di luar shalat, memancar kearifan dengan
menyibukkan diri dalam muhasabah (introspeksi).
Tanda lain bisa
dilihat dari kegemarannya yang tidak putus dalam berdoa. Selalu dalam
setiap selesai shalat, terdengar doa-doa permohonan agar dimaafkan
segala kekurangan, kesalahan, dan diterima semua ibadah. Dia telah
memutus kebiasaan selesai shalat meninggalkan tempat (kabur). Sekarang,
dia terlihat sangat menikmati saat berzikir dan munajat seusai shalat.
Di tangannya tasbih terus melingkar.
Di akhir doa, dia merapatkan
dahinya pada alas sejadah. Tersungkur dan menangis, bahkan hingga
membengkak kedua kakinya (QS Maryam [19]: 58). Menangis karena rasa
syukur bisa menikmati ibadah sekaligus rasa takut terhadap azab Allah,
baik di dunia atau di akhirat kelak.
Rumah tangga yang dijalin
terlihat "sakkanun”, sangat damai dan tidak beriak. Wajah suami-istri
dan anak-anak sumringah bahagia. Santun dan penuh khidmat, baik pada
keluarga maupun pada lingkungan dan tetangganya. Bahkan, sangat senang
untuk berkumpul dalam lingkungan yang sama yang berbalut semangat ibadah
dan dakwah.
Subhanallah. Menyenangkan dan menenangkan.
Begitulah seharusnya efek dari menikmati ibadah. Tentu kita tidak mau
ibadah yang kita senangi ini akan menjadi salat yang hanya tinggal gerak
badan tanpa getar hati.
Ibadah haji dan umrah hanya menjadi
salah satu di antara tujuan wisata. Baitullah hanya tampak sebagai
seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau
Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa
menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai
Ramadhan.
Sekali lagi, nikmati keadaan ibadah saudara, dengan
hati dan diniati mencari kebaikan semata-mata hanya rida Allah yang
menjadi tujuannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar