Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan.
Dalam
psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara
lain karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.
Manusia
takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung
meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya,
sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa aman dan
keselamatan hidupnya.
Secara psikologis, takut adalah kondisi
psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan,
was-was, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya itu
jika terjadi pada dirinya. Takut bisa saja menjadi energi positif, jika
dimaknai secara postif, demikian pula sebaliknya.
Kata takut dalam al-Qur’an, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik, dan disertai pengetahuan (ma’rifah).
Khasyyah disematkan kepada ulama (ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah). Hal ini seperti diisyaratkan oleh firman-Nya: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)
Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu seperti Nabi SAW sesuai dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian”.
Sedangkan takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan akan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.
Dalam kajian akhlak tasawuf,
takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang
menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah
dan Rasul-Nya.
Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa
cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, melainkan juga melengkapinya
dengan amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area, abu-abu, samar-samar status hukumnya).
Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin, yaitu, pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan kepada sesama. Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka.
Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia. Kelima, takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab Allah di akhirat kelak.
Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib.
Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu
beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.
Siapa
yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku
maksiat. Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela,
semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu.
Sesungguhnya
mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)
Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.
Allah SWT berfirman: “Dan
hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata
yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)
Di atas semua itu,
memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan
merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada
gilirannya dapat meraih surga-Nya.
“Balasan mereka di sisi
Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan
mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)
Takut
kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya,
sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan, takut kepada atasan,
atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Rabu, Oktober 30, 2013
Selasa, Oktober 29, 2013
JELANG PILKADA KABUPATEN ENDE PUTARAN KE-2: JADILAH PEMIMPIN YANG SEDERHANA
Memang, tidak gampang menduduki kekuasaan. Ada orang bilang, kekuasaan
itu memabukkan. Sementara, kekuasaan umumnya didapat lewat jalur
politik. Orang pun berujar, politik itu keji dan kotor. Ucapan bernada
kelakar itu seolah mendapatkan pembenaran di atas panggung perpolitikan
kontemporer. Bukan hanya berlaku di Indonesia, melainkan menggejala di
semua negara di dunia.
Ketika menjabat, mulanya mengabdi, tetapi lama-lama melakukan korupsi. Sudah banyak buktinya. Tentu masih ada pemimpin yang bersedia melakukan korupsi. Juga pemimpin yang berjiwa rabbani. Tetapi, jumlahnya segelintir. Namanya juga pasti kurang kondang, karena jarang muncul di media. Kebanyakan pemimpin dipastikan berjarak dari sikap sederhana. Umumnya pemimpin diasumsikan karib dengan sikap licik dan koruptif.
Kekuasaan menjadi cara ampuh untuk meraup harta. Muncul anggapan begini: Kalau ingin segera kaya, jadilah penguasa. Kalau ingin cepat melejit, terjunlah dalam politik. Soal membuktikan janji itu nanti, yang penting bagaimana modal pencalonan diri lekas kembali. Soal kesejahteraan rakyat itu urusan kesekian, yang penting posisikan dulu rekan dan keluarga di jabatan mapan. Soal minim karya itu lumrah, yang penting kedudukan bisa langgeng selamanya.
Itulah perilaku umum di kebanyakan pemimpin dunia sekarang. Hampir tidak ditemukan pemimpin yang mau hidup sederhana, apalagi miskin harta. Seperti aneh, kalau ada pemimpin kok tidak kaya. Padahal kenyataan yang seharusnya tidak demikian. Pemimpin harus manusia ‘setengah Dewa’. Dia seyogianya pribadi yang mampu mengatasi egonya. Tahan merasakan penderitaan dirinya, tetapi meronta melihat penderitaan rakyat yang dipimpinnya.
Watak kepemimpinan demikian telah dicontohkan Rasulullah. Beliau terbukti mewakafkan seluruh hidup untuk rakyat. Pengabdian Rasulullah bukan untuk memperkaya diri dan keluarga, melainkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Keseharian beliau sangat sederhana. Hamparan tidur terbuat dari kulit berisi sabut. [HR Bukhari]. Rasulullah bahkan bersedia menahan lapar asalkan rakyat merasa kenyang. Seperti ditegaskan Aisyah, istri beliau tercinta, “Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang oleh roti gandum selama dua hari berturut-turut. Keadaan demikian berlangsung sampai beliau wafat.” [HR Bukhari dan Muslim].
Rasulullah sungguh berbalikan dengan perilaku kebanyakan pemimpin yang justru kekenyangan di tengah rakyat yang kelaparan, tertawa riang di tengah rakyat yang kelimpungan, pamer harta di tengah rakyat yang papa, berekreasi keliling dunia di tengah rakyat yang tiada berdaya, mengoleksi pundi-pundi kekayaan di tengah rakyat yang susah makan. Jeritan rakyat disikapi dengan tutup mata dan telinga. Akal mereka tumpul, hati mereka pingsang, kecuali untuk mendongkrak kekayaan dan popularitas diri.
Tidak banyak pemimpin hari ini yang bersedia menempuh jalan sunyi dan mendaki. Mari bercermin pada kehebatan Rasulullah. Bagi pemimpin sekaliber Rasulullah, meraup harta tentu bukan perkara susah. Kebesaran nama beliau jelas dapat mengundang pundi-pundi harta. Tidak sedikit orang yang menjadikan Rasulullah sebagai ‘sampah’ masalah. Rakyat waktu itu tidak sekadar menyerahkan kerumitan hidup, melainkan juga memasrahkan harta benda untuk disimpan di rumah Rasulullah. Semua rakyat, Muslim atau bukan, telah sepakat dengan sikap amanah Rasulullah.
Rasulullah memang bukan tipologi pemimpin aji mumpung. Beliau ibarat pemimpin yang berada di dalam kolam oli namun sama sekali tidak terciprat oli. Tidak heran, sebagai pemimpin sekaligus penguasa dua Kota Suci, Mekah dan Madinah, beliau justru mengahadap Allah dalam balutan pakaian kasar. Harta yang diwariskan hanya berupa baju besi (dir’un). Itu pun terpaksa digadaikan kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ atau gantang gandum demi menopang biaya hidup keluarga beliau. [HR Bukhari dan Muslim].
Jangan disimpulkan bahwa pemimpin harus miskin. Islam tidak pernah melarang siapa pun untuk menjadi kaya. Banyak pemimpin Islam yang miskin, banyak pula pemimpin Islam yang kaya. Yang dipuji Allah tentu bukan kemiskinan atau kekayaan, melainkan kehebatan pemimpin bersangkutan. Pemimpin hebat tidak diukur dari seberapa melimpah saldo tabungannya, seberapa besar bisnisnya, seberapa megah rumahnya, seberapa mewah kendaraannya, apalagi cuma seberapa banyak istrinya.
Bahkan, pemimpin hebat tidak dapat diukur dari seberapa lama dia memimpin. Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul pada usia 40 tahun. Jika beliau wafat pada usia 63 tahun, berarti beliau secara resmi memimpin umat hanya 23 tahun. Dibandingkan dengan Nabi dan Rasul terdahulu yang berdakwah dan memimpin umat selama ratusan tahun, durasi waktu kepemimpinan Rasulullah tentu sangat singkat. Tetapi, lihatlah hasilnya, dakwah dan kepemimpinan Rasulullah justru sukses luar biasa. Kini, tidak ada manusia di belahan dunia mana pun yang tidak mengenal dan terinspirasi oleh dakwah Rasulullah.
Dengan demikian, kesuksesan seorang pemimpin harus diukur dari seberapa besar perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu butuh modal. Jika belajar pada Rasulullah, terdapat empat modal yang harus dimiliki setiap pemimpin. Keempat modal itu adalah sidik (integrity), amanah (credibility), tablig (accountability), fatanah (brightness). Jika ingin menjadi pemimpin hebat, di level mana pun, wajib mengantongi keempat modal itu, tidak boleh kehilangan salah satunya.
Integritas berarti keterpaduan antara ucapan dan tindakan, janji dan bukti, visi dan aksi, sehingga memancarkan kewibawaan di mata rakyat. Pemimpin berintegritas tidak cuma lihai berjualan muka, tetapi terampil membuktikan karya. Kredibilitas adalah keterpercayaan untuk mengatasi setiap masalah yang mengimpit. Pemimpin kredibel mampu berpikir out of the box, menelurkan terobosan yang belum atau tidak terpikirkan rakyatnya. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab untuk menyampaikan informasi secara benar dan transparan. Pemimpin akuntabel berbicara berdasar data dan fakta, bukan dusta dan purbasangka. Kecerdikan bermakna kesanggupan untuk menangkap peluang secara cepat, cermat, tepat. Pemimpin cerdik pasti solutif, tanggap merespons tantangan, tidak ragu, apalagi minder.
Kehebatan lain dari kepemimpinan Rasulullah adalah kedermawanan. Kendati miskin harta, beliau terbukti pribadi yang paling dermawan. Rasulullah sangat ringan hati di tengah hidup serba kurang. Tidak pernah ada peminta datang ke rumah yang tidak beliau kabulkan permintaannya. Rasulullah tidak menyimpan harta kecuali sekadar untuk kebutuhan. Beliau bersabda, “Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, niscaya aku tidak suka kalau berlalu sampai lebih dari tiga hari, sekali pun di sisiku tinggal ada sedikit emas, kecuali kalau yang sedikit itu aku sediakan untuk memenuhi hutang yang menjadi tanggunganku.” [HR Bukhari dan Muslim].
Kemiskinan tidak menghalangi beliau untuk membantu kesulitan orang. Terlebih lagi dalam urusan ibadah, Rasulullah benar-benar tidak mengenal istilah pelit atau perhitungan. Kita bisa simak dalam haji wada’ (perpisahan). Seusai rombongan umat Islam kembali dari melempar jumrah Aqabah di Mina, Rasulullah memerintahkan hadyu (penyembelihan hewan kurban). Aturan hadyu, satu ekor domba untuk satu orang dan satu ekor unta untuk tujuh orang. Tetapi, perhatikan, Rasulullah sendiri membawa 100 ekor unta. Beliau menyembelih 63 ekor atau seekor unta untuk satu tahun umur beliau. Yang 37 ekor beliau serahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk disembelih.
Melihat kebobrokan pemimpin sekarang, rasanya sulit mengharapkan seseorang yang mencalonkan sebagai pemimpin bukan karena motivasi ingin kaya. Karena itu, rakyat selalu dihantui pesimisme bahwa meskipun sekian kali pemilihan pemimpin digelar, tidak akan merubah keadaan. Semoga keajaiban segera datang. Hidup akan indah sekiranya lahir pemimpin yang bersedia meneladani Rasulullah. Pemimpin hebat jangan merasa hina karena miskin harta, asalkan kaya karya.
www.ende-islam.co.id
Ketika menjabat, mulanya mengabdi, tetapi lama-lama melakukan korupsi. Sudah banyak buktinya. Tentu masih ada pemimpin yang bersedia melakukan korupsi. Juga pemimpin yang berjiwa rabbani. Tetapi, jumlahnya segelintir. Namanya juga pasti kurang kondang, karena jarang muncul di media. Kebanyakan pemimpin dipastikan berjarak dari sikap sederhana. Umumnya pemimpin diasumsikan karib dengan sikap licik dan koruptif.
Kekuasaan menjadi cara ampuh untuk meraup harta. Muncul anggapan begini: Kalau ingin segera kaya, jadilah penguasa. Kalau ingin cepat melejit, terjunlah dalam politik. Soal membuktikan janji itu nanti, yang penting bagaimana modal pencalonan diri lekas kembali. Soal kesejahteraan rakyat itu urusan kesekian, yang penting posisikan dulu rekan dan keluarga di jabatan mapan. Soal minim karya itu lumrah, yang penting kedudukan bisa langgeng selamanya.
Itulah perilaku umum di kebanyakan pemimpin dunia sekarang. Hampir tidak ditemukan pemimpin yang mau hidup sederhana, apalagi miskin harta. Seperti aneh, kalau ada pemimpin kok tidak kaya. Padahal kenyataan yang seharusnya tidak demikian. Pemimpin harus manusia ‘setengah Dewa’. Dia seyogianya pribadi yang mampu mengatasi egonya. Tahan merasakan penderitaan dirinya, tetapi meronta melihat penderitaan rakyat yang dipimpinnya.
Watak kepemimpinan demikian telah dicontohkan Rasulullah. Beliau terbukti mewakafkan seluruh hidup untuk rakyat. Pengabdian Rasulullah bukan untuk memperkaya diri dan keluarga, melainkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Keseharian beliau sangat sederhana. Hamparan tidur terbuat dari kulit berisi sabut. [HR Bukhari]. Rasulullah bahkan bersedia menahan lapar asalkan rakyat merasa kenyang. Seperti ditegaskan Aisyah, istri beliau tercinta, “Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang oleh roti gandum selama dua hari berturut-turut. Keadaan demikian berlangsung sampai beliau wafat.” [HR Bukhari dan Muslim].
Rasulullah sungguh berbalikan dengan perilaku kebanyakan pemimpin yang justru kekenyangan di tengah rakyat yang kelaparan, tertawa riang di tengah rakyat yang kelimpungan, pamer harta di tengah rakyat yang papa, berekreasi keliling dunia di tengah rakyat yang tiada berdaya, mengoleksi pundi-pundi kekayaan di tengah rakyat yang susah makan. Jeritan rakyat disikapi dengan tutup mata dan telinga. Akal mereka tumpul, hati mereka pingsang, kecuali untuk mendongkrak kekayaan dan popularitas diri.
Tidak banyak pemimpin hari ini yang bersedia menempuh jalan sunyi dan mendaki. Mari bercermin pada kehebatan Rasulullah. Bagi pemimpin sekaliber Rasulullah, meraup harta tentu bukan perkara susah. Kebesaran nama beliau jelas dapat mengundang pundi-pundi harta. Tidak sedikit orang yang menjadikan Rasulullah sebagai ‘sampah’ masalah. Rakyat waktu itu tidak sekadar menyerahkan kerumitan hidup, melainkan juga memasrahkan harta benda untuk disimpan di rumah Rasulullah. Semua rakyat, Muslim atau bukan, telah sepakat dengan sikap amanah Rasulullah.
Rasulullah memang bukan tipologi pemimpin aji mumpung. Beliau ibarat pemimpin yang berada di dalam kolam oli namun sama sekali tidak terciprat oli. Tidak heran, sebagai pemimpin sekaligus penguasa dua Kota Suci, Mekah dan Madinah, beliau justru mengahadap Allah dalam balutan pakaian kasar. Harta yang diwariskan hanya berupa baju besi (dir’un). Itu pun terpaksa digadaikan kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ atau gantang gandum demi menopang biaya hidup keluarga beliau. [HR Bukhari dan Muslim].
Jangan disimpulkan bahwa pemimpin harus miskin. Islam tidak pernah melarang siapa pun untuk menjadi kaya. Banyak pemimpin Islam yang miskin, banyak pula pemimpin Islam yang kaya. Yang dipuji Allah tentu bukan kemiskinan atau kekayaan, melainkan kehebatan pemimpin bersangkutan. Pemimpin hebat tidak diukur dari seberapa melimpah saldo tabungannya, seberapa besar bisnisnya, seberapa megah rumahnya, seberapa mewah kendaraannya, apalagi cuma seberapa banyak istrinya.
Bahkan, pemimpin hebat tidak dapat diukur dari seberapa lama dia memimpin. Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul pada usia 40 tahun. Jika beliau wafat pada usia 63 tahun, berarti beliau secara resmi memimpin umat hanya 23 tahun. Dibandingkan dengan Nabi dan Rasul terdahulu yang berdakwah dan memimpin umat selama ratusan tahun, durasi waktu kepemimpinan Rasulullah tentu sangat singkat. Tetapi, lihatlah hasilnya, dakwah dan kepemimpinan Rasulullah justru sukses luar biasa. Kini, tidak ada manusia di belahan dunia mana pun yang tidak mengenal dan terinspirasi oleh dakwah Rasulullah.
Dengan demikian, kesuksesan seorang pemimpin harus diukur dari seberapa besar perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu butuh modal. Jika belajar pada Rasulullah, terdapat empat modal yang harus dimiliki setiap pemimpin. Keempat modal itu adalah sidik (integrity), amanah (credibility), tablig (accountability), fatanah (brightness). Jika ingin menjadi pemimpin hebat, di level mana pun, wajib mengantongi keempat modal itu, tidak boleh kehilangan salah satunya.
Integritas berarti keterpaduan antara ucapan dan tindakan, janji dan bukti, visi dan aksi, sehingga memancarkan kewibawaan di mata rakyat. Pemimpin berintegritas tidak cuma lihai berjualan muka, tetapi terampil membuktikan karya. Kredibilitas adalah keterpercayaan untuk mengatasi setiap masalah yang mengimpit. Pemimpin kredibel mampu berpikir out of the box, menelurkan terobosan yang belum atau tidak terpikirkan rakyatnya. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab untuk menyampaikan informasi secara benar dan transparan. Pemimpin akuntabel berbicara berdasar data dan fakta, bukan dusta dan purbasangka. Kecerdikan bermakna kesanggupan untuk menangkap peluang secara cepat, cermat, tepat. Pemimpin cerdik pasti solutif, tanggap merespons tantangan, tidak ragu, apalagi minder.
Kehebatan lain dari kepemimpinan Rasulullah adalah kedermawanan. Kendati miskin harta, beliau terbukti pribadi yang paling dermawan. Rasulullah sangat ringan hati di tengah hidup serba kurang. Tidak pernah ada peminta datang ke rumah yang tidak beliau kabulkan permintaannya. Rasulullah tidak menyimpan harta kecuali sekadar untuk kebutuhan. Beliau bersabda, “Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, niscaya aku tidak suka kalau berlalu sampai lebih dari tiga hari, sekali pun di sisiku tinggal ada sedikit emas, kecuali kalau yang sedikit itu aku sediakan untuk memenuhi hutang yang menjadi tanggunganku.” [HR Bukhari dan Muslim].
Kemiskinan tidak menghalangi beliau untuk membantu kesulitan orang. Terlebih lagi dalam urusan ibadah, Rasulullah benar-benar tidak mengenal istilah pelit atau perhitungan. Kita bisa simak dalam haji wada’ (perpisahan). Seusai rombongan umat Islam kembali dari melempar jumrah Aqabah di Mina, Rasulullah memerintahkan hadyu (penyembelihan hewan kurban). Aturan hadyu, satu ekor domba untuk satu orang dan satu ekor unta untuk tujuh orang. Tetapi, perhatikan, Rasulullah sendiri membawa 100 ekor unta. Beliau menyembelih 63 ekor atau seekor unta untuk satu tahun umur beliau. Yang 37 ekor beliau serahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk disembelih.
Melihat kebobrokan pemimpin sekarang, rasanya sulit mengharapkan seseorang yang mencalonkan sebagai pemimpin bukan karena motivasi ingin kaya. Karena itu, rakyat selalu dihantui pesimisme bahwa meskipun sekian kali pemilihan pemimpin digelar, tidak akan merubah keadaan. Semoga keajaiban segera datang. Hidup akan indah sekiranya lahir pemimpin yang bersedia meneladani Rasulullah. Pemimpin hebat jangan merasa hina karena miskin harta, asalkan kaya karya.
www.ende-islam.co.id
JELANG PILKADA KABUPATEN ENDE PUTARAN KE-2 : PILIH PEMIMPIN YANG IDEAL MENURUT ISLAM
Berbicara masalah pemimpin ideal
menurut Islam erat kaitannya dengan figur Rasulullah SAW. Beliau adalah
pemimpin agama dan juga pemimpin negara. Rasulullah merupakan suri tauladan
bagi setiap orang, termasuk para pemimpin karena dalam diri beliau hanya ada
kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam
Al-Qur’an:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Sebagai pemimpin teladan yang
menjadi model ideal pemimpin, Rasulullah dikaruniai empat sifat utama, yaitu:
Sidiq, Amanah, Tablig dan Fathonah. Sidiq berarti jujur dalam perkataan dan
perbuatan, amanah berarti dapat dipercaya dalam menjaga tanggung jawab, Tablig
berarti menyampaikan segala macam kebaikan kepada rakyatnya dan fathonah
berarti cerdas dalam mengelola masyarakat.
Sidiq/Jujur
Kejujuran adalah lawan dari dusta
dan iamemiliki arti kecocokan sesuatusebagaimana dengan fakta. Di antaranya
yaitu kata “rajulun shaduq (sangatjujur)”, yang lebih mendalammaknanya daripada
shadiq (jujur).Al-mushaddiqyakni orang yang membenarkan setiapucapanmu, sedang
ash-shiddiq ialah orangyang terus menerus membenar-kan ucapan orang, danbisa
juga orang yang selalumembuktikan ucapannya dengan perbuatan.Di dalam al-Qur’an
disebutkan (tentangibu Nabi Isa), “Dan ibunya adalah seorang”shiddiqah.”
(Al-Maidah: 75).Maksudnya ialah orang yang selalu berbuat jujur.
Kejujuran merupakan syarat utama
bagi seorang pemimpin. Masyarakat akan menaruh respek kepada pemimpin apabila
dia diketahui dan juga terbukti memiliki kwalitas kejujuran yang tinggi.
Pemimpin yang memiliki prinsip kejujuran akan menjadi tumpuan harapan para
pengikutnya. Mereka sangat sadar bahwa kualitas kepemimpinannya ditentukan
seberapa jauh dirinya memperoleh kepercayaan dari pengikutnya. Seorang pemimpin
yang sidiq atau bahasa lainnya honest akan mudah diterima di hati
masyarakat, sebaliknya pemimpin yang tidak jujur atau khianat akan dibenci oleh
rakyatnya. Kejujuran seorang pemimpin dinilai dari perkaataan dan sikapnya.
Sikap pemimpin yang jujur adalah manifestasi dari perkaatannya, dan perkatannya
merupakan cerminan dari hatinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
disifati dengan ash-shadiqul amin (jujur dan terpercaya) , dan sifat ini telah
diketahui oleh orang Quraisy sebelum beliau diutus menjadi rasul. Demikian pula
Nabi Yusuf ’alaihis salam juga disifati dengannya, sebagaimana firman Allah
subhanahu wata’ala,
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru), “Yusuf, hai orang yang
amat dipercaya.” (QS.Yusuf: 46)
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru), “Yusuf, hai orang yang
amat dipercaya.” (QS.Yusuf: 46)
Khalifah Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu juga mendapatkan julukan ini (ash-shiddiq). Ini semua menunjukkan hawa kejujuran
merupakan salah satuperilaku kehidupan terpenting para rasul dan pengikut
mereka.Dan kedudukantertinggi sifat jujur adalah “ash-shiddiqiyah” Yakni tunduk
terhadap rasulsecara utuh (lahir batin) dan diiringi keikhlasan secara sempurna
kepadaPengutus Allah.
Imam Ibnu Katsir berkata, “Jujur
merupakan karakter yang sangat terpuji, oleh karena itu sebagian besar sahabat
tidak pernah coba-coba melakukan kedustaan baik pada masa jahiliyah maupun
setelah masuk Islam. Kejujuran merupakan cirrikeimanan, sebagaimana pula dusta
adalah ciri kemunafikan, maka barang siapajujur dia akan beruntung.” (Tafsir
Ibnu Katsir 3/643)
Dalam Al-Qur’an surat At-taubah ayat
119, Allah SWT mengisyaratkan kepada muslimin untuk senantiasa bersama
orang-orang yang jujur.
“Hai orang-orang yang
beriman,bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yangbenar.”(QS. At-Taubah:119)
Rasulullah SAW bersabda mengenai
pentingnya kejujuran.
“Jauhilah dusta karena dusta akan
membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur
karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan kebajikan membawamu ke surga” (HR Bukhari dan Muslim).
Amanah/Terpercaya
Muhammad SAW bahkan sebelum diangkat
menjadi rasul telah menunjukkan kualitas pribadinya yang diakui oleh masyarakat
Quraish. Beliau dikenal dengan gelar Al-Amien, yang terpercaya. Oleh
karena itu ketika terjadi peristiwa sengketa antara para pemuka Quraish
mengenai siapa yang akan meletakkan kembali hajar aswad setelah renovasi
Ka’bah, meraka dengan senang hati menerima Muhammad sebagai arbitrer,
padahal waktu itu Muhammad belum termasuk pembesar.
Amanah merupakan kwalitas wajib yang
harus dimiliki seorang pemimpin. Dengan memiliki sifat amanah, pemimpin akan
senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat yang telah diserahkan di atas
pundaknya. Kepercayaan maskarakat berupa penyerahan segala macam urusan kepada
pemimpin agar dikelola dengan baik dan untuk kemaslahatan bersama.
Terjadinya banyak kasus korupsi di
negara kita, merupakan bukti nyata bahwa bangsa Indonesia miskin pemimpin yang
amanah. Para pemimpin dari mulai tingkat desa sampai negara telah terbiasa
mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan cara memanfaatkan jabatan sebagai
jalan pintas untuk memperkaya diri. Pemimpin semacam ini sebenarnya tidak layak
disebut sebagai pemimpin, mereka merupakan para perampok yang berkedok.
Mengenai nilai amanah, Daniel
Goleman mencatat beberapa ciri orang yang memiliki sifat tersebut.
- Dia bertindak berdasarkan etika dan tidak pernah mempermalukan orang
- Membangun kepercayaan diri lewat keandalan diri dan autentisitas (kemurnia/kejujuran)
- Berani mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan tidka etis ornag lain
- Berpegang kepada prinsip secara teguh, walaupun resikonya tidak disukai serta memiliki komitmen dan menepati janji
- Bertangung jawab sendiri untuk memperjuangkan tujuan serta terorganisir dan cermat dalam bekerja. (Goleman, 1998).
Amanah erat kaitanya dengan janggung
jawab. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang bertangggung jawab. Dalam
perspektif Islam pemimpin bukanlah raja yang harus selalu dilayani dan diikuti
segala macam keinginannya, akan tetapi pemimpin adalah khadim.
Sebagaimana pepatah Arab mengatakan “sayyidulqaumi khodimuhum”, pemimpin
sebuah masyarakat adalah pelayan mereka.
Sebagai seorang pembantu, pemimpin
harus merelakan waktu. Tenaga dan pikiran untuk melayani rakyatnya. Pemimpin
dituntut untuk melepaskan sifat individualis yang hanya mementingkan diri
sendiri. Ketika menjadi pemimpin maka dia adalah kaki-tangan rakyat yang
senantiasa harus melakukan segala macam pekerjaan untuk kemakmuran dan keamanan
rakyatnya.
Dalam buku The 21 Indispensable
Quality of Leader, John C. Maxwell menekankan bahwa tanggung jawab bukan
sekedar melaksanakan tugas, namun pemimpin yang bertanggung jawab harus
melaksanakan tugas dengan lebih, berorienatsi kepada ketuntasan dan
kesempurnaan. “Kualitas tertinggi dari seseorang yang bertangging jawab
adalah kemampuannya untuk menyelesaikan
Tablig/Komunikatif
Kemampuan berkomunikasi merupakan kualitas
ketiga yang harus dimiliki oleh pemimpi sejati. Pemimpin bukan berhadapan
dengan benda mati yang bisa digerakkan dan dipindah-pindah sesuai dengan
kemauannya sendiri, tetapi pemimpin berhadapan dengan rakyat manusia yang
memiliki beragam kecenderungan. Oleh karena itu komunikasi merupakan kunci
terjainnya hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyat.
Pemimpin dituntut untuk membuka diri
kepada rakyatnya, sehingga mendapat simpati dan juga rasa cinta. Keterbukaan
pemimpin kepada rakyatnya bukan berarti pemimpin harus sering curhat mengenai
segala kendala yang sedang dihadapinya, akan tetapi pemimpin harus mampu
membangun kepercayaan rakyatnya untuk melakukan komunikasi dengannya. Sebagai
contoh, Rasulullah SAW pernah didatangi oleh seorang perempuan hamil yang
mengaku telah berbuat zina. Si perempuan menyampaikan penyesalannya kepada
Rasul dan berharap diberikan sanksi berupa hukum rajam. Hal ini terjadi karena
sebagai seorang pemimpin Rasulullah membuka diri terhadap umatnya.
Salah satu ciri kekuatan komunikasi
seorang pemimpin adalah keberaniannya menyatakan kebenaran meskipun
konsekwensinya berat. Dalam istilah Arab dikenal ungkapan, “kul al-haq walau
kaana murran”, katakanlah atau sampaikanlah kebenaran meskipun pahit
rasanya.
Tablig juga dapat diartikan sebagai
akuntabel, atau terbuka untuk dinilai. Akuntabilitas berkaitan dengan sikap
keterbukaan (transparansi) dala kaitannya dengan cara kita
mempertanggungkawabkan sesuatu di hadapan orang lain. Sehingga, akuntabilitas
merupakan bagian melekat dari kredibilitas. Bertambah baik dan benar
akuntabilitas yang kita miliki, bertambah besar tabungan kredibilitas sebagai
hasil dari setoran kepercayaan orang-orang kepada kita.
Fathonah/Cerdas
Seorang pemimpin harus memiliki
kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehinga memiliki kepercayaan diri.
Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan segala macam persoalan
yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah frustasi
menghadapai problema, karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari
solusi. Pemimpin yang cerdas tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama,
karena dia selalu tertantang untuk menyelesaikan masalah tepat waktu.
Contoh kecerdasan luar biasa yang
dimiliki oleh khalifah kedua Sayyidina Umar ibn Khattab adalah ketika beliau
menerima kabar bahwa pasukan Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ibnu Jarrah
yang sednag bertugas di Syria terkena wabah mematikan. Sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab, Umar ibn Khattab segera berangkat dari Madinah menuju Syria
untuk melihat keadaan pasukan muslim yang sedang ditimpa musibah tersebut.
Ketika beliau sampai di perbatasan, ada kabar yang menyatakan bahwa keadaan di
tempat pasukan mulimin sangat gawat. Semua orang yang masuk ke wilayah tersebut
akan tertular virus yang mematikan. Mendengar hal tersebut, Umar ibn Khattab
segera mengambil tindakan untuk mengalihkan perjalanan. Ketika ditanya tentang
sikapnya yang tidak konsisten dan dianggap telah lari dari takdir Allah, Umar
bin Khattab menjawab, “Saya berplaing dari satu takdir Allah menuju takdir
Allah yang lain”.
Kecerdasan pemimpin tentunya
ditopang dengan keilmuan yang mumpuni. Ilmu bagi pemimpin yang cerdas merupakan
bahan bakar untuk terus melaju di atas roda kepemimpinannya. Pemimpin yang
cerdas selalu haus akan ilmu, karena baginya hanya dengan keimanan dan keilmuan
dia akan memiliki derajat tinggi di mata manusia dan juga pencipta. Sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an.
“Allah akan meninggikan
orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat”. (QS.Al Mujadalah:11)
Selasa, Oktober 22, 2013
MEMBINA RUMAH TANGGA YANG ISLAMI
Kalimah dalam QS Ar Rum 21 “an kholaqo lakum min anfusikum”
menegaskan bahwa meskipun jenis berbeda namun asal semua adalah sama yaitu
“dari dirimu sendiri”. Ini artinya bahwa ada titik temu. Memang tak bisa
dipungkiri istri maupun suami memiliki latar belakang, pendidikan, watak,
ataupun pengalaman yang berbeda satu sama lain.
Bagi mereka yang tidak berangkat dari “ayat” maka perbedaan-perbedaan tersebut menjadi potensi eksplosif yang akan saling mendestruksi. Sebaliknya “ayat” mengingatkan bahwa ditengah perbedaan yang banyak maka persamaan itu tetap ada. Keadaan ini merupakan fondasi utama. Ketika merasa ada yang tak disukai dari pasangan, maka ingatlah apa apa yang disukai dari pasangan kita tersebut. Sewaktu keputusan diambil untuk siap menikah dengannya, maka saat itu telah ada komitmen berupa kecintaan dan kesukaan.
Terjadinya perceraian sering disebabkan perbesaran sudut deviasi perbedaan, dramatisasi, dan egoisme. Bahasa yang mengemuka adalah “ketidakcocokkan” padahal sebenarnya bukan faktor perbedaan, melainkan tidak mau dan tak mampunya menemukan persamaan-persamaan yang ada, tidak membangun nostalgia cinta kasih, dan terjebak pada hal hal yang semata pragmatis. Padahal dulu sewaktu menikah, idealisme begitu kuat untuk mengikatkan tali kebersamaan dalam berumahtangga. Bahasanya sehidup semati, katanya.
Berumah tangga harus pandai-pandai membaca peristiwa. Bila diberi kesenangan berupa rezeki yang banyak maka itu harus direspons sebagai ujian.Begitu juga bila ditimpa mushibah atau keadaan yang sulit, maka disikapi dengan sabar dengan selalu mencari hikmah-hikmah yang dikandungnya. Dengan demikian akan ada “kearifan rumahtangga”. Hal ini tentu sangat berguna untuk membangun harmoni dan relaksasi.
Ada tiga hal penting dalam membangun kearifan rumah tangga, yaitu:
Pertama, menggenggam Alquran. Alquran merupakan “bacaan harian” yang tetap menjadi pedoman dan panduan. Ayat-ayat-Nya adalah penenang dari hiruk pikuk kebutuhan hidup yang tak pernah habis, penyejuk dari panasnya hawa persaingan ekonomi dan sosial yang dapat mengguncang perkawinan, obat dari penyakit-penyakit hati, serta pendorong untuk meningkatkan kualitas ibadah dan amaliah.
Alquran adalah tempat kembali pasangan suami istri yang renggang silaturahmi, penguat mereka yang frustrasi, serta pengendali dari segala emosi, ambisi, dan watak menuhankan harga diri. Alquran adalah hidayah bagi orang-orang yang bertakwa “hudan lil muttaqien”.
Jauh dari Alquran akan menyebabkan jauh nya dari hidayah Allah. Umat Muhammad yang menjauh dari Quran sama dengan telah menyakiti Rosul-Nya sebagaimana Firman Allah dalam QS Al Furqan 30 “Dan Rasul (Muhammad) berkata: Ya Rabb-ku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Quran ini sesuatu yang disia-siakan” .
Kedua, Ikut rujukan Nabi baik itu perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Sunnah adalah cahaya bagi rumah tangga. Rumah tangga yang terang oleh cahaya akan penuh dengan kejujuran, keterbukaan, dan tenggangrasa, hangat dan gembira. Wajah yang ada didalamnya bening dan ceria.
Pandangannya jauh ke depan dengan penuh keyakinan dan kepastian. Sebaliknya mereka yang tak mengenal pada sunnahnya, maka rumah tangga itu penuh dengan kepalsuan, prasangka, dingin dan curiga. Rentan dengan konflik dan tak bermasa depan. Tidak merasakan indahnya iman dalam hati serta dekat dengan kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Ketiga, menjadikan masing masingnya sebagai pakaian. Fungsi pakaian itu sebagai sarana untuk menutup aurat. Suami menjadi penutup aurat istrinya, demikian juga sebaliknya. Segala kelemahan, keburukan, dan cacat-cacat yang ada pada istri haruslah disimpan dan ditutupi. Begitu juga kejelekan yang ada pada suami harus ditutupi pula oleh istrinya.
Janganlah menjadi suami atau istri yang terbiasa kesana kesini menceritrakan atau mengadukan keburukkan pasangannya, apalagi sampai seperti tak ada lagi kebaikan yang ada pada pasangannya tersebut. Oleh karena itu Nabi senantiasa berdo’a “Wahai Allah tutuplah aib kami dengan sutrah (hijab) mu yang sangat indah”. Seburuk buruk manusia adalah yang pada siang hari menceritrakan apa yang dilakukan pada malam hari dengan suami/istrinya sebagaimana Sabda Nabi “sesungguhnya orang terjelek tempatnya dihari kiamat ialah suami yang membukakan rahasia istrinya kepada orang lain tentang soal perkawinan antara keduanya” (HR Muslim).
Mencari titik temu adalah substansi kearifan rumah tangga. Rumah adalah anak tangga untuk naik menuju surga. Jika itu keyakinannya, maka insya allah elemennya akan sabar menjalani kehidupan yang mewarnainya
Bagi mereka yang tidak berangkat dari “ayat” maka perbedaan-perbedaan tersebut menjadi potensi eksplosif yang akan saling mendestruksi. Sebaliknya “ayat” mengingatkan bahwa ditengah perbedaan yang banyak maka persamaan itu tetap ada. Keadaan ini merupakan fondasi utama. Ketika merasa ada yang tak disukai dari pasangan, maka ingatlah apa apa yang disukai dari pasangan kita tersebut. Sewaktu keputusan diambil untuk siap menikah dengannya, maka saat itu telah ada komitmen berupa kecintaan dan kesukaan.
Terjadinya perceraian sering disebabkan perbesaran sudut deviasi perbedaan, dramatisasi, dan egoisme. Bahasa yang mengemuka adalah “ketidakcocokkan” padahal sebenarnya bukan faktor perbedaan, melainkan tidak mau dan tak mampunya menemukan persamaan-persamaan yang ada, tidak membangun nostalgia cinta kasih, dan terjebak pada hal hal yang semata pragmatis. Padahal dulu sewaktu menikah, idealisme begitu kuat untuk mengikatkan tali kebersamaan dalam berumahtangga. Bahasanya sehidup semati, katanya.
Berumah tangga harus pandai-pandai membaca peristiwa. Bila diberi kesenangan berupa rezeki yang banyak maka itu harus direspons sebagai ujian.Begitu juga bila ditimpa mushibah atau keadaan yang sulit, maka disikapi dengan sabar dengan selalu mencari hikmah-hikmah yang dikandungnya. Dengan demikian akan ada “kearifan rumahtangga”. Hal ini tentu sangat berguna untuk membangun harmoni dan relaksasi.
Ada tiga hal penting dalam membangun kearifan rumah tangga, yaitu:
Pertama, menggenggam Alquran. Alquran merupakan “bacaan harian” yang tetap menjadi pedoman dan panduan. Ayat-ayat-Nya adalah penenang dari hiruk pikuk kebutuhan hidup yang tak pernah habis, penyejuk dari panasnya hawa persaingan ekonomi dan sosial yang dapat mengguncang perkawinan, obat dari penyakit-penyakit hati, serta pendorong untuk meningkatkan kualitas ibadah dan amaliah.
Alquran adalah tempat kembali pasangan suami istri yang renggang silaturahmi, penguat mereka yang frustrasi, serta pengendali dari segala emosi, ambisi, dan watak menuhankan harga diri. Alquran adalah hidayah bagi orang-orang yang bertakwa “hudan lil muttaqien”.
Jauh dari Alquran akan menyebabkan jauh nya dari hidayah Allah. Umat Muhammad yang menjauh dari Quran sama dengan telah menyakiti Rosul-Nya sebagaimana Firman Allah dalam QS Al Furqan 30 “Dan Rasul (Muhammad) berkata: Ya Rabb-ku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Quran ini sesuatu yang disia-siakan” .
Kedua, Ikut rujukan Nabi baik itu perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Sunnah adalah cahaya bagi rumah tangga. Rumah tangga yang terang oleh cahaya akan penuh dengan kejujuran, keterbukaan, dan tenggangrasa, hangat dan gembira. Wajah yang ada didalamnya bening dan ceria.
Pandangannya jauh ke depan dengan penuh keyakinan dan kepastian. Sebaliknya mereka yang tak mengenal pada sunnahnya, maka rumah tangga itu penuh dengan kepalsuan, prasangka, dingin dan curiga. Rentan dengan konflik dan tak bermasa depan. Tidak merasakan indahnya iman dalam hati serta dekat dengan kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Ketiga, menjadikan masing masingnya sebagai pakaian. Fungsi pakaian itu sebagai sarana untuk menutup aurat. Suami menjadi penutup aurat istrinya, demikian juga sebaliknya. Segala kelemahan, keburukan, dan cacat-cacat yang ada pada istri haruslah disimpan dan ditutupi. Begitu juga kejelekan yang ada pada suami harus ditutupi pula oleh istrinya.
Janganlah menjadi suami atau istri yang terbiasa kesana kesini menceritrakan atau mengadukan keburukkan pasangannya, apalagi sampai seperti tak ada lagi kebaikan yang ada pada pasangannya tersebut. Oleh karena itu Nabi senantiasa berdo’a “Wahai Allah tutuplah aib kami dengan sutrah (hijab) mu yang sangat indah”. Seburuk buruk manusia adalah yang pada siang hari menceritrakan apa yang dilakukan pada malam hari dengan suami/istrinya sebagaimana Sabda Nabi “sesungguhnya orang terjelek tempatnya dihari kiamat ialah suami yang membukakan rahasia istrinya kepada orang lain tentang soal perkawinan antara keduanya” (HR Muslim).
Mencari titik temu adalah substansi kearifan rumah tangga. Rumah adalah anak tangga untuk naik menuju surga. Jika itu keyakinannya, maka insya allah elemennya akan sabar menjalani kehidupan yang mewarnainya
Rabu, Oktober 16, 2013
BELAJAR KETA'ATAN DARI NABI IBRAHIM
Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari istimewa dimana Umat Muslim di seluruh
dunia merayakan Hari Raya Idul Adha. Pada hari tersebut Umat Muslim
bersuka cita menikmati daging kurban.
Menikmati kelezatan daging yang kita santap seharusnya membuat kita teringat akan peristiwa luar biasa yang menjadi “cikal bakal” Hari Raya Idul Adha.
Hari Raya Idul Adha yang kita nantikan setiap tahunnya adalah hadiah besar dari Allah SWT atas keta’atan Nabi Ibrahim dan juga Isma’il. (QS. As-Shaaffaat:102-111) Hadiah besar yang diberikan Allah karena keta’atan paripurna dua makhluknya, namun berkah hadiah itu turut kita nikmati sampai sekarang.
Bertahun-tahun lamanya Nabi Ibrahim menantikan hadirnya seorang anak, sampai akhirnya Allah memberikan kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS. As-Shaaffaat: 101). Dialah Isma’il. Tentu tidak dapat dilukiskan bagaimana kegembiraan Nabi Ibrahim. Namun rupanya Allah menguji kecintaan dan keta’atan Ibrahim kepada-Nya.
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istri dan anaknya yang baru lahir di sebuah padang pasir gersang. Tidak ada tumbuhan, tidak ada air, apalagi makanan. Hati suami dan ayah mana yang tega meninggalkan orang yang dicintainya dalam keadaan seperti itu.
Namun Subhanallah, Nabi Ibrahim menjalankannya. Pun dengan istrinya Siti Hajar. Dia ikhlas ditinggalkan suami di padang pasir gersang tersebut. Hanya dia dan anaknya. Siti Hajar yakin, bahwa Allahlah yang menjamin kehidupannya dan anaknya. Juga kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini.
Demikianlah, Allah mengganti ketaatan dan pengorbanan Siti Hajar dengan berkah yang luar biasa besar. Padang pasir gersang menjadi daerah subur penuh kekayaan alam. Didatangi oleh beratus-ratus juta jamaah setiap tahunnya. Air Zamzam yang tidak pernah kering. Itulah hadiah keta’atan Siti Hajar. Berkahnya masih kita rasakan sampai sekarang.
Dengan kekuasaan-Nya, Allah kemudian mempertemukan Ibrahim dengan putra tercintanya, Ismail. Rasa rindu yang luar biasa terbayar sudah melihat anaknya Ismail telah tumbuh menjadi remaja yang saleh. Bahagia sekali rasanya hidup bersama lagi dengan istri dan anak yang dicintainya. Namun rupanya ujian keta’atan belum usai.
Melalui mimpi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri. Ismail yang begitu dicintainya. Tatkala Ibrahim menceritakan mimpinya kepada Ismail, Ismail menjawab dengan jawaban yang luar biasa. “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. As-Shaaffaat:102) Jawaban yang memberitahu kita seberapa besar ketaatan Isma’il kepada Allah.
Maka ketika Ibrahim mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui mimpinya, maka pada saat itulah Allah menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Peristiwa inilah yang menjadi dasar disyari’atkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji.
Itulah hadiah besar Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail atas keta’atan mereka. Hadiah yang turut kita nimati sampai saat ini. Maka, pada Hari Raya Kurban ini, hendaklah kita juga belajar ketaatan Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan juga Nabi Ismail.
Sehingga Idul Adha yang kita rayakan setiap tahun tidak hanya berlalu begitu saja. Sekedar berlalu dengan menikmati daging kurban. Namun juga menambah ketaatan kita kepada Allah. Itulah hikmah terbesar daripada Idul Adha. Wallahua’lam.
Menikmati kelezatan daging yang kita santap seharusnya membuat kita teringat akan peristiwa luar biasa yang menjadi “cikal bakal” Hari Raya Idul Adha.
Hari Raya Idul Adha yang kita nantikan setiap tahunnya adalah hadiah besar dari Allah SWT atas keta’atan Nabi Ibrahim dan juga Isma’il. (QS. As-Shaaffaat:102-111) Hadiah besar yang diberikan Allah karena keta’atan paripurna dua makhluknya, namun berkah hadiah itu turut kita nikmati sampai sekarang.
Bertahun-tahun lamanya Nabi Ibrahim menantikan hadirnya seorang anak, sampai akhirnya Allah memberikan kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS. As-Shaaffaat: 101). Dialah Isma’il. Tentu tidak dapat dilukiskan bagaimana kegembiraan Nabi Ibrahim. Namun rupanya Allah menguji kecintaan dan keta’atan Ibrahim kepada-Nya.
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istri dan anaknya yang baru lahir di sebuah padang pasir gersang. Tidak ada tumbuhan, tidak ada air, apalagi makanan. Hati suami dan ayah mana yang tega meninggalkan orang yang dicintainya dalam keadaan seperti itu.
Namun Subhanallah, Nabi Ibrahim menjalankannya. Pun dengan istrinya Siti Hajar. Dia ikhlas ditinggalkan suami di padang pasir gersang tersebut. Hanya dia dan anaknya. Siti Hajar yakin, bahwa Allahlah yang menjamin kehidupannya dan anaknya. Juga kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini.
Demikianlah, Allah mengganti ketaatan dan pengorbanan Siti Hajar dengan berkah yang luar biasa besar. Padang pasir gersang menjadi daerah subur penuh kekayaan alam. Didatangi oleh beratus-ratus juta jamaah setiap tahunnya. Air Zamzam yang tidak pernah kering. Itulah hadiah keta’atan Siti Hajar. Berkahnya masih kita rasakan sampai sekarang.
Dengan kekuasaan-Nya, Allah kemudian mempertemukan Ibrahim dengan putra tercintanya, Ismail. Rasa rindu yang luar biasa terbayar sudah melihat anaknya Ismail telah tumbuh menjadi remaja yang saleh. Bahagia sekali rasanya hidup bersama lagi dengan istri dan anak yang dicintainya. Namun rupanya ujian keta’atan belum usai.
Melalui mimpi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri. Ismail yang begitu dicintainya. Tatkala Ibrahim menceritakan mimpinya kepada Ismail, Ismail menjawab dengan jawaban yang luar biasa. “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. As-Shaaffaat:102) Jawaban yang memberitahu kita seberapa besar ketaatan Isma’il kepada Allah.
Maka ketika Ibrahim mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui mimpinya, maka pada saat itulah Allah menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Peristiwa inilah yang menjadi dasar disyari’atkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji.
Itulah hadiah besar Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail atas keta’atan mereka. Hadiah yang turut kita nimati sampai saat ini. Maka, pada Hari Raya Kurban ini, hendaklah kita juga belajar ketaatan Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan juga Nabi Ismail.
Sehingga Idul Adha yang kita rayakan setiap tahun tidak hanya berlalu begitu saja. Sekedar berlalu dengan menikmati daging kurban. Namun juga menambah ketaatan kita kepada Allah. Itulah hikmah terbesar daripada Idul Adha. Wallahua’lam.
Senin, Oktober 14, 2013
Kamis, Oktober 03, 2013
PERKEMBANGAN ISLAM DI TURIN ITALIA
Di negeri para uskup, Italia, Islam tersebar luas dan terus berkembang.
Jika di masa lalu muslimin hanya terpusat di bagian selatan Italia dekat
Sisilia, maka sekarang ini muslimin tersebar di setiap penjuru negara.
Sekitar 55persen muslim justru memilih tinggal di Italia Utara , 25 persen di Pusat , dan hanya 20 persen di Selatan. Salah satu kota di Italia Utara yang memiliki cukup banyak penduduk muslim yakni Kota Turin (Torino - Italy).
Berdasarkan data statistik PEW Forum, muslim Italia berjumlah sekitar 36 ribu jiwa. Jumlah yang masih sangat minim, atau dibawah satu persen, dibanding total penduduk negara. Namun jika berdasarkan data dari laman Islam in Europe, jumlah tersebut terus meningkat tiap dekade.
Di tahun 2000, ada 600 ribu Muslim di Italia, kemudian di tahun 2009 terdapat lebih dari 1,3 juta muslim, dan saat ini jumlah muslim Italia mencapai angka lebih dari 1,5 juta jiwa. Diprediksi pada tahun 2030, jumlah muslimin di Italia akan mencapai 2,8 juta jiwa.
Adapun di Kota Turin, menurut Press Tv, jumlah muslimin sekitar 30 ribu jiwa atau sekitar 12 persen dari populasi kota. Dalam tayangan PressTV yang dapat disaksikan di Youtube tersebut, digambarkan pula kehidupan muslimin di Kota Turin. Mereka beraktivitas normal sebagaimana masyarakat umum yang mayoritas penganut nasrani. Para muslimah berhijab pun nampak bebas berjalan di jalanan umum dan pasar.
Reporter Press TV, Max Civilli mengabarkan, muslimin Turin tersebar di setiap penjuru kota terutama di kawasan multietnic area. Sehingga di area tersebut, muncul komunitas muslim yang membuat mereka nyaman seperti rumah sendiri. Pasalnya, banyak muslimin disana yang merupakan imigran. Meski berkewarganegaraan Italia, mereka datang dari negeri-ngeri muslim.
Turin Councillor for integration, Ilda Curti menuturkan, Kota Turin memang menjadi ruah banyak imigran. Sebagian besar imigran berasal dari Afrika Utara, China, Asia Selatan dan Filiphina. Jumlah mereka sekitar 20 ribu imigran, dengan 40 persen diantaranya merupakan usia muda yang lahir di kota tersebut. "Mereka lahir di Turin, tumbuh besar di turi dan sekilah di sekolah kita," ujarnya.
Dengan banyaknya imigran, maka pemerintah Kota Turin sangat menghargai toleransi. mereka berusaha melindungi setiap komunitas masyarakat, termasuk muslim. "Bagi sejarah Turin, kota ini layaknya laboratorium inovasi sosial," kata Curti.
Dengan toleransi tersebut, muslimin pun mendapatkan tempat yang nyaman disana. Mereka bebas membangun masjid dan menyekolahkan anak di sekolah Islam. Bahkan pendidikan Islam tengah diusulkan untuk masuk ke kurikulum sekoilah umum. Islamic Centre juga tersebar di penjuru kota. Sedikitnya terdapat delapan islamic centre yang menauni komunitas muslim di kota kelahiran Juventus tersebut.
Kendati demikian, muslimin Turin masih dihadang isu islamophobia. Alhasil, perizinan pembangunan masjid masih cukup sulit dilakukan. Apalagi sejak mencuatnya kabar seorang muslim italia, Abu Farid Al Masri yang menjadi pelaku bom bunuh diri yang menghancurkan gedung PBB di Baghdad pada tahun 2003. Sejak itu warga Itali, termasuk Turin selalu waswas terhadap keberadaan muslim.
Namun seperti di negara dan kota lain di Eropa, isu islamophobia juga justru membawa dakwah Islam makin berkembang di Turin. Jumlah mualaf terus meningkat tiap tahunnya. Baru-baru ini, muslim Turin juga telah berhasil mendapat perizinan untuk pembangunan masjid baru di kawasan Lingotto. Saat peresmian bulan Juli lalu tersebut, hadir wakil dari asosiasi Islam berbagai kota dan negara dekat.
Komunitas muslim Turin juga berkembang pesat. Banyak pula muslimin Turin yang bergabung di organisasi keislaman tingkat Italia. Turin juga seringkali menjadi tuan rumah konferensi Uni Masyarakat dan Organisasi Islam Italia (UCOII), organisasi yang menyatukan seluruh muslimin di Italia. Selain Kota Milan, Turin menjadi kota yang aktif dalam perkembangan dakwah Islam.
Tak hanya itu, dalam hal toleransi beragama, Turin juga rupanya dapat menjadi contoh kota-kota lain di Italia bahkan Eropa. Persatuan uskup Eropa pernah berkunjung bertemu komunitas muslim Turin. Mereka menawarkan sebuah hubungan baik dengan muslimin, enkulturasi progresif Islam di Eropa.
Tantangan
Kendati kehidupan muslim Turin cukup tenang dan nyaman, namun bukan berarti luput dari tantangan. Guru besar Sejarah Islam Universitas Turin, Farian Sabahi, menuturkan, hingga kini tak ada model spesifik di Turin, bahkan di Italia, untuk pemerintah menyikapi muslimin. Tak seperti negara Eropa lain, pemerintahan Italia belum menjadikan hal tersebut sebagai prioritas yang perlu dibahas.
"Muslim dianggap menakutkan bagi Italia karena kebanyakan adalah orang miskin," ujar Sabahi.
Dengan status demikian, muslimin hanya akan dianggap sebagai penyebab kerusuhan dan akan menjadi objek kekerasan. Hal tersebut terbukti dari beberapa kasus yang makin marak terjadi. Selain itu masih ditemui pula pencegahan area strategis untuk lokasi pendirian masjid.
"Di beberapa kota Italia, khususnya di utara, politisi telah mengeksploitasi sentimen anti-imigran untuk menghadang pembangunanan tempat ibadah baru," ujarnya.
Sekitar 55persen muslim justru memilih tinggal di Italia Utara , 25 persen di Pusat , dan hanya 20 persen di Selatan. Salah satu kota di Italia Utara yang memiliki cukup banyak penduduk muslim yakni Kota Turin (Torino - Italy).
Berdasarkan data statistik PEW Forum, muslim Italia berjumlah sekitar 36 ribu jiwa. Jumlah yang masih sangat minim, atau dibawah satu persen, dibanding total penduduk negara. Namun jika berdasarkan data dari laman Islam in Europe, jumlah tersebut terus meningkat tiap dekade.
Di tahun 2000, ada 600 ribu Muslim di Italia, kemudian di tahun 2009 terdapat lebih dari 1,3 juta muslim, dan saat ini jumlah muslim Italia mencapai angka lebih dari 1,5 juta jiwa. Diprediksi pada tahun 2030, jumlah muslimin di Italia akan mencapai 2,8 juta jiwa.
Adapun di Kota Turin, menurut Press Tv, jumlah muslimin sekitar 30 ribu jiwa atau sekitar 12 persen dari populasi kota. Dalam tayangan PressTV yang dapat disaksikan di Youtube tersebut, digambarkan pula kehidupan muslimin di Kota Turin. Mereka beraktivitas normal sebagaimana masyarakat umum yang mayoritas penganut nasrani. Para muslimah berhijab pun nampak bebas berjalan di jalanan umum dan pasar.
Reporter Press TV, Max Civilli mengabarkan, muslimin Turin tersebar di setiap penjuru kota terutama di kawasan multietnic area. Sehingga di area tersebut, muncul komunitas muslim yang membuat mereka nyaman seperti rumah sendiri. Pasalnya, banyak muslimin disana yang merupakan imigran. Meski berkewarganegaraan Italia, mereka datang dari negeri-ngeri muslim.
Turin Councillor for integration, Ilda Curti menuturkan, Kota Turin memang menjadi ruah banyak imigran. Sebagian besar imigran berasal dari Afrika Utara, China, Asia Selatan dan Filiphina. Jumlah mereka sekitar 20 ribu imigran, dengan 40 persen diantaranya merupakan usia muda yang lahir di kota tersebut. "Mereka lahir di Turin, tumbuh besar di turi dan sekilah di sekolah kita," ujarnya.
Dengan banyaknya imigran, maka pemerintah Kota Turin sangat menghargai toleransi. mereka berusaha melindungi setiap komunitas masyarakat, termasuk muslim. "Bagi sejarah Turin, kota ini layaknya laboratorium inovasi sosial," kata Curti.
Dengan toleransi tersebut, muslimin pun mendapatkan tempat yang nyaman disana. Mereka bebas membangun masjid dan menyekolahkan anak di sekolah Islam. Bahkan pendidikan Islam tengah diusulkan untuk masuk ke kurikulum sekoilah umum. Islamic Centre juga tersebar di penjuru kota. Sedikitnya terdapat delapan islamic centre yang menauni komunitas muslim di kota kelahiran Juventus tersebut.
Kendati demikian, muslimin Turin masih dihadang isu islamophobia. Alhasil, perizinan pembangunan masjid masih cukup sulit dilakukan. Apalagi sejak mencuatnya kabar seorang muslim italia, Abu Farid Al Masri yang menjadi pelaku bom bunuh diri yang menghancurkan gedung PBB di Baghdad pada tahun 2003. Sejak itu warga Itali, termasuk Turin selalu waswas terhadap keberadaan muslim.
Namun seperti di negara dan kota lain di Eropa, isu islamophobia juga justru membawa dakwah Islam makin berkembang di Turin. Jumlah mualaf terus meningkat tiap tahunnya. Baru-baru ini, muslim Turin juga telah berhasil mendapat perizinan untuk pembangunan masjid baru di kawasan Lingotto. Saat peresmian bulan Juli lalu tersebut, hadir wakil dari asosiasi Islam berbagai kota dan negara dekat.
Komunitas muslim Turin juga berkembang pesat. Banyak pula muslimin Turin yang bergabung di organisasi keislaman tingkat Italia. Turin juga seringkali menjadi tuan rumah konferensi Uni Masyarakat dan Organisasi Islam Italia (UCOII), organisasi yang menyatukan seluruh muslimin di Italia. Selain Kota Milan, Turin menjadi kota yang aktif dalam perkembangan dakwah Islam.
Tak hanya itu, dalam hal toleransi beragama, Turin juga rupanya dapat menjadi contoh kota-kota lain di Italia bahkan Eropa. Persatuan uskup Eropa pernah berkunjung bertemu komunitas muslim Turin. Mereka menawarkan sebuah hubungan baik dengan muslimin, enkulturasi progresif Islam di Eropa.
Tantangan
Kendati kehidupan muslim Turin cukup tenang dan nyaman, namun bukan berarti luput dari tantangan. Guru besar Sejarah Islam Universitas Turin, Farian Sabahi, menuturkan, hingga kini tak ada model spesifik di Turin, bahkan di Italia, untuk pemerintah menyikapi muslimin. Tak seperti negara Eropa lain, pemerintahan Italia belum menjadikan hal tersebut sebagai prioritas yang perlu dibahas.
"Muslim dianggap menakutkan bagi Italia karena kebanyakan adalah orang miskin," ujar Sabahi.
Dengan status demikian, muslimin hanya akan dianggap sebagai penyebab kerusuhan dan akan menjadi objek kekerasan. Hal tersebut terbukti dari beberapa kasus yang makin marak terjadi. Selain itu masih ditemui pula pencegahan area strategis untuk lokasi pendirian masjid.
"Di beberapa kota Italia, khususnya di utara, politisi telah mengeksploitasi sentimen anti-imigran untuk menghadang pembangunanan tempat ibadah baru," ujarnya.
Rabu, Oktober 02, 2013
SEMANGAT BERKURBAN MEMBANGUN BANGSA
Dua
pekan lagi kita umat Islam akan merayakan hari Raya kurban. Kurban
berasal dari kata Arab yakni Qurbah, yang bermakna mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Dalam ritual Kurban, umat Islam juga melakukan udlhiyah atau
juga berarti penyembelihan hewan kurban. Seluruh umat Islam di muka
bumi melaksanakan penyembelihan hewan kurban seperti domba, sapi atau
unta, sebagai tanda memenuhi panggilan Allah SWT.
Hari
Raya Kurban juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan
kebaikan umat manusia pada masa lalu. Dalam konteks sejarah, Hari Raya
Kurban berarti refleksi atas ketulusan dan loyalitas Nabi Ibrahim
terhadap perintah-perintah Allah SWT.
Dalam
konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan
sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi
Ibrahim yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk
mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan
simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan
seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.
Hampir
seluruh ulama sepakat bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim
terhadap Ismail adalah bukti penyerahan diri sepenuhnya terhadap
perintah Tuhan. Oleh karenanya ajaran Nabi Ibrahim disebut sebagai
ajaran Islâm atau (penyerahan diri). Seorang mufassir modern, Muhamad
Ali (1874-1951) memaknai kurban sebagai tindakan kerendahan hati dan
kesabaran dalam penderitaan dan ketakjuban kepada Ilahi. Dalam hal
penyembelihan hewan sebagai simbol kurban.
Sementara
intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya ‘Hajj’,
ibadah ritual Kurban bukan sekadar memiliki makna bagaimana manusia
(baca: umat Islam) mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga
mendekatkan diri kepada sesama manusia, terutama mereka yang tergolong
sebagai kaum dhuafa dan marginal.
Ali
Syariati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas kemusnahan dan
kematian ego. Berkurban berarti menahan diri dari, dan berjuang melawan,
godaan ego. Kurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah lambang
dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia.
Ibadah
Kurban juga memiliki pesan bahwa umat Islam diharuskan lebih
mendekatkan diri dengan kaum dhuafa (kaum miskin) dan lebih mengutamakan
nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan sosial.
Ibadah
Kurban juga mengajarkan bahwa umat Islam tidak mengambil harta kekayaan
orang lain. seruan “Korbanlah Ismalilmu” yang bernada perintah tidak
hanya saran tetapi juga merupakan sebuah keharusan.
Dengan
begitu, melalui berqurban, kita dapat mendekatkan diri kepada kaum
dhuafa. Bila kita diberikan kenikmatan dari Allah, maka kita diwajibkan
untuk berbagi kenikmatan dengan orang lain. Ibadah kurban mengajak
mereka yang termasuk dalam golongan dhuafa untuk merasakan kenyang.
Atas
dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga
makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah
sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh
kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak
yang sangat kita kasihi.
Dalam
tataran sosial, spirit ibadah berqurban sebaiknya kita jadikan sebagai
prinsip hidup dalam berbagai sesama umat manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Spirit berqurban janganlah sekadar kita implementasikan
hanya membeli hewan ternak lalu disembelih dan dagingnya dibagikan
kepada kaum dhuafa. Sebaiknya lebih dari itu. Spirit berkurban harus
kita jadikan spirit hidup sepanjang masa.
Bagi
seorang aparatur pemerintah, spirit berqurban bisa dijadikan sebagai
prinsip hidup dalam memberikan pelayanan publik terbaik dan menuju yang
paling terbaik untuk masyarakat. Memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat tidak pandang bulu, suku, ras, agama, latarbelakang ekonomi
serta tidak bermotifkan keuntungan.
Bagi
seorang akademisi, pelajar dan mahasiswa, sebaiknya spirit berkurban
bisa menjadi landasan dalam belajar, mengajar dan melakukan penelitian
yang menghasilkan ilmu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Spirit berqurban bisa menjadi prinsip hidup sipapun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mulailah dari sekarang.
Langganan:
Postingan (Atom)