Politik sering diduga sebagai area penuh intrik, tipu daya. Dalam
politik, norma akhlak dan moralitas sering kali diabaikan dan dilanggar
demi lestarinya kekuasaan. Segala macam cara ditempuh untuk mengabadikan
kekuasaan.
Arus deras politik inilah yang membuat Muhammad
Abduh, seorang pemikir besar asal Mesir, berkata, “Aku berlindung kepada
Allah dari politik dan para politikus."
Bagi Abduh, politik
mungkin menjadi monster yang menakutkan, terutama saat perilaku kotor
yang melanggar norma-norma Islam. Rambu-rambu etika tak lagi mampu
mengerem syahwat berkuasa yang bergelora dan bergemuruh di dalam dada
mereka. Apakah politik haram?
Politik bukan suatu hal yang haram
dan dilarang. Politik bisa menjadi ladang amal saleh yang menggiurkan
untuk mendapatkan jaminan keselamatan di akhirat. Politik bisa menjadi
kunci untuk menggapai rida Allah.
Bahkan, Rasulullah memberikan
jaminan bagi para pemimpin dan pelaku politik yang adil untuk
mendapatkan naungan khusus dari Allah pada hari kiamat nanti, di mana
saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Naungan itu hanya
diberikan kepada tujuh golongan manusia yang memiliki kualitas keimanan
terbaik.
Doa para pemimpin yang adil termasuk salah satu doa yang
tidak akan pernah tertolak. Itu karena tanggung jawab seorang pemimpin
sangatlah berat dan besar, baik di sisi Allah maupun di hadapan publik.
Rasulullah
bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan tertolak doanya, yakni doa
orang yang puasa sampai dia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa
orang yang dizalimi.” (HR Tirmidzi).
Karena itu, bagi kalangan
generasi awal Islam, jabatan pemimpin bukanlah sesuatu yang diminati.
Bahkan, mereka sering menghindar ketika diminta untuk memangku
kekuasaan. Sebab, begitu besar tanggung jawabnya di akhirat. Dalam
lingkaran kekuasaan, seorang pemimpin sering tergelincir pada hal-hal
buruk dan menyeret mereka pada kehidupan yang sulit dan membahayakan.
Umar
bin Abdul Aziz, khalifah kaum Muslim yang tersohor bahkan melakukan
"bersih-bersih" harta yang dia miliki untuk diserahkan ke kas negara
demi menghindari kerakusan dan kecintaan overdosis pada harta. Kalung
dan gelang istrinya, Fatimah, dia masukkan ke kas negara. Dia berusaha
menjadikan kekuasaan sebagai jembatan pengabdian kepada Allah Tuhan yang
memberikan amanah pada dirinya.
Kesalehan politik di zaman
sekarang ini menjadi sangat urgen. “Sesungguhnya manusia yang paling
dicintai oleh Allah dan paling dekat tempat duduknya kepada Allah pada
hari kiamat adalah seorang peminpin yang adil. Dan manusia yang paling
dibenci dan jauh dari Allah tempat duduknya di hari kiamat adalah
seorang peminpin yang kejam.” (HR Tirmidzi).
Kesalehan dan
keadilan dalam politik merupakan syarat mutlak bagi pemimpin dan
politisi agar dicintai oleh Allah. Dengan begitu, doa-doanya pun akan
dikabulkan dan di akhirat mendapat naungan-Nya. Semoga.
Rabu, November 28, 2012
Senin, November 26, 2012
JADIKAN HATI YANG LEMAH LEMBUT
Pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang gugur, bahkan wajah
Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan satu gigi
beliau tanggal terkena tombak musuh.
Pada saat itu, ada sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik.”
Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR Muslim)
Ketika Rasulullah berdakwah di Thaif, beliau disambut dengan lemparan batu. Akibatnya, sekujur tubuhnya bersimbah darah. Beliau berjalan tertatih-tatih menyeret kakinya yang penuh darah dan berlindung di kebun anggur milik Utbah dan Saibah bin Rabi'ah.
Malaikat Jibril merasa iba menyaksikan penderitaan kekasih Allah yang telah dinista. Kemudian Jibril berbisik, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah sudah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan terhadap dirimu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung. Agar engkau memerintahkan sesuatu menurut apa yang kau kehendaki.”
Beliau bersabda, “Sungguh, aku berharap bahwa kelak Allah akan mengeluarkan dari mereka anak-anak yang menyembah Allah dan tidak pernah mempersekutukannya.” (HR Bukhari-Muslim)
Betapa berat penderitaan Rasulullah di Thaif. Penderitaan itu terasa sangat menyakitkan, bahkan lebih berat dari yang dialami beliau sewaktu Perang Uhud. Namun, beliau tetap memperlakukan mereka yang telah menganiayanya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Peristiwa lain yang sangat spektakuler adalah ketika Rasulullah bersama kaum Muslim memasuki Kota Makkah dan meraih kemenangan (Fathu Makkah). Kaum Quraisy yang telah menganiaya dan membunuh kaum Muslim, hatinya terasa kecut karena takut akan pembalasan Rasulullah.
Namun, Rasul memahami kegelisahan dan kegundahan mereka. Beliau bersabda, “Aku akan mengucapkan apa yang diucapkan oleh saudaraku Yusuf bahwa pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampunimu.” (QS Yusuf: 92).
Berbagai peristiwa yang dialami Rasulullah bukan saja sebuah keteladanan tentang pemaafan dan kebesaran jiwa yang agung, melainkan sebuah pelajaran bagi kita bahwa menyampaikan kebenaran harus diiringi dengan sikap lemah lembut, penuh kasih sayang, dan menjauhi sikap kasar.
“Maka, disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka...” (QS Ali Imran [3]: 159).
Karena keagungan akhlak Rasulullah itu pula, beliau mendapat dua gelar dari Asma Allah, yakni Ro'ufur Rahim, yang berarti penyantun dan penyayang. (QS at-Taubah [9]:128 ).
Sifat pemaaf, penyayang, dan bersikap lemah lembut adalah mutiara akhlak setiap pribadi Muslim. Ibaratnya, bila ada rombongan yang membenci dan dendam datang untuk menginap, seorang Muslim itu akan berkata, “Maaf Tuan, kamar hatiku telah penuh dengan tamu-tamu cinta, tidak ada lagi ruangan kosong yang tersedia di kamar hatiku.” Inilah sikap seorang Muslim yang tidak lain hanyalah menghasilkan untaian cinta. Wallahu a'lam.
Pada saat itu, ada sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik.”
Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR Muslim)
Ketika Rasulullah berdakwah di Thaif, beliau disambut dengan lemparan batu. Akibatnya, sekujur tubuhnya bersimbah darah. Beliau berjalan tertatih-tatih menyeret kakinya yang penuh darah dan berlindung di kebun anggur milik Utbah dan Saibah bin Rabi'ah.
Malaikat Jibril merasa iba menyaksikan penderitaan kekasih Allah yang telah dinista. Kemudian Jibril berbisik, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah sudah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan terhadap dirimu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung. Agar engkau memerintahkan sesuatu menurut apa yang kau kehendaki.”
Beliau bersabda, “Sungguh, aku berharap bahwa kelak Allah akan mengeluarkan dari mereka anak-anak yang menyembah Allah dan tidak pernah mempersekutukannya.” (HR Bukhari-Muslim)
Betapa berat penderitaan Rasulullah di Thaif. Penderitaan itu terasa sangat menyakitkan, bahkan lebih berat dari yang dialami beliau sewaktu Perang Uhud. Namun, beliau tetap memperlakukan mereka yang telah menganiayanya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Peristiwa lain yang sangat spektakuler adalah ketika Rasulullah bersama kaum Muslim memasuki Kota Makkah dan meraih kemenangan (Fathu Makkah). Kaum Quraisy yang telah menganiaya dan membunuh kaum Muslim, hatinya terasa kecut karena takut akan pembalasan Rasulullah.
Namun, Rasul memahami kegelisahan dan kegundahan mereka. Beliau bersabda, “Aku akan mengucapkan apa yang diucapkan oleh saudaraku Yusuf bahwa pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampunimu.” (QS Yusuf: 92).
Berbagai peristiwa yang dialami Rasulullah bukan saja sebuah keteladanan tentang pemaafan dan kebesaran jiwa yang agung, melainkan sebuah pelajaran bagi kita bahwa menyampaikan kebenaran harus diiringi dengan sikap lemah lembut, penuh kasih sayang, dan menjauhi sikap kasar.
“Maka, disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka...” (QS Ali Imran [3]: 159).
Karena keagungan akhlak Rasulullah itu pula, beliau mendapat dua gelar dari Asma Allah, yakni Ro'ufur Rahim, yang berarti penyantun dan penyayang. (QS at-Taubah [9]:128 ).
Sifat pemaaf, penyayang, dan bersikap lemah lembut adalah mutiara akhlak setiap pribadi Muslim. Ibaratnya, bila ada rombongan yang membenci dan dendam datang untuk menginap, seorang Muslim itu akan berkata, “Maaf Tuan, kamar hatiku telah penuh dengan tamu-tamu cinta, tidak ada lagi ruangan kosong yang tersedia di kamar hatiku.” Inilah sikap seorang Muslim yang tidak lain hanyalah menghasilkan untaian cinta. Wallahu a'lam.
Selasa, November 20, 2012
PEACE AND SAVE PALESTINE!
Sebagai teladan sepanjang zaman, Rasulullah telah berhasil mengukir rangkaian sejarah peradaban Islam dengan begitu menawan.
Salah satu bentuk peradaban luhur yang diwariskannya ialah tahapan perdamaian tatkala beliau dan masyarakat minoritas (Muslim) hidup berdampingan dengan kuffar Quraisy.
Selama menjalankan misi dakwah, Rasullah SAW menempuh beberapa perjanjian untuk menghindari pertumpahan darah serta berupaya membangun perdamaian. Perjanjian yang dibuat tersebut antara lain Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, serta perjanjian dengan delegasi Najran.
Tahapan perdamaian yang ditempuh Rasulullah tentu bukan suatu hal yang mudah. Disamping pada masa itu hanya Rasulullah yang ‘baru’ menerapkan sendi-sendi perdamaian, kepribadian Rasulullah pun sangatlah berperan.
Rasulullah telah sempurna mengamalkan makna akar kata ‘Islam’ yang berarti Salaam—damai atau selamat—membuat beliau enggan berperilaku kasar, menjajah, ofensif, apalagi tindakan membabi buta dalam berperang. Pancaran kepribadian sejati Rasulullah tecermin dalam santunnya beliau dalam memperlakukan para tawanan.
Sejarah mencatat, selama berperang, Rasulullah enggan menyakiti balik atau menaruh dendam atas perilaku kuffar Quraisy. Justru sebaliknya, Rasulullah menanamkan nilai Islam yang sesungguhnya. Beliau tetap memberikan perlindungan, pangan, dan memikirkan kesehatan para tawanan.
Masih teringat dalam benak kita, kala diliputi ketakutan akan terjadinya pertumpahan darah dan untuk meminimalkan kemurkaan kaum kafir, beliau memberikan izin kepada budak yang telah masuk Islam, untuk menyembunyikan keislamannya pada majikan mereka sebab dikhawatirkan terjadi kekerasan fisik.
Bukanlah hal baru jika Rasulullah dalam fase-fase awal dakwahnya terus mengalami penindasan demi penindasan dari kaum kafir. Kisah menyedihkan yang dialami Rasulullah dan para sahabat itu seolah kembali terulang dalam frame yang tak jauh berbeda: penindasan.
Penindasan dan pembumihangusan yang menimpa saudara kita di Jalur Gaza sejak 14 November lalu, tidak hanya menimpa masyarakat sipil, para wanita, beberapa kantor berita ternama, juga anak-anak tak berdosa pun juga ikut meregang nyawa. Sedikitnya, puluhan orang meninggal dunia dan ribuan lainnya mengalami luka-luka.
Tindakan yang dinilai hanya sebagai aksi defensif ini telah menargetkan ribuan lokasi untuk diblokade. Israel telah resmi memobilisasi hingga 75 ribu tentara cadangan untuk mempersiapkan kemungkinan invasi darat di jalur Gaza.
Terlepas dari alasan yang melatarbelakangi serangan ini, pada kenyataannya, banyak warga sipil tak berdosa tewas menjadi korban dari serangan tersebut. Tak hanya itu, pasokan obat dan peralatan medis yang dimiliki Kementerian Kesehatan Gaza pun benar-benar habis. Pihak rumah sakit juga menunda semua operasi akibat kondisi darurat dan kekurangan anestesi (obat bius).
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 32).
“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. An-Nisa’: 29).
Semoga Allah senantiasa melindungi semua saudara kita di Gaza serta memberikan solusi yang terbaik. Amin.
Salah satu bentuk peradaban luhur yang diwariskannya ialah tahapan perdamaian tatkala beliau dan masyarakat minoritas (Muslim) hidup berdampingan dengan kuffar Quraisy.
Selama menjalankan misi dakwah, Rasullah SAW menempuh beberapa perjanjian untuk menghindari pertumpahan darah serta berupaya membangun perdamaian. Perjanjian yang dibuat tersebut antara lain Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, serta perjanjian dengan delegasi Najran.
Tahapan perdamaian yang ditempuh Rasulullah tentu bukan suatu hal yang mudah. Disamping pada masa itu hanya Rasulullah yang ‘baru’ menerapkan sendi-sendi perdamaian, kepribadian Rasulullah pun sangatlah berperan.
Rasulullah telah sempurna mengamalkan makna akar kata ‘Islam’ yang berarti Salaam—damai atau selamat—membuat beliau enggan berperilaku kasar, menjajah, ofensif, apalagi tindakan membabi buta dalam berperang. Pancaran kepribadian sejati Rasulullah tecermin dalam santunnya beliau dalam memperlakukan para tawanan.
Sejarah mencatat, selama berperang, Rasulullah enggan menyakiti balik atau menaruh dendam atas perilaku kuffar Quraisy. Justru sebaliknya, Rasulullah menanamkan nilai Islam yang sesungguhnya. Beliau tetap memberikan perlindungan, pangan, dan memikirkan kesehatan para tawanan.
Masih teringat dalam benak kita, kala diliputi ketakutan akan terjadinya pertumpahan darah dan untuk meminimalkan kemurkaan kaum kafir, beliau memberikan izin kepada budak yang telah masuk Islam, untuk menyembunyikan keislamannya pada majikan mereka sebab dikhawatirkan terjadi kekerasan fisik.
Bukanlah hal baru jika Rasulullah dalam fase-fase awal dakwahnya terus mengalami penindasan demi penindasan dari kaum kafir. Kisah menyedihkan yang dialami Rasulullah dan para sahabat itu seolah kembali terulang dalam frame yang tak jauh berbeda: penindasan.
Penindasan dan pembumihangusan yang menimpa saudara kita di Jalur Gaza sejak 14 November lalu, tidak hanya menimpa masyarakat sipil, para wanita, beberapa kantor berita ternama, juga anak-anak tak berdosa pun juga ikut meregang nyawa. Sedikitnya, puluhan orang meninggal dunia dan ribuan lainnya mengalami luka-luka.
Tindakan yang dinilai hanya sebagai aksi defensif ini telah menargetkan ribuan lokasi untuk diblokade. Israel telah resmi memobilisasi hingga 75 ribu tentara cadangan untuk mempersiapkan kemungkinan invasi darat di jalur Gaza.
Terlepas dari alasan yang melatarbelakangi serangan ini, pada kenyataannya, banyak warga sipil tak berdosa tewas menjadi korban dari serangan tersebut. Tak hanya itu, pasokan obat dan peralatan medis yang dimiliki Kementerian Kesehatan Gaza pun benar-benar habis. Pihak rumah sakit juga menunda semua operasi akibat kondisi darurat dan kekurangan anestesi (obat bius).
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 32).
“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. An-Nisa’: 29).
Semoga Allah senantiasa melindungi semua saudara kita di Gaza serta memberikan solusi yang terbaik. Amin.
Jumat, November 16, 2012
SEMANGAT HIJRAH
Tak ada kebangkrutan yang paling mendera jiwa, kecuali kita tak mampu
mengolah harta sendiri. Tak ada kesedihan yang paling mengharu biru,
kecuali kita tak memiliki lagi harga diri.
Perhatikanlah di sekitar kita, betapa harta dan jati diri sedikit demi sedikit digerus oleh derasnya arus duniawi. Hidup seakan tak ada pilihan, kecuali harta atau mati.
Karenanya, tanpa merasa berdosa, ada di antara kita yang hidupnya menjadi hamba harta, takhta, dan wanita. Mata hati telah buta.
Keserakahan telah membius diri, seperti binatang lapar yang siap menerkam binatang lainnya. Pantaslah Allah menyebut mereka lebih sesat dari binatang ternak. (QS al-A'raf [7]: 179). Caranya bertutur, bersikap, dan bertindak penuh kontradiksi dengan apa yang diyakininya.
Kita pandai membuat pernyataan, tetapi bodoh dalam kenyataan. Setiap saat bibir kita basah membaca Surah al-Fatihah agar kita tidak termasuk orang yang dimurkai dan zalim, tetapi perilaku kita seakan menentang apa yang kita ucapkan itu. Lantas, di manakah shalat kita?
Ketika Rasulullah diminta nasihat, beliau bersabda, “Jangan marah.” Namun anehnya, ada di antara kita yang menampakkan wajah penuh amarah, dendam, dan beringas. Di manakah sikap penyantun yang menjadi mutiara akhlakul karimah?
Ketika Rasul mengatakan, “Muslim itu adalah mereka yang menyebabkan Muslim lainnya selamat dari tangan dan lidahnya,” sebaliknya, kita menentang sabda Rasulullah dengan menampakkan sikap anarkisme, bahkan tak segan merusak sehingga menyebabkan orang lain gelisah dan ketakutan.
Masih Muslimkah kita? Pantaslah seorang ulama berkata, “Cahaya Islam tertutup karena kelakuan umat Islam itu sendiri.”
Maka, kini saatnya kita melepaskan diri dari belenggu kegelapan untuk menggapai dan menari dalam cahaya Ilahi. Inilah makna hakiki dari hijrah. Mutiara akhlak yang harus dimiliki setiap pribadi Muslim.
Hijrah yang berarti meninggalkan (at-tarku), berpindah (al-intiqâl, tukhariku) atau berubah (taghyir), adalah perbendaharaan umat yang paling berbinar. Hijrah adalah semangat perubahan yang tak kenal henti. Ia bagaikan ombak samudra yang terus-menerus menerpa pantai.
Hijrah adalah etos kerja untuk meraih cita-cita dan kedudukan mulia (maqaman mahmuda). Hijrah adalah pedang kelewang yang akan menebas segala kegelapan, kebodohan, kemiskinan, dan kebatilan.
Dengan semangat hijrah itu pula, kita akan mengubah nasib dan melepaskan topeng-topeng buruk yang telah menutupi keindahan wajah dan jati diri kita sebagai pembawa pelita cahaya rahmatan lil alamin. Karena, kita sadar bahwasanya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. (QS ar-Ra'du: 21).
Akan tetapi, hijrah tidaklah berdiri sendiri. Hijrah adalah senyawa iman dan kesungguhan. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”(QS at-Taubah [9]: 20 ).
Iman, hijrah, dan jihad adalah rumus sukses untuk meraih tujuan. Namun, bagaimana kita akan mencapai tujuan kalau tidak tahu jalan ke mana harus pergi. Maka, kenalilah jalan, raihlah kemenangan. Selamat berhijrah.
Perhatikanlah di sekitar kita, betapa harta dan jati diri sedikit demi sedikit digerus oleh derasnya arus duniawi. Hidup seakan tak ada pilihan, kecuali harta atau mati.
Karenanya, tanpa merasa berdosa, ada di antara kita yang hidupnya menjadi hamba harta, takhta, dan wanita. Mata hati telah buta.
Keserakahan telah membius diri, seperti binatang lapar yang siap menerkam binatang lainnya. Pantaslah Allah menyebut mereka lebih sesat dari binatang ternak. (QS al-A'raf [7]: 179). Caranya bertutur, bersikap, dan bertindak penuh kontradiksi dengan apa yang diyakininya.
Kita pandai membuat pernyataan, tetapi bodoh dalam kenyataan. Setiap saat bibir kita basah membaca Surah al-Fatihah agar kita tidak termasuk orang yang dimurkai dan zalim, tetapi perilaku kita seakan menentang apa yang kita ucapkan itu. Lantas, di manakah shalat kita?
Ketika Rasulullah diminta nasihat, beliau bersabda, “Jangan marah.” Namun anehnya, ada di antara kita yang menampakkan wajah penuh amarah, dendam, dan beringas. Di manakah sikap penyantun yang menjadi mutiara akhlakul karimah?
Ketika Rasul mengatakan, “Muslim itu adalah mereka yang menyebabkan Muslim lainnya selamat dari tangan dan lidahnya,” sebaliknya, kita menentang sabda Rasulullah dengan menampakkan sikap anarkisme, bahkan tak segan merusak sehingga menyebabkan orang lain gelisah dan ketakutan.
Masih Muslimkah kita? Pantaslah seorang ulama berkata, “Cahaya Islam tertutup karena kelakuan umat Islam itu sendiri.”
Maka, kini saatnya kita melepaskan diri dari belenggu kegelapan untuk menggapai dan menari dalam cahaya Ilahi. Inilah makna hakiki dari hijrah. Mutiara akhlak yang harus dimiliki setiap pribadi Muslim.
Hijrah yang berarti meninggalkan (at-tarku), berpindah (al-intiqâl, tukhariku) atau berubah (taghyir), adalah perbendaharaan umat yang paling berbinar. Hijrah adalah semangat perubahan yang tak kenal henti. Ia bagaikan ombak samudra yang terus-menerus menerpa pantai.
Hijrah adalah etos kerja untuk meraih cita-cita dan kedudukan mulia (maqaman mahmuda). Hijrah adalah pedang kelewang yang akan menebas segala kegelapan, kebodohan, kemiskinan, dan kebatilan.
Dengan semangat hijrah itu pula, kita akan mengubah nasib dan melepaskan topeng-topeng buruk yang telah menutupi keindahan wajah dan jati diri kita sebagai pembawa pelita cahaya rahmatan lil alamin. Karena, kita sadar bahwasanya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. (QS ar-Ra'du: 21).
Akan tetapi, hijrah tidaklah berdiri sendiri. Hijrah adalah senyawa iman dan kesungguhan. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”(QS at-Taubah [9]: 20 ).
Iman, hijrah, dan jihad adalah rumus sukses untuk meraih tujuan. Namun, bagaimana kita akan mencapai tujuan kalau tidak tahu jalan ke mana harus pergi. Maka, kenalilah jalan, raihlah kemenangan. Selamat berhijrah.
Rabu, November 14, 2012
Rabu, November 07, 2012
MARI TINGKATKAN AMAL IBADAH
Musibah datang secara beruntun, usaha selalu berujung pada kegagalan, dan di tempat kerja diserang banyak fitnah.
Rumah tangga tidak pernah berhenti dari percekcokan, bahkan berakhir dengan perceraian.
Inilah keadaan yang lazim kita temukan dalam keseharian kita, atau terkadang kita sendiri yang mengalaminya.
Hal yang tidak bisa dibantah adalah keadaan ini pasti berpengaruh terhadap sikap keberagamaan kita. Bagi yang rusak akidahnya maka akan menambah jarak yang jauh bahkan semakin jauh dengan Allah. Tapi, jika sedang bagus akidahnya maka dia akan bersegera mendekat kepada Allah.
Namun, yang perlu diperhatikan saat kita berada dekat dengan Allah adalah konsistensi. Jangan sampai ibadah dan pertaubatan kita terkesan hanya dilakukan kalau sedang butuh, sedang saat dilanda musibah, atau sedang disempitkan dengan ujian dan kesusahan, kita jauh dari Allah.
Peribadatan kita seakan temporal (sesaat). Sementara kalau sudah kembali normal, kemampuan mendekat dan bersenang-senangnya bersama Allah malah menghilang.
Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat; shalat wajib tepat waktu, tahajud tampak khusyuk. Tapi, anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat Subuh pun terlambat.
Ini perbuatan yang jelas menipu dan mengecewakan Allah dan malaikat. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dan semakin istiqamah.
Atau, ketika menjadi imam shalat, bacaan Alquran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi, sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita laksana kilat, ringkas, dan cepat.
Kalau shalat sendirian dia begitu gesit (cepat), tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu di balik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita ini.
Yang jelas diharapkan adalah kemampuan istiqamah dan konsistensi dalam ibadah dan amaliah. Tidak penting dalam keadaan apa pun kita.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan istiqamah mereka, maka malaikat (Kuasa Ilahi) akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushilat [41]: 30).
Nabi SAW bersabda, “Istiqamahlah kamu dan janganlah menghitung-hitung (amal ibadahmu),” (HR Bukhari).
Dari Abu Amr atau Abu Amrah RA, Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi RA berkata, aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selain padamu." Rasulullah menjawab, “Katakanlah, saya beriman kemudian istiqamahlah.” (HR Muslim).
Rumah tangga tidak pernah berhenti dari percekcokan, bahkan berakhir dengan perceraian.
Inilah keadaan yang lazim kita temukan dalam keseharian kita, atau terkadang kita sendiri yang mengalaminya.
Hal yang tidak bisa dibantah adalah keadaan ini pasti berpengaruh terhadap sikap keberagamaan kita. Bagi yang rusak akidahnya maka akan menambah jarak yang jauh bahkan semakin jauh dengan Allah. Tapi, jika sedang bagus akidahnya maka dia akan bersegera mendekat kepada Allah.
Namun, yang perlu diperhatikan saat kita berada dekat dengan Allah adalah konsistensi. Jangan sampai ibadah dan pertaubatan kita terkesan hanya dilakukan kalau sedang butuh, sedang saat dilanda musibah, atau sedang disempitkan dengan ujian dan kesusahan, kita jauh dari Allah.
Peribadatan kita seakan temporal (sesaat). Sementara kalau sudah kembali normal, kemampuan mendekat dan bersenang-senangnya bersama Allah malah menghilang.
Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat; shalat wajib tepat waktu, tahajud tampak khusyuk. Tapi, anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat Subuh pun terlambat.
Ini perbuatan yang jelas menipu dan mengecewakan Allah dan malaikat. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dan semakin istiqamah.
Atau, ketika menjadi imam shalat, bacaan Alquran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi, sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita laksana kilat, ringkas, dan cepat.
Kalau shalat sendirian dia begitu gesit (cepat), tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu di balik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita ini.
Yang jelas diharapkan adalah kemampuan istiqamah dan konsistensi dalam ibadah dan amaliah. Tidak penting dalam keadaan apa pun kita.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan istiqamah mereka, maka malaikat (Kuasa Ilahi) akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushilat [41]: 30).
Nabi SAW bersabda, “Istiqamahlah kamu dan janganlah menghitung-hitung (amal ibadahmu),” (HR Bukhari).
Dari Abu Amr atau Abu Amrah RA, Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi RA berkata, aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selain padamu." Rasulullah menjawab, “Katakanlah, saya beriman kemudian istiqamahlah.” (HR Muslim).
Kamis, November 01, 2012
RAHASIA KEAGUNGAN AZAN
Di antara ajaran Islam adalah azan. Belum lama seorang komposer dan
pianis top asal Turki terpaksa dibawa ke meja hijau disebabkan
perbuatannya menghina Islam dengan cara mengirim gurauan azan di sebuah
jejaring sosial.
Musisi yang sering tampil dalam acara “New York Philharmonic” dan “Berlin Symphony Orchestra” terancam hukuman penjara 18 tahun karena telah melecehkan nilai-nilai keagamaan.
Setiap agama tentu memiliki cara-cara tertentu dalam mengumpulkan manusia untuk melaksanakan suatu ibadah, seperti alat lonceng yang berlaku bagi umat Nasrani, terompet bagi umat Yahudi, api bagi Majusi, dan azan bagi umat Islam. Bentuk maklumat beribadah ini sepatutnya dihargai dan dihormati.
Azan merupakan panggilan yang disyariatkan sebagai penanda masuknya waktu shalat fardhu bagi umat Islam. Berkaitan dengan pentingnya azan ini, Nabi SAW menjelaskan beberapa keutamaannya, khususnya bagi orang-orang yang mengumandangkan azan (muazin atau bilal).
Pertama, memperoleh kemuliaan spesial pada hari kiamat. “Sesungguhnya para muazin itu adalah orang yang paling 'panjang lehernya' pada hari kiamat.” (HR Muslim, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Menurut ulama, maksud 'panjang leher' ini adalah orang yang paling banyak pahalanya, paling banyak mengharapkan ampunan dari Allah, paling bagus balasan amal perbuatannya, dan orang yang paling dekat dengan Allah.
Kedua, mendapatkan ampunan, sebagai saksi dan pahala yang berlipat ganda. “Orang yang azan akan diampuni kesalahannya oleh Allah sepanjang suaranya. Dan, akan menjadi saksi baginya segala apa yang ada di bumi, baik yang kering ataupun yang basah. Sedangkan, orang yang menjadi saksi shalat akan dicatat baginya pahala dua puluh lima shalat dan akan diampuni darinya dosa-dosa antara keduanya.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i).
Ketiga, memperoleh jaminan surga. Abu Hurairah berkata, “Suatu ketika, kami sedang berada bersama Rasul SAW, lalu kami melihat Bilal mengumandangkan azan. Setelah selesai, Rasulullah kemudian bersabda, “Barang siapa mengatakan seperti ini dengan penuh keyakinan, maka dia dijamin masuk surga.” (HR Nasa’i).
“Barang siapa yang azan selama 12 tahun, maka wajib baginya mendapatkan surga. Setiap azan yang dilakukannya setiap hari akan mendapatkan 60 kebaikan. Dan dengan iqamahnya, ia dicatat mendapatkan 30 kebaikan.” (HR Ibnu Majah).
Demikianlah di antara keistimewaan azan. Seandainya manusia mengetahui rahasia keistimewaan azan, niscaya tak ada penghinaan dan pelecehan. Sebaliknya, mereka akan berlomba-lomba untuk mengumandangkannya.
“Sekiranya orang-orang mengetahui akan rahasia keutamaan azan dan rahasia shaf pertama, niscaya mereka akan berebutan meraihnya meski dengan cara mengundi. Dan seandainya mereka mengetahui rahasia keutamaan yang ada pada waktu panasnya saat Zhuhur, niscaya mereka akan berebut mengerjakan shalat pada saat itu. Dan seandainya mereka mengetahui rahasia keutamaan yang ada pada waktu Isya dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya untuk melakukan shalat keduanya walaupun harus dengan cara merangkak.” (HR Muslim). Wallahu a'lam.
Musisi yang sering tampil dalam acara “New York Philharmonic” dan “Berlin Symphony Orchestra” terancam hukuman penjara 18 tahun karena telah melecehkan nilai-nilai keagamaan.
Setiap agama tentu memiliki cara-cara tertentu dalam mengumpulkan manusia untuk melaksanakan suatu ibadah, seperti alat lonceng yang berlaku bagi umat Nasrani, terompet bagi umat Yahudi, api bagi Majusi, dan azan bagi umat Islam. Bentuk maklumat beribadah ini sepatutnya dihargai dan dihormati.
Azan merupakan panggilan yang disyariatkan sebagai penanda masuknya waktu shalat fardhu bagi umat Islam. Berkaitan dengan pentingnya azan ini, Nabi SAW menjelaskan beberapa keutamaannya, khususnya bagi orang-orang yang mengumandangkan azan (muazin atau bilal).
Pertama, memperoleh kemuliaan spesial pada hari kiamat. “Sesungguhnya para muazin itu adalah orang yang paling 'panjang lehernya' pada hari kiamat.” (HR Muslim, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Menurut ulama, maksud 'panjang leher' ini adalah orang yang paling banyak pahalanya, paling banyak mengharapkan ampunan dari Allah, paling bagus balasan amal perbuatannya, dan orang yang paling dekat dengan Allah.
Kedua, mendapatkan ampunan, sebagai saksi dan pahala yang berlipat ganda. “Orang yang azan akan diampuni kesalahannya oleh Allah sepanjang suaranya. Dan, akan menjadi saksi baginya segala apa yang ada di bumi, baik yang kering ataupun yang basah. Sedangkan, orang yang menjadi saksi shalat akan dicatat baginya pahala dua puluh lima shalat dan akan diampuni darinya dosa-dosa antara keduanya.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i).
Ketiga, memperoleh jaminan surga. Abu Hurairah berkata, “Suatu ketika, kami sedang berada bersama Rasul SAW, lalu kami melihat Bilal mengumandangkan azan. Setelah selesai, Rasulullah kemudian bersabda, “Barang siapa mengatakan seperti ini dengan penuh keyakinan, maka dia dijamin masuk surga.” (HR Nasa’i).
“Barang siapa yang azan selama 12 tahun, maka wajib baginya mendapatkan surga. Setiap azan yang dilakukannya setiap hari akan mendapatkan 60 kebaikan. Dan dengan iqamahnya, ia dicatat mendapatkan 30 kebaikan.” (HR Ibnu Majah).
Demikianlah di antara keistimewaan azan. Seandainya manusia mengetahui rahasia keistimewaan azan, niscaya tak ada penghinaan dan pelecehan. Sebaliknya, mereka akan berlomba-lomba untuk mengumandangkannya.
“Sekiranya orang-orang mengetahui akan rahasia keutamaan azan dan rahasia shaf pertama, niscaya mereka akan berebutan meraihnya meski dengan cara mengundi. Dan seandainya mereka mengetahui rahasia keutamaan yang ada pada waktu panasnya saat Zhuhur, niscaya mereka akan berebut mengerjakan shalat pada saat itu. Dan seandainya mereka mengetahui rahasia keutamaan yang ada pada waktu Isya dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya untuk melakukan shalat keduanya walaupun harus dengan cara merangkak.” (HR Muslim). Wallahu a'lam.
Langganan:
Postingan (Atom)