Alhamdulillah, sekarang sudah memasuki musim penghujan. Di mana-mana hujan turun. Ada yang lebat, sedang, tapi ada pula yang ringan.
Ketika
hujan turun, beragam cara kita menyikapinya. Ada yang senang, gembira,
dan penuh suka cita karena sudah lama hujan tak turun. Tapi banyak pula
yang kesal, marah, jengkel, dan kecewa, karena merasa dirugikan akibat
hujan tersebut.
Bagi yang senang dengan turunnya hujan, di
antaranya adalah petani. Sebab, hujan akan menyuburkan lahannya yang
tandus atau gersang. Hujan membuat tanamannya menjadi subur, sehingga
penghasilannya pun akan bertambah.
Tetapi hujan yang turun secara terus menerus, terkadang juga menjadi bencana bagi petani. Hujan yang terus-menerus itu bisa menyebabkan tanamannya rusak.
Apalagi kalau sampai terjadi banjir, petani kerap mengeluh karena tanamannya menjadi puso atau gagal panen.
Seperti
halnya petani yang mengeluh karena hujan yang turun secara
terus-menerus, mayoritas umat manusia pun menyikapinya dengan cara yang
sama.
Kesal, jengkel, marah, dan mengeluh, karena hujan telah merugikannya. Tak jarang, umpatan dan cacian terlontar dari mulutnya.
Mereka kecewa karena hujan merugikan dirinya. Para ibu pun tak kalah mengeluhnya. Jemuran tak kering, mau pergi ke mana-mana nggak bisa, nggak bisa pergi ke pasar, dan lain sebagainya.
Tukang
ojek mengeluh karena hujan menyebabkan pendapatannya mungkin akan
menurun. Dia tak bisa pergi mengantar penumpang, sebab penumpang lebih
memilih naik angkutan umum.
Tetapi, di balik orang-orang yang
mengeluh itu, banyak pula yang mensyukurinya. Sopir angkutan umum
bersyukur dengan hujan yang turun, karena calon penumpang tukang ojek
akan berpindah ke angkutan umum.
Tukang jual payung bersyukur
karena jualan payungnya akan laris. Tukang jual jas hujan beruntung
karena penjualan jas hujan akan meningkat.
Karena itu, tak semua
orang merugi dengan datangnya hujan. Tak semua orang sengsara dengan
hujan. Sebab, ada pihak lain yang mendapatkan manfaat dari hujan itu.
Lalu,
bagaimanakah sikap kita sebagai seorang Muslim tatkala hujan turun?
Sudah selayaknya kita bersyukur atas nikmat dan karunia Allah berupa
hujan itu. Sebab, pada hakikatnya, tak ada satu pun ciptaan Allah SWT
yang sia-sia atau tak bermanfaat.
"Yaitu orang-orang yang
senantiasa mengingat Allah dengan berdiri, duduk atau sambil berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata:
Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci
Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." (QS Ali Imran [3]: 191).
Dan Rasulullah SAW mengajarkan kepada umat Islam, agar selalu berdoa di saat hujan turun. "Allahumma shabiyyan naafi'an. Ya Allah, jadikanlah hujan ini membawa manfaat."
"Dia-lah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia-lah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu
janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu
mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 22).
Selasa, November 25, 2014
Senin, November 24, 2014
IBARAT MEMAKAN BANGKAI
Dalam
keseharian, ada kebiasaan yang kadang kita tidak sadari, yaitu
membicarakan orang lain. Menanyakan kabar si Fulan tentu saja sangat
baik. Tapi, bila disertai dengan sikap mencemooh, apalagi berprasangka
buruk dan bergosip ria, tak elok rasanya. Memang, gosip itu makin
digosok makin sip.
Di waktu senggang, saat bercengkerama dengan tetangga atau rekan kerja, kerap terselip obrolan tentang kebaikan atau keburukan saudara kita. Apalagi, musim kampanye politik ketika saling menjelekkan (bergunjing) dan fitnah menjadi biasa.
Ibarat meminum es, bergunjing sangat mengasyikan, bahkan membuat pelakunya ketagihan tak ada habisnya. Rupanya, kita lupa bahwa tak ada seorang pun dalam kehidupan ini yang sempurna. Jika pun terpaksa membicarakan keburukan orang lain, hendaknya tidak disebutkan nama dan dijadikan hikmah agar kita tak melakukan perbuatan serupa.
Bergunjing merupakan penyakit jiwa yang berbahaya, termasuk kelompok nafsu lawwâmah. Munculnya karena sifat iri dengki dalam hati, tidak suka, cemburu, dan benci. Fitnah dan gosip pun tersebar ke masyarakat. Lalu, muncul guyonan, "Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah."
Sadarilah, kebiasaan tersebut sangat merugikan karena akan memakan amal kebaikan kita seperti api yang membakar kayu. Bahkan, Allah SWT menyerupakannya dengan memakan bangkai manusia.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujuraat:12)
Bahkan, Rasululllah SAW mewanti-wanti agar kita sebagai umatnya menjauhi perbuatan menggunjing. Diriwayatkan Abu Dawud, Abu Hurairah berkata, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?" Rasulullah menjawab, "Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya." Ditanyakan lagi, "Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?" Rasulullah menjawab, "Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta."
Bayangkan bila yang digunjingkan itu kita atau keluarga, sangat menyakitkan bukan? Introspeksi dirilah lebih banyak lagi. Sibukkanlah diri dengan berbagai aktivitas positif sehingga tak sempat lagi bergunjing. Berprasangka baiklah kepada sesama. Pahamilah semua manusia selalu ada sisi kurangnya, ingatlah selalu sisi baiknya.
Apabila ada tetangga atau saudara yang sukses, kekayaannya bertambah, ikutlah senang. Siapa tahu kita akan ikut merasakan kesuksesannya. Tidak perlu terlalu curiga mendapat rezeki dari mana sehingga kekayaannya melimpah ruah. Jadikanlah penyemangat, giatlah bekerja. Setelah segala ikhtiar dilakukan, bertawakallah kepada-Nya. Syukurilah apa yang telah Allah karuniakan kepada kita.
Jauhkan diri dari perbuatan dosa karena itu berpotensi menjadikan gunjingan tetangga atau rekan kerja dan berlindunglah kepada Allah agar terhindar dari perilaku tercela tersebut. Renungkanlah, jika saja Allah SWT membukakan aib kita, betapa malu dan rendahnya kita di hadapan anak, keluarga, tetangga, dan manusia lainnya. Tutuplah aib saudara sendiri, jadikanlah pelajaran, dan berusahalah untuk terus menjadi manusia yang terbaik dalam penilaian-Nya. Wallâhu'alam
Di waktu senggang, saat bercengkerama dengan tetangga atau rekan kerja, kerap terselip obrolan tentang kebaikan atau keburukan saudara kita. Apalagi, musim kampanye politik ketika saling menjelekkan (bergunjing) dan fitnah menjadi biasa.
Ibarat meminum es, bergunjing sangat mengasyikan, bahkan membuat pelakunya ketagihan tak ada habisnya. Rupanya, kita lupa bahwa tak ada seorang pun dalam kehidupan ini yang sempurna. Jika pun terpaksa membicarakan keburukan orang lain, hendaknya tidak disebutkan nama dan dijadikan hikmah agar kita tak melakukan perbuatan serupa.
Bergunjing merupakan penyakit jiwa yang berbahaya, termasuk kelompok nafsu lawwâmah. Munculnya karena sifat iri dengki dalam hati, tidak suka, cemburu, dan benci. Fitnah dan gosip pun tersebar ke masyarakat. Lalu, muncul guyonan, "Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah."
Sadarilah, kebiasaan tersebut sangat merugikan karena akan memakan amal kebaikan kita seperti api yang membakar kayu. Bahkan, Allah SWT menyerupakannya dengan memakan bangkai manusia.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujuraat:12)
Bahkan, Rasululllah SAW mewanti-wanti agar kita sebagai umatnya menjauhi perbuatan menggunjing. Diriwayatkan Abu Dawud, Abu Hurairah berkata, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?" Rasulullah menjawab, "Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya." Ditanyakan lagi, "Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?" Rasulullah menjawab, "Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta."
Bayangkan bila yang digunjingkan itu kita atau keluarga, sangat menyakitkan bukan? Introspeksi dirilah lebih banyak lagi. Sibukkanlah diri dengan berbagai aktivitas positif sehingga tak sempat lagi bergunjing. Berprasangka baiklah kepada sesama. Pahamilah semua manusia selalu ada sisi kurangnya, ingatlah selalu sisi baiknya.
Apabila ada tetangga atau saudara yang sukses, kekayaannya bertambah, ikutlah senang. Siapa tahu kita akan ikut merasakan kesuksesannya. Tidak perlu terlalu curiga mendapat rezeki dari mana sehingga kekayaannya melimpah ruah. Jadikanlah penyemangat, giatlah bekerja. Setelah segala ikhtiar dilakukan, bertawakallah kepada-Nya. Syukurilah apa yang telah Allah karuniakan kepada kita.
Jauhkan diri dari perbuatan dosa karena itu berpotensi menjadikan gunjingan tetangga atau rekan kerja dan berlindunglah kepada Allah agar terhindar dari perilaku tercela tersebut. Renungkanlah, jika saja Allah SWT membukakan aib kita, betapa malu dan rendahnya kita di hadapan anak, keluarga, tetangga, dan manusia lainnya. Tutuplah aib saudara sendiri, jadikanlah pelajaran, dan berusahalah untuk terus menjadi manusia yang terbaik dalam penilaian-Nya. Wallâhu'alam
JALAN MENUJU KESUKSESAN
Setiap orang yang hidup di atas bumi menginginkan hidupnya selalu
sukses. Hanya sedikit yang mampu mencapainya. Kebanyakan belum mencapai
level tersebut. Jika demikian, ada satu pertanyaan besar, mengapa orang
yang menginginkan kesuksesan belum kunjung juga mendapatkanya? Untuk
pertanyaan ini, Nabi Muhammad SAW sudah memberikan jawabannya.
Rasulullah SAW mengatakan, "Man salaka thariqan yaltamisu fihi ilman sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah (Barangsiapa berjalan (keluar) mencari ilmu, sesungguhnya Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga)." (Hadis riwayat Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Hadis itu menguraikan, Rasulullah menyebut seseorang yang sedang berjalan untuk menuntut ilmu dengan kata "salaka". Padahal, berjalan dalam bahasa Arab tidak hanya "salaka", masih ada kata "masya", "sara", "safara", atau "dzahaba".
Pertanyaannya, mengapa kata "salaka" yang dipilih Nabi, bukan selainnya. Rupanya, kata-kata selain "salaka" hanya mempunyai arti utama berjalan. Perjalannya, terkadang, hanya untuk mencari kesenangan belaka. Mungkin, pembaca pernah mendengar, orang yang berjalan untuk mencari hiburan disebut dengan "tamasya". Kata tersebut berasal dari kata "masya".
Jika Nabi menggunakan kata ini, niscaya orang yang menuntut ilmu ini hanya akan mencari kesenangan belaka. Padahal, perjalanan mencari ilmu bukanlah untuk mencari kesenangan.
"Salaka" bermakna orang yang berjalan dengan tegap dan cepat serta dengan pandangan fokus ke tujuan yang diimpikan. Dalam hal menuntut ilmu, Nabi menginginkan agar "thalib al-ilm" benar-benar berjalan dengan tegap dan cepat, bukan berjalan dengan berleha-leha, apalagi merangkak. Jika ia tidak fokus, ia akan berhenti di tengah perjalanan, bahkan akan kembali ke rumah-jika ada hambatan yang mengadang.
Dengan berjalan tegap dan cepat, dia sekarang berada di tengah-tengah perjalanan. Nabi mengingatkan orang ini agar perjalanannya diiringi dengan "yaltamisu", berpegang (memegang). Dalam hal ini pula, Nabi menggunakan kata "yaltamisu", bukan "yumsiku" atau "qabadha".
Jika "Yumsiku" yang digunakan oleh Nabi maka orang ini hanya akan sekadar memegang. Sementara, "yaltamisu" memiliki makna memegang erat-erat atau kuat-kuat. Bak orang yang hendak hampir jatuh ke jurang, orang ini akan memegangi ranting dengan kuat. Jika tidak, pasti ia akan jatuh ke dalam jurang.
Begitu juga dengan orang yang menuntut ilmu. Ketika sudah berada di tengah-tengah perjalanan (salaka), ia juga berpegang kuat-kuat. Dalam konteks ini, dia harus memegang kuat niat yang ada di dalam jiwanya. Dia pun tidak akan berhenti di tengah jalan meski diadang seribu halangan.
Kata kunci selanjutnya dalam hadis Nabi di atas ialah "jannah" yang berarti surga. Surga merupakan gambaran dari suatu tempat yang di dalamnya penuh kenikmatan. Tiap orang yang menikmati fasilitasnya, tidak perlu lagi bekerja. Semua hal yang diinginkan sudah disediakan di dalamnya.
Surga dengan gambaran demikian baru bisa dinikmati oleh seseorang ketika sudah meninggal dunia. Lantas, apakah surga seperti itu jadi jaminan bagi penuntut ilmu? Nabi SAW sadar, penuntut ilmu hidup di atas bumi. Dia menginginkan kehidupannya mapan dan tercukupi segala kebutuhannya.
Oleh karenanya, surga (jannah) dalam hadis di atas hanya merupakan simbol. "Jannah" di atas bermakna kesuksesan. Orang yang sudah sukses, hidupnya penuh dengan kenikmatan. Segala kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan baik.
Dengan demikian, makna dari hadis Nabi di atas ialah, "Barang siapa yang mengadakan perjalanan dengan sungguh-sungguh untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk menuju kesuksesan." Inilah jaminan kepada siapa saja yang sudah berilmu, hidupnya akan sukses. Tidaklah mungkin orang tersebut akan sengsara. Wallahu A’lam.
Rasulullah SAW mengatakan, "Man salaka thariqan yaltamisu fihi ilman sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah (Barangsiapa berjalan (keluar) mencari ilmu, sesungguhnya Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga)." (Hadis riwayat Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Hadis itu menguraikan, Rasulullah menyebut seseorang yang sedang berjalan untuk menuntut ilmu dengan kata "salaka". Padahal, berjalan dalam bahasa Arab tidak hanya "salaka", masih ada kata "masya", "sara", "safara", atau "dzahaba".
Pertanyaannya, mengapa kata "salaka" yang dipilih Nabi, bukan selainnya. Rupanya, kata-kata selain "salaka" hanya mempunyai arti utama berjalan. Perjalannya, terkadang, hanya untuk mencari kesenangan belaka. Mungkin, pembaca pernah mendengar, orang yang berjalan untuk mencari hiburan disebut dengan "tamasya". Kata tersebut berasal dari kata "masya".
Jika Nabi menggunakan kata ini, niscaya orang yang menuntut ilmu ini hanya akan mencari kesenangan belaka. Padahal, perjalanan mencari ilmu bukanlah untuk mencari kesenangan.
"Salaka" bermakna orang yang berjalan dengan tegap dan cepat serta dengan pandangan fokus ke tujuan yang diimpikan. Dalam hal menuntut ilmu, Nabi menginginkan agar "thalib al-ilm" benar-benar berjalan dengan tegap dan cepat, bukan berjalan dengan berleha-leha, apalagi merangkak. Jika ia tidak fokus, ia akan berhenti di tengah perjalanan, bahkan akan kembali ke rumah-jika ada hambatan yang mengadang.
Dengan berjalan tegap dan cepat, dia sekarang berada di tengah-tengah perjalanan. Nabi mengingatkan orang ini agar perjalanannya diiringi dengan "yaltamisu", berpegang (memegang). Dalam hal ini pula, Nabi menggunakan kata "yaltamisu", bukan "yumsiku" atau "qabadha".
Jika "Yumsiku" yang digunakan oleh Nabi maka orang ini hanya akan sekadar memegang. Sementara, "yaltamisu" memiliki makna memegang erat-erat atau kuat-kuat. Bak orang yang hendak hampir jatuh ke jurang, orang ini akan memegangi ranting dengan kuat. Jika tidak, pasti ia akan jatuh ke dalam jurang.
Begitu juga dengan orang yang menuntut ilmu. Ketika sudah berada di tengah-tengah perjalanan (salaka), ia juga berpegang kuat-kuat. Dalam konteks ini, dia harus memegang kuat niat yang ada di dalam jiwanya. Dia pun tidak akan berhenti di tengah jalan meski diadang seribu halangan.
Kata kunci selanjutnya dalam hadis Nabi di atas ialah "jannah" yang berarti surga. Surga merupakan gambaran dari suatu tempat yang di dalamnya penuh kenikmatan. Tiap orang yang menikmati fasilitasnya, tidak perlu lagi bekerja. Semua hal yang diinginkan sudah disediakan di dalamnya.
Surga dengan gambaran demikian baru bisa dinikmati oleh seseorang ketika sudah meninggal dunia. Lantas, apakah surga seperti itu jadi jaminan bagi penuntut ilmu? Nabi SAW sadar, penuntut ilmu hidup di atas bumi. Dia menginginkan kehidupannya mapan dan tercukupi segala kebutuhannya.
Oleh karenanya, surga (jannah) dalam hadis di atas hanya merupakan simbol. "Jannah" di atas bermakna kesuksesan. Orang yang sudah sukses, hidupnya penuh dengan kenikmatan. Segala kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan baik.
Dengan demikian, makna dari hadis Nabi di atas ialah, "Barang siapa yang mengadakan perjalanan dengan sungguh-sungguh untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk menuju kesuksesan." Inilah jaminan kepada siapa saja yang sudah berilmu, hidupnya akan sukses. Tidaklah mungkin orang tersebut akan sengsara. Wallahu A’lam.
Kamis, November 20, 2014
DEKATKAN DIRI ANDA DENGAN AL-QUR'AN
Seberapa Dekat Anda dengan Al Quran Al Karim?
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ
وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:
Saudaraku seiman…
HARUS DIYAKINI BAHWA AL QURAN AL KARIM ADALAH PETUNJUK SEORANG MANUSIA UNTUK HIDUP DI DUNIA.
Coba perhatikan ayat-ayat yang mulia berikut:
{وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً
وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ } [النحل:
89]
Artinya: “…Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.QS. An
Nahl:89
{الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2)} [البقرة: 1، 2]
Artinya: “Alif Laam Miim.” “Kitab (Al
Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.” QS. Al Baqarah: 1-2.
{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ } [البقرة: 185]
Artinya: “ulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang batil).” QS. Al Baqarah: 185.
{ تِلْكَ آيَاتُ الْقُرْآنِ وَكِتَابٍ مُبِينٍ (1) هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (2)} [النمل: 1، 2]
Artinya: “Ini adalah ayat-ayat Al
Qur'an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan.” “untuk menjadi petunjuk
dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman,” QS. An Naml:1-2.
{
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ
الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا
كَبِيرًا} [الإسراء: 9]
Artinya: “Sesungguhnya Al Qur'an ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar
gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.” QS. Al Isra’: 9.
DENGAN MENGIKUTI AL QURAN AL KARIM DIJAMIN SESEORANG TIDAK AKAN TERSESAT DI DUNIA DAN SESNGSARA DI AKHIRAT.
{
قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا
يَشْقَى (123)} [طه: 123]
Artinya: “Allah berfirman: "Turunlah
kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi
sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu
barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak
akan celaka.” QS. Thaha: 123.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsiri ayat di atas:
عَن
ابْن عَبَّاس قَالَ: أَجَارَ الله تَابع الْقُرْآن من أَن يضل فِي
الدُّنْيَا أَو يشقى فِي الْآخِرَة ثمَّ قَرَأَ: {فَمن اتبع هُدَايَ فَلَا
يضل وَلَا يشقى} قَالَ: لَا يضل فِي الدُّنْيَا وَلَا يشقى فِي الْآخِرَة
“Allah telah menjamin seorang yang
mengikuti Al Quran tidak sesat di dalam dunia atau sengsara di akhirat”,
kemudian beliau membaca: “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku
maka ia tidak akan sesat dan sengsara”, beliau berkata berkata: “Tidak
akan sesat di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat.” Lihat kitab Ad
Durr Al Mantsur Fi At Tafsir Bi Al Ma’tsur, 5/607 dan kitab tafsir Ibnu
Katsir, 5/322.
{ مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى } [طه: 2]
Artinya: “Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” QS. Thaha: 2.
MENJAUHI AL QURAN DAN TIDAK BERIMAN KEPADANYA TERMASUK KEBIASAAN DOMINAN ORANG-ORANG KAFIR.
{وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْآنِ وَلَا بِالَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ} [سبأ: 31]
Artinya: “Dan orang-orang kafir berkata:
"Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al Qur'an ini dan tidak
(pula) kepada Kitab yang sebelumnya".” QS. Saba’: 31.
{وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ} [فصلت: 26]
Artinya: “Dan orang-orang yang kafir
berkata: Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an
ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan
(mereka).” QS. Fushshilat: 26.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
أَيْ:
تَوَاصَوْا فِيمَا بَيْنَهُمْ أَلَّا يُطِيعُوا لِلْقُرْآنِ، وَلَا
يَنْقَادُوا لِأَوَامِرِهِ (1) ، {وَالْغَوْا فِيهِ} أَيْ: إِذَا تُلِيَ
لَا تَسْمَعُوا لَهُ. كَمَا قَالَ مُجَاهِدٌ: {وَالْغَوْا فِيهِ} يَعْنِي:
بِالْمُكَاءِ (2) وَالصَّفِيرِ وَالتَّخْلِيطِ فِي الْمَنْطِقِ عَلَى رسول
الله صلى الله عليه وسلم إذا قَرَأَ الْقُرْآنَ قُرَيْشٌ تَفْعَلُهُ.
وَقَالَ الضَّحَّاكُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَالْغَوْا فِيهِ} عِيبُوهُ
(3) . وَقَالَ قَتَادَةُ: اجْحَدُوا بِهِ، وَأَنْكِرُوهُ وَعَادُوهُ.
“Maksudny adalah mereka saling berwasiat
di antara mereka agar tidak mentaati Al Quran, dan tidak patuh terhadap
perintah-perintahnya”, dan maksud “dan sibuklah di dalamnya“, adalah
jika dibacakan (Al Quran) janganlah kalian mendengarnya”, sebagaimana
Mujahid rahimahullah berkata: ““dan sibuklah di dalamnya” yaitu dengan
siulan dan suitan serta mencampur dalam (perkataan) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau membaca Al Quran, Kaum Quraisy
mengerjakan hal tersebut. Dan berkata Adh Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Dan sibuklah di dalamnya”, “celalah ia”
dan Qatadah rahimahullah berkata: “Tolaklah ia, ingkarilah dan
musuhilah.” Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 7/174.
Saudaraku Seiman…
Di bawah ini perkataan yang sangat
bermanfaat dari Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah, beliau
menerangkan berbagai macam bentuk perilaku meng “HAJR” (menjauhi) Al
Quran:
فَائِدَة : هجر الْقُرْآن أَنْوَاع
أَحدهَا هجر سَمَاعه وَالْإِيمَان بِهِ والإصغاء إِلَيْهِ
وَالثَّانِي هجر الْعَمَل بِهِ وَالْوُقُوف عِنْد حَلَاله وَحَرَامه وَإِن قَرَأَهُ وآمن بِهِ
وَالثَّالِث
هجر تحكيمه والتحاكم إِلَيْهِ فِي أصُول الدّين وفروعه واعتقاد أَنه لَا
يُفِيد الْيَقِين وَأَن أدلته لفظية لَا تحصّل الْعلم
وَالرَّابِع هجر تدبّره وتفهّمه وَمَعْرِفَة مَا أَرَادَ الْمُتَكَلّم بِهِ مِنْهُ
وَالْخَامِس هجر الِاسْتِشْفَاء والتداوي بِهِ فِي جَمِيع أمراض الْقلب وأدوائها فيطلب شِفَاء دائه من غَيره ويهجر التَّدَاوِي بِهِ
وكل هَذَا دَاخل فِي قَوْله {وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوراً}
“Berbagai Macam Bentuk Sikap Menjauhi Al Quran Al Karim:
Pertama: Menjauhi mendengarkannya, beriman kepadanya dan menyimaknya
Kedua: Menjauhi mengamalkannya dan tidak berdiam pada halal dan haramnya, meskipun ia membaca dan mengimaninya
Ketiga: Menjauhi menjadikannya sebagai
Hakim pemutus perkara dan (menjauhi) merujuk kepadanya di dalam pokok
dan cabang agama serta keyakinan bahwa Al Quran tidak memberikan ilmu
yakin dan dalil-dalilnya hanya sebuah ucapan tidak menghasilkan ilmu.
Keempat: Menjauhi mentadabburinya, memahaminya dan mengenal apa yang diinginkan Sang Pembicara dengan pembicaraannya
Kelima: Menjauhi berobat dengannya di
dalam seluruh penyakit-penyakit hati, maka dicari obat penyembuh
penyakitnya dari selainnya dan menjuahi berobat dengannya.
SELURUHNYA INI MASUK KE DALAM FIRMAN ALLAH TA’ALA:
{وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوراً}
Artinya: “Berkatalah Rasul: "Wahai
Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang tidak
diacuhkan". QS. Al Furqan: 30. lihat kitab Al Fawaid, hal: 82.
Saudaraku seiman…
Pertanyaannya adalah “Seberapa Dekat Anda dengan Al Quran Al Karim?”, hanya Anda yang dapat menjawabnya.
Kamis, November 13, 2014
MENGHADAPI RINTANGAN DAN COBAAN
Ketika kita hendak mewujudkan kebahagiaan dalam
perjalanan hidup ini, kita pasti akan menghadapi halangan, rintangan,
dan tantangan. Setiap kali kita meragukan kemampuan diri sendiri
dalam memperoleh kebahagiaan, sebaiknya kita merenungkan berbagai
halangan, keterbatasan, dan rintangan yang dihadapi orang lain.
Bukankah halangan, keterbatasan, dan rintangan adalah anugerah tersendiri jika kita memandangnya demikian dan menggunakannya sebagai pendorong agar kita melakukan segalanya dengan lebih baik dan lebih ikhlas?
Sebagai contoh, Nabi Musa AS muncul pada zaman penjajahan Firaun atas bangsa Israel. Nabi Isa AS diutus untuk menyelamatkan Bani Israil dari kerusakan moral. Nabi Muhammad lahir ke dunia pada zaman jahiliyah.
As-Sarakhi menulis bukunya yang monumental, al-Mabsuth, yang mencapai belasan jilid ketika dia disekap dalam penjara bawah tanah. Sayyid Quthub menyelesaikan tafsirnya yang fenomenal, Fi Zilalil Quran, dalam penjara. Thoha Husein kehilangan daya penglihatannya, dan dengan kondisi demikian ia mulai menulis makalah dan buku-bukunya yang terkenal.
Hellen Keller tidak membiarkan kebutaan dan ketulian menghalanginya untuk menolong mereka yang kurang beruntung dibandingkan dirinya. Dan dia melakukannya sepanjang hayatnya. Isac Newton pernah ditertawai teman-temannya karena salah dalam berhitung. Thomas Alva Edison pernah dikeluarkan dari sekolah.
George Washington dan Thomas Jefferson muncul dari Revolusi Amerika. Mahatma Gandhi muncul dari perjuangan kemerdekaan bangsa India atas Inggris. Bung Karno dan Mohamad Hatta muncul dari perjuangan dan penderitaan bangsa Indonesia atas penjajahan Belanda. Tentu masih banyak lagi orang-orang besar yang namanya menghiasi sejarah umat manusia, yang telah berjuang mengatasi setiap kesulitan dan badai kehidupan yang besar sebelum akhirnya mereka berhasil muncul menjadi pemenang.
Dan tentu deretan nama-nama orang-orang hebat ini akan terus bertambah selama kehidupan anak manusia terus berlangsung. Setiap orang yang ingin meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat pasti akan menghadapi ujian, rintangan, tantangan, dan hambatan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehing¬ga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah [Sapi Betina] [2]: 214).
Karena itu,penting bagi kita untuk berupaya terus-menerus berusaha mewujudkan kebahagiaan baik bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas.
Bukankah halangan, keterbatasan, dan rintangan adalah anugerah tersendiri jika kita memandangnya demikian dan menggunakannya sebagai pendorong agar kita melakukan segalanya dengan lebih baik dan lebih ikhlas?
Sebagai contoh, Nabi Musa AS muncul pada zaman penjajahan Firaun atas bangsa Israel. Nabi Isa AS diutus untuk menyelamatkan Bani Israil dari kerusakan moral. Nabi Muhammad lahir ke dunia pada zaman jahiliyah.
As-Sarakhi menulis bukunya yang monumental, al-Mabsuth, yang mencapai belasan jilid ketika dia disekap dalam penjara bawah tanah. Sayyid Quthub menyelesaikan tafsirnya yang fenomenal, Fi Zilalil Quran, dalam penjara. Thoha Husein kehilangan daya penglihatannya, dan dengan kondisi demikian ia mulai menulis makalah dan buku-bukunya yang terkenal.
Hellen Keller tidak membiarkan kebutaan dan ketulian menghalanginya untuk menolong mereka yang kurang beruntung dibandingkan dirinya. Dan dia melakukannya sepanjang hayatnya. Isac Newton pernah ditertawai teman-temannya karena salah dalam berhitung. Thomas Alva Edison pernah dikeluarkan dari sekolah.
George Washington dan Thomas Jefferson muncul dari Revolusi Amerika. Mahatma Gandhi muncul dari perjuangan kemerdekaan bangsa India atas Inggris. Bung Karno dan Mohamad Hatta muncul dari perjuangan dan penderitaan bangsa Indonesia atas penjajahan Belanda. Tentu masih banyak lagi orang-orang besar yang namanya menghiasi sejarah umat manusia, yang telah berjuang mengatasi setiap kesulitan dan badai kehidupan yang besar sebelum akhirnya mereka berhasil muncul menjadi pemenang.
Dan tentu deretan nama-nama orang-orang hebat ini akan terus bertambah selama kehidupan anak manusia terus berlangsung. Setiap orang yang ingin meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat pasti akan menghadapi ujian, rintangan, tantangan, dan hambatan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehing¬ga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah [Sapi Betina] [2]: 214).
Karena itu,penting bagi kita untuk berupaya terus-menerus berusaha mewujudkan kebahagiaan baik bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas.
Senin, November 10, 2014
PINTU SURGA - DIMANAKAH KAU BERADA
Surga dengan segala keindahan dan keelokannya memiliki banyak pintu
masuk. Masing-masing pintu mempunyai nama-nama sendiri sesuai karakter
yang akan memasukinya.
Seperti Sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang selalu mendirikan shalat
akan dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang ikut berjihad, ia akan di
panggil dari pintu jihad. Dan, barang siapa yang selalu melaksanakan
puasa akan dipanggil dari pintu yang memancarkan air yang segar
(Ar-Rayyan). Dan, barang siapa yang selalu memberikan sedekah akan di
panggil dari pintu sedekah." (HR Bukhari).
Mendengar hadis ini, seorang sahabat paling dekat dengan Rasulullah, Abu Bakar RA, bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bisa seseorang dipanggil dari semua pintu surga tadi?" ujarnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Ya (bisa). Aku sangat berharap bahwa engkaulah yang termasuk seorang di antara mereka yang dipanggil dari semua pintu surga itu." (HR Bukhari).
Jika seseorang ingin masuk surga, setidaknya ia harus mengetahui dari pintu mana ia masuk. Artinya, ada amal andalan yang bisa mengantarkannya ke surga. Amal tersebut ibarat tiket yang ia pergunakan untuk melewati pintu surga. Tentu saja, jika seseorang tidak mempunyai tiket, ia tak akan diperkenankan masuk.
Misalkan, dengan berpuasa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat masuk dari pintu itu. Tidak dibolehkan seorang pun memasukinya selain meraka. Pintu itu mengimbau, 'Di mana orang-orang yang berpuasa?' Orang yang berpuasa pun bangkit. Tidak ada seorang pun yang masuk (pintu itu) kecuali dari mereka. Ketika mereka telah masuk, (pintunya) ditutup dan tak ada seorang pun yang bisa masuk lagi." (HR Bukhari Muslim).
Hanya mereka yang merutinkan puasa saja yang mempunyai harapan masuk dari pintu Ar-Rayyan ini. Siapa yang ingin masuk dari pintu ini maka seyogianya harus merutinkan dirinya dengan puasa-puasa sunah, seperti puasa sunah Senin-Kamis, puasa Asyura, puasa ayyamul bidh (puasa tengah bulan Hijriyah), dan puasa sunah lainnya. Di samping itu, ia juga harus menjaga puasa-puasa wajib.
Lantas, bagaimana nasibnya dengan orang-orang yang tidak mempunyai amal andalan? Berpuasa sering malas, shalat sering lalai, berjihad tidak ikut, beribadah sering enggan, berdakwah tidak mau. Lalu, mereka berangan-angan pula hendak masuk surga? Tentulah angan-angan mereka hanya sia-sia belaka.
Surga itu mahal, mustahil untuk didapatkan dengan angan-angan. Hanya orang-orang yang berkerja keras dengan harta dan dirinya, bersusah-payah beribadah, serta bersabar dengan ujian-ujian, merekalah yang pantas mendapatkan surga. Surga tak didapatkan dengan bersenang-senang dan gelak tawa. Terkadang, untuk mendapatkan tempat yang sangat mahal di akhirat itu, seseorang harus menanggung kelaparan, ketakutan, keletihan, serta sering berurai air mata. Merekalah yang pada akhirnya sampai ke dalam surga.
Adapun orang yang hanya bersenang-senang dengan duniawinya, tak mau direpotkan dengan urusan akhirat, enggan beribadah, dan tak mau mengisi ruhiahnya dengan agama. Ketika di akhirat, mereka selalu ditolak ketika hendak memasuki surga. Penjaga pintu surga tak mengizinkannya masuk karena ia tak termasuk dalam daftar peserta yang masuk ke pintu tersebut. Akhirnya, ketika seluruhnya telah masuk ke dalam surga, pintu surga pun tertutup. Tinggallah ia di luar meratapi nasib. Akhirnya, ia pun dimasukkan ke ruang tunggu, yakni neraka.
Ia dibersihkan dulu dari dosa-dosa yang memberatkannya. Sampai kapan? tidak ada riwayat pasti yang mengatakan berapa lama seseorang harus menunggu di 'ruang tunggu' bernama neraka itu. Ia disiksa sesuai dengan perangai buruknya selama di dunia. Sekejap saja seseorang dicelupkan ke dalam neraka, ia sudah babak belur seakan disiksa ribuan tahun lamanya. Apalagi, harus menanggung penyiksaan yang entah sampai kapan akan berakhir.
Bersyukurlah mereka yang mempunyai banyak amal andalan. Ketika ia sampai di pintu surga, para penjaga pintu berebut agar ia masuk di pintu mereka. Penjaga pintu Ar-Rayyan mempersilakannya, penjaga pintu shalat mengimbaunya, dan penjaga pintu jihad pun mengundangnya. Seperti Abu Bakar RA yang didoakan Nabi SAW bisa memasuki pintu mana saja yang ia kehendaki. Alangkah mulianya orang in
Mendengar hadis ini, seorang sahabat paling dekat dengan Rasulullah, Abu Bakar RA, bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bisa seseorang dipanggil dari semua pintu surga tadi?" ujarnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Ya (bisa). Aku sangat berharap bahwa engkaulah yang termasuk seorang di antara mereka yang dipanggil dari semua pintu surga itu." (HR Bukhari).
Jika seseorang ingin masuk surga, setidaknya ia harus mengetahui dari pintu mana ia masuk. Artinya, ada amal andalan yang bisa mengantarkannya ke surga. Amal tersebut ibarat tiket yang ia pergunakan untuk melewati pintu surga. Tentu saja, jika seseorang tidak mempunyai tiket, ia tak akan diperkenankan masuk.
Misalkan, dengan berpuasa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat masuk dari pintu itu. Tidak dibolehkan seorang pun memasukinya selain meraka. Pintu itu mengimbau, 'Di mana orang-orang yang berpuasa?' Orang yang berpuasa pun bangkit. Tidak ada seorang pun yang masuk (pintu itu) kecuali dari mereka. Ketika mereka telah masuk, (pintunya) ditutup dan tak ada seorang pun yang bisa masuk lagi." (HR Bukhari Muslim).
Hanya mereka yang merutinkan puasa saja yang mempunyai harapan masuk dari pintu Ar-Rayyan ini. Siapa yang ingin masuk dari pintu ini maka seyogianya harus merutinkan dirinya dengan puasa-puasa sunah, seperti puasa sunah Senin-Kamis, puasa Asyura, puasa ayyamul bidh (puasa tengah bulan Hijriyah), dan puasa sunah lainnya. Di samping itu, ia juga harus menjaga puasa-puasa wajib.
Lantas, bagaimana nasibnya dengan orang-orang yang tidak mempunyai amal andalan? Berpuasa sering malas, shalat sering lalai, berjihad tidak ikut, beribadah sering enggan, berdakwah tidak mau. Lalu, mereka berangan-angan pula hendak masuk surga? Tentulah angan-angan mereka hanya sia-sia belaka.
Surga itu mahal, mustahil untuk didapatkan dengan angan-angan. Hanya orang-orang yang berkerja keras dengan harta dan dirinya, bersusah-payah beribadah, serta bersabar dengan ujian-ujian, merekalah yang pantas mendapatkan surga. Surga tak didapatkan dengan bersenang-senang dan gelak tawa. Terkadang, untuk mendapatkan tempat yang sangat mahal di akhirat itu, seseorang harus menanggung kelaparan, ketakutan, keletihan, serta sering berurai air mata. Merekalah yang pada akhirnya sampai ke dalam surga.
Adapun orang yang hanya bersenang-senang dengan duniawinya, tak mau direpotkan dengan urusan akhirat, enggan beribadah, dan tak mau mengisi ruhiahnya dengan agama. Ketika di akhirat, mereka selalu ditolak ketika hendak memasuki surga. Penjaga pintu surga tak mengizinkannya masuk karena ia tak termasuk dalam daftar peserta yang masuk ke pintu tersebut. Akhirnya, ketika seluruhnya telah masuk ke dalam surga, pintu surga pun tertutup. Tinggallah ia di luar meratapi nasib. Akhirnya, ia pun dimasukkan ke ruang tunggu, yakni neraka.
Ia dibersihkan dulu dari dosa-dosa yang memberatkannya. Sampai kapan? tidak ada riwayat pasti yang mengatakan berapa lama seseorang harus menunggu di 'ruang tunggu' bernama neraka itu. Ia disiksa sesuai dengan perangai buruknya selama di dunia. Sekejap saja seseorang dicelupkan ke dalam neraka, ia sudah babak belur seakan disiksa ribuan tahun lamanya. Apalagi, harus menanggung penyiksaan yang entah sampai kapan akan berakhir.
Bersyukurlah mereka yang mempunyai banyak amal andalan. Ketika ia sampai di pintu surga, para penjaga pintu berebut agar ia masuk di pintu mereka. Penjaga pintu Ar-Rayyan mempersilakannya, penjaga pintu shalat mengimbaunya, dan penjaga pintu jihad pun mengundangnya. Seperti Abu Bakar RA yang didoakan Nabi SAW bisa memasuki pintu mana saja yang ia kehendaki. Alangkah mulianya orang in
Langganan:
Postingan (Atom)