Yasin berusia 15 tahun saat itu. Ia lulus dari SMP dengan nilai
buruk. Orang tuanya lantas memasukkan Yasin ke sebuah pesantren. Namun,
Yasin tidak suka hidup di pesantren. Menurutnya pesantren terbelakang,
dan tidak sesuai dengan gaya hidupnya.
Ia kesal dan marah. Namun,
ia dan orang tuanya tak punya pilihan lain sebab ia tidak diterima di
SMA Negeri. Sedang untuk masuk sekolah swasta, orang tuanya tak mampu.
Maka Yasin dimasukkan pesantren karena terbentur masalah ekonomi.
Baru
tiga hari di pesantren, ia sudah tak betah. Mandi antri, makan antri,
sandal hilang lenyap. Pendek kata, ia tak betah. Apalagi pelajaran,
jangankan soal fikih, nahwu, sharaf, tafsir, hadis, dan segudang ilmu
lainnya, membaca Alquran pun ia tidak sanggup.
Semua itu menjadi
akumulasi kekesalan Yasin yang membuat ia ingin keluar pesantren. "Tak
sanggup aku belajar di sini" gumam batin Yasin.
Menjelang
Maghrib, sirene meraung keras ke segala penjuru pesantren untuk memaksa
semua santri segera ke masjid. Para ustaz dan santri senior mengatur
duduk para santri di masjid.
Tradisi di pesantren itu melazimkan seluruh santri membaca surat al-Waqiah dan al-Mulk
sebelum Maghrib. Yasin pun turut serta sambil memegang Alquran. Amat
sulit ia mencari kedua surah itu, sebab memang jarang membaca Alquran.
Seorang
bocah kelas dua Tsanawiyah (setingkat SMP) yang duduk di sebelahnya,
memperhatikan Yasin. "Mari aku bantu mencarinya, kak," kata anak itu.
Namanya Ahmad. Dalam hitungan detik, Ahmad sudah menemukan letak kedua
surah itu.
Ketika bacaan ta’awaudz dan basmalah
dimulai dan diikuti seluruh santri, Yasin mencoba menirukannya. Namun,
begitu ayat selanjutnya, Yasin tak mampu lagi mengikutinya. Alih-alih
bisa menirukan, membaca saja dia tak tahu. Yasin terlihat gelagapan.
Ia
kesal karena tak bisa mengikuti bacaan para santri lainnya. Dari dalam
hatinya, muncul rasa malu. Sebab, ia yang duduk di kelas 1 SMA, kalah
dengan bacaan anak usia di bawahnya, seperti Ahmad.
Ia memandangi
Ahmad yang begitu menikmati bacaannya. Ahmad mengikuti bacaan Alquran
imam dengan begitu rileks. Fasih sekali bacaannya. Suaranya pun
terdengar merdu di telinga Yasin. Tampaknya, Ahmad sudah hafal kedua
surah itu.
Menyaksikan kebodohannya itu, Yasin benar-benar merasa
dipermalukan. Ia iri melihat Ahmad dan para santri lainnya yang lancar
membaca Alquran. Ia pandangi Alquran itu hingga air matanya menetes di
pipinya.
Tergambar penyesalan dibenaknya. Usianya sudah 15 tahun, namun belum
bisa membaca Alquran. "Ya Allah, ke mana saja saya selama ini?" ujarnya
mulai sadar.
Sejak saat itu, Yasin bertaubat kepada Allah SWT dan
giat belajar membaca Alquran. Ia gunakan waktu yang ada untuk belajar
dan terus belajar untuk mengejar ketertinggalannya.
Usahanya tak
sia-sia. Selama tiga tahun di pesantren atau enam semester, ia menjadi
juara umum di sekolahnya. Bahkan, atas prestasinya itu, ia juga
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar,
Kairo.
Kini, Yasin telah berusia 40 tahun. Ia mengenang kisah itu
di hadapan saya dengan mata berkaca-kaca. “Saya sangat menyesal, karena
selama belasan tahun telah membuang umur dengan sia-sia. Saya memohon
ampunan kepada Allah,” ujarnya.
Itulah momen hidayah yang didapatkan Ustaz Yasin. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar