Minggu, Juni 27, 2010

MENGENANG KERAJAAN ISLAM RIUNG KABUPATEN NGADA NTT

Riung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Ngada yang terletak di pantai utara Flores. Dari Bajawa ibukota kabupatan Ngada dapat ditempuh dalam waktu 2 jam dengan kendaraan. Riung sebelumnya merupakan satu-satunya kerajaan islam di Flores, dan tidak pernah di jajah oleh bangsa atau suku manapun di Flores. Kerajaan Riung dipimpin oleh seorang raja bernama Ismail Petor Sila. Adapun batas-batas wilayah kerajaan Riung sebagai berikut:
Sebelah barat, Manggarai dengan batas alamnya Alo Mola; sebelah Selatan, Kecamatan Bajawa dan Kecamatan Soa dengan batas alamnya kali Kolopenu; Sebelah Timur Mbay Rungang (desa Nggolonio dan desa sekitarnya), dan batas sebelah Utaranya adalah laut Flores dan Sulawesi.
Sekarang Kecamatan Riung telah dimekarkan menjadi 3 kecamatan yakni, Kecamatan Riung dengan ibukotanya Riung, Kecamatan Riung Barat dengan ibukotanya Maronggela, dan Kecamatan Riung Selatan dengan ibukotanya Wangawelu. Adapun wacana untuk pembentukan Kecamatan Riung Timur dan Riung Tengah yang saat ini dalam tahap persiapan.
Riung merupakan daerah pesisir pantai di kabupaten Ngada, pulau Flores Nusa Tenggara Timur, dimana jumlah penduduknya tidak begitu banyak dan jumlah penduduk untuk seluruh kabupaten Ngada kurang lebih sekitar 250.000 jiwa, dengan mata pencarian penduduk sebagain besar adalah nelayan. Daerah ini dapat kita tempuh dengan kendaraan mobil dari Kota Ende dengan jarak tempu perjalanan sekitar 4 jam.
Setelah menyusuri pesisir Riung maka kesan kesederhanaan begitu sangat terlihat dari kehidupan masyarakat sekitar dan rumah-rumah penduduk berjejeran seperti rumah panggung yang ditutupi oleh rangkaian potongan bambu dengan atap beralaskan daun pohon rumbia dan seng.
Perjalanan tak hanya terhenti melihat kehidupan yang begitu sederhana saja, tetapi daerah sekitar pesisir Riung menyimpan berbagai keindahan alam yang sangat luar biasa yang dikenal dengan sebutan “Taman Wisata Laut 17 Pulau”, yang akan membuat mata kita semakin terpana.

Senin, Juni 21, 2010

PERJUANGAN MUSLIM NABIRE PAPUA

Tekadnya bulat dan besar; mencetak 100 sarjana Muslim asal Papua. Demi cita-citanya ini dia dengan modal nekat menemui orang-orang besar, beraudiensi dengan rektor-rektor perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk memuluskan jalan bagi anak-anak Muslim Papua agar bisa kuliah di kampus-kampus besar di Pulau Jawa.

Muhammad Yudi (36) berasal dari Nabire, Papua. Dia bungsu dari 13 bersaudara. Perjalanannya ke Pulau Jawa dimulai saat mendapat beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Semarang. Waktu itu Yudi belum Muslim. Kedekatannya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), membuat Yudi memutuskan mengucap dua kalimat syahadat.

Yudi kemudian berkenalan dengan salah satu tokoh Islam di Jakarta. Dari kedekatan mereka, Yudi akhirnya mendirikan Yayasan Pendidikan Muslim Papua. Melalui yayasan ini, Yudi menjembatani dan mencarikan dana bagi anak-anak Muslim Papua yang Dhuafa agar bisa menuntut ilmu di Pulau Jawa. “Pada dasarnya anak Papua itu sama cerdasnya dengan anak-anak di sini (Jawa). Hanya saja, kesempatan bagi mereka tidak tersedia,” katanya. Salah satu anak binaannya sudah ada yang lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan telah bekerja di Pemda Nabire.

Ketika ditemui baru-baru ini, Yudi sedang sibuk mengurus 5 orang anak yang hendak dia masukkan ke UI dan UNJ. Anak-anak tersebut masih di Papua, dan akan ke Jakarta sebelum ujian masuk. Yudi pun menyediakan rumahnya di Bojonggede, Bogor, Jawa Barat sebagai tempat penampungan. Kelak, setelah anak-anak binaannya lulus, mereka harus kembali ke Papua membangun daerah mereka. “Papua tidak akan bisa maju kecuali dibangun oleh putra asli daerahnya,” ungkapnya.

