“... aku terlalu banyak bolak-balik kepada Tuhanku, sehingga menyebabkan aku malu kepada-Nya.” (HR Bukhari-Muslim)
Untaian
di atas ialah petikan percakapan antara Rasulullah SAW dengan Nabi Musa
AS selepas Rasulullah mendapatkan perintah shalat saat mi’raj. Sebelum
mi’raj, Rasulullah dihantarkan Jibril sejenak mengunjungi Masjidil Aqsha
sebagai penghormatan suci bahwa sebelumnya tempat itu (Baitul Maqdis)
pernah menjadi kiblat umat Islam sebelum Ka’bah.
Sedangkan
mi’raj, diartikan sebagai naiknya Rasulullah hingga banyak memperoleh
pelajaran dari para nabi yang dikunjungi pada langit pertama hingga
langit ketujuh. Ya, Isra dan Mi’raj. Pada akhirnya, perjalanan spiritual
ini menjadi saksi bahwa perintah shalat yang disampaikan melalui
Rasulullah SAW tidak serta-merta berjumlah lima waktu shalat.
Ada
proses panjang sehingga Rasulullah memperoleh hasil akhir menjadi lima
waktu yang dalam hadis Shahih Bukhari-Muslim, sebelumnya adalah 50
waktu. Sungguh bilangan yang jika saja hingga detik ini berlaku
demikian, kelak seperti apa yang diprediksikan Nabi Musa as, “Umatmu
takkan sanggup Ya Rasul”.
Tentu bukan tanpa alasan Nabi Musa AS
berkata demikian kepada Rasulullah SAW. Sesuai pengalaman beliau
memimpin Bani Israil bertahun-tahun lamanya, hanya sedikit dari umatnya
yang bersedia menjalankan perintah ibadah yang dianjurkan Allah SWT.
Dalam
hadis tersebut juga dilukiskan bahwa dialog panjang antara Rasulullah
dan Musa terjadi hingga Rasulullah hampir bolak balik menghadap
Allah—memohon keringanan atau pengurangan waktu hingga hampir empat
kali. Bayangkan, empat kali, hingga Beliau merasa malu terus menerus
menuntut keringanan yang diusulkan Nabi Musa AS.
Proses panjang
inilah yang kemudian sebaiknya menjadi renungan bahwa Rasulullah SAW
memperjuangkan bilangan waktu shalat sesuai dengan apa yang kita mampu.
Pada kenyataannya, apa yang disampaikan Nabi Musa adalah benar, umat
Rasulullah (tidak) semua mampu.
Sebab, banyak yang mengaku
Muslim, mengerjakan shalat, tapi lalai dalam waktunya, hingga Allah SWT
sebut dalam surah al-Ma’un dengan sahun, yakni orang-orang yang
lalai terhadap waktu shalat. Ayat empat dalam surah tersebut
menyebutkan betapa “celakanya” orang-orang yang shalat, “yakni” orang
yang tidak menghiraukan waktunya alias menundanya.
Shalat akan menjadi sebuah rutinitas yang membosankan jika kita belum mengetahui tujuan dari shalat, yakni amr ma’ruf nahi munkar, yang berarti suatu usaha untuk mempertahankan perbuatan baik dan mencegah keburukan.
Oleh
karenanya, shalat memerlukan kehadiran batin, hati, pikiran, hingga
seluruh anggota tubuh untuk merendah di hadapan-Nya. Shalat juga harus
melahirkan ihsan, atau perasaan takut kepada Tuhan.
Sehingga,
diharapkan bahwa shalat betul-betul menjadi sarana yang ampuh untuk
mengusir segala bentuk dorongan atau hasrat keji, entah itu menzalimi
diri sendiri, melukai orang lain, atau memakan harta hasil korupsi. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar