Kabupaten Sikka memang identik dengan peradaban Katolik. Namun, kehadiran Agama Islam di Sikka memiliki catatan sejarah tersendiri. Berawal dari perang di Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan dan meletusnya Gunung Tambora di Bima NTB, Agama Islam pun lahir di Maumere dan berkembang hingga saat ini.
Sesuai catatan sejarah, Agama Islam di Kabupaten Sikka resmi lahir abad ke-17 atau pada tahun 1775. Yang membawa ajaran Agama Islam adalah pelaut dari Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan. "Awalnya pelaut dari Gowa itu hanya singgah untuk memperbaiki kapal dan mengisi air bersih mulai tahun 1775," kata tokoh Islam di Kabupaten Sikka yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Sikka Abdul Rasyid Wahab di Maumere. Abdul Rasyid Wahab adalah salah satu pelaku sejarah perkembangan peradaban Islam pertama di Kabupaten Sikka.
Pelaut dari Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan ini baru menetap pada tahun 1800-an ketika terjadi perang di kerajaan yang berpengaruh di Sulawesi tersebut. Saat itu, pelaut dari Gowa berlayar ke selatan dan berlabuh di teluk Maumere, sekarang Pelabuhan Sadang Bui Maumere. "Tempat itu awalnya diberi nama Kampung Makassar," kata Abdul Rasyid.
Perkembangan Agama Islam saat itu terbantu dengan kerjasama yang dibangun pelaut dari Gowa dengan raja Sikka saat itu Ratu Mbako. "Kerjasama saat itu terutama di bidang ekonomi," katanya.
Saat itu pelaut dari Gowa memberikan berbagai macam barang perdagangan. Sementara raja Sikka memberi lahan untuk para pelaut dari Gowa. "Kerjasama itu berlangsung sangat lama bahkan hingga saat ini," katanya.
Kerjasama itu tidak hanya di bidang ekonomi tetapi berlanjut hingga kawin-mawin. Abdul Rasyid mengatakan raja Sikka saat itu Raja Thomas kawin dengan Mariam da Silva yang adalah keturunan dari Gowa. Hubungan antara penduduk asli Sikka dengan pendatang dari Gowa ini kemudian semakin akrab.
Di kampung Makassar, lanjut Abdul Rasyid belum dibangun masjid. "Waktu itu sholad masih dilakukan di rumah-rumah penduduk," katanya. Masjid pertama yang dibangun adalah Mesjid Al-Taqwa di Kampung Beru tahun 1926.
Mesjid ini dibangun setelah Kampung Makassar dipindahkan ke Kampung Beru karena Pemkab Sikka akan membangun dermaga di Kampung Makassar yakni Dermaga Sadang Bui saat ini. Nama Kampung Beru sebenarnya berasal dari kata bahasa Makassar Berua yang berarti baru (Kampung Baru).
Setelah dibangun Masjid Al-Taqwa tersebut, peradaban Islam kemudian berkembang pesat di Kampung Beru dan Maumere umumnya. Hal ini ditunjang dengan semakin ramainya perdagangan di Maumere yang sebagian besar dikuasai pedagang Islam dari Makassar.
Menurut Imam Masjid Al-Taqwa H. Zainudin Qodri, jumlah jemaah di Masjid tersebut lebih 1000 orang. "Jumlah KK-nya sekitar 300," kata Zainudin.
Ia juga membenarkan Masjid Al-Taqwa dibangun pada tahun 1926. "Awalnya ukurannya kecil, tetapi seiring dengan berkembangnya jumlah jemaah maka ukurannya sebesar ini," kata Zainudin yang saat itu bersama koran ini di teras masjid. Saat terjadi gempa tektonik 12 Desember 1992 Masjid Al-Taqwa juga hancur total. Masjid Al-Taqwa kemudian dibangun kembali pada tahun 1993.
Masjid Al-Taqwa merupakan salah satu bukti sejarah perkembangan Islam di Kabupaten Sikka yang dibawa pelaut dari Gowa Sulawesi Selatan. Selain dari Gowa, yang membawa peradaban Islam di Sikka adalah warga dari Bima NTB pada tahun 1885.
"Saat itu terjadi letusan Gunung Tambora yang menyebabkan sebagian warganya mengungsi hingga ke Maumere," kata Abdul Rasyid Wahab. Pusatnya adalah di pesisir Desa Watumilok Kecamatan Kewapante.
Minggu, Januari 31, 2010
KERAJAAN ISLAM DI SOLOR-ALOR-LEMBATA-ADONARA-PANTAR NTT
Saat ini, wilayah kepulauan Solor yang terdiri atas Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pantar, Alor dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, lebih dipengaruhi oleh kebudayaan Katolik. Tetapi siapa kira, kalau kawasan yang meliputi tiga Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, pernah mendapat pengaruh kuat dari beberapa kerajaan Islam di Maluku, Jawa dan Sulawesi sejak abad ke-15.
Seorang sosiolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Drs. Syarifuddin Gomang, MHons, dalam sebuah tulisannya, menghubungkan perkembangan di gugusan kepulauan itu dengan perkembangan salah satu kerajaan Islam di timur yakni Ternate. Tersebutlah, pengganti Sultan Baabullah yang membalas kematian ayahnya Sultan Hairun, yang dibunuh Portugis, dengan mengepung Portugis dalam benteng di Ternate dan mengambil alih benteng pada tahun 1574.
Dalam puncak kejayaan itulah, Sultan Baabullah mendapat pengakuan kedaulatan dari masyarakat di 72 pulau, termasuk Kepulauan Solor. Dari dokumen Portugis, Gomang mengungkapkan, Sultan Baabullah mengutus keponakannya bernama Kaichili Ulan ke Pulau Buru di Maluku, merekrut orang-orang dan mempersiapkan perahu untuk penyerangan ke Lohayong, sebuah basis pertahanan Portugis di Pulau Solor. Rencana serangan itu, atas permintaan bantuan dari Solor untuk menyerang orang Portugis di Benteng Lohayong.
Dalam pelayaran Kaichili Ulan ke Solor tersebut, ikut pula banyak bangsawan Ternate dan pengikut mereka yang kemudian menetap di beberapa pulau di NTT. Di antara mereka terkenal nama Sultan Syarif Sahar dan isterinya, Syarifah, yang menetap di Pulau Solor dan nantinya memimpin orang Solor bertempur melawan Portugis, setelah bersekutu dengan VOC atau kongsi dagang Belanda yang bersaing dengan Portugis.
Tokoh ini, kemudian ikut pindah ke Kupang di Pulau Timor, ketika VOC memindahkan pusat kedudukan dari Solor ke Kupang pada tahun 1657. Di Kupang, Sultan Syarif lebih dikenal dengan nama Atu Laganama dan menjadi penyebar agama Islam pertama di sekitar Batu Besi, Kupang. Diduga, kedatangan Atu Laganama ini menandai migrasi pertama orang Islam Solor ke Kupang, sehingga sampai kini di ibukota Provinsi NTT itu, masih ada Kelurahan Solor.
Sebagian dari pasukan Kaichili Ulan, tidak hanya menetap di Pulau Solor, tetapi juga pulau-pulau lain mulai dari Flores Timur sampai ke Kabupaten Alor. Karena itu, di Alor terdapat sebuah pulau bernama Pulau Ternate, sementara mereka yang menetap di Flores Timur antara lain dari klen Gogo, Likur dan Maloko. Bahkan, seorang ulama dari Ternate bernama Usman Barkat, menjadi tokoh penyebar agama Islam.
Di Blang Merang, Alor, pun sudah ada kampung Maluku pada abad ke-15, yang dihuni penduduk beragama Islam. Pada abad ke-17, gugusan kepulauan Solor dikabarkan resmi menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate yang berubah menjadi kerajaan Islam pada tahun 1683.
Kerajaan Islam
Penelitian lain yang dilakukan dosen Undana, Drs. Munandjar Widyatmika menyebut, pada tahun 1680 Lohayong di Solor merupakan sebuah kerajaan Islam yang memiliki supremasi terhadap kerajaan Islam lainnya. Saat itu, Lohayong di Solor diperintah oleh seorang ratu bernama, Nyai Chili Muda, yang pada tahun 1663 mengirim surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, memohon agak dikirimkan gading berukuran besar yang dijadikan bantal di kala ia wafat nanti.
Ia juga menyebut, Kedang sebuah wilayah di timur Pulau Lembata merupakan bagian dari Kerajaan Ternate, semetara di selatan Pulau Lembata juga terdapat sebuah kerajaan Islam yakni Lebala dengan raja terakhir Ibrahim Baha Manyeli.
Sementara Solor telah diduduki VOC sejak tahun 1646, tetapi Sultan Ternate baru resmi menyerahkan kepada Solor pada tahun 1683. Pada saat yang sama, di Kalikur Kedang, Lembata terdapay klen Honi Ero yang berasal dari Seram, sedangkan raja Adonara di Pulau Adonara, masih keturunan dari Ternate.
Bahkan, Gomang dan Widyatmika menyebut, tidak diketahui pasti, siapa pendiri kerajaan Lohayong Islam di Solor, yang jelas pada masa Kerajaan Majapahit memperluas wilayah kekuasaan dalam kerangka persatuan Nusantara sejak tahun 1357 dengan menaklukkan Dompo di Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah Laksamana Nala.
Kemudian Lohayong Solor yang strategis dijadikan salah satu pusat kedudukan pasukan Majapahit. Karena letaknya yang strategis, Lohayong di bawah pengaruh pedagang Islam dari Jawa dan Sulawesi, diduga pada waktu itu agama Islam telah berkembang di Lohayong Solor. Gomang dan Widyatmika menyebut tiga pilar kekuatan Islam pasca keruntuhan Majapahit, yakni Gresik, Gowa dan Ternate.
Gresik disebut-sebut telah mempunyai pengaruh di Solor, sebelum militer Portugis membangun benteng pada tahun 1566. Pelabuhan Solor dijadikan transit bagi perdagangan kayu cendana sebelum dijual ke Cina dan India.
Demikian pula Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, telah menjadi kerajaan Islam tahun 1605, di mana raja beserta perdana menteri pada tahun 1626 melakukan ekspedisi ke timur, termasuk ke Solor dan Timor.
Dari rangkaian pengaruh Islam dari Jawa, Sulawesi dan Ternate Maluku tersebut, hingga kini beberapa perkampungan di lima pantai di Solor, Adonara dan Lembata atau lebih dikenal dengan “Solor Watan Lema” dikenal sebagai perkampungan muslim hingga kini. Kelima kampung itu adalah, Lohayong dan Lamakera di Solor, Lamahala dan Terong di Adonara dan Lebala di Lembata.
Dari tempat-tempat itulah, Islam tersebar ke berbagai tempat terutama di pedalaman Solor, Adonara dan Lembata, namun umumnya di Kepulauan Solor, umat Islam umumnya menempati daerah pesisir mulai dari Pulau Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dan menjadikan kawasan itu salah satu daerah muslim di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Seorang sosiolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Drs. Syarifuddin Gomang, MHons, dalam sebuah tulisannya, menghubungkan perkembangan di gugusan kepulauan itu dengan perkembangan salah satu kerajaan Islam di timur yakni Ternate. Tersebutlah, pengganti Sultan Baabullah yang membalas kematian ayahnya Sultan Hairun, yang dibunuh Portugis, dengan mengepung Portugis dalam benteng di Ternate dan mengambil alih benteng pada tahun 1574.
Dalam puncak kejayaan itulah, Sultan Baabullah mendapat pengakuan kedaulatan dari masyarakat di 72 pulau, termasuk Kepulauan Solor. Dari dokumen Portugis, Gomang mengungkapkan, Sultan Baabullah mengutus keponakannya bernama Kaichili Ulan ke Pulau Buru di Maluku, merekrut orang-orang dan mempersiapkan perahu untuk penyerangan ke Lohayong, sebuah basis pertahanan Portugis di Pulau Solor. Rencana serangan itu, atas permintaan bantuan dari Solor untuk menyerang orang Portugis di Benteng Lohayong.
Dalam pelayaran Kaichili Ulan ke Solor tersebut, ikut pula banyak bangsawan Ternate dan pengikut mereka yang kemudian menetap di beberapa pulau di NTT. Di antara mereka terkenal nama Sultan Syarif Sahar dan isterinya, Syarifah, yang menetap di Pulau Solor dan nantinya memimpin orang Solor bertempur melawan Portugis, setelah bersekutu dengan VOC atau kongsi dagang Belanda yang bersaing dengan Portugis.
Tokoh ini, kemudian ikut pindah ke Kupang di Pulau Timor, ketika VOC memindahkan pusat kedudukan dari Solor ke Kupang pada tahun 1657. Di Kupang, Sultan Syarif lebih dikenal dengan nama Atu Laganama dan menjadi penyebar agama Islam pertama di sekitar Batu Besi, Kupang. Diduga, kedatangan Atu Laganama ini menandai migrasi pertama orang Islam Solor ke Kupang, sehingga sampai kini di ibukota Provinsi NTT itu, masih ada Kelurahan Solor.
Sebagian dari pasukan Kaichili Ulan, tidak hanya menetap di Pulau Solor, tetapi juga pulau-pulau lain mulai dari Flores Timur sampai ke Kabupaten Alor. Karena itu, di Alor terdapat sebuah pulau bernama Pulau Ternate, sementara mereka yang menetap di Flores Timur antara lain dari klen Gogo, Likur dan Maloko. Bahkan, seorang ulama dari Ternate bernama Usman Barkat, menjadi tokoh penyebar agama Islam.
Di Blang Merang, Alor, pun sudah ada kampung Maluku pada abad ke-15, yang dihuni penduduk beragama Islam. Pada abad ke-17, gugusan kepulauan Solor dikabarkan resmi menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate yang berubah menjadi kerajaan Islam pada tahun 1683.
Kerajaan Islam
Penelitian lain yang dilakukan dosen Undana, Drs. Munandjar Widyatmika menyebut, pada tahun 1680 Lohayong di Solor merupakan sebuah kerajaan Islam yang memiliki supremasi terhadap kerajaan Islam lainnya. Saat itu, Lohayong di Solor diperintah oleh seorang ratu bernama, Nyai Chili Muda, yang pada tahun 1663 mengirim surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, memohon agak dikirimkan gading berukuran besar yang dijadikan bantal di kala ia wafat nanti.
Ia juga menyebut, Kedang sebuah wilayah di timur Pulau Lembata merupakan bagian dari Kerajaan Ternate, semetara di selatan Pulau Lembata juga terdapat sebuah kerajaan Islam yakni Lebala dengan raja terakhir Ibrahim Baha Manyeli.
Sementara Solor telah diduduki VOC sejak tahun 1646, tetapi Sultan Ternate baru resmi menyerahkan kepada Solor pada tahun 1683. Pada saat yang sama, di Kalikur Kedang, Lembata terdapay klen Honi Ero yang berasal dari Seram, sedangkan raja Adonara di Pulau Adonara, masih keturunan dari Ternate.
Bahkan, Gomang dan Widyatmika menyebut, tidak diketahui pasti, siapa pendiri kerajaan Lohayong Islam di Solor, yang jelas pada masa Kerajaan Majapahit memperluas wilayah kekuasaan dalam kerangka persatuan Nusantara sejak tahun 1357 dengan menaklukkan Dompo di Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah Laksamana Nala.
Kemudian Lohayong Solor yang strategis dijadikan salah satu pusat kedudukan pasukan Majapahit. Karena letaknya yang strategis, Lohayong di bawah pengaruh pedagang Islam dari Jawa dan Sulawesi, diduga pada waktu itu agama Islam telah berkembang di Lohayong Solor. Gomang dan Widyatmika menyebut tiga pilar kekuatan Islam pasca keruntuhan Majapahit, yakni Gresik, Gowa dan Ternate.
Gresik disebut-sebut telah mempunyai pengaruh di Solor, sebelum militer Portugis membangun benteng pada tahun 1566. Pelabuhan Solor dijadikan transit bagi perdagangan kayu cendana sebelum dijual ke Cina dan India.
Demikian pula Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, telah menjadi kerajaan Islam tahun 1605, di mana raja beserta perdana menteri pada tahun 1626 melakukan ekspedisi ke timur, termasuk ke Solor dan Timor.
Dari rangkaian pengaruh Islam dari Jawa, Sulawesi dan Ternate Maluku tersebut, hingga kini beberapa perkampungan di lima pantai di Solor, Adonara dan Lembata atau lebih dikenal dengan “Solor Watan Lema” dikenal sebagai perkampungan muslim hingga kini. Kelima kampung itu adalah, Lohayong dan Lamakera di Solor, Lamahala dan Terong di Adonara dan Lebala di Lembata.
Dari tempat-tempat itulah, Islam tersebar ke berbagai tempat terutama di pedalaman Solor, Adonara dan Lembata, namun umumnya di Kepulauan Solor, umat Islam umumnya menempati daerah pesisir mulai dari Pulau Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dan menjadikan kawasan itu salah satu daerah muslim di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Rabu, Januari 27, 2010
GANTI PAKAIAN MENUJU JALAN YANG LURUS
Dalam kehidupan ini kita akan memilih. Kita memilih kebahagian di dunia atau memilih kebahagiaan di akhirat? Atau kita memilih keduanya, seperti dalam doa yang selalu kita ucapkan : “ Ya Rabb anugerahilah aku kehidupan di dunia yang bahagia, dan kehidupan di akhirat yang mulia”. Inilah jalan para anbiya’ (nabi), khulafaur rasyididn, dan para generasi shalaf, yang senantiasa mencintai Rabbnya, dan tidak pernah berpaling selama-lamanya dari-Nya. Generasi ini yang terus menapaki kehidupan dengan segala amal kebaikan.
Mereka senantiasa menolak dengan tegas perbuatan yang bathil dan fasad, yang dapat menjerumuskan diri mereka kedalam bencana. Ghirahnya (kecemburuannya) terus menyala-nyala, tak pernah padam, selalu marah ketika melihat segala penyimpangan, penolakan manusia atas segala ajaran-Nya, dan tidak pernah mau menerima segala bentuk kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan. Karena, sifat-sifat itu, tak layak dimiliki oleh orang-orang yang senantiasa bertaqwa kepada Rabbnya. Sifat-sifat itu yang sangat dibenci oleh Allah Azza Wa Jalla.
Tapi, kita memasuki kehidupan modern, yang penuh dengan tarikan dunia, yang senantiasa menggoada manusia menjadi lalai. Manusia tidak ingat akan datangnya kematian. Kehidupannya terus disibukkan dengan berbagai ambisi dan angan-angan, yang tak pernah habis-habis. Sampai datangnya hari tua, dan kematian merenggutnya. Adakah penyesalan? Segalanya menjadi terlambat. Segala penyesalan tak ada gunanya.
Seperti halnya, Fir’aun, yang saat ditenggelamkan di laut Merah, baru menyadari kemahakuasaan Allah Rabbul Jallal. Apakah sifat dan sikap manusia seperti itu? Datangnya kesadaran selalu terlambat. Datangnya penyesalan selalu terlambat. Ketika manusia sudah memasuki kehidupan di akhirat, dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan kehadapan sang Khaliq, selalu mereka mengatakan, ketika di dunia belum mendapatkan keterangan tentang hakikat al-haq.
Bagaimana nasib manusia hari ini yang senantiasa menggantungkan hidupnya kepada materi? Ketika krisis datang dan menghampiri mereka, maka mereka banyak yang merasa kehilangan keseimbangan, merasakan kehampaan, dan kehilangan motivasi, serta semangat hidup. Kesalahan yang mendasar manusia modern adalah menjadikan benda sebagai sesembahan, dan makhluk sebagai sesembahan.
Kehidupan modern sekarang ini, tak ubahnya seperti ketika kehidupan di masa lalu, pada masa Nabi Ibrahim alaihis salam, mereka menyembah patung-patung, benda, matahari, rembulan, dan sesama manusia, yang mereka kira dapat memberikan manfaat bagi kehidupan mereka. Sama antara jahiliyah di masa lalu dengan kehidupan di zaman sekarang. Mungkin hanya suasananya yang berbeda.
Manusia modern yang sangat berkecenderungan pada kehidupan materialisme, hanya menghabiskan seluruh waktu dan umurnya, mengumpulkan materi dengan bekerja. Waktunya, dari pagi hingga malam, hanya digunakan bekerja. Tujuannya mendapat materi. Lalu, mereka bersenang-senang, mengunjungi tempat-tempat hiburan, cape, hotel, tempat wisata, dan segala yang berbau ‘luxury’, yang dapat memberikan kenikmatan bagi kehidupan mereka.
Manusia betul-betul sebagai pemuja kenikmatan. Kenikmatan kehidupan di dunia, yang sengaja mereka ciptakan sendiri. Seakan mereka berkekalan atas segala kehidupan di dunia, yang tak pernah bakal berakhir. Mereka adalah orang-orang yang memanipulasi kehidupannya sendiri, membodohi kehidupan sendiri, dan akhirnya mereka menjadi korban dari pilihan hidup mereka sendiri. Mereka mengejar fatamorgana, yang mereka sangka sebagai kehidupan yang nyata.
Ketamakan manusia modern dalam menggunakan materi, dipertontonkan dengan telanjang oleh masyarakat Barat. Mereka menghabiskan sumber daya alam dari negara-negara Dunia Ketiga, yang sengaja diekploitasi habis-habisan, harta benda mereka dikeruk di bawa ke Barat, dan mereka menikmati. Mereka membiarkan kehidupan yang sangat menyakitkan bagi rakyat di Dunia Ketiga, yang miskin papa, dan tidak memiliki apa. Bahkan, masyarakat Barat, sengaja melanggengkan kemiskinan dan ketidak adilan, dan hancurnya sendi-sendi kehidpan di dalam masyarakat. Semua itu, tak lain adalah akibat orientasi masyarakat modern yang sangat menuhankan materi.
Seperti dikatakan oleh Sayid Qutb rahimahumullah,yang mengatakan masyarakat modern, nantinya akan menghadapi kehancuran dari akibat budaya jahiliyah yang mereka bangun. Ibn Taimiyah berpendapat, ‘Sebuah negeri dikatakan sebagai daarul kufri, daarul iman atau daaru fasik, bukan karena hakikat yang ada pada negeri itu, tetapi karena sifat para penduduknya’. Maka, bagaimana kehidupan masyarakat itu, yang akan menentukan status sebuah negeri. Apakah negeri itu daarul kufri atau daarul iman? Kalau kehidupan jahiliyah yang mendominasi kehidupan mereka, maka layak sebuah negeri mendapatkan status sebagai : ‘daarul kufri’, meskipun penduduknya sebagian besar adalah muslim.
Marilah kita tinggalkan kehidupan jahiliyah yang penuh dengan dosa dan maksiat, dan kita gantikan dengan kehidupan yang lebih menuju jalan yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Mari kita masuki tahun 1431 hijriyah ini dengan memperbaharui tekad dan niat menuju jalan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, jalan Islam. Wallahu ‘alam.
Mereka senantiasa menolak dengan tegas perbuatan yang bathil dan fasad, yang dapat menjerumuskan diri mereka kedalam bencana. Ghirahnya (kecemburuannya) terus menyala-nyala, tak pernah padam, selalu marah ketika melihat segala penyimpangan, penolakan manusia atas segala ajaran-Nya, dan tidak pernah mau menerima segala bentuk kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan. Karena, sifat-sifat itu, tak layak dimiliki oleh orang-orang yang senantiasa bertaqwa kepada Rabbnya. Sifat-sifat itu yang sangat dibenci oleh Allah Azza Wa Jalla.
Tapi, kita memasuki kehidupan modern, yang penuh dengan tarikan dunia, yang senantiasa menggoada manusia menjadi lalai. Manusia tidak ingat akan datangnya kematian. Kehidupannya terus disibukkan dengan berbagai ambisi dan angan-angan, yang tak pernah habis-habis. Sampai datangnya hari tua, dan kematian merenggutnya. Adakah penyesalan? Segalanya menjadi terlambat. Segala penyesalan tak ada gunanya.
Seperti halnya, Fir’aun, yang saat ditenggelamkan di laut Merah, baru menyadari kemahakuasaan Allah Rabbul Jallal. Apakah sifat dan sikap manusia seperti itu? Datangnya kesadaran selalu terlambat. Datangnya penyesalan selalu terlambat. Ketika manusia sudah memasuki kehidupan di akhirat, dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan kehadapan sang Khaliq, selalu mereka mengatakan, ketika di dunia belum mendapatkan keterangan tentang hakikat al-haq.
Bagaimana nasib manusia hari ini yang senantiasa menggantungkan hidupnya kepada materi? Ketika krisis datang dan menghampiri mereka, maka mereka banyak yang merasa kehilangan keseimbangan, merasakan kehampaan, dan kehilangan motivasi, serta semangat hidup. Kesalahan yang mendasar manusia modern adalah menjadikan benda sebagai sesembahan, dan makhluk sebagai sesembahan.
Kehidupan modern sekarang ini, tak ubahnya seperti ketika kehidupan di masa lalu, pada masa Nabi Ibrahim alaihis salam, mereka menyembah patung-patung, benda, matahari, rembulan, dan sesama manusia, yang mereka kira dapat memberikan manfaat bagi kehidupan mereka. Sama antara jahiliyah di masa lalu dengan kehidupan di zaman sekarang. Mungkin hanya suasananya yang berbeda.
Manusia modern yang sangat berkecenderungan pada kehidupan materialisme, hanya menghabiskan seluruh waktu dan umurnya, mengumpulkan materi dengan bekerja. Waktunya, dari pagi hingga malam, hanya digunakan bekerja. Tujuannya mendapat materi. Lalu, mereka bersenang-senang, mengunjungi tempat-tempat hiburan, cape, hotel, tempat wisata, dan segala yang berbau ‘luxury’, yang dapat memberikan kenikmatan bagi kehidupan mereka.
Manusia betul-betul sebagai pemuja kenikmatan. Kenikmatan kehidupan di dunia, yang sengaja mereka ciptakan sendiri. Seakan mereka berkekalan atas segala kehidupan di dunia, yang tak pernah bakal berakhir. Mereka adalah orang-orang yang memanipulasi kehidupannya sendiri, membodohi kehidupan sendiri, dan akhirnya mereka menjadi korban dari pilihan hidup mereka sendiri. Mereka mengejar fatamorgana, yang mereka sangka sebagai kehidupan yang nyata.
Ketamakan manusia modern dalam menggunakan materi, dipertontonkan dengan telanjang oleh masyarakat Barat. Mereka menghabiskan sumber daya alam dari negara-negara Dunia Ketiga, yang sengaja diekploitasi habis-habisan, harta benda mereka dikeruk di bawa ke Barat, dan mereka menikmati. Mereka membiarkan kehidupan yang sangat menyakitkan bagi rakyat di Dunia Ketiga, yang miskin papa, dan tidak memiliki apa. Bahkan, masyarakat Barat, sengaja melanggengkan kemiskinan dan ketidak adilan, dan hancurnya sendi-sendi kehidpan di dalam masyarakat. Semua itu, tak lain adalah akibat orientasi masyarakat modern yang sangat menuhankan materi.
Seperti dikatakan oleh Sayid Qutb rahimahumullah,yang mengatakan masyarakat modern, nantinya akan menghadapi kehancuran dari akibat budaya jahiliyah yang mereka bangun. Ibn Taimiyah berpendapat, ‘Sebuah negeri dikatakan sebagai daarul kufri, daarul iman atau daaru fasik, bukan karena hakikat yang ada pada negeri itu, tetapi karena sifat para penduduknya’. Maka, bagaimana kehidupan masyarakat itu, yang akan menentukan status sebuah negeri. Apakah negeri itu daarul kufri atau daarul iman? Kalau kehidupan jahiliyah yang mendominasi kehidupan mereka, maka layak sebuah negeri mendapatkan status sebagai : ‘daarul kufri’, meskipun penduduknya sebagian besar adalah muslim.
Marilah kita tinggalkan kehidupan jahiliyah yang penuh dengan dosa dan maksiat, dan kita gantikan dengan kehidupan yang lebih menuju jalan yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Mari kita masuki tahun 1431 hijriyah ini dengan memperbaharui tekad dan niat menuju jalan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, jalan Islam. Wallahu ‘alam.
KOMUNITAS ISLAM DI FLORES TIMUR NTT
Kondisi masyarakat / komunitas Islam di Flores Timur
I. Masyarakat Islam asli Flores
Latar belakang mereka sama-sama penduduk bumiputra yang mula-mula menganut ‘agama asli’ atau meminjam istilah Bung Karno ‘orang kafir’. Dalam buku sejarah, agama asli biasa disebut animisme-dinamisme. Ketika datang agama baru, entah Katolik atau Islam, penduduk mulai konversi alias pindah agama. Agama asli identik dengan kekolotan atau primitivisme karena terkait erat dengan dukun-dukun serta kepercayaan alam gaib yang sulit berterima di alam moderen.
Karena sama-sama asli Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan, jemaat Islam ini benar-benar menyatu dengan umat Katolik atau penganut agama asli. Sama-sama diikat oleh adat, budaya, serta keturunan yang sama. Kalau diusut-usut, golongan ini punya hubungan darah yang sangat erat.
Fam atau marga saya, Hurek Making, misalnya, banyak yang menganut Islam. Bapak Muhammad Kotak Hurek bahkan jadi takmir Masjid Nurul Jannah di kampung. Muhammad Anshar Paokuma, keluarga dekat dari pihak ibu saya, malah imam masjid tersebut. Hubungan persaudaraan erat luar biasa.
Bedanya: umat Islam tidak makan daging babi dan anjing, sementara saudara-saudaranya non-Islam sangat doyan. Kalau ada pesta, saudara-saudara muslim ini ‘wajib’ menyiapkan daging khusus untuk kaum muslim, mulai dari menyembelih kambing, memasak, hingga siap saji di meja makan. Tradisi lokal ini untuk menjaga agar makanan itu terjamin kehalalannya.
Pak Hamid, juga masih kerabat saya, dikenal sebagai tukang jagal kambing dan sapi paling top. Begitu tahu bahwa daging kambing itu disembelih oleh Pak Hamid, saudara-saudara muslim itu pun menyantap dengan nikmat.
II. Masyarakat Islam pesisir
Mereka ini campuran antara pendatang dan penduduk asli yang sudah bercampur-baur secara turun-temurun. Disebut pesisir–ini istilah saya saja–karena tinggalnya di pesisir, bekerja sebagai nelayan ulung. Selain itu, mereka pedagang ‘papalele’ hingga pedagang besar.
Mereka ini menganut Islam berkat dakwah para pedagang atau pelaut Sulawesi, Sumatera, Jawa, Sumbawa. Ada juga nelayan Sulawesi yang akhirnya menetap di Flores karena kerap bertualang di laut. Ada tanah kosong di pinggir laut, lantas mereka mendirikan rumah di situ. Akhirnya, muncul banyak kampung-kampung khusus Islam di beberapa pesisir Flores Timur.
Berbeda dengan Islam jenis pertama (asli Flores), golongan kedua ini benar-benar pelaut sejati. Di beberapa tempat, rumah mereka bahkan dibuat di atas laut. Karena tak punya tanah, namanya juga pendatang, mereka tidak bisa bertani. Kerjanya hanya mengandalkan hasil laut, tangkap ikan, serta berdagang.
Maka, komunitas Islam pesisir ini sangat solid dan homogen di pesisir. Kampung Lamahala di Adonara Timur dan Lamakera di Solor Timur merupakan contoh kampung Islam pesisir khas Flores Timur. Di Kampung Baru serta sebagian Postoh (Kota Larantuka) pun ada kampung khusus Islam pesisir.
Mereka ini menggunakan bahasa daerah Flores Timur, namanya Bahasa LAMAHOLOT, dengan dialek sangat khas. Perempuannya cantik-cantik, rambut lurus… karena itu tadi, nenek moyangnya dari Sulawesi, Sumatera, Jawa. Tapi ada juga yang agak hitam, sedikit keriting, karena menikah dengan penduduk asli yang masuk Islam.
Karena tinggal di pantai (bahasa daerahnya: WATAN), di Flores Timur umat Islam disebut WATANEN alias orang pantai. Sebaliknya, orang Katolik disebut KIWANEN, dari kata KIWAN alias gunung. WATANEN mencari ikan, KIWANEN bertani, hasilnya bisa barter untuk mencukupi kebutuhan orang Flores Timur. Jadi, kedua kelompok ini, WATANEN-KIWANEN tak bisa dipisahkan meskipun berbeda agama.
Oh, ya, karena tak bisa bertani (wong, nggak punya tanah), mereka tumbuh sebagai pedagang-pedagang yang tekun dan berhasil. Saya bisa pastikan, pasar-pasar Inpres di Flores Timur hampir dikuasai secara mutlak oleh muslim pesisir. Mereka juga punya banyak armada kapal laut antarpulau yang menghubungkan pulau-pulau di Flores Timur, Nusatenggara Timur, bahkan Indonesia.
Saat berada di Jawa, saya senang dengan teman-teman Islam pesisir, khususnya Lamahala, kalau diminta main bola memperkuat tim mahasiswa Flores Timur. Militansinya tinggi, nekat, pantang menyerah… dan sedikit ‘nakal’. Saking getol membela Flores Timur, teman-teman muslim ini tak segan-segan berkelahi manakala dicurangi wasit atau pemain lawan.
Pemain-pemain bola muslim Flores ini juga sejak dulu menjadi andalan PS Flores Timur, khususnya penjaga gawang. “Mungkin karena sering menangkap ikan, jadi pandai menangkap bola juga,” begitu saya menggoda Taslim Atanggae, teman asal Lamahala, yang jago kiper.
“Jangan lupa main-main ke rumah ya? Biar saya bisa omong bahasa daerah dengan kamu. Di sini semuanya orang Jawa,” kata Ahmad Wahab, asli Lamahala, yang kini tinggal di pelosok Sukodono, Kabupaten Sidoarjo.
Orang Lamahala memang bangga dengan bahasa daerahnya, Lamaholot, dengan dialek khas dan keras. Teman-teman muslim pesisir yang sangat taat beragama ini selalu membuat saya, orang KIWAN alias Katolik, bahagia.
Berbeda dengan komunitas pertama dan kedua, komunitas ketiga ini pendatang baru dalam arti sebenarnya. Mereka datang, bekerja, dan menetap di Flores Timur, menyusul gerakan transmigrasi pada era 1970-an, 1980-an… sampai sekarang. Ada juga yang pegawai negeri sipil, pegawai swasta, profesional yang bekerja di Flores.
Mereka tak punya kampung seperti muslim asli dan muslim pesisir. Kampungnya ya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan seterusnya. Kalau Lebaran, mereka ramai-ramai pulang ke kampung untuk silaturahmi dengan keluarganya. Sebaliknya, orang Islam jenis satu dan dua ramai-ramai pulang ke Flores Timur karena orang tua, keluarga besar, memang di Flores Timur.
Komunitas ketiga ini juga tak bisa berbahasa daerah seperti orang Lamahala atau Lamakera. Bahasanya, ya, bahasa Jawa, bahasa Betawi, bahasa Padang, dan seterusnya. Komunikasi dengan penduduk lokal, tentu saja, dengan bahasa Indonesia. “Terima kasih untuk bahasa Indonesia,” mengutip pujangga favorit saya, Pramoedya Ananta Tour.
Namun, berbeda dengan Islam pesisir (WATANEN) yang hanya tinggal di kampung-kampung khusus Islam, muslim pendatang baru ini sangat fleksibel. Mereka bisa tinggal di mana saja: kampung Islam, kampung Katolik, pantai, pegunungan, pelosok, kota. Luar biasa luwes!
Dokter Puskesmas (PTT), guru-guru SMA/SMP negeri, tentara, polisi, asal Jawa dikenal sebagai muslim pendatang yang sangat luwes. Saking luwesnya, kerap kali mereka kecantol dengan gadis lokal (Flores Timur, non-Islam) lalu menikah. Pernikahan semacam ini hampir ‘mustahil’ dilakukan oleh komunitas muslim pesisir alias jenis kedua.
Teman-teman Islam jenis ketiga (muslim pendatang baru), bagi saya, punya nilai tersendiri bagi kami di Flores Timur. Kenapa? Mereka membuktikan bahwa masyarakat itu bisa tinggal berbaur di mana saja, bertetangga dengan siapa saja, apa pun agamanya. Segregasi alias pemisahan permukiman penduduk atas dasar agama berhasil ‘diterobos’ oleh muslim pendatang baru.
III. Masyarakat Islam pendatang baru
Nah, komunitas Islam pendatang baru ini mirip Islam jenis pertama, hanya saja tak punya kampung di Flores Timur.
Zaman makin maju. Orang Flores merantau ke mana-mana. Sehingga, tentu saja, komposisi masyarakat akan terus berubah, termasuk tiga jenis Islam ala Flores Timur ini.
Sumber: http://hurek.blogspot.com
I. Masyarakat Islam asli Flores
Latar belakang mereka sama-sama penduduk bumiputra yang mula-mula menganut ‘agama asli’ atau meminjam istilah Bung Karno ‘orang kafir’. Dalam buku sejarah, agama asli biasa disebut animisme-dinamisme. Ketika datang agama baru, entah Katolik atau Islam, penduduk mulai konversi alias pindah agama. Agama asli identik dengan kekolotan atau primitivisme karena terkait erat dengan dukun-dukun serta kepercayaan alam gaib yang sulit berterima di alam moderen.
Karena sama-sama asli Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan, jemaat Islam ini benar-benar menyatu dengan umat Katolik atau penganut agama asli. Sama-sama diikat oleh adat, budaya, serta keturunan yang sama. Kalau diusut-usut, golongan ini punya hubungan darah yang sangat erat.
Fam atau marga saya, Hurek Making, misalnya, banyak yang menganut Islam. Bapak Muhammad Kotak Hurek bahkan jadi takmir Masjid Nurul Jannah di kampung. Muhammad Anshar Paokuma, keluarga dekat dari pihak ibu saya, malah imam masjid tersebut. Hubungan persaudaraan erat luar biasa.
Bedanya: umat Islam tidak makan daging babi dan anjing, sementara saudara-saudaranya non-Islam sangat doyan. Kalau ada pesta, saudara-saudara muslim ini ‘wajib’ menyiapkan daging khusus untuk kaum muslim, mulai dari menyembelih kambing, memasak, hingga siap saji di meja makan. Tradisi lokal ini untuk menjaga agar makanan itu terjamin kehalalannya.
Pak Hamid, juga masih kerabat saya, dikenal sebagai tukang jagal kambing dan sapi paling top. Begitu tahu bahwa daging kambing itu disembelih oleh Pak Hamid, saudara-saudara muslim itu pun menyantap dengan nikmat.
II. Masyarakat Islam pesisir
Mereka ini campuran antara pendatang dan penduduk asli yang sudah bercampur-baur secara turun-temurun. Disebut pesisir–ini istilah saya saja–karena tinggalnya di pesisir, bekerja sebagai nelayan ulung. Selain itu, mereka pedagang ‘papalele’ hingga pedagang besar.
Mereka ini menganut Islam berkat dakwah para pedagang atau pelaut Sulawesi, Sumatera, Jawa, Sumbawa. Ada juga nelayan Sulawesi yang akhirnya menetap di Flores karena kerap bertualang di laut. Ada tanah kosong di pinggir laut, lantas mereka mendirikan rumah di situ. Akhirnya, muncul banyak kampung-kampung khusus Islam di beberapa pesisir Flores Timur.
Berbeda dengan Islam jenis pertama (asli Flores), golongan kedua ini benar-benar pelaut sejati. Di beberapa tempat, rumah mereka bahkan dibuat di atas laut. Karena tak punya tanah, namanya juga pendatang, mereka tidak bisa bertani. Kerjanya hanya mengandalkan hasil laut, tangkap ikan, serta berdagang.
Maka, komunitas Islam pesisir ini sangat solid dan homogen di pesisir. Kampung Lamahala di Adonara Timur dan Lamakera di Solor Timur merupakan contoh kampung Islam pesisir khas Flores Timur. Di Kampung Baru serta sebagian Postoh (Kota Larantuka) pun ada kampung khusus Islam pesisir.
Mereka ini menggunakan bahasa daerah Flores Timur, namanya Bahasa LAMAHOLOT, dengan dialek sangat khas. Perempuannya cantik-cantik, rambut lurus… karena itu tadi, nenek moyangnya dari Sulawesi, Sumatera, Jawa. Tapi ada juga yang agak hitam, sedikit keriting, karena menikah dengan penduduk asli yang masuk Islam.
Karena tinggal di pantai (bahasa daerahnya: WATAN), di Flores Timur umat Islam disebut WATANEN alias orang pantai. Sebaliknya, orang Katolik disebut KIWANEN, dari kata KIWAN alias gunung. WATANEN mencari ikan, KIWANEN bertani, hasilnya bisa barter untuk mencukupi kebutuhan orang Flores Timur. Jadi, kedua kelompok ini, WATANEN-KIWANEN tak bisa dipisahkan meskipun berbeda agama.
Oh, ya, karena tak bisa bertani (wong, nggak punya tanah), mereka tumbuh sebagai pedagang-pedagang yang tekun dan berhasil. Saya bisa pastikan, pasar-pasar Inpres di Flores Timur hampir dikuasai secara mutlak oleh muslim pesisir. Mereka juga punya banyak armada kapal laut antarpulau yang menghubungkan pulau-pulau di Flores Timur, Nusatenggara Timur, bahkan Indonesia.
Saat berada di Jawa, saya senang dengan teman-teman Islam pesisir, khususnya Lamahala, kalau diminta main bola memperkuat tim mahasiswa Flores Timur. Militansinya tinggi, nekat, pantang menyerah… dan sedikit ‘nakal’. Saking getol membela Flores Timur, teman-teman muslim ini tak segan-segan berkelahi manakala dicurangi wasit atau pemain lawan.
Pemain-pemain bola muslim Flores ini juga sejak dulu menjadi andalan PS Flores Timur, khususnya penjaga gawang. “Mungkin karena sering menangkap ikan, jadi pandai menangkap bola juga,” begitu saya menggoda Taslim Atanggae, teman asal Lamahala, yang jago kiper.
“Jangan lupa main-main ke rumah ya? Biar saya bisa omong bahasa daerah dengan kamu. Di sini semuanya orang Jawa,” kata Ahmad Wahab, asli Lamahala, yang kini tinggal di pelosok Sukodono, Kabupaten Sidoarjo.
Orang Lamahala memang bangga dengan bahasa daerahnya, Lamaholot, dengan dialek khas dan keras. Teman-teman muslim pesisir yang sangat taat beragama ini selalu membuat saya, orang KIWAN alias Katolik, bahagia.
Berbeda dengan komunitas pertama dan kedua, komunitas ketiga ini pendatang baru dalam arti sebenarnya. Mereka datang, bekerja, dan menetap di Flores Timur, menyusul gerakan transmigrasi pada era 1970-an, 1980-an… sampai sekarang. Ada juga yang pegawai negeri sipil, pegawai swasta, profesional yang bekerja di Flores.
Mereka tak punya kampung seperti muslim asli dan muslim pesisir. Kampungnya ya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan seterusnya. Kalau Lebaran, mereka ramai-ramai pulang ke kampung untuk silaturahmi dengan keluarganya. Sebaliknya, orang Islam jenis satu dan dua ramai-ramai pulang ke Flores Timur karena orang tua, keluarga besar, memang di Flores Timur.
Komunitas ketiga ini juga tak bisa berbahasa daerah seperti orang Lamahala atau Lamakera. Bahasanya, ya, bahasa Jawa, bahasa Betawi, bahasa Padang, dan seterusnya. Komunikasi dengan penduduk lokal, tentu saja, dengan bahasa Indonesia. “Terima kasih untuk bahasa Indonesia,” mengutip pujangga favorit saya, Pramoedya Ananta Tour.
Namun, berbeda dengan Islam pesisir (WATANEN) yang hanya tinggal di kampung-kampung khusus Islam, muslim pendatang baru ini sangat fleksibel. Mereka bisa tinggal di mana saja: kampung Islam, kampung Katolik, pantai, pegunungan, pelosok, kota. Luar biