Salah satu karakter yang tetap identik dengan orang-orang bodoh adalah
sikapnya yang gampang meremehkan segala sesuatu termasuk penemuan ilmiah
baru. Sikap tersebut sama dengan sikap orang-orang kafir, karena
kebodohan dan kekafiran pada hakekatnya serupa.
Kebodohan
berkaitan dengan tidak sampainya akal pikiran pada hakekat ilmu
pengetahuan. Kekafiran tidak sampainya akal pikiran pada hakekat
keimanan.
Ketika Allah yang Maha Agung menyampaikan bahwa
sesungguhnya diri-Nya tidak segan membuat perumpamaan dengan seekor
nyamuk atau bahkan yang lebih kecil dari nyamuk (QS. Al-Baqarah: 26),
orang-orang kafir berkata:"Apa maksud Allah membuat perumpamaan sekecil
itu?". Sementara orang-orang beriman dengan dasar keimanan dan
pemikirannya yang mendalam berkata: "Jika berasal dari Allah, maka tentu
ada kebenaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya."
Dua sikap
yang bertolak belakang ini pada satu sisi menggambarkan sikap
meremehkan sesuatu yang kemudian berimplikasi negatif karena didasarkan
pada cara berpikir negatif yang pada akhirnya memalukan diri sendiri
sebab kebenaran ilmiahnya pada waktu tertentu menjadi nyata.
Sementara
di sisi lain menggambarkan sikap hati-hati, sikap yang harus menghargai
sebuah penemuan sekecil apapun, apalagi datangnya dari Dzat yang Maha
Benar yang dipastikan memiliki makna kebenaran dan perlu diselidiki
isyarat kebenaran yang ditunjukkan-Nya.
Nyatanya dewasa ini
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi trendnya menuju ke bentuk
yang semakin mengecil. Dulu di awal kemunculannya, komputer hadir dengan
bentuk body dan CPU yang serba besar, lalu berkembang menjadi
sederhana, terus mengecil dan bahkan semakin kecil saat ini. Mobil,
radio, jam, handphone dan semua alat-alat elektronik mengalami proses
dan perkembangan serupa. Demikian pula yang terjadi dalam teknologi
lain.
Berubahnya bentuk produk-produk ilmu pengetahuan dan
teknologi ke arah yang lebih kecil dengan tanpa mengurangi
kecanggilannya menunjukkan bahwa justru semakin kecil semakin
complicated, semakin rumit, semakin canggih dan semakin simple. Bukan
sebaliknya.
Pada saat yang sama perubahan tersebut
menjungkirbalikkan sikap dan perilaku orang-orang bodoh yang dulu
menertawakan perumpamaan yang dibuat Tuhan, maka sekaranglah giliran
mereka ditertawakan oleh zaman, generasi karena keterbatas ilmu
pengetahuan mereka.
Sesungguhnya secara alamiah, semakin
banyaknya penduduk di bumi, ukuran manusia yang dulu tinggi dan besar
telah berubah menjadi pendek dan kecil. Tidak mungkin manusia tidak
berevolusi pada perubahan yang lebih kecil karena alam menuntut
keseimbangan hukumnya. Maka demikian pula lah yang terjadi pada trend
produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia akan bergerak ke arah
yang lebih canggih, lebih kecil, lebih simple, lebih complicated sejalan
dengan hukum alam yang diberlakukan Tuhan.
Maka berhati-hatilah
dalam semua sikap yang mengandung unsur meremehkan dan menertawakan
pihak lain, jangan-jangan karena keterbatasan pengetahuan kita hari ini,
pada suatu saat nanti giliran kita yang ditertawakan oleh zaman.
Berhati-hatilah dalam ucapan, sikap dan perbuatan karena tidak ada
kerugian sedikitpun bagi mereka yang senantiasa berhati-hati. Wallahu A'lam.
Jumat, Mei 31, 2013
Kamis, Mei 30, 2013
BADAN WAKAF AL-QUR'AN REALISASI PROYEK SARANA AIR BERSIH UNTUK MUSLIM NTT
Realisasi sarana air bersih berupa truk tangki air berkapasitas 5.000 liter untuk desa Muslim di NTT akan mulai dilakukan oleh Badan Wakaf Al Qur’an pada bulan Mei ini.
Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) truk tangki untuk merealisasikan proyek wakaf sarana air bersih di kecamatan Ile Ape, Nusa Tenggara Timur (NTT)diharapkan berjalan dengan baik.
Untuk truk tangki air ini sendiri adalah jenis Mitsubitshi FE 73 dengan enam ban dan tangki berkapasitas lima ribu liter. Proses pembuatan dan pemasangan tangki, termasuk pengecatan direncanakan akan rampung dalam satu bulan. Setelah itu truk tangki di roadshowkan untuk fundraising wakaf di beberapa kota besar di pulau Jawa.
Truk tangki ini akan diroadshowkan, dimulai dari Tangerang, Jakarta, Bekasi, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.
Dari Surabaya truk tangki akan melanjutkan perjalanan ke NTT untuk membantu warga menyediakan air bersih di empat desa di kecamatan Ile Ape, NTT, yaitu desa Dulitukan, Palilolon, Kolipadang, dan Tagawiti.
Kopi Rasa Asin
Desa-desa yang penduduknya mayoritas muslim ini terletak di semenanjung pantai pulau Lembata, NTT. Mereka selama ini kesulitan mengakses air layak konsumsi. Pilihannya cuma dua, air rasa asin atau air berwarna coklat.
“Sudah bertahun-tahun kami mengandalkan air asin yang berasal dari rembesan air laut,” ujar Arifudin Anwar, Partner Lapang BWA di NTT.
Air tersebut, tambahnya, selama ini digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk masak dan minum.
Agar layak konsumsi, warga biasanya melakukan teknik penyulingan sederhana yang jauh dari memadai. Wajar, jika segelas kopi pun masih terasa asin.
Adapun sumur air tawar yang terdapat di desa sekitar Ile Ape, airnya berwarna coklat dan terisi hanya saat musim hujan. Sumur tersebut lebih mirip tampungan air hujan daripada sebuah sumber air. Bila musim kemarau tiba, rembesan air laut yang asin itulah kembali menjadi satu-satunya harapan.
Karena itu sejak April 2010 lalu, BWA melakukan survei Geolistrik bersama PT. Toha Driling untuk memastikan sumber air tanah yang ada disana.
Hasilnya, bahwa sampai lapisan akuifer di kedalaman + 100 M masih mengandung air asin atau payau. Sehingga tidak memungkinkan diperoleh air bersih sekalipun dilakukan pengeboran sumur dalam di sana.
Akhirnya, jalan yang ditempuh adalah dengan mengadakan Wakaf Truk Tangki Air. Untuk mengambil air dari bukit Waikomo Lewoleba yang berjarak sekitar 30 KM dari Kecamatan Ile Ape.
Mari berperan serta, semoga wakaf yang Anda tunaikan mendapat balasan berupa pahala yang mengalir seiring mengalirnya air bersih yang dinikmati dengan penuh rasa syukur oleh masyarakat Muslim Ile Ape, Nusa Tenggara Timur.
Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) truk tangki untuk merealisasikan proyek wakaf sarana air bersih di kecamatan Ile Ape, Nusa Tenggara Timur (NTT)diharapkan berjalan dengan baik.
Untuk truk tangki air ini sendiri adalah jenis Mitsubitshi FE 73 dengan enam ban dan tangki berkapasitas lima ribu liter. Proses pembuatan dan pemasangan tangki, termasuk pengecatan direncanakan akan rampung dalam satu bulan. Setelah itu truk tangki di roadshowkan untuk fundraising wakaf di beberapa kota besar di pulau Jawa.
Truk tangki ini akan diroadshowkan, dimulai dari Tangerang, Jakarta, Bekasi, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.
Dari Surabaya truk tangki akan melanjutkan perjalanan ke NTT untuk membantu warga menyediakan air bersih di empat desa di kecamatan Ile Ape, NTT, yaitu desa Dulitukan, Palilolon, Kolipadang, dan Tagawiti.
Kopi Rasa Asin
Desa-desa yang penduduknya mayoritas muslim ini terletak di semenanjung pantai pulau Lembata, NTT. Mereka selama ini kesulitan mengakses air layak konsumsi. Pilihannya cuma dua, air rasa asin atau air berwarna coklat.
“Sudah bertahun-tahun kami mengandalkan air asin yang berasal dari rembesan air laut,” ujar Arifudin Anwar, Partner Lapang BWA di NTT.
Air tersebut, tambahnya, selama ini digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk masak dan minum.
Agar layak konsumsi, warga biasanya melakukan teknik penyulingan sederhana yang jauh dari memadai. Wajar, jika segelas kopi pun masih terasa asin.
Adapun sumur air tawar yang terdapat di desa sekitar Ile Ape, airnya berwarna coklat dan terisi hanya saat musim hujan. Sumur tersebut lebih mirip tampungan air hujan daripada sebuah sumber air. Bila musim kemarau tiba, rembesan air laut yang asin itulah kembali menjadi satu-satunya harapan.
Karena itu sejak April 2010 lalu, BWA melakukan survei Geolistrik bersama PT. Toha Driling untuk memastikan sumber air tanah yang ada disana.
Hasilnya, bahwa sampai lapisan akuifer di kedalaman + 100 M masih mengandung air asin atau payau. Sehingga tidak memungkinkan diperoleh air bersih sekalipun dilakukan pengeboran sumur dalam di sana.
Akhirnya, jalan yang ditempuh adalah dengan mengadakan Wakaf Truk Tangki Air. Untuk mengambil air dari bukit Waikomo Lewoleba yang berjarak sekitar 30 KM dari Kecamatan Ile Ape.
Mari berperan serta, semoga wakaf yang Anda tunaikan mendapat balasan berupa pahala yang mengalir seiring mengalirnya air bersih yang dinikmati dengan penuh rasa syukur oleh masyarakat Muslim Ile Ape, Nusa Tenggara Timur.
Selasa, Mei 28, 2013
SEJARAH PERUBAHAN KIBLAT
"Seandainya Allah SWT tidak merubah kiblat kaum muslimin dari Bait
Al-Maqdis ke Ka'bah pada bulan Rajab tahun ke-2 Hijriyah, maka dapat
dibayangkan betapa kerasnya konflik keagamaan antara kaum
Muslim-Yahudi-Nasrani pada saat ini."
Bait Al-Maqdiq adalah simbol kiblat tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani
dan Islam), karena ketiganya memiliki akar sejarah keagamaan dengan
tempat mulia tersebut. Namun kesucian tempat tersebut seharusnya diikuti
dengan tetap suci dan aslinya tiga ajaran agama samawi, sehingga dua
ajaran yang pertama mengukuhkan satu ajaran yang terakhir.
Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Maka Allah SWT meridhai kecondongan hati Rasulnya yang menginginkan perubahan kiblat dari Bait Al-Maqdis dan telah berjalan sekitar enam belas bulan menuju ke Bait Allah Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Allah SWT berfirman: "Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi." (QS. Al-Baqarah: 144).
Kaum muslimin yang menjadi subyek perubahan tersebut menerima perintah perubahan kiblat dengan positif thinking dan ihlas, bukan karena melihat eksistensi perubahannya melainkan siapa yang memerintahkannya. Sebab sudah merupakan sikap kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah SWT sebagaimana ketundukan ruh dan jasadnya. Allah SWT mengabadikan sikap tersebut dalam berfirman: "Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran: 7).
Sementara orang-orang munafik, menanggapi perubahan kiblat tersebut dengan negative thinking dan itulah reperesentasi sikap hidup mereka secara keseluruhan yang menunjukkan kekacauan kondisi psikologisnya karena posisi mereka "tidak termasuk dalam golongan ini (orang yang beriman) dan golongan itu (orang kafir)" (QS. An-Nisa: 144). Mereka dengan nada aneh antara lain menyatakan: "Muhammad bingun hendak menghadap ke mana? Seandainya yang pertama benar, lalu mengapa ia meninggalkannya? Seandainya yang kedua benar, berarti selama ini ia berada dalam kebatilan."
Adapun orang-orang Yahudi yang karekter dan sifat umumnya memang menentang apapun perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta mengingkari semua kenikmatan yang diberikan-Nya, bersikap sinis dan pertentangan nyata atas perubahan kiblat tersebut. Mereka mengatakan: "Muhammad telah mengingkari kiblatnya para nabi terdahulu. Seandainya ia benar-benar seorang nabi, pastilah ia akan menghadap kiblat para nabi terdahulu." Apapun reaksi mereka, sesugguhnya reaksi tersebut tidak memiliki makna yang cukup berarti karena perubahan arah kiblat merupakan kehendak Allah SWT yang mengandung berbagai sebab dan hikmah, diantaranya:
Pertama, Penyatuan seluruh syiar keagamaan kaum muslimin di Makkah dan penegasan pada pengembalian Ka'bah sebagai tempat ibadah pertama manusia di bumi.
Kedua, penegasan antara Bait Al-Maqdis dan Bait Al-Baram sebagai dua saudara kandung, karenanya Bait Al-Maqdis tetap dimuliakan dalam Islam dan tidak dapat dihilangkan oleh alasan apapun.
Ketiga, sebagai ujian keimanan kaum muslimin kala itu hingga saat ini untuk menentukan siapa yang kuat imannya sehingga tunduk pada perintah Allah dan siapa yang lemah imannya, sehingga kembali dalam kekafirannya
.
Wallahu A'lam.
Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Maka Allah SWT meridhai kecondongan hati Rasulnya yang menginginkan perubahan kiblat dari Bait Al-Maqdis dan telah berjalan sekitar enam belas bulan menuju ke Bait Allah Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Allah SWT berfirman: "Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi." (QS. Al-Baqarah: 144).
Kaum muslimin yang menjadi subyek perubahan tersebut menerima perintah perubahan kiblat dengan positif thinking dan ihlas, bukan karena melihat eksistensi perubahannya melainkan siapa yang memerintahkannya. Sebab sudah merupakan sikap kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah SWT sebagaimana ketundukan ruh dan jasadnya. Allah SWT mengabadikan sikap tersebut dalam berfirman: "Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran: 7).
Sementara orang-orang munafik, menanggapi perubahan kiblat tersebut dengan negative thinking dan itulah reperesentasi sikap hidup mereka secara keseluruhan yang menunjukkan kekacauan kondisi psikologisnya karena posisi mereka "tidak termasuk dalam golongan ini (orang yang beriman) dan golongan itu (orang kafir)" (QS. An-Nisa: 144). Mereka dengan nada aneh antara lain menyatakan: "Muhammad bingun hendak menghadap ke mana? Seandainya yang pertama benar, lalu mengapa ia meninggalkannya? Seandainya yang kedua benar, berarti selama ini ia berada dalam kebatilan."
Adapun orang-orang Yahudi yang karekter dan sifat umumnya memang menentang apapun perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta mengingkari semua kenikmatan yang diberikan-Nya, bersikap sinis dan pertentangan nyata atas perubahan kiblat tersebut. Mereka mengatakan: "Muhammad telah mengingkari kiblatnya para nabi terdahulu. Seandainya ia benar-benar seorang nabi, pastilah ia akan menghadap kiblat para nabi terdahulu." Apapun reaksi mereka, sesugguhnya reaksi tersebut tidak memiliki makna yang cukup berarti karena perubahan arah kiblat merupakan kehendak Allah SWT yang mengandung berbagai sebab dan hikmah, diantaranya:
Pertama, Penyatuan seluruh syiar keagamaan kaum muslimin di Makkah dan penegasan pada pengembalian Ka'bah sebagai tempat ibadah pertama manusia di bumi.
Kedua, penegasan antara Bait Al-Maqdis dan Bait Al-Baram sebagai dua saudara kandung, karenanya Bait Al-Maqdis tetap dimuliakan dalam Islam dan tidak dapat dihilangkan oleh alasan apapun.
Ketiga, sebagai ujian keimanan kaum muslimin kala itu hingga saat ini untuk menentukan siapa yang kuat imannya sehingga tunduk pada perintah Allah dan siapa yang lemah imannya, sehingga kembali dalam kekafirannya
.
Wallahu A'lam.
Rabu, Mei 15, 2013
KISAH PENYESALAN YASIN
Yasin berusia 15 tahun saat itu. Ia lulus dari SMP dengan nilai
buruk. Orang tuanya lantas memasukkan Yasin ke sebuah pesantren. Namun,
Yasin tidak suka hidup di pesantren. Menurutnya pesantren terbelakang,
dan tidak sesuai dengan gaya hidupnya.
Ia kesal dan marah. Namun, ia dan orang tuanya tak punya pilihan lain sebab ia tidak diterima di SMA Negeri. Sedang untuk masuk sekolah swasta, orang tuanya tak mampu. Maka Yasin dimasukkan pesantren karena terbentur masalah ekonomi.
Baru tiga hari di pesantren, ia sudah tak betah. Mandi antri, makan antri, sandal hilang lenyap. Pendek kata, ia tak betah. Apalagi pelajaran, jangankan soal fikih, nahwu, sharaf, tafsir, hadis, dan segudang ilmu lainnya, membaca Alquran pun ia tidak sanggup.
Semua itu menjadi akumulasi kekesalan Yasin yang membuat ia ingin keluar pesantren. "Tak sanggup aku belajar di sini" gumam batin Yasin.
Menjelang Maghrib, sirene meraung keras ke segala penjuru pesantren untuk memaksa semua santri segera ke masjid. Para ustaz dan santri senior mengatur duduk para santri di masjid.
Tradisi di pesantren itu melazimkan seluruh santri membaca surat al-Waqiah dan al-Mulk sebelum Maghrib. Yasin pun turut serta sambil memegang Alquran. Amat sulit ia mencari kedua surah itu, sebab memang jarang membaca Alquran.
Seorang bocah kelas dua Tsanawiyah (setingkat SMP) yang duduk di sebelahnya, memperhatikan Yasin. "Mari aku bantu mencarinya, kak," kata anak itu. Namanya Ahmad. Dalam hitungan detik, Ahmad sudah menemukan letak kedua surah itu.
Ketika bacaan ta’awaudz dan basmalah dimulai dan diikuti seluruh santri, Yasin mencoba menirukannya. Namun, begitu ayat selanjutnya, Yasin tak mampu lagi mengikutinya. Alih-alih bisa menirukan, membaca saja dia tak tahu. Yasin terlihat gelagapan.
Ia kesal karena tak bisa mengikuti bacaan para santri lainnya. Dari dalam hatinya, muncul rasa malu. Sebab, ia yang duduk di kelas 1 SMA, kalah dengan bacaan anak usia di bawahnya, seperti Ahmad.
Ia memandangi Ahmad yang begitu menikmati bacaannya. Ahmad mengikuti bacaan Alquran imam dengan begitu rileks. Fasih sekali bacaannya. Suaranya pun terdengar merdu di telinga Yasin. Tampaknya, Ahmad sudah hafal kedua surah itu.
Menyaksikan kebodohannya itu, Yasin benar-benar merasa dipermalukan. Ia iri melihat Ahmad dan para santri lainnya yang lancar membaca Alquran. Ia pandangi Alquran itu hingga air matanya menetes di pipinya.
Tergambar penyesalan dibenaknya. Usianya sudah 15 tahun, namun belum bisa membaca Alquran. "Ya Allah, ke mana saja saya selama ini?" ujarnya mulai sadar.
Sejak saat itu, Yasin bertaubat kepada Allah SWT dan giat belajar membaca Alquran. Ia gunakan waktu yang ada untuk belajar dan terus belajar untuk mengejar ketertinggalannya.
Usahanya tak sia-sia. Selama tiga tahun di pesantren atau enam semester, ia menjadi juara umum di sekolahnya. Bahkan, atas prestasinya itu, ia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Kini, Yasin telah berusia 40 tahun. Ia mengenang kisah itu di hadapan saya dengan mata berkaca-kaca. “Saya sangat menyesal, karena selama belasan tahun telah membuang umur dengan sia-sia. Saya memohon ampunan kepada Allah,” ujarnya.
Itulah momen hidayah yang didapatkan Ustaz Yasin. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
Ia kesal dan marah. Namun, ia dan orang tuanya tak punya pilihan lain sebab ia tidak diterima di SMA Negeri. Sedang untuk masuk sekolah swasta, orang tuanya tak mampu. Maka Yasin dimasukkan pesantren karena terbentur masalah ekonomi.
Baru tiga hari di pesantren, ia sudah tak betah. Mandi antri, makan antri, sandal hilang lenyap. Pendek kata, ia tak betah. Apalagi pelajaran, jangankan soal fikih, nahwu, sharaf, tafsir, hadis, dan segudang ilmu lainnya, membaca Alquran pun ia tidak sanggup.
Semua itu menjadi akumulasi kekesalan Yasin yang membuat ia ingin keluar pesantren. "Tak sanggup aku belajar di sini" gumam batin Yasin.
Menjelang Maghrib, sirene meraung keras ke segala penjuru pesantren untuk memaksa semua santri segera ke masjid. Para ustaz dan santri senior mengatur duduk para santri di masjid.
Tradisi di pesantren itu melazimkan seluruh santri membaca surat al-Waqiah dan al-Mulk sebelum Maghrib. Yasin pun turut serta sambil memegang Alquran. Amat sulit ia mencari kedua surah itu, sebab memang jarang membaca Alquran.
Seorang bocah kelas dua Tsanawiyah (setingkat SMP) yang duduk di sebelahnya, memperhatikan Yasin. "Mari aku bantu mencarinya, kak," kata anak itu. Namanya Ahmad. Dalam hitungan detik, Ahmad sudah menemukan letak kedua surah itu.
Ketika bacaan ta’awaudz dan basmalah dimulai dan diikuti seluruh santri, Yasin mencoba menirukannya. Namun, begitu ayat selanjutnya, Yasin tak mampu lagi mengikutinya. Alih-alih bisa menirukan, membaca saja dia tak tahu. Yasin terlihat gelagapan.
Ia kesal karena tak bisa mengikuti bacaan para santri lainnya. Dari dalam hatinya, muncul rasa malu. Sebab, ia yang duduk di kelas 1 SMA, kalah dengan bacaan anak usia di bawahnya, seperti Ahmad.
Ia memandangi Ahmad yang begitu menikmati bacaannya. Ahmad mengikuti bacaan Alquran imam dengan begitu rileks. Fasih sekali bacaannya. Suaranya pun terdengar merdu di telinga Yasin. Tampaknya, Ahmad sudah hafal kedua surah itu.
Menyaksikan kebodohannya itu, Yasin benar-benar merasa dipermalukan. Ia iri melihat Ahmad dan para santri lainnya yang lancar membaca Alquran. Ia pandangi Alquran itu hingga air matanya menetes di pipinya.
Tergambar penyesalan dibenaknya. Usianya sudah 15 tahun, namun belum bisa membaca Alquran. "Ya Allah, ke mana saja saya selama ini?" ujarnya mulai sadar.
Sejak saat itu, Yasin bertaubat kepada Allah SWT dan giat belajar membaca Alquran. Ia gunakan waktu yang ada untuk belajar dan terus belajar untuk mengejar ketertinggalannya.
Usahanya tak sia-sia. Selama tiga tahun di pesantren atau enam semester, ia menjadi juara umum di sekolahnya. Bahkan, atas prestasinya itu, ia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Kini, Yasin telah berusia 40 tahun. Ia mengenang kisah itu di hadapan saya dengan mata berkaca-kaca. “Saya sangat menyesal, karena selama belasan tahun telah membuang umur dengan sia-sia. Saya memohon ampunan kepada Allah,” ujarnya.
Itulah momen hidayah yang didapatkan Ustaz Yasin. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
Selasa, Mei 14, 2013
HIKMAH INDAHNYA KEARIFAN
Pada suatu malam khalifah Umar bin Abdul Aziz melakukan sidak. Ia
ditemani seorang petugas keamanan. Keduanya masuk sebuah masjid yang
lampunya padam.
Tanpa disengaja, kaki sang khalifah menginjak seseorang yang sedang tidur. Orang itu terbangun dan berkata kepada Umar: "Apakah engkau gila?" "Tidak, saya tidak gila," jawab sang khalifah.
Petugas keamanan sempat tersinggung atas upacan tidak sopan itu. Ia bermaksud memukulnya, tetapi dicegah khalifah. "Jangan kau pukul. Dia cuma bertanya: "Apakah engkau gila? dan sudah aku jawab: “Aku tidak gila". Sebagai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau jangan mudah marah, dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya sadar, terbangun secara tiba-tiba. Kedatangan kita ke masjid ini boleh jadi mengganggu tidurnya," nasehat khalifah kepada petugas keamanan.
Kisah unik tersebut memberi pesan moral kepada kita, kearifan dan kematangan emosi mutlak dimiliki seorang pemimpin, di samping kesantunan, keramahtamahan, dan mampu membawakan diri dalam berbagai situasi.
Karena kearifian merupakan kunci harmoni sosial. Sementara itu, emosi tak terkendali, reaksioner jika dikritik, dan mudah mengeluh atau mencurhatkan persoalan pribadi, hanya akan membuat masalah tidak terselesaikan dengan baik.
Kearifan mengantarkan kepada persahabatan sejati. Kearifan tidak hanya dapat meredam permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah yang diprovokasi oleh setan, juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah menyakiti pihak lain sehingga mudah bergaul, beradaptasi, dan bermasyarakat secara empati dan baik hati.
Pemimpin yang arif, tidak mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian diri. Nabi Muhammad saw adalah figur paling arif nan santun yang patut diteladani.
Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tapi beliau tidak membalas dendam dan sakit hati.
Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Setelah diselidiki, ternyata orang Yahudi itu sakit. Beliau malah merespon positif dengan mendatangi rumahnya untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhannya.
Melihat perlakuan Nabi saw yang luar biasa arif, Yahudi itu malu dan sempat menduga kedatangan rasul untuk membalas dendam. Sesampai di rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya sembari menanyakan sakitnya.
Ia meminta maaf kepada Rasulullah saw. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati mulia, arif, dan pemaaf. Tidak menaruh dendam sedikit pun, padahal aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun, arif, dan pemaaf, pastilah agama yang benar sesuai dengan fitrah manusia," kata Yahudi itu seraya masuk Islam.
Sungguh indah kearifan itu, karena dapat melejitkan segala kebaikan, mentransfer keburukan menjadi kebaikan, permusuhan menjadi saling memaafkan.
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fushshilat [41]: 34)
Begitulah dahulu Nabi saw berdakwah dengan kearifan dan kesantunan hati, sehingga orang Yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman (QS. al-Maidah [5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran moralitas Islam yang diteladankan Nabi SAW.
Dari kearifan pemimpin seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semua patut diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang semakin jauh dari keluhuran moral.
Belajar menjadi arif merupakan terhormat bagi siapapun, lebih-lebih bagi pemimpin. Karena menjadi arif jauh lebih mulia daripada bersikap emosional dan mudah mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang.
Kearifan memang menjadi kunci kecintaan sang pemimpin terhadap rakyat. Hanya pemimpin ariflah yang akan selalu melayani dan mencitai rakyat sendiri. Wallahu a'lam bish Shawab.
Tanpa disengaja, kaki sang khalifah menginjak seseorang yang sedang tidur. Orang itu terbangun dan berkata kepada Umar: "Apakah engkau gila?" "Tidak, saya tidak gila," jawab sang khalifah.
Petugas keamanan sempat tersinggung atas upacan tidak sopan itu. Ia bermaksud memukulnya, tetapi dicegah khalifah. "Jangan kau pukul. Dia cuma bertanya: "Apakah engkau gila? dan sudah aku jawab: “Aku tidak gila". Sebagai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau jangan mudah marah, dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya sadar, terbangun secara tiba-tiba. Kedatangan kita ke masjid ini boleh jadi mengganggu tidurnya," nasehat khalifah kepada petugas keamanan.
Kisah unik tersebut memberi pesan moral kepada kita, kearifan dan kematangan emosi mutlak dimiliki seorang pemimpin, di samping kesantunan, keramahtamahan, dan mampu membawakan diri dalam berbagai situasi.
Karena kearifian merupakan kunci harmoni sosial. Sementara itu, emosi tak terkendali, reaksioner jika dikritik, dan mudah mengeluh atau mencurhatkan persoalan pribadi, hanya akan membuat masalah tidak terselesaikan dengan baik.
Kearifan mengantarkan kepada persahabatan sejati. Kearifan tidak hanya dapat meredam permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah yang diprovokasi oleh setan, juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah menyakiti pihak lain sehingga mudah bergaul, beradaptasi, dan bermasyarakat secara empati dan baik hati.
Pemimpin yang arif, tidak mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian diri. Nabi Muhammad saw adalah figur paling arif nan santun yang patut diteladani.
Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tapi beliau tidak membalas dendam dan sakit hati.
Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Setelah diselidiki, ternyata orang Yahudi itu sakit. Beliau malah merespon positif dengan mendatangi rumahnya untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhannya.
Melihat perlakuan Nabi saw yang luar biasa arif, Yahudi itu malu dan sempat menduga kedatangan rasul untuk membalas dendam. Sesampai di rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya sembari menanyakan sakitnya.
Ia meminta maaf kepada Rasulullah saw. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati mulia, arif, dan pemaaf. Tidak menaruh dendam sedikit pun, padahal aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun, arif, dan pemaaf, pastilah agama yang benar sesuai dengan fitrah manusia," kata Yahudi itu seraya masuk Islam.
Sungguh indah kearifan itu, karena dapat melejitkan segala kebaikan, mentransfer keburukan menjadi kebaikan, permusuhan menjadi saling memaafkan.
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fushshilat [41]: 34)
Begitulah dahulu Nabi saw berdakwah dengan kearifan dan kesantunan hati, sehingga orang Yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman (QS. al-Maidah [5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran moralitas Islam yang diteladankan Nabi SAW.
Dari kearifan pemimpin seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semua patut diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang semakin jauh dari keluhuran moral.
Belajar menjadi arif merupakan terhormat bagi siapapun, lebih-lebih bagi pemimpin. Karena menjadi arif jauh lebih mulia daripada bersikap emosional dan mudah mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang.
Kearifan memang menjadi kunci kecintaan sang pemimpin terhadap rakyat. Hanya pemimpin ariflah yang akan selalu melayani dan mencitai rakyat sendiri. Wallahu a'lam bish Shawab.
Senin, Mei 13, 2013
DEFINISI HUKUM DAN FAKTA
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid ra, ia berkata: “Rasulullah saw mengutus kami ke Huraqah, salah
satu suku Juhainah. Pada pagi hari, kami mendatangi sumber air mereka, lalu
saya dan seorang sahabat Anshar mengejar salah seorang diantara mereka. Ketika kami
telah mengepungnya, ia mengucapkan “La ilaha illallah”.
Sahabat Anshar tadi melepaskannya, tetapi saya menikamnya dengan tombak saya sehingga saya membunuhnya. Ketika kami sampai di Madinah, berita itu telah sampai pada Nabi saw, beliau berkata kepada saya, “Hai Usamah, kenapa kamu membunuhnya padahal ia telah mengucapkan “La ilaha illallah?''
Saya menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia mengucapkan kalimat itu karena takut pada pedang.” Beliau bertanya: “Apakah sudah kamu belah dadanya sehingga kamu mengetahui isi hatinya; Apakah ia mengucapkan kalimat itu dengan setulus hati atau tidak?” Beliau berkali-kali mengulang pertanyaan itu, sehingga saya berangan-angan baru masuk Islam pada hari itu.”
Kisah di atas memberikan tuntunan kepada kita bahwa di dalam masalah hukum hendaknya seseorang berpegang pada asas fahkum bidhawahir, yakni menghukumi seseorang dilihat dari fakta lahiriyahnya dan amal perbuatan yang muncul darinya.
Sebab, hukum harus dikaitkan dengan aspek lahiriyah dan tidak boleh menyelisik apa yang ada dalam batin manusia. Itu karena yang dapat kita ketahui dari seseorang sebagai dasar pengambilan suatu keputusan adalah dari lahiriyahnya dan amal perbuatannya karena apa yang ada di dalam hatinya kita tidak akan mengetahuinya, hanya dia dan Allah SWT yang mengetahuinya.
Dari Umar bin Khattab ra, ia berkata dalam khutbahnya: “Sesungguhnya manusia di masa Rasulullah dituntut dengan wahyu. Sesungguhnya wahyu ini telah putus dan kami sekarang menuntut kamu dengan amal-amalmu yang kelihatan bagi kami.”
Bila kita memutuskan suatu hukuman terhadap orang lain berdasar fakta lahiriyah dan dari amal perbuatannya akan mencegah terjadinya kesalahan.
Selain itu, kita memiliki alat bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Maidah [5]: 47).
Untuk itu, hukumilah seseorang berdasarkan fakta lahiriyahnya jangan berdasarkan asumsi atau dugaan kita. Adapun urusan batinnya, apakah batinnya jujur atau tidak kita serahkan perhitungannya kepada Allah SWT.
Akhirnya, untuk memperteguh sikap fahkum bidhawahir (hukum sesuai fakta) ini, Rasulullah saw mengingatkan; “Sesungguhnya aku manusia biasa dan jika kalian membawa perkara kepadaku dan barangkali sebagian dari kalian lebih kuat argumentasinya daripada sebagian yang lain, kemudian aku memutuskannya berdasarkan sesuatu yang aku dengar. Maka barang siapa aku putuskan mendapatkan sesuatu dari hak saudaranya, maka ia jangan mengambilnya, karena aku memberinya potongan dari neraka.” (Muttafaq Alaih).
Sahabat Anshar tadi melepaskannya, tetapi saya menikamnya dengan tombak saya sehingga saya membunuhnya. Ketika kami sampai di Madinah, berita itu telah sampai pada Nabi saw, beliau berkata kepada saya, “Hai Usamah, kenapa kamu membunuhnya padahal ia telah mengucapkan “La ilaha illallah?''
Saya menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia mengucapkan kalimat itu karena takut pada pedang.” Beliau bertanya: “Apakah sudah kamu belah dadanya sehingga kamu mengetahui isi hatinya; Apakah ia mengucapkan kalimat itu dengan setulus hati atau tidak?” Beliau berkali-kali mengulang pertanyaan itu, sehingga saya berangan-angan baru masuk Islam pada hari itu.”
Kisah di atas memberikan tuntunan kepada kita bahwa di dalam masalah hukum hendaknya seseorang berpegang pada asas fahkum bidhawahir, yakni menghukumi seseorang dilihat dari fakta lahiriyahnya dan amal perbuatan yang muncul darinya.
Sebab, hukum harus dikaitkan dengan aspek lahiriyah dan tidak boleh menyelisik apa yang ada dalam batin manusia. Itu karena yang dapat kita ketahui dari seseorang sebagai dasar pengambilan suatu keputusan adalah dari lahiriyahnya dan amal perbuatannya karena apa yang ada di dalam hatinya kita tidak akan mengetahuinya, hanya dia dan Allah SWT yang mengetahuinya.
Dari Umar bin Khattab ra, ia berkata dalam khutbahnya: “Sesungguhnya manusia di masa Rasulullah dituntut dengan wahyu. Sesungguhnya wahyu ini telah putus dan kami sekarang menuntut kamu dengan amal-amalmu yang kelihatan bagi kami.”
Bila kita memutuskan suatu hukuman terhadap orang lain berdasar fakta lahiriyah dan dari amal perbuatannya akan mencegah terjadinya kesalahan.
Selain itu, kita memiliki alat bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Maidah [5]: 47).
Untuk itu, hukumilah seseorang berdasarkan fakta lahiriyahnya jangan berdasarkan asumsi atau dugaan kita. Adapun urusan batinnya, apakah batinnya jujur atau tidak kita serahkan perhitungannya kepada Allah SWT.
Akhirnya, untuk memperteguh sikap fahkum bidhawahir (hukum sesuai fakta) ini, Rasulullah saw mengingatkan; “Sesungguhnya aku manusia biasa dan jika kalian membawa perkara kepadaku dan barangkali sebagian dari kalian lebih kuat argumentasinya daripada sebagian yang lain, kemudian aku memutuskannya berdasarkan sesuatu yang aku dengar. Maka barang siapa aku putuskan mendapatkan sesuatu dari hak saudaranya, maka ia jangan mengambilnya, karena aku memberinya potongan dari neraka.” (Muttafaq Alaih).
Selasa, Mei 07, 2013
MENABUNG AMALAN KEBAIKAN
Dalam hadis riwayat Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia. Sungguh ada orang yang melakukan amalan ahli surga sampai tiada jarak antara dirinya dan surga kecuali hanya sehasta, tetapi dia tercatat dalam kitab telah melakukan amalan ahli neraka, kemudian masuk neraka. Dan sungguh ada pula orang yang melakukan amalan ahli neraka sampai tidak ada jarak antara dirinya dan neraka kecuali hanya sehasta, tetapi dia tercatat dalam kitab telah melakukan amalan ahli surga, dan akhirnya masuk surga” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas mengingatkan kita untuk tidak membanggakan kebaikan sambil meremehkan orang lain yang menurut pandangan kita masih melakukan keburukan. Setiap orang pernah melakukan kebaikan dan keburukan. Itu alamiah belaka dan merupakan wujud kemanusiaan manusia. Yang dihitung Allah adalah hasil akhirnya, yaitu ketika napas berpisah dari badan.
“Itulah petunjuk dari Allah. Dia memberikan petunjuk kepada hamba-hamba yang Dia kehendaki. Seandainya mereka menyekutukan Allah, niscaya lenyap amalan yang telah mereka kerjakan” (QS Al-An’am: 88).
Ini penting dicamkan. Karena, fitrah manusia memang gampang lupa. Sok suci lalu memandang dina selain diri sendiri. Pungkasnya, dakwah kita lebih banyak mengejek ketimbang mengajak, lebih sering menghajar ketimbang mengajar, lebih doyan menghina ketimbang membina, lebih lihai mencaci ketimbang mencintai, dan lebih mahir menusuk hati ketimbang menasihati
Islam mengajarkan kita supaya selalu memperbanyak kebaikan “Maka berlomba-lombalah dalam melakukan kebaikan di mana saja kamu berada” (QS Al-Baqarah: 148). Tidak boleh ada kata puas dalam melakukan kebaikan. Namun, kita juga jangan lantas merasa antipati terhadap mereka yang masih berada dalam kegelapan.
Belum tentu akhir hidup kita lebih beruntung dari mereka, dan akhir hidup mereka lebih buntung dari kita. Tidak sedikit mantan penjahat justru menjadi mubalig hebat ketika sadar dan bertobat. Demikianlah jika petunjuk Allah sudah datang. “Bagaimana Allah memberikan petunjuk kepada kaum kafir sesudah mereka beriman. Dan mereka telah mengakui bahwa Muhammad itu benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan telah datang kepada mereka? Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim” (QS Ali Imran: 86).
Tidak mudah meraih khusnul khatimah. Dibutuhkan tekad kuat dan kontinu untuk selalu hidup dalam kebaikan. Begitu banyak jalan kebaikan. Tinggal pilih sesuai otoritas dan kapasitas kita. Yakinlah, setiap kebaikan akan dilihat oleh Allah (QS Al-Baqarah: 215). Bahkan, kebaikan yang hanya seberat debu pun diberikan balasan oleh Allah (QS Al-Zalzalah: 7). Dan keuntungan dari setiap kebaikan itu bukan untuk Allah, melainkan kembali kepada diri kita (QS Al-Jatsiyah: 15).
Lain ceritanya dengan keburukan. Keburukan sering berongkos mahal dan berisiko besar. Perkara kenapa peminat keburukan selalu mengular, itu semata karena keburukan memang dihiasi oleh setan. Lihat ulah setan ketika memprovokasi kaum Quraisy menjelang Perang Badar.
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka, setan berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang akan bisa mengalahkanmu hari ini, dan sungguh aku adalah pelindungmu’. Maka ketika kedua pasukan itu bertemu dan saling berhadapan, setan balik ke belakang dan bilang, ‘Sungguh aku berlepas diri darimu. Sungguh aku bisa melihat apa yang kamu tidak melihat. Sungguh aku takut kepada Allah’. Dan Allah sangat keras siksa-Nya. (QS Al-Anfal: 48).
Subhanallah. Betapa meruah kesempatan melakukan kebaikan yang diberikan Allah kepada kita. Hendaknya hidup ini kita gunakan untuk menabung sebanyak mungkin kebaikan. Saldo kebaikan kita tentu masih terlalu minim untuk modal hidup di alam keabadian kelak. Apalagi jika masih harus dikurangi oleh kesombongan kita di hadapan Allah dan manusia dengan menegaskan diri paling mulia sembari menghinakan selainnya. Mungkinkah masih tersisa alasan untuk alpa dalam melakukan kebaikan?
Langganan:
Postingan (Atom)