Setiap tahun, Yudi pulang kampung untuk menjemput 20-30 orang anak Muslim yang yatim dan dhuafa untuk dibawa ke Jakarta. Dia menggunakan kapal laut yang harga tiketnya sekali jalan bisa mencapai Rp 1 juta. Jadi untuk membawa anak-anak itu dari Papua ke Jakarta, Yudi harus mencari dana sekitar Rp 20 jutaan, itu baru untuk transportasi saja.

“Alhamdulillah banyak yang bantu, seperti dari Gontor, Asy-Syafiiyah, Yarsi, dan sejumlah lembaga Islam. Istri saya, Lilin banyak membantu, dan ridho dengan saya, ditambah dengan kehadiran anak saya, Muhammad Radho Ottoki semakin membuat saya semangat,” tuturnya bersemangat. Lilin (31) dan Muhammad Radho Ottoki (2,5) adalah dua orang yang selalu memberi asupan energi buat Yudi.

Sehari-hari, Yudi hidup dari usaha peternakan ayam kampung dan petelur yang jumlahnya sudah hampir 10 ribu ekor. Tapi baru-baru ini usahanya itu bangkrut. “Tapi saya yakin rezeki Allah Maha Luas,” ujarnya. Yudi tidak menolak bantuan dermawan bila ada yang bersimpati pada perjuangannya. Dia yakin bahwa dengan beramal, hidupnya akan baik-baik saja. “Jika saya belum berhasil mencetak 100 orang sarjana asal Papua, saya belum puas. Banyak tawaran untuk naik haji gratis, tapi selalu saya tolak. Saya baru akan berangkat haji setelah anak binaan saya yang lulus sarjana 100 orang,” tandasnya.

Minggu, Juni 13, 2010

UMMU KULTSUM DAN SURGA

Jika ada wanita yang dikelilingi ahli surga, Ummu Kultsum binti Ali bin Abu Thaliblah orangnya. Dia adalah cucu Rasulullah saw. Ayahnya termasuk assabiqunal awwalun (pemeluk agama Islam yang pertama). Ibunya adalah pemimpin wanita di surga, yakni putri Rasulullah saw, Fathimah ra. Sedang dua saudaranya, Hasan dan Husein adalah penghulu ahli surga.
 
Keutamaan Ummu Kultsum sebagai wanita mulia keturunan Rasulullah, menarik hati Umar bin Khattab yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Meski demikian, Ali sebagai ayah dari Ummu Kultsum tidak serta merta mengiyakan keinginan Umar tersebut. Saat Umar mengkhitbah Ummu Kultsum, Ali bertanya,” Apa yang kamu inginkan darinya?” Umar menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku sendiri'.”

            Menurut riwayat Abu Umar bin Abdul Barr, Umar berkata kepada Ali, “Nikahkanlah aku dengan Ummu Kultsum, karena aku melihat kemuliaan-kemuliaan pada dirinya yang tak terdapat pada orang lain.” Lalu Ali menjawab, “Aku telah menyerahkannya kepadamu jika kamu meridhainya dan aku telah menikahkanmu dengannya.”
            Umar menikahi Ummu Kultsum dengan mahar sebesar 40 ribu dirham (senilai dengan 64 miliar untuk ukuran saat ini) sebagai bentuk penghormatan padanya. Mereka dikaruniai 2 anak, Zaid dan Ruqayyah.
            Sebagai pendamping Amirul Mukminin, Ummu Kultsum senantiasa mendukung suaminya dalam mengayomi masyarakat. Dan salah satu peristiwa penting dialami Ummu Kultsum menjelang wafatnya Umar.
            Pada malam itu, sebagaimana biasa Umar melakukan ronda mengelilingi wilayahnya. Untuk memantau keadaan masyarakat, kalau-kalau ada orang yang kelaparan atau membutuhkan pertolongan.
            Di pinggir kota Madinah, Umar bertemu dengan seorang Badui yang tengah gelisah di depan sebuah kemah. Dari dalam kemah terdengar rintihan seorang wanita. Bergegas Umar mendatangi Badui tersebut dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Awalnya Badui itu menolak menjawab, namun karena Umar terus mendesak akhirnya Badui itu berkata bahwa istrinya sedang kesakitan karena mau melahirkan sementara tidak ada seorang pun yang menolongnya.
            Umar bergegas meninggalkan Badui itu dan pulang ke rumahnya. Ia menemui Ummu Kultsum dan berkata,” Apakah kamu ingin mendapat pahala yang Allah akan limpahkan kepadamu?” Ummu Kultsum menjawab dengan antusias, “Apa wujud kebaikan dan pahala tersebut wahai Umar?” Lalu Umar menjelaskan kondisi keluarga Badui yang baru ditemuinya sekaligus mengajak Ummu Kultsum untuk membantu persalinan wanita istri Badui tersebut. Ummu Kultsum bergegas menyiapkan peralatan untuk persalinan bayi dan Umar memanggul gandum serta membawa minyak samin.
            Sesampainya di sana, Ummu Kultsum bergegas masuk ke dalam kemah dan menolong wanita Badui melahirkan bayinya. Sementara itu Umar bergegas memasak makanan di luar kemah. Ketika bayi telah kahir, Ummu Kultsum secara spontan berseru dari dalam kemah: "Wahai Amirul Mukminin, sampaikan kepada temanmu itu bahwa ia dikaruniai anak laki-laki." Orang Badui dan istrinya pun kaget, tidak menyangka bahwa orang yang memasak untuk mereka adalah Amirul Mukminin.
            Sepeninggal Umar, Ummu Kultsum menikah dengan sepupunya 'Aun bin Ja'far bin Abi Thalib sampai wafatnya ‘Aun, lalu ia menikah lagi dengan saudara dari 'Aun bin Ja'far, yaitu Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib. Setelah wafatnya suami ketiga ini, Ummu Kultsum pun menikah lagi dengan saudara dari dua suaminya ini yaitu 'Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib hingga Ummu Kultsum wafat.
 

POTRET KELUARGA PENGHUNI NERAKA

"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut."
(QS Al-Lahab [111]: 1-5)
 
 
            Life is choice, hidup adalah pilihan. Setiap pilihan punya konsekuensi sendiri. Ayat di atas menjelaskan tentang potret keluarga Abu Lahab, penghuni neraka. Sebagai kepala keluarga, Abu Lahab telah memilih jalan kesesatan bagi dirinya dan keluarganya (istrinya). Maka, pasangan suami-istri ini pun mendapatkan balasan atas pilihannya, yaitu kesengsaraan yang abadi, di neraka.
 
Siapakah Abu Lahab dan istrinya?
            Abu Lahab adalah salah seorang paman Nabi Muhammad saw. Nama lengkapnya Abdul 'Uzza bin Abdul Muththalib. 'Uzza adalah nama tuhan berhala kesohor yang disembah kaum Quraisy, sehingga Abdul 'Uzza berarti hamba tuhan 'Uzza. Ia termasuk pembesar kabilah Quraisy. Di kalangan kaumnya, ia biasa dipanggil dengan Abu Utaibah. Namun, ia kondang dengan julukan Abu Lahab karena wajahnya merah seperti warna merah api yang menyala.
            Istrinya, Arwaa binti Harb bin Umayyah, juga dari keluarga berada dan termasuk dalam deretan tokoh perempuan terpandang di kabilah Quraisy. Saudara perempuan Abu Sufyan ini biasa dipanggil dengan Ummu Jamil (Tafsir Ibnu Katsir V/270).
Meski ada hubungan keluarga dekat dengan Nabi saw, suami istri ini adalah orang yang paling benci dan sangat memusuhi Rasulullah dan dakwah yang dibawanya. Sepak terjang permusuhan mereka terhadap Pemimpin dan Murabbi Da'i (Nabi) sepanjang zaman telah direkam sejarah.
Imam Ahmad meriwayatkan Rabi'ah bin Abbad dari kabilah Banu Ad Dail, yang kemudian masuk Islam bercerita, "Aku pernah melihat Nabi saw di masa jahiliyah di pasar Dzil Majaaz, beliau bersabda, “Wahai manusia, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaahu (Tidak ada Ilah selain Allah) niscaya kalian akan berbahagia.” Dan orang-orang (waktu itu) berkerumun mengelilingi beliau, sementara di belakangnya ada seorang lelaki berwajah kemerahan dan bermulut sumbing menyelanya, “Sungguh dia ini (maksudnya: Muhammad) adalah pemuda pembohong.” Kemana pun Nabi saw pergi, lelaki itu selalu membuntutinya. Lalu aku bertanya siapa lelaki yang selalu mengikutinya itu, mereka menjawab, “Dia adalah pamannya, Abu Lahab." (Tafsir Ibnu Katsir V/269)
 
Rumah tangga penghuni neraka
            Ayat-ayat dalam surat Al-Lahab di atas memotret kehidupan rumah tangga yang dibangun di atas kekufuran, kebencian yang dahsyat terhadap dakwah dan Risalah Ilahiyah serta pembawa risalahnya, Muhammad saw. Abu Lahab yang bersinergi dengan istrinya, mempraktikkan segala bentuk permusuhan kepada Nabi, mulai dari intimidasi, mempermalukan di depan khalayak umum, negative campaigne, pembunuhan karakter sampai upaya-upaya menyakiti Nabi secara fisik.
            Karena itu, ketika menafsirkan ayat, “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”, kebanyakan ulama menafsirkannya sebagai kiasan bagi penyebar fitnah, ke mana-mana selalu menjelek-jelekkan Nabi saw dan kaum Muslimin. Tapi ada juga ulama yang menafsirkannya secara hakiki. Bahwa istri Abu Lahab sering membawa kayu bakar yang berduri pada malam hari. Menyebarkannya di jalan yang biasa dilalui Nabi dan para sahabat sehingga mereka terluka dan terjatuh karenanya. Pendapat ini didukung oleh Abu Hayyan (Lihat: At Tafsir Al Munir, Dr. Wahbah Az Zuhaili, XXX/457-458).
Maka, pantaslah keluarga ini mendapatkan kesengsaraan di dunia, meskipun mereka bergelimang harta seperti disinggung pada ayat kedua, dan mereka diancam neraka. Bagi Abu Lahab, ancaman Allah, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab” adalah doa kebinasaan. "Dan sungguh dia binasa" yakni benar-benar telah terbukti bahwa dia binasa dan celaka, hal ini merupakan berita dari Allah. Di akhirat ia diancam dengan siksa api neraka Jahanam, "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak". Terdapat kesesuaian lafazh dan bentuk; disebut Abu Lahab karena wajahnya kemerahan bak api, ia kelak disiksa di neraka yang Lahab—bergejolak. Maka, sungguh ia telah rugi dunia dan akhirat.
Sedangkan bagi istrinya, Allah mengancam, "Yang di lehernya ada tali dari sabut". Allah menggambarkan kondisi ketika ia disiksa dalam api neraka Jahanam dengan kondisinya di dunia, yaitu sebagai penyebar fitnah, dan ketika memikul kayu berduri dan melilitkannya di lehernya kemudian ia tebarkan di jalan yang dilalui Nabi. Sebab, balasan itu sesuai dan setimpal dengan perbuatannya.
            Ketika Ummu Jamil mendengar turunnya surat ini, dengan membawa batu ia mendatangi Abu Bakar yang sedang bersama Rasululllah di dalam masjid. Perempuan itu berkata, "Telah sampai berita kepadaku bahwa sahabatmu (maksudnya Nabi saw) telah menghinaku. Sungguh aku akan hajar dia dan benar-benar aku akan hajar dia.” Rupanya Allah telah membutakan penglihatannya dari melihat Rasulullah. Diriwayatkan bahwasanya Abu Bakar ra bertanya kepadanya, "Apakah engkau melihat seseorang bersamaku?" Ummu Jamil menjawab, "Apa engkau menghinaku? Sungguh aku tidak melihat selainmu." (Lihat: Tafsir Al Bahr Al Muhith, Abu Hayyaan, VIII/526 dan lihat Tafsir Ibnu Katsir V/270)
            Di dalam surat ini terdapat mukjizat yang gamblang dan bukti yang jelas tentang kenabian Rasulullah. Ayat di atas memberitakan bahwa pasangan suami istri tersebut tidak akan beriman, dan begitulah yang terjadi, keduanya mati dalam keadaan kafir. Juga menginformasikan keadaan keduanya yang kelak akan disiksa dalam api neraka Jahanam yang menyala-nyala, padahal ketika turun surat ini keduanya masih hidup. Hal ini jelas membuktikan kebenaran kerasulan Muhammad saw.
Tentu, tak ada satu pun dari kita yang menginginkan keluarga kita akan berakhir mengenaskan di neraka kelak seperti keluarga Abu Lahab. Maka, seluruh tenaga, pikiran dan harta harus kita kerahkan untuk mentarbiyah dan mendidik seluruh anggota keluarga kita untuk menjadi pendukung dan aktivis dakwah, bukan menjadi musuh dakwah dan musuh juru dakwah.
Sungguh, siapapun yang memusuhi dakwah dan juru dakwah, maka akan mendapatkan balasan seperti yang diterima oleh Abu Lahab, yaitu Naaran Dzaata Lahab(neraka yang bergejolak). Na'uudzu billaahi min dzaalik.
 
(Buat BOX)
Asbaabun nuzul Surat Al-Lahab
Dari Ibnu Abbas ra berkata, ketika turun ayat, "Dan berilah peringatan kepadakerabat-kerabatmu yang terdekat" (QS Asy-Syu'araa [26]: 214), dan orang-orang yang ikhlas dari kabilahmu, Rasulullah saw langsung keluar menuju bukit Shafa, lalu berteriak, “Ya Shabaahaah!” (Panggilan untuk mengumpulkan orang di pagi hari). Mereka bertanya-tanya, “Siapa yang berteriak ini?” Mereka menjawab, “Muhammad.” Mereka pun segera berkumpul kepadanya. Nabi memanggil (lagi), “Wahai Bani Fulan, wahai Bani Fulan, wahai Bani Abdi Manaaf, wahai Bani Abdul Muththalib!” Maka berkumpullah orang-orang (dari kabilah-kabilah yang disebut tadi) kepadanya.”
Nabi saw bersabda (setelah mereka berkumpul) lagi, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahukan kepada kalian bahwasanya seekor kuda akan keluar di puncak bukit ini, apa kalian akan membenarkanku?" Mereka menjawab, "Kami belum pernah melihatmu berbohong.” Nabi saw lalu bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan di antara siksa yang pedih.” Abu Lahab pun langsung menyahutnya, "Tabban laka (binasalah kamu)! Apa hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?!” Kemudian dia bangkit dan pergi, lalu turunlah surat ini, "Binasalah kedua tangan Abu Lahab" dan sungguh ia benar-benar binasa. (HR Bukhari, no. 4589 dan Muslim, no. 307, dan lafazh hadits ini milik Muslim)

Sabtu, Juni 05, 2010

TREND DAN GAYA BUSANA MUSLIM DI NUSA TENGGARA TIMUR

APA jadinya bila ragam hias khas negara gurun pasir berpadu dengan corak etnis tenun ikat Nusa Tenggara Timur? Nuniek Mawardi punya jawabannya dengan menghadirkan eksplorasi busana cosmo-ecletic.

Namun kali ini, desainer bernama lengkap Siti Kusumah Nugraheni ini mencoba kombinasi baru antara ragam hias Mesir dan eksotisme tenun ikat Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, permainan baru dalam kombinasi motif lurik nan apik.
Exo Playism dan Alluric pun menjadi perpanjangan tangan perancang busana muslim asal Bandung ini dalam mengekspresikan kombinasi budaya tersebut.


"Intinya perpaduan antara NTT dan Mesir. Dari keduanya, saya menemukan satu benang merah, yakni stilasi geometris dan penggunaan warna berani," sebut Nuniek. Dia juga mengatakan, permainan unsur-unsur dari kedua budaya tersebut menghadirkan atmosfer eksotis yang unik, seakan mempertemukan dua puncak kebudayaan yang terpaut jauh dalam ruang dan waktu. Sementara untuk koleksi Alluric, Nuniek banyak bermain dengan keindahan dan simplicity motif lurik. Selanjutnya, diubah dengan berbagai teknik reka bahan.

Kombinasi budaya itu tertuang kental melalui permainan warna, corak, serta cutting, yang menjadikan koleksi wanita kelahiran Bojonegoro, 1961 ini terlihat atraktif. Bukan hanya satu, Nuniek tanpa ragu mengombinasikan beberapa unsur warna sekaligus. Menciptakan kontras warna nan memikat saat diaplikasikan dalam busana. Olahan tone primer dan sekunder, yakni merah, fuschia, kuning, dan oranye tampil padu bersama toska, hijau, biru, dan ungu. Menurut Nuniek, hal tersebut disarikannya dari warna-warna perhiasan serta detail busana yang sering digunakan wanita Mesir masa lalu.

Bentukan busananya yang cenderung tidak biasa pun membawa keunikan tersendiri. Menurut Nuniek, potongan dan garis rancangannya yang variatif itu dihadirkan guna memberi pilihan bagi konsumennya. Lewat kesesuaian mencolok antara ragam hias NTT dan gaya Mesir kuno, Nuniek ingin menyajikan gaya baru yang berkonsep eklektisme Mesir-NTT.

Seluruh unsur tersebut kemudian dileburkan dalam suatu busana berciri dinamis sekaligus sophisticated berupa tunik-tunik sepanjang lutut bersama legging rajutan. Ada juga adaptasi detail busana Mesir seperti kalasiris, pectoral, dan skenti yang dipadukan bersama aksen lau pahudu, taba huku, serta hinggi kombu dari Sumba.

Tidak lupa, sentuhan-sentuhan ragam hias NTT seperti halnya ikat kepala hidu haidan tiara patang. Menurut Nuniek, bentukan-bentukan busana yang disajikannya juga diambil dari gaya berbusana masyarakat Mesir masa lalu, seperti halnya pectoral kerah ataupun claf (tutup kepala Firaun), yang kemudian dimodifikasinya menjadi aksen unik. Adapun rangkaian motif bercorak geometris diwujudkan dalam teknik reka bahan, layaknya tie-dye, bordir, tekstur, dan rajut. Semua itu semakin dipertegas penggunaan aksen smock, patchwork, serta pleats, yang menjadi ciri khas kostum Mesir kuno era kerajaan baru.

Eksotis akhirnya menjadi kemasan akhir bagi kreasi terbaru Nuniek. Meskipun sukses menyajikan rangkaian koleksi menarik, Nuniek mengaku prosesnya tidak berjalan mudah. Dia melakukan riset yang cukup lama sebelum menemukan konsep yang diterjemahkannya dalam storyboard rancangan secara keseluruhan.

"Tantangannya itu justru bagaimana memasukkan unsur eksotik dalam busana muslim, dan itu bukan hal yang mudah," terang Nuniek, yang menggunakan teknik blocking warna guna menegaskan kesan eksotis, sekaligus menghindari kemonotonan. Sisi eksotisme juga diumbar ibu dua putra ini melalui teknik manipulasi bahan, salah satunya dengan tie-dye yang mampu mencipta perwajahan warna berbeda.

Selain itu, pemilik label Nuniek Rosa, Beau, dan Al Madina ini juga melakukan perkawinan bentuk yang diambil dari Mesir, seperti tunik ataupun potongan loose khas busana NTT. Semuanya itu kemudian dikemas dalam garis-garis tegas, nyaris maskulin.

"Pelanggan saya bukan tipe yang terlalu feminin. Mereka menyukai busana yang memiliki paduan unsur maskulin atau karakter androgyny. Karena itu, saya banyak menggunakan garis dan potongan yang tegas," papar Nuniek.

Feminin memang bukan menjadi napas utama rancangan Nuniek. Kendati demikian, koleksinya tetap berkesan anggun sekaligus kontemporer. Ini pun dilakukan alumni Universitas Pasundan Bandung demi memberikan gaya busana muslim modern, wearable, tetapi sesuai syariat Islam.

KRITERIA HAMBA YANG SALEH

Setiap Muslim pasti menginginkan menjadi hamba yang saleh. Bahkan, sesudah kita berwudlu untuk menghadap dan berdialog dengan Allah (shalat), kita disunahkan berdoa kepada-Nya. Salah satu doa tersebut adalah 'dan jadikanlah aku termasuk kelompok hamba-Mu yang saleh". Jangankan sebagai manusia biasa, Nabi Ibrahim AS pun berdoa: "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh." (QS Asy-Syu'ara [26]: 83).

Untuk menjadi hamba yang saleh, perlu diketahui kriteria hamba-hamba yang saleh tersebut. Dengan memahami kriteria tersebut, diharapkan kita berupaya untuk melakukannya sehingga di hadapan Allah kita termasuk dalam golongan hamba-hamba yang saleh.

Adapun kriteria hamba yang saleh, disebutkan oleh Allah dalam Alquran surah Ali Imran [3] ayat 113-114. Dalam ayat ini, disebutkan tujuh kriteria hamba yang saleh. Pertama, orang yang berlaku lurus (memiliki karakter istikamah). Yakni, teguh pendirian, konsisten, dan komitmen dalam meyakini dan melakukan kebenaran.

Kedua, senantiasa membaca ayat-ayat Allah, baik yang qauliyah (naqliyah), maupun ayat-ayat kauniyah (aqliyah). Ketiga, mereka yang senantiasa sujud di tengah keheningan malam, dengan melaksanakan shalat malam.

Keempat, beriman kepada Allah. Setiap perbuatan dan tingkah lakunya dilandasi dengan zikir (ingat) Allah.  Dengan demikian, zikir itu akan menjadi alat kontrol dan stabilitator baginya dari berbagai kemaksiatan dan dosa.

Kelima, beriman kepada hari akhir. Kehidupannya senantiasa beroritenasi akhirat dan jangka panjang. Ia mengisi waktunya dengan kegiatan positif yang bernilai ibadah.

Keenam, mengajak orang lain untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan atau kemaksiatan. Ia harus menjadi teladan, sehingga orang lain bisa mengikutinya. Ketujuh, bersegera melakuan kegiatan positif. Hamba yang saleh tersebut senantiasa berlomba-lomba melakukan kebaikan yang dilandasi dengan keikhlasan karena untuk Allah SWT.

Tujuh karakter di atas merupakan karakter hamba yang saleh. Dari ayat ini pula dapat disimpulkan bahwa kesalehan tersebut mencakup dua hal, yaitu kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Wallahu alam.

KARAKTER BIADAB ORANG ISRAEL

Menyebut nama Yahudi, tentu akan terbayang dengan Israel, yaitu bangsa yang sering kali menyerang Palestina dan umat Islam. Israel dan Yahudi, ibarat dua mata uang yang saling melengkapi dan tak mungkin dipisahkan. Mereka adalah satu kaum yang sangat kejam dan menyebabkan puluhan ribu umat Islam di Palestina menjadi korban. Kendati banyak pihak mengecam tindakan mereka, tak sedikit pun hal itu menyurutkan langkah Israel untuk mundur.

Siapakah sesungguhnya Yahudi itu? Dalam Alquran, kata Yahudi disebut beberapa kali, baik dalam bentuknya yang jelas (Yahudi), samar (Haaduu, Haud), maupun sifat-sifat mereka yang dinisbahkan kepada Bani Israil. Dalam berbagai buku sejarah, disebutkan bahwa Yahudi adalah umatnya Nabi Musa Alaihissalam (AS).

Nama Yahudi dinisbahkan pada salah seorang putra Nabi Ya'kub yang bernama Yahudza bin Ya'kub, salah satu dari 12 orang putra Ya'kub. Putra lainnya bernama Ruben, Simeon, Lewi Yehuda, Isakhar, Zebulon, Yusuf AS, Benyamin, Dan, Naftali, Gad, dan Asyer.

Namun, ada pula yang mengaitkannya dengan kata Al-Haud (Arab) atau Hada (dalam bahasa Ibrani, yang berarti tobat atau kembali), sebagaimana ucapan Nabi Musa AS kepada Tuhannya, “Inna hudnaa ilaika,” (Sesungguhnya kami kembali [tertobat] kepada-Mu). Lihat surah Al-A’raf [7]: 156.

Kaum Yahudi ini juga sering disebut dengan Bani Israil. Istilah Israil dinisbahkan kepada Nabi Ya’kub bin Ishak AS. Dinamakan Bani Israil karena mereka merupakan keturunan dari nenek moyang mereka yang bernama Israil (Ya’kub AS). Selain itu, Bani Israil ini disebut pula dengan Ibrani (Hebrew) dari kata Ibri atau Ibrani yang berasal dari kata Abara (fiil tsulatsi: kata kerja berhuruf tiga), yang berarti memotong jalan atau menyeberang lembah.

Mereka suka berpindah tempat (nomaden). Dinamakan demikian karena mereka datang dengan menyeberangi sungai Ifrat (Eufrat) di Irak, yang dipimpin oleh Ibrahim AS. Menurut Ahmad Shalaby dalam bukunya Muqaranatu al-Adyani al-Yahudiyyah, Ibri atau Hebrew adalah nama yang diberikan oleh Ibrahim kepada kaumnya karena tempat kediaman mereka berada di seberang sungai Ifrat. Penjelasan serupa dapat ditelusuri dalam bukunya Dra Hermawi MA, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, serta Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama.

Ke-12 putra Ya'kub itulah yang disebut-sebut menjadi keturunan Bani Israil. Kemudian, mereka dibimbing oleh Nabi Musa AS. Dalam Alquran, disebutkan, setelah Musa berhasil melepaskan diri dari kejaran Firaun di Laut Merah, sampailah mereka di suatu daerah. Di sana, umat Nabi Musa merasa kehausan. Nabi Musa lalu memukulkan tongkatnya hingga memancarlah 12 mata air untuk masing-masing kaumnya itu. Mereka inilah yang menjadi sebutan kaum Bani Israil (Yahudi).

Adapun tujuan `hijrah' tersebut adalah agar mereka leluasa melaksanakan ibadah kepada Allah dan jauh dari gangguan Firaun dan pasukannya. Dalam Alquran, tujuan mereka adalah suatu negeri yang diberkahi, yakni Palestina. Mereka menamakan negeri itu dengan tanah yang dijanjikan, The Promised Land.
Berbicara tentang Bani Israil, tak bisa dipisahkan dengan agama Yahudi. Sebab, mayoritas kaum Israil menjadi pemeluk agama Yahudi. Dalam bukunya, Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Sami bin Abdullah al-Maghluts menjelaskan, agama Yahudi dahulunya merupakan ajaran monoteis (satu Tuhan) yang dibawa oleh Nabi Musa AS. Nabi Musa diberikan kitab Taurat untuk disampaikan kepada umatnya (Bani Israil). Namun, Bani Israil justru mengubah ajaran Taurat yang telah disampaikan Nabi Musa dan membuat kebohongan atas syariat Allah SWT.

Mereka menawar syariat untuk melaksanakan ibadah agar lebih ringan (dipermudah) kendati syariat itu sudah sangat mudah untuk dikerjakan. Misalnya, mereka diperintahkan untuk melaksanakan ibadah pada hari Sabat (Sabtu), tetapi mereka menawarnya supaya ibadah Sabat dipindahkan pada hari yang lain. Karena itulah, Allah mengazab kaum yang tidak beriman itu hingga menjadi kera. Lihat surah Al-A'raf [7]: 163-166 dan Albaqarah [2]: 65.

"Dan, sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, `Jadilah kamu kera yang hina.'" (QS Albaqarah [2]: 65).

Sifat Bani Israil lainnya adalah suka bertanya sehingga menyulitkan diri mereka sendiri. Contohnya, mereka disuruh untuk menyembelih seekor sapi betina, tetapi Bani Israil bertanya tentang umur sapi tersebut. Lalu, disampaikanlah bahwa usia sapi tersebut tidak tua dan tidak juga terlalu muda.

Mereka pun bertanya lagi warna sapi. Disampaikanlah sapi itu berwarna kuning tua dan tidak pernah dipergunakan untuk membajak. Setelah semuanya ditanyakan, mereka akhirnya baru melaksanakan perintah tersebut. Mereka merasa kesulitan mencari jenis sapi yang dimaksud. Padahal, sebelumnya Allah menghendaki kemudahan bagi mereka, tetapi mereka sendiri yang mempersulit nya.

Itulah sifat Yahudi. Lihat penjelasan lengkapnya dalam surah Albaqarah [2]: 67-71. Banyak nabi yang diutus untuk mengajak mereka ke jalan yang benar, tetapi selalu saja nabi-nabi itu mereka dustakan. Syariat Nabi Musa AS yang mengajarkan monoteisme djadikan politeisme. Mereka juga akhirnya menyembah patung-patung, seperti patung anak sapi, patung ular, dan sebagainya.

Dalam Alquran, juga disebutkan bahwa sifat mereka itu di antaranya suka bermusuhan, keras kepala, keras hati, ingkar janji, bakhil, dan tamak. Mereka juga terlibat dalam sejumlah pembunuhan terhadap para nabi yang diutus oleh Allah SWT. Itulah sifat-sifat Yahudi.

Mereka menamakan Tuhannya dengan Yahwe. Namun, menurut Bani Israil, Tuhan mereka itu juga bisa berbuat salah, punya sifat penyesalan, dan juga pernah memerintahkan yang tidak baik. Na'udzubillah. Mereka juga mengklaim bahwa Tuhan hanya untuk Bani Israil. Karena itu, mereka memusuhi kaum atau umat lainnya jika tidak mau menuruti keinginannya. Karena itu, Allah SWT memerintahkan umat Islam agar tidak mengikuti mereka. (QS Albaqarah [2]: 120).

Karena kerusakan keimanan mereka itu, dengan mudah mereka dikalahkan oleh kelompok lain. Namun, mereka tak pernah mau menyadarinya, hingga akhirnya diusir keluar dari negeri mereka. Mayoritas kaum dan pemeluk agama Yahudi berdomisili di Israel. Sebagian dari mereka ada pula yang berhijrah ke luar dari Israel, seperti Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia.