Memang, tidak gampang menduduki kekuasaan. Ada orang bilang, kekuasaan
itu memabukkan. Sementara, kekuasaan umumnya didapat lewat jalur
politik. Orang pun berujar, politik itu keji dan kotor. Ucapan bernada
kelakar itu seolah mendapatkan pembenaran di atas panggung perpolitikan
kontemporer. Bukan hanya berlaku di Indonesia, melainkan menggejala di
semua negara di dunia.
Ketika menjabat, mulanya mengabdi, tetapi
lama-lama melakukan korupsi. Sudah banyak buktinya. Tentu masih ada
pemimpin yang bersedia melakukan korupsi. Juga pemimpin yang berjiwa
rabbani. Tetapi, jumlahnya segelintir. Namanya juga pasti kurang
kondang, karena jarang muncul di media. Kebanyakan pemimpin dipastikan
berjarak dari sikap sederhana. Umumnya pemimpin diasumsikan karib dengan
sikap licik dan koruptif.
Kekuasaan menjadi cara ampuh untuk
meraup harta. Muncul anggapan begini: Kalau ingin segera kaya, jadilah
penguasa. Kalau ingin cepat melejit, terjunlah dalam politik. Soal
membuktikan janji itu nanti, yang penting bagaimana modal pencalonan
diri lekas kembali. Soal kesejahteraan rakyat itu urusan kesekian, yang
penting posisikan dulu rekan dan keluarga di jabatan mapan. Soal minim
karya itu lumrah, yang penting kedudukan bisa langgeng selamanya.
Itulah
perilaku umum di kebanyakan pemimpin dunia sekarang. Hampir tidak
ditemukan pemimpin yang mau hidup sederhana, apalagi miskin harta.
Seperti aneh, kalau ada pemimpin kok tidak kaya. Padahal kenyataan yang
seharusnya tidak demikian. Pemimpin harus manusia ‘setengah Dewa’. Dia
seyogianya pribadi yang mampu mengatasi egonya. Tahan merasakan
penderitaan dirinya, tetapi meronta melihat penderitaan rakyat yang
dipimpinnya.
Watak kepemimpinan demikian telah dicontohkan
Rasulullah. Beliau terbukti mewakafkan seluruh hidup untuk rakyat.
Pengabdian Rasulullah bukan untuk memperkaya diri dan keluarga,
melainkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Keseharian beliau
sangat sederhana. Hamparan tidur terbuat dari kulit berisi sabut. [HR
Bukhari]. Rasulullah bahkan bersedia menahan lapar asalkan rakyat merasa
kenyang. Seperti ditegaskan Aisyah, istri beliau tercinta, “Keluarga
Muhammad tidak pernah kenyang oleh roti gandum selama dua hari
berturut-turut. Keadaan demikian berlangsung sampai beliau wafat.” [HR
Bukhari dan Muslim].
Rasulullah sungguh berbalikan dengan
perilaku kebanyakan pemimpin yang justru kekenyangan di tengah rakyat
yang kelaparan, tertawa riang di tengah rakyat yang kelimpungan, pamer
harta di tengah rakyat yang papa, berekreasi keliling dunia di tengah
rakyat yang tiada berdaya, mengoleksi pundi-pundi kekayaan di tengah
rakyat yang susah makan. Jeritan rakyat disikapi dengan tutup mata dan
telinga. Akal mereka tumpul, hati mereka pingsang, kecuali untuk
mendongkrak kekayaan dan popularitas diri.
Tidak banyak pemimpin
hari ini yang bersedia menempuh jalan sunyi dan mendaki. Mari bercermin
pada kehebatan Rasulullah. Bagi pemimpin sekaliber Rasulullah, meraup
harta tentu bukan perkara susah. Kebesaran nama beliau jelas dapat
mengundang pundi-pundi harta. Tidak sedikit orang yang menjadikan
Rasulullah sebagai ‘sampah’ masalah. Rakyat waktu itu tidak sekadar
menyerahkan kerumitan hidup, melainkan juga memasrahkan harta benda
untuk disimpan di rumah Rasulullah. Semua rakyat, Muslim atau bukan,
telah sepakat dengan sikap amanah Rasulullah.
Rasulullah memang
bukan tipologi pemimpin aji mumpung. Beliau ibarat pemimpin yang berada
di dalam kolam oli namun sama sekali tidak terciprat oli. Tidak heran,
sebagai pemimpin sekaligus penguasa dua Kota Suci, Mekah dan Madinah,
beliau justru mengahadap Allah dalam balutan pakaian kasar. Harta yang
diwariskan hanya berupa baju besi (dir’un). Itu pun terpaksa digadaikan
kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ atau gantang gandum demi
menopang biaya hidup keluarga beliau. [HR Bukhari dan Muslim].
Jangan
disimpulkan bahwa pemimpin harus miskin. Islam tidak pernah melarang
siapa pun untuk menjadi kaya. Banyak pemimpin Islam yang miskin, banyak
pula pemimpin Islam yang kaya. Yang dipuji Allah tentu bukan kemiskinan
atau kekayaan, melainkan kehebatan pemimpin bersangkutan. Pemimpin hebat
tidak diukur dari seberapa melimpah saldo tabungannya, seberapa besar
bisnisnya, seberapa megah rumahnya, seberapa mewah kendaraannya, apalagi
cuma seberapa banyak istrinya.
Bahkan, pemimpin hebat tidak
dapat diukur dari seberapa lama dia memimpin. Rasulullah diangkat
menjadi Nabi dan Rasul pada usia 40 tahun. Jika beliau wafat pada usia
63 tahun, berarti beliau secara resmi memimpin umat hanya 23 tahun.
Dibandingkan dengan Nabi dan Rasul terdahulu yang berdakwah dan memimpin
umat selama ratusan tahun, durasi waktu kepemimpinan Rasulullah tentu
sangat singkat. Tetapi, lihatlah hasilnya, dakwah dan kepemimpinan
Rasulullah justru sukses luar biasa. Kini, tidak ada manusia di belahan
dunia mana pun yang tidak mengenal dan terinspirasi oleh dakwah
Rasulullah.
Dengan demikian, kesuksesan seorang pemimpin harus
diukur dari seberapa besar perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu
butuh modal. Jika belajar pada Rasulullah, terdapat empat modal yang
harus dimiliki setiap pemimpin. Keempat modal itu adalah sidik
(integrity), amanah (credibility), tablig (accountability), fatanah
(brightness). Jika ingin menjadi pemimpin hebat, di level mana pun,
wajib mengantongi keempat modal itu, tidak boleh kehilangan salah
satunya.
Integritas berarti keterpaduan antara ucapan dan
tindakan, janji dan bukti, visi dan aksi, sehingga memancarkan
kewibawaan di mata rakyat. Pemimpin berintegritas tidak cuma lihai
berjualan muka, tetapi terampil membuktikan karya. Kredibilitas adalah
keterpercayaan untuk mengatasi setiap masalah yang mengimpit. Pemimpin
kredibel mampu berpikir out of the box, menelurkan terobosan yang belum
atau tidak terpikirkan rakyatnya. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab
untuk menyampaikan informasi secara benar dan transparan. Pemimpin
akuntabel berbicara berdasar data dan fakta, bukan dusta dan
purbasangka. Kecerdikan bermakna kesanggupan untuk menangkap peluang
secara cepat, cermat, tepat. Pemimpin cerdik pasti solutif, tanggap
merespons tantangan, tidak ragu, apalagi minder.
Kehebatan lain
dari kepemimpinan Rasulullah adalah kedermawanan. Kendati miskin harta,
beliau terbukti pribadi yang paling dermawan. Rasulullah sangat ringan
hati di tengah hidup serba kurang. Tidak pernah ada peminta datang ke
rumah yang tidak beliau kabulkan permintaannya. Rasulullah tidak
menyimpan harta kecuali sekadar untuk kebutuhan. Beliau bersabda,
“Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, niscaya aku tidak suka
kalau berlalu sampai lebih dari tiga hari, sekali pun di sisiku tinggal
ada sedikit emas, kecuali kalau yang sedikit itu aku sediakan untuk
memenuhi hutang yang menjadi tanggunganku.” [HR Bukhari dan Muslim].
Kemiskinan
tidak menghalangi beliau untuk membantu kesulitan orang. Terlebih lagi
dalam urusan ibadah, Rasulullah benar-benar tidak mengenal istilah pelit
atau perhitungan. Kita bisa simak dalam haji wada’ (perpisahan). Seusai
rombongan umat Islam kembali dari melempar jumrah Aqabah di Mina,
Rasulullah memerintahkan hadyu (penyembelihan hewan kurban). Aturan
hadyu, satu ekor domba untuk satu orang dan satu ekor unta untuk tujuh
orang. Tetapi, perhatikan, Rasulullah sendiri membawa 100 ekor unta.
Beliau menyembelih 63 ekor atau seekor unta untuk satu tahun umur
beliau. Yang 37 ekor beliau serahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk
disembelih.
Melihat kebobrokan pemimpin sekarang, rasanya sulit
mengharapkan seseorang yang mencalonkan sebagai pemimpin bukan karena
motivasi ingin kaya. Karena itu, rakyat selalu dihantui pesimisme bahwa
meskipun sekian kali pemilihan pemimpin digelar, tidak akan merubah
keadaan. Semoga keajaiban segera datang. Hidup akan indah sekiranya
lahir pemimpin yang bersedia meneladani Rasulullah. Pemimpin hebat
jangan merasa hina karena miskin harta, asalkan kaya karya.
www.ende-islam.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar