Gambaran tentang surga tersebar dalam sejumlah ayat dan hadis. Teks ayat
dan hadisnya jelas. Jadi, tak ada satu keteranganpun yang meragukan
keberadaannya. Semuanya menjelaskan kondisi yang tidak ada bandingannya
dengan sesuatupun yang ada di dunia ini.
Menurut Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ’’Allah
SWT berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menyediakan untuk hamba-Ku yang
saleh segala apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan
tidak pernah terbetik oleh hati siapapun.’’ (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan
begitu, saat Allah dan Rasul-Nya menyampaikan perumpamaan tentang
kondisi surga, semua itu sekadar untuk memudahkan kita memahaminya.
Memang, Allah dan Rasul-Nya menyebutkan banyak hal yang bernuansa dunia.
Namun
demikian, semuanya itu sejatinya tidaklah sama. Misalnya, Allah
memaparkan keadaan surga yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat
sungai-sungai. Akan tetapi, bukan sungai-sungai sebagaimana yang kita
pernah saksikan di dunia.
Dikatakan, ada sungai dari air yang
tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak
berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi
peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan seterusnya (QS
Muhammad [47] : 15).
Misalnya, Allah memaparkan keadaan surga
yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat naungan dari pohon-pohon
rindang. Akan tetapi, bukan pohon-pohon yang kita pernah saksikan di
dunia. Dikatakan, pohon itu tidak terlalu tinggi dan berbuah sepanjang
tahun.
Hal itu memudahkan bagi siapa pun yang hendak memetiknya.
Dikatakan pula, fasilitas penghuni surga yang sangat memadai
dibandingkan dengan yang kita pernah saksikan di dunia seperti pakaian,
makanan, minuman, kamar tidur, dan seterusnya.
Abu Hurairah menuturkan, saat Rasulullah SAW ditanya tentang surga, Rasulullah SAW menjelaskan, surga itu terbuat dari emas, perak, permata lu’lu, yakut, minyak kesturi, dan ja’faran. Kualitasnya sama sekali tidak berubah. (HR Ahmad dan Tirimidzi).
Menurut
Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya surga itu terdiri
atas 100 tingkatan yang Allah sediakan bagi mereka yang berjihad. Jarak
antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya seperti jarak antara
langit dan bumi.’’ (HR Bukhari).
Abu Sai’d al-Khudri berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
surga itu terdiri atas 100 tingkatan. Seandainya seluruh makhluk di
muka bumi berkumpul di salah satu tingkatan, itu sudah cukup menampung
mereka semuanya karena luasnya.’’ (HR Ahmad).
Hingga
sekarang, entah berapa banyak penulis yang mengungkapkan keistimewaan
surga dalam berbagai bahasa. Kendati demikian, saya kira cerita mengenai
surga itu tidak akan ada habis-habisnya. Sampai kita benar-benar
menyaksikannya dengan mata kepala kita sendiri.
Bagi kita, semua
informasi yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya sudah lebih dari cukup.
Sekarang mari kita jawab pertanyaan berikut ini dengan sejujurnya.
Sudahkah kita termasuk di antara orang-orang yang berada dalam antrean
calon penghuni surga?
Sejumlah ayat dan hadis menjelaskan
kriteria calon penghuni surga. Yakni, orang-orang yang bertakwa,
orang-orang yang menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya pada waktu
lapang mau pun sempit, dan orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia.
Selanjutnya,
orang-orang yang melakukan perbuatan keji dan menganiaya dirinya
sendiri namun segera mengingat Allah dan meminta pengampunan kepada-Nya,
tidak terus-menerus melakukan perbuatan dosa setelah dia menyadarinya.
Beriman
kepada Allah, shalat dengan khusyuk, menjauhkan diri dari perbuatan dan
perkataan tak ada gunanya, mengeluarkan zakat, menjaga kemaluan kecuali
kepada istri dan hamba sahaya yang menjadi miliknya, menunaikan amanat,
memelihara shalat dan masih banyak yang lainnya. Semoga kita diberi
kemudahan untuk dapat menapaki jalan lurus menuju surga. Amin.
Jumat, Maret 21, 2014
Senin, Maret 17, 2014
MAKNA HAKIKI BERKAH (BAROKAH)
“Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.'' (QS.7:96)
Dalam rangkaian ayat-ayat A-Qur’an al-Karim, kita temukan kata barokah dalam berbagai derivasinya. Misalnya, Al-Quran diturunkan pada malam yang diberkahi (QS.6:92,21:50,38:29), Baitullah adalah Rumah yang diberkahi (3:96), ada pula tempat-tempat yang diberkahi (17:1,28:30,34:18).
Berkah berasal dari kata barokah (jamak: barokaat) yang menurut Prof Dr M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah bermakna sesuatu yang mantap, kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinambung.
Keberkahan Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur.
Segala penambahan yang tidak terukur oleh indra dinamai barokah/berkah. Adanya berkah pada sesuatu berarti adanya kebajikan yang menyertai sesuatu itu.
Keberkahan akan datang jika diundang melalui tiga jalan yakni, Pertama, keimanan kepada Allah SWT. Beriman seringkali disertai takwa yang menunjukkan kesatuan yang tak bisa terpisahkan (QS.7:96).
Jika iman adalah keyakinan dalam kalbu, takwa adalah refleksi dari iman yang tampak pada sikap, kata dan perbuatan yakni kepatuhan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.
Almarhum Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan keimanan dan takwa kepada Allah membukakan pintu rezki. Sebab kalau orang telah beriman dan bertakwa, fikirannya sendiri terbuka, ilham pun datang.
Sebab iman dan takwa itu menimbulkan silaturrahim sesama manusia. Lantaran itu timbullah kerjasama yang baik sebagai khalifah Allah di muka bumi. Maka turunlah berkat dari langit dan bumi.
Baik berkat hakiki yakni hujan membawa kesuburan bumi, teraturlah tumbuhan dan keluarlah hasil bumi, maupun berkat maknawi yakni timbulnya fikiran-fikiran baru dan petunjuk dari Allah, baik wahyu kepada para Rasul maupun ilham kepada orang-orang yang berjuang dengan ikhlas.
Kedua, mencintai ulama. Satu demi satu ulama terkemuka meninggalkan kita. Mautul ‘alim mautul ‘alam (kematian ulama laksana kematian alam semesta). Begitulah kata hikmah menggambarkan besarnya peran dan kedudukan ulama di muka bumi.
Mereka yang menuntun umat ke jalan kebenaran dan kebaikan dengan ilmu dan keteladanan. Jika ulama tidak lagi didengar dan dimuliakan, maka hilanglah keberkahan.
Kini, umat Islam pun hidup dalam ironi. Karena, sudah lebih senang mendengar ceramah ustaz seleberitis yang tampil di layar TV dan dibalut asesoris serban dan jubah layaknya artis.
Bangga jika bisa mengundang mereka dengan honor yang pantastis, meski harus berjejer di pinggir jalan minta sedekah. Dakwah sudah menjadi tontonan dan hiburan bukan lagi tuntunan.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad, mengutip pesan Nabi SAW. : “Akan datang suatu masa kepada umatku, mereka lari dari (ajaran) para ulama dan fuqaha. Maka Allah akan menurunkan tiga bala (malapetaka) kepada mereka yaitu, Pertama, Allah akan menghilangkan berkah dari usahanya, kedua, Allah menjadikan raja yang zhalim buat mereka, Ketiga, Allah akan mengeluarkan mereka dari dunia (mati) tanpa iman.”
Ketiga, transaksi yang Jujur. Keberkahan bersumber dari rezki yang diperoleh melalui jalan yang halal (benar dan baik). Banyaknya perolehan harta dan tingginya kedudukan tidak menjadi ukuran.
Rezki berkah akan melahirkan keluarga yang berkualitas, tenang, rukun dan saling menyayangi. Anak dan istri atau suami taat beribadah dan berakhlak karimah. Senang berbagi nikmat kepada orang lain yang membutuhkan.
Nabi SAW. mengingatkan : “Dua orang yang saling berjual beli memiliki khiyar (hak memilih) selama mereka sebelum berpisah. Apabila mereka jujur dan memberikan penjelasan (terus terang dalam muamalah mereka), mereka akan diberi berkah dalam jual beli mereka. Dan apabila mereka menyembunyikan kekurangan dan berdusta, maka berkah akan terhapus dari jual beli mereka." (HR. Abu Daud).
Jual beli merupakan refresentasi dari semua transaksi ekonomi dan bisnis, baik dalam skala kecil maupun besar, pribadi maupun perusahaan bahkan antara pemerintahan.
Kejujuran akan mendatangkan keberkahan. Kecurangan merupakan bukti keserakahan yang akan melenyapkan keberkahan.
Iman dan takwa sebagai pondasi. Kecintaan kepada ulama sebagai lampu yang menyinari. Transaksi bisnis (pekerjaan) dibingkai akhlak terpuji. Insya Allah hidup kita pun diberkahi. Namun, jika ketiganya dilangkahi, pastilah bencana terjadi di sana sini.
Hujan yang turun bukan lagi menentramkan hati, tetapi menenggelamkan segala yang dicintai. Panas terik bukan lagi menghangatkan bumi, tetapi mematikan tanaman para petani. Para pemimpin bukan lagi mengayomi, tetapi justru menzhalimi. Naudzubillahi mindzalik. Allahu a’lam bish-shawab.
Dalam rangkaian ayat-ayat A-Qur’an al-Karim, kita temukan kata barokah dalam berbagai derivasinya. Misalnya, Al-Quran diturunkan pada malam yang diberkahi (QS.6:92,21:50,38:29), Baitullah adalah Rumah yang diberkahi (3:96), ada pula tempat-tempat yang diberkahi (17:1,28:30,34:18).
Berkah berasal dari kata barokah (jamak: barokaat) yang menurut Prof Dr M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah bermakna sesuatu yang mantap, kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinambung.
Keberkahan Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur.
Segala penambahan yang tidak terukur oleh indra dinamai barokah/berkah. Adanya berkah pada sesuatu berarti adanya kebajikan yang menyertai sesuatu itu.
Keberkahan akan datang jika diundang melalui tiga jalan yakni, Pertama, keimanan kepada Allah SWT. Beriman seringkali disertai takwa yang menunjukkan kesatuan yang tak bisa terpisahkan (QS.7:96).
Jika iman adalah keyakinan dalam kalbu, takwa adalah refleksi dari iman yang tampak pada sikap, kata dan perbuatan yakni kepatuhan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.
Almarhum Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan keimanan dan takwa kepada Allah membukakan pintu rezki. Sebab kalau orang telah beriman dan bertakwa, fikirannya sendiri terbuka, ilham pun datang.
Sebab iman dan takwa itu menimbulkan silaturrahim sesama manusia. Lantaran itu timbullah kerjasama yang baik sebagai khalifah Allah di muka bumi. Maka turunlah berkat dari langit dan bumi.
Baik berkat hakiki yakni hujan membawa kesuburan bumi, teraturlah tumbuhan dan keluarlah hasil bumi, maupun berkat maknawi yakni timbulnya fikiran-fikiran baru dan petunjuk dari Allah, baik wahyu kepada para Rasul maupun ilham kepada orang-orang yang berjuang dengan ikhlas.
Kedua, mencintai ulama. Satu demi satu ulama terkemuka meninggalkan kita. Mautul ‘alim mautul ‘alam (kematian ulama laksana kematian alam semesta). Begitulah kata hikmah menggambarkan besarnya peran dan kedudukan ulama di muka bumi.
Mereka yang menuntun umat ke jalan kebenaran dan kebaikan dengan ilmu dan keteladanan. Jika ulama tidak lagi didengar dan dimuliakan, maka hilanglah keberkahan.
Kini, umat Islam pun hidup dalam ironi. Karena, sudah lebih senang mendengar ceramah ustaz seleberitis yang tampil di layar TV dan dibalut asesoris serban dan jubah layaknya artis.
Bangga jika bisa mengundang mereka dengan honor yang pantastis, meski harus berjejer di pinggir jalan minta sedekah. Dakwah sudah menjadi tontonan dan hiburan bukan lagi tuntunan.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad, mengutip pesan Nabi SAW. : “Akan datang suatu masa kepada umatku, mereka lari dari (ajaran) para ulama dan fuqaha. Maka Allah akan menurunkan tiga bala (malapetaka) kepada mereka yaitu, Pertama, Allah akan menghilangkan berkah dari usahanya, kedua, Allah menjadikan raja yang zhalim buat mereka, Ketiga, Allah akan mengeluarkan mereka dari dunia (mati) tanpa iman.”
Ketiga, transaksi yang Jujur. Keberkahan bersumber dari rezki yang diperoleh melalui jalan yang halal (benar dan baik). Banyaknya perolehan harta dan tingginya kedudukan tidak menjadi ukuran.
Rezki berkah akan melahirkan keluarga yang berkualitas, tenang, rukun dan saling menyayangi. Anak dan istri atau suami taat beribadah dan berakhlak karimah. Senang berbagi nikmat kepada orang lain yang membutuhkan.
Nabi SAW. mengingatkan : “Dua orang yang saling berjual beli memiliki khiyar (hak memilih) selama mereka sebelum berpisah. Apabila mereka jujur dan memberikan penjelasan (terus terang dalam muamalah mereka), mereka akan diberi berkah dalam jual beli mereka. Dan apabila mereka menyembunyikan kekurangan dan berdusta, maka berkah akan terhapus dari jual beli mereka." (HR. Abu Daud).
Jual beli merupakan refresentasi dari semua transaksi ekonomi dan bisnis, baik dalam skala kecil maupun besar, pribadi maupun perusahaan bahkan antara pemerintahan.
Kejujuran akan mendatangkan keberkahan. Kecurangan merupakan bukti keserakahan yang akan melenyapkan keberkahan.
Iman dan takwa sebagai pondasi. Kecintaan kepada ulama sebagai lampu yang menyinari. Transaksi bisnis (pekerjaan) dibingkai akhlak terpuji. Insya Allah hidup kita pun diberkahi. Namun, jika ketiganya dilangkahi, pastilah bencana terjadi di sana sini.
Hujan yang turun bukan lagi menentramkan hati, tetapi menenggelamkan segala yang dicintai. Panas terik bukan lagi menghangatkan bumi, tetapi mematikan tanaman para petani. Para pemimpin bukan lagi mengayomi, tetapi justru menzhalimi. Naudzubillahi mindzalik. Allahu a’lam bish-shawab.
PROFIL KHALIFAH HARUN AR-RASYID
Dilahirkan pada 17 Maret 763 M, Harun ar-Rasyid, Khalifah
Abbasiyah kelima, berusia 23 tahun saat ia duduk di takhta pada malam 15
September 786 M. Malam itu cerah dan terang, gilang-gemilang dengan sejuta
bintang.
Menurut legenda, rembulan tampak melengkung seperti sebuah sabit di atas Istana "al-Khuld" atau Istana Keabadian. Sebuah bintang berada di pusat lengkungannya, seperti dalam bendera perang Muslim di kemudian hari.
Keesokan paginya, Harun berangkat dari pinggiran Kota Isabadh dan secara resmi memasuki ibu kota kerajaan Baghdad, didahului oleh pengawal istananya. Beberapa legiun tentara mengiringi. Senjata dan baju zirah mereka berkilauan ditimpa sinar mentari..
Benson Bobrick dalam The Caliph's Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad mengilustrasikan, di antara para prajurit bersenjata lengkap itu ada sepasukan tentara suci yang dikenal sebagai Anshar atau tentara Madinah. "Para Pembela" yang pertama kali direkrut ayahnya, Khalifah Mahdi.
“Tepi Sungai Tigris dipadati kerumunan orang yang berharap. Ribuan orang juga berbaris di jembatan besar perahu-perahu yang akan dilintasi sang khalifah. Karena itu hari Jumat, Harun akan mengimami shalat Jumat,” tulis Bobrick.
Armada sampan dan tongkang yang penuh penonton benar-benar membuat macet sungai. Para pedagang serta bangsawan berdiri di atas panggung rumah-rumah berteras yang menghadap dermaga.
Di antara mereka, jubah hitam, sorban hitam dan bendera hitam Abbasiyah tampak mencolok seperti pulasan celak di wajah kota yang diputihkan mentari, dan berkilauan seperti batu oniks hitam ditimpa sinar matahari. Dari atap dan jendela, kaum perempuan meneriakkan nyanyian kegembiraan bernada tinggi.
Iringan-iringan kerajaan berjalan perlahan. Pasukan pengawal istana Harun mengenakan seragam yang sangat bagus. Di tengah-tengah mereka Harun sendiri menunggang kuda dengan baju zirah lengkap. Tubuhnya tegap dan gagah di atas kuda perang putih yang dihias dengan luar biasa.
Menurut legenda, rembulan tampak melengkung seperti sebuah sabit di atas Istana "al-Khuld" atau Istana Keabadian. Sebuah bintang berada di pusat lengkungannya, seperti dalam bendera perang Muslim di kemudian hari.
Keesokan paginya, Harun berangkat dari pinggiran Kota Isabadh dan secara resmi memasuki ibu kota kerajaan Baghdad, didahului oleh pengawal istananya. Beberapa legiun tentara mengiringi. Senjata dan baju zirah mereka berkilauan ditimpa sinar mentari..
Benson Bobrick dalam The Caliph's Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad mengilustrasikan, di antara para prajurit bersenjata lengkap itu ada sepasukan tentara suci yang dikenal sebagai Anshar atau tentara Madinah. "Para Pembela" yang pertama kali direkrut ayahnya, Khalifah Mahdi.
“Tepi Sungai Tigris dipadati kerumunan orang yang berharap. Ribuan orang juga berbaris di jembatan besar perahu-perahu yang akan dilintasi sang khalifah. Karena itu hari Jumat, Harun akan mengimami shalat Jumat,” tulis Bobrick.
Armada sampan dan tongkang yang penuh penonton benar-benar membuat macet sungai. Para pedagang serta bangsawan berdiri di atas panggung rumah-rumah berteras yang menghadap dermaga.
Di antara mereka, jubah hitam, sorban hitam dan bendera hitam Abbasiyah tampak mencolok seperti pulasan celak di wajah kota yang diputihkan mentari, dan berkilauan seperti batu oniks hitam ditimpa sinar matahari. Dari atap dan jendela, kaum perempuan meneriakkan nyanyian kegembiraan bernada tinggi.
Iringan-iringan kerajaan berjalan perlahan. Pasukan pengawal istana Harun mengenakan seragam yang sangat bagus. Di tengah-tengah mereka Harun sendiri menunggang kuda dengan baju zirah lengkap. Tubuhnya tegap dan gagah di atas kuda perang putih yang dihias dengan luar biasa.
Selasa, Maret 11, 2014
APAKAH KAMU TIDAK BERPIKIR?
Diceritakan dari buku tafsir milik Ibnu Katsir, seorang
sahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas mengisahkan, suatu hari datang beberapa
orang Quraisy kepada kaum Yahudi dan bertanya,’’Apa yang dibawa Nabi
Musa kepada kalian (mukjizat)?”
Mereka menjawab,’’Tongkatnya serta tangannya yang putih bersinar bagi yang melihat.’’ Lalu mereka mendatangi kaum Nasrani dan bertanya,”Apa yang dibawa Nabi Isa kepada kalian (mukjizat)?’’ Mereka kemudian menjawab, ”Ia mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan mampu menghidupkan orang mati.’’
Lalu merekapun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata, ”Mintakanlah kepada Tuhanmu supaya Ia mengubah Bukit Shafa menjadi emas.” Nabi Muhammad berdoa kepada Allah akan hal tersebut.
Maka turunlah ayat yang berbunyi, ”Sesungguhnya pada penciptaan bumi dan langit serta pergantian siang dan malam terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi para ulil albab.’’ (QS Ali Imran :190).
Apa maksud diturunkannya ayat ini? Siapa itu ulul albab? Memang sebagai manusia terkadang kita hanya ingin sesuatu yang jelas, nyata, dan praktis. Seperti kafir Quraisy yang meminta Nabi supaya Allah mengubah Bukit Shafa menjadi bukit emas.
Namun Allah memberikan kunci dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di dunia ini bagi manusia. Yaitu dengan menjadi ulul albab, yaitu manusia berpikir, yang menggunakan otak serta hatinya dalam memahami tanda kekuasaan-Nya.
Ada sebuah syair Arab terkenal yang berbunyi, ”Apabila manusia memikirkan segala kelakuannya, maka ia akan menyadari pelajaran di dalamnya.’’
Andai saja manusia menyempatkan waktunya untuk berpikir, memikirkan hakikat penciptaan dirinya, dunia seisinya seperti yang sudah dicontohkan di atas yaitu penciptaan langit dan bumi betapa dahsyatnya penciptaan itu.
Lalu pergantian siang dan malam, kenapa matahari selalu terbit dari timur, adakah manusia yang mampu menerbitkannya dari barat?
Nabi Isa pernah berkata, “Alangkah baiknya orang yang di setiap perkataannya untuk berzikir, diamnya untuk berpikir, dan penglihatannya untuk belajar.’’
Pernahkah Anda membayangkan, ada manusia yang setiap kata dari mulutnya selalu digunakan untuk berzikir, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk mengingatkan orang lain, bahkan diamnya pun berguna untuk berpikir?
Orang yang mampu melakukan ini akan menjadikan semua penglihatan dan panca indra lainnya sebagai hikmah dan pelajaran. Jadi, mari saudaraku, kita sempatkan waktu kosong kita atau saat kita diam untuk sejenak berpikir.
Karena, inilah kunci yang dimaksud untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah selama di dunia dan merupakan pembeda antara kita para Mukmin dan mereka para kaum kafir yang keras kepala dalam menerima bukti-bukti yang datang pada mereka.
Jika sudah, ada satu pesan bagi ikhwah sekalian, ubahlah kata seandainya menjadi semoga diiringi dengan niat yang tulus serta kerja keras niscaya kita akan melihat betapa indahnya dunia ini. Wallahu a’lam
Mereka menjawab,’’Tongkatnya serta tangannya yang putih bersinar bagi yang melihat.’’ Lalu mereka mendatangi kaum Nasrani dan bertanya,”Apa yang dibawa Nabi Isa kepada kalian (mukjizat)?’’ Mereka kemudian menjawab, ”Ia mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan mampu menghidupkan orang mati.’’
Lalu merekapun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata, ”Mintakanlah kepada Tuhanmu supaya Ia mengubah Bukit Shafa menjadi emas.” Nabi Muhammad berdoa kepada Allah akan hal tersebut.
Maka turunlah ayat yang berbunyi, ”Sesungguhnya pada penciptaan bumi dan langit serta pergantian siang dan malam terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi para ulil albab.’’ (QS Ali Imran :190).
Apa maksud diturunkannya ayat ini? Siapa itu ulul albab? Memang sebagai manusia terkadang kita hanya ingin sesuatu yang jelas, nyata, dan praktis. Seperti kafir Quraisy yang meminta Nabi supaya Allah mengubah Bukit Shafa menjadi bukit emas.
Namun Allah memberikan kunci dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di dunia ini bagi manusia. Yaitu dengan menjadi ulul albab, yaitu manusia berpikir, yang menggunakan otak serta hatinya dalam memahami tanda kekuasaan-Nya.
Ada sebuah syair Arab terkenal yang berbunyi, ”Apabila manusia memikirkan segala kelakuannya, maka ia akan menyadari pelajaran di dalamnya.’’
Andai saja manusia menyempatkan waktunya untuk berpikir, memikirkan hakikat penciptaan dirinya, dunia seisinya seperti yang sudah dicontohkan di atas yaitu penciptaan langit dan bumi betapa dahsyatnya penciptaan itu.
Lalu pergantian siang dan malam, kenapa matahari selalu terbit dari timur, adakah manusia yang mampu menerbitkannya dari barat?
Nabi Isa pernah berkata, “Alangkah baiknya orang yang di setiap perkataannya untuk berzikir, diamnya untuk berpikir, dan penglihatannya untuk belajar.’’
Pernahkah Anda membayangkan, ada manusia yang setiap kata dari mulutnya selalu digunakan untuk berzikir, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk mengingatkan orang lain, bahkan diamnya pun berguna untuk berpikir?
Orang yang mampu melakukan ini akan menjadikan semua penglihatan dan panca indra lainnya sebagai hikmah dan pelajaran. Jadi, mari saudaraku, kita sempatkan waktu kosong kita atau saat kita diam untuk sejenak berpikir.
Karena, inilah kunci yang dimaksud untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah selama di dunia dan merupakan pembeda antara kita para Mukmin dan mereka para kaum kafir yang keras kepala dalam menerima bukti-bukti yang datang pada mereka.
Jika sudah, ada satu pesan bagi ikhwah sekalian, ubahlah kata seandainya menjadi semoga diiringi dengan niat yang tulus serta kerja keras niscaya kita akan melihat betapa indahnya dunia ini. Wallahu a’lam
Senin, Maret 10, 2014
PANDANGAN ISLAM TENTANG PEMBANTU RUMAH TANGGA
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyatakan khaadikum akhuukum, pembantumu adalah saudaramu. Mereka mengonsumsi makanan yang kalian ( majikan) makan dan berpakaian yang kalian pakai pula.
Sungguh sangat luar biasa dalam dan tingginya nilai persamaan dan persaudaraan yang diajarkan Islam dan dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW.
Dalam pandangan Islam, semua manusia sama, tidak berbeda karena perbedaan warna kulit, suku bangsa dan juga status sosial.
Bahkan juga kekayaan dan kemiskinan. Satu satunya yang membedakan adalah ketakwaannya kepada Allah SWT. (Perhatikan QS Al Hujurat ayat 13).
Dalam sejarah Islam, banyak bekas budak dan pembantu Rasulullah SAW yang mengukir prestasi yang luar biasa. Bilal bin Rabah, muazzin pertama Rasulullah saw, begitu monumental dalam sejarah.
Bilal sangat dekat dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, padahal beliau adalah bekas budak belian yang berasal dari Habsyi (Afrika).
Anas bin Malik, bekas pembantu Rasulullah SAW, yang kemudian menjadi penulis dan perawi hadits yang terkemuka.
Anas pernah meriwayatkan Rasulullah SAW sangat mencintai dan menghormatinya, tidak pernah marah, tidak pernah mengeluarkan kata kata kasar, dan apalagi memukul dan menyiksanya.
Sikap Baginda Rasulullah SAW yang begitu mencintai mereka, menyebabkan munculnya kekuatan berfikir, kekuatan karakter, dan munculnya keahlian mereka yang ternyata sangat luar biasa melampaui zamannya.
Bahkan beliau selalu mendahulukan para pembantunya untuk mencicipi makanan yang disajikannya. Tidak ada gap antara Rasul dengan umatnya, antara majikan dengan pembantunya,
Semuanya saling menghormati dan saling mencintai atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan komprehensip.
Hak Azasi Manusia (HAM) walaupun tidak didengung-dengungkan, tetapi langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari.
Justru sekarang, ketika HAM didengung-dengungkan, banyak majikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, yang memperlakukan kasar dan kejam para pembantunya.
Seolah-olah mereka bukan manusia yang punya hak hidup yang sama, yang harus dihormati dan dicintai, mereka dianggap makhluk hidup yang tidak perlu dipandang.
Mereka adalah makhluk yang boleh diperlakukan secara kasar dan kejam. Disekap, tidak diberi makan, bekerja tanpa mengenal waktu, disiksa, dan sangat menyedihkan gajinya pun berbulan bulan tidak diberikan.
Perilaku buruk tersebut mencerminkan kehidupan jahiliyyah yang tidak mengenal kasih sayang, kehidupan yang mencerminkan perilaku kebinatangan. Kita tidak pernah membayangkan hal itu banyak terjadi sekarang ini.
Dalam perspektif Islam, siapakah yang lebih mulia, majikan yang kasar dan jahat tersebut. atau pembantu yang teraniaya. Para pembaca bisa menjawab sendiri. Wallahu 'Alam bi Ash Shawab.
Kamis, Maret 06, 2014
JELANG PERSIAPAN MTQ KE-25 KABUPATEN BOMBANA SULTRA 2014
Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam mengatakan, pembukaan
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat provinsi ke-25 di Kabupaten
Bombana dilaksanakan sesuai dengan jadwal.
Hal itu ditegaskan Nur Alam menanggapi adanya isu terkait penundaan jadwal pelaksanaan dari waktu yang ditentukan. "Pembukaan MTQ Tingkat Provinsi di Bombana sesuai jadwal yang telah ditetapkan yakni 10-18 Maret 2014," katanya, Rabu (5/3).
Menurut gubernur, pihaknya belum mendapat laporan resmi dari bupati Bombana terkait isu penundaan MTQ. Namun, dirinya menepis adanya alasan teknis yang memaksa pelaksanaan MTQ tak sesuai jadwal.
"Kalau memang ada masalah teknis terkait pelaksanaan MTQ di Bombana yang belum selesai, maka bisa saja mundur dari jadwal," kata Nur Alam.
Apalagi ada rencana Menteri Agama RI yang akan menghadiri langsung pembukaan MTQ yang dilaksanakan sekali dalam dua tahun itu. Berkenan dengan itu, pihaknya akan melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Bombana untuk mengetahui pasti pelaksanaan MTQ.
Suasana ibukota Bombana pra-MTQ, sudah mulai meriah. Warga sejak beberapa hari ini sudah mulai memasang umbul-umbul dan spanduk terkait dukungan menyambut kegiatan syiar Islam di daerah pecahan Kabupaten Buton itu.
Bahkan, para pedagang kaki lima yang menjual aksesori nuansa Islami sudah mulai berdatangan dari luar daerah untuk menjajakan dagangannya kepada pengunjung saat kegiatan itu dimulai.
Hal itu ditegaskan Nur Alam menanggapi adanya isu terkait penundaan jadwal pelaksanaan dari waktu yang ditentukan. "Pembukaan MTQ Tingkat Provinsi di Bombana sesuai jadwal yang telah ditetapkan yakni 10-18 Maret 2014," katanya, Rabu (5/3).
Menurut gubernur, pihaknya belum mendapat laporan resmi dari bupati Bombana terkait isu penundaan MTQ. Namun, dirinya menepis adanya alasan teknis yang memaksa pelaksanaan MTQ tak sesuai jadwal.
"Kalau memang ada masalah teknis terkait pelaksanaan MTQ di Bombana yang belum selesai, maka bisa saja mundur dari jadwal," kata Nur Alam.
Apalagi ada rencana Menteri Agama RI yang akan menghadiri langsung pembukaan MTQ yang dilaksanakan sekali dalam dua tahun itu. Berkenan dengan itu, pihaknya akan melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Bombana untuk mengetahui pasti pelaksanaan MTQ.
Suasana ibukota Bombana pra-MTQ, sudah mulai meriah. Warga sejak beberapa hari ini sudah mulai memasang umbul-umbul dan spanduk terkait dukungan menyambut kegiatan syiar Islam di daerah pecahan Kabupaten Buton itu.
Bahkan, para pedagang kaki lima yang menjual aksesori nuansa Islami sudah mulai berdatangan dari luar daerah untuk menjajakan dagangannya kepada pengunjung saat kegiatan itu dimulai.
Rabu, Maret 05, 2014
PENGERTIAN HORMAT DALAM BATASAN YANG WAJAR
Setelah melewati penantian panjang, kesepakatan itu akhirnya tercapai.
Pada Maret 628 M, kaum kafir Makkah mengirim Suhail bin Amr untuk
menyepakati butir-butir kesepakatan dalam Perjanjian Hudaibiah.
Rasulullah SAW langsung menyuruh Ali bin Abu Thalib untuk menuliskan setiap butir kesepakatan yang telah disetujui bersama. Ali memulai butir kesepakatan dengan Bismillahirrahmanirrahim.
Suhail yang ditemani dua warga sesukunya, Mikraz dan Huwaithib, tiba-tiba menyela. “Tentang ar-Rahman ini, sungguh kami tidak mengenalnya,” sergahnya ketus. “Jadi, tuliskan saja Bismika Allahumma, seperti orang-orang biasa menyebut!”
Terang saja Ali dan para sahabat lain protes. “Demi Allah, kami tidak akan mau menulis selain Bismillahirrahmanirrahim,” kata Ali tegas. Tetapi, Rasulullah SAW berpikir cepat, tidak tampak terpancing komentar siapa pun. “Tuliskan Bismika Allahumma,” ujar beliau lembut.
Ali tidak berani menolak meski hatinya mendebat. Rasulullah SAW kemudian mendiktekan kalimat berikutnya, “Ini adalah pernyataan kesepakatan gencatan sejata antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.”
Kembali Suhail berulah menyebalkan. “Jika kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak menghalangimu mengunjungi Rumah Suci dan tidak akan memerangimu.” Belum reda kegeraman Ali dan para sahabat, dengan angkuh Suhail meneruskan kalimatnya, “Tulis saja Muhammad putra Abdullah.”
“Aku telah menuliskan kata Rasulullah,” kata Ali tegas. Suhail meradang. Rasulullah SAW lagi-lagi meminta Ali untuk menghapus kata Rasulullah itu. Kali ini Ali menggeleng. Hatinya perih. Tetapi, Rasulullah SAW meminta Ali menunjukkan mana di antara sederet kalimat yang berbunyi Rasulullah.
Ali menunjuk dengan jarinya. Beliau segera menghapus kata Rasulullah dan menggantinya dengan kata Putra Abdullah. Sungguh luar biasa akhlak Rasulullah SAW. Beliau benar-benar pemimpin hebat yang tidak gila hormat. Rasulullah diakui dunia sebagai pribadi paripurna di segala segi kehidupan.
Anak berbakti, pemuda tangguh, pebisnis sukses, orang tua bijak, pemimpin adil, penguasa bersahaja, pendidik sejati, orator ulung, panglima kondang, suami penyayang, dan seterusnya. Kendati demikian, beliau manusia yang sepi dari pamrih.
Sekarang, justru tidak sedikit di antara kita yang sangat gila hormat. Manusia modern begitu gemar memoles diri agar dapat merengkuh pujian dan sanjungan dari siapa saja. Memang ini tidak salah. Tetapi, jika sampai melampaui batas wajar, tentu lain ceritanya.
Kerap kita temukan orang yang ketika berbicara selalu mengaitkan dirinya dengan nama-nama besar. Ingin menegaskan dirinya memiliki hubungan dekat dengan orang-orang hebat itu. Padahal, sebenarnya sosok-sosok markotop yang dicatutnya sama sekali tidak mengenal dirinya.
Perhatikan pula foto-foto orang yang dipampang di media jejaring sosial, semacam Facebook, Instagram, Twitter, dan semisalnya. Tidak sedikit yang begitu gemar pamer gambar-gambar dirinya bersama para tokoh.
Seolah hendak bilang dirinya akrab dengan pribadi-pribadi ternama itu. Padahal, boleh jadi dia hanya kebetulan nimbrung dalam suatu acara dan berkesempatan berfoto ria bersama tokoh bersangkutan.
Lucunya, ada orang yang menggelari dirinya sendiri dengan gelar ustaz atau kiai. Tadinya, istilah kiai merupakan sebutan untuk sebuah benda atau hewan bertuah.
Misalnya, tombak Kiai Plered dan kerbau Kiai Slamet dari Keraton Surakarta, gamelan Kiai Sekati dari Solo, serta bendera Kiai Tunggul Wulung, dan gajah Kiai Rebo dan Kiai Wage dari Yogyakarta.
Umumnya, orang disebut kiai karena kemurnian ibadahnya, kehalusan budinya, kemantapan ilmunya, keluhuran pribadinya, kesantunan tutur ucapannya, keikhlasan pengabdiannya, kebesaran perjuangannya, kegigihan dakwahnya, dan seterusnya. Yang menggelari demikian tentunya masyarakat.
Bila mengacu Alquran, istilah kiai barangkali sama dengan ulama (QS Fathir [35]: 28). Jika demikian, berarti gelar mulia itu sesungguhnya datang dari Allah.
Alangkah narsis dan tidak tahu malunya jika kita menokohkan diri sendiri sebagai kiai, susuhunan, sinuwun, ki ageng, penghulu, sedangkan masyarakat sama sekali tidak menganggap demikian.
Ada yang lebih mengerikan. Seperti, orang marah-marah karena sepulang dari haji, tidak dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah. Padahal, haji adalah ibadah dalam rukun Islam, seperti shalat, zakat, puasa.
Entah sejak kapan orang beribadah haji lantas dipasang gelar Haji atau Hajjah di depan namanya. Padahal, tidak ada orang yang dipanggil Pak Shalat, Bu Zakat, Mas Puasa.
Mengapa hanya ibadah haji yang melekat pada nama orang? Mungkinkah karena ibadah itu membutuhkan biaya banyak sehingga harus ada simbol sosial tertentu yang melekat pada nama pelakunya? Penggila hormat memang selalu ingin lekas terkenal. Tidak peduli meski harus dengan cara-cara instan.
Karena itu, mereka umumnya membaca sedikit berbicara banyak, mengkaji sedikit berkomentar banyak, menulis sedikit mencela banyak, mengamati sedikit mengkritik banyak, memahami sedikit menyalahkan banyak, dan beribadah sedikit meminta banyak.
Ingatlah sebuah hadis hasan yang dibawakan Tirmidzi. Rasulullah bersabda, “Barang siapa merasa senang orang-orang berdiri untuk menyambutnya, hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” Sepatutnya hadis di atas kita jadikan bahan perenungan.
Rasulullah SAW langsung menyuruh Ali bin Abu Thalib untuk menuliskan setiap butir kesepakatan yang telah disetujui bersama. Ali memulai butir kesepakatan dengan Bismillahirrahmanirrahim.
Suhail yang ditemani dua warga sesukunya, Mikraz dan Huwaithib, tiba-tiba menyela. “Tentang ar-Rahman ini, sungguh kami tidak mengenalnya,” sergahnya ketus. “Jadi, tuliskan saja Bismika Allahumma, seperti orang-orang biasa menyebut!”
Terang saja Ali dan para sahabat lain protes. “Demi Allah, kami tidak akan mau menulis selain Bismillahirrahmanirrahim,” kata Ali tegas. Tetapi, Rasulullah SAW berpikir cepat, tidak tampak terpancing komentar siapa pun. “Tuliskan Bismika Allahumma,” ujar beliau lembut.
Ali tidak berani menolak meski hatinya mendebat. Rasulullah SAW kemudian mendiktekan kalimat berikutnya, “Ini adalah pernyataan kesepakatan gencatan sejata antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.”
Kembali Suhail berulah menyebalkan. “Jika kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak menghalangimu mengunjungi Rumah Suci dan tidak akan memerangimu.” Belum reda kegeraman Ali dan para sahabat, dengan angkuh Suhail meneruskan kalimatnya, “Tulis saja Muhammad putra Abdullah.”
“Aku telah menuliskan kata Rasulullah,” kata Ali tegas. Suhail meradang. Rasulullah SAW lagi-lagi meminta Ali untuk menghapus kata Rasulullah itu. Kali ini Ali menggeleng. Hatinya perih. Tetapi, Rasulullah SAW meminta Ali menunjukkan mana di antara sederet kalimat yang berbunyi Rasulullah.
Ali menunjuk dengan jarinya. Beliau segera menghapus kata Rasulullah dan menggantinya dengan kata Putra Abdullah. Sungguh luar biasa akhlak Rasulullah SAW. Beliau benar-benar pemimpin hebat yang tidak gila hormat. Rasulullah diakui dunia sebagai pribadi paripurna di segala segi kehidupan.
Anak berbakti, pemuda tangguh, pebisnis sukses, orang tua bijak, pemimpin adil, penguasa bersahaja, pendidik sejati, orator ulung, panglima kondang, suami penyayang, dan seterusnya. Kendati demikian, beliau manusia yang sepi dari pamrih.
Sekarang, justru tidak sedikit di antara kita yang sangat gila hormat. Manusia modern begitu gemar memoles diri agar dapat merengkuh pujian dan sanjungan dari siapa saja. Memang ini tidak salah. Tetapi, jika sampai melampaui batas wajar, tentu lain ceritanya.
Kerap kita temukan orang yang ketika berbicara selalu mengaitkan dirinya dengan nama-nama besar. Ingin menegaskan dirinya memiliki hubungan dekat dengan orang-orang hebat itu. Padahal, sebenarnya sosok-sosok markotop yang dicatutnya sama sekali tidak mengenal dirinya.
Perhatikan pula foto-foto orang yang dipampang di media jejaring sosial, semacam Facebook, Instagram, Twitter, dan semisalnya. Tidak sedikit yang begitu gemar pamer gambar-gambar dirinya bersama para tokoh.
Seolah hendak bilang dirinya akrab dengan pribadi-pribadi ternama itu. Padahal, boleh jadi dia hanya kebetulan nimbrung dalam suatu acara dan berkesempatan berfoto ria bersama tokoh bersangkutan.
Lucunya, ada orang yang menggelari dirinya sendiri dengan gelar ustaz atau kiai. Tadinya, istilah kiai merupakan sebutan untuk sebuah benda atau hewan bertuah.
Misalnya, tombak Kiai Plered dan kerbau Kiai Slamet dari Keraton Surakarta, gamelan Kiai Sekati dari Solo, serta bendera Kiai Tunggul Wulung, dan gajah Kiai Rebo dan Kiai Wage dari Yogyakarta.
Umumnya, orang disebut kiai karena kemurnian ibadahnya, kehalusan budinya, kemantapan ilmunya, keluhuran pribadinya, kesantunan tutur ucapannya, keikhlasan pengabdiannya, kebesaran perjuangannya, kegigihan dakwahnya, dan seterusnya. Yang menggelari demikian tentunya masyarakat.
Bila mengacu Alquran, istilah kiai barangkali sama dengan ulama (QS Fathir [35]: 28). Jika demikian, berarti gelar mulia itu sesungguhnya datang dari Allah.
Alangkah narsis dan tidak tahu malunya jika kita menokohkan diri sendiri sebagai kiai, susuhunan, sinuwun, ki ageng, penghulu, sedangkan masyarakat sama sekali tidak menganggap demikian.
Ada yang lebih mengerikan. Seperti, orang marah-marah karena sepulang dari haji, tidak dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah. Padahal, haji adalah ibadah dalam rukun Islam, seperti shalat, zakat, puasa.
Entah sejak kapan orang beribadah haji lantas dipasang gelar Haji atau Hajjah di depan namanya. Padahal, tidak ada orang yang dipanggil Pak Shalat, Bu Zakat, Mas Puasa.
Mengapa hanya ibadah haji yang melekat pada nama orang? Mungkinkah karena ibadah itu membutuhkan biaya banyak sehingga harus ada simbol sosial tertentu yang melekat pada nama pelakunya? Penggila hormat memang selalu ingin lekas terkenal. Tidak peduli meski harus dengan cara-cara instan.
Karena itu, mereka umumnya membaca sedikit berbicara banyak, mengkaji sedikit berkomentar banyak, menulis sedikit mencela banyak, mengamati sedikit mengkritik banyak, memahami sedikit menyalahkan banyak, dan beribadah sedikit meminta banyak.
Ingatlah sebuah hadis hasan yang dibawakan Tirmidzi. Rasulullah bersabda, “Barang siapa merasa senang orang-orang berdiri untuk menyambutnya, hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” Sepatutnya hadis di atas kita jadikan bahan perenungan.
Langganan:
Postingan (Atom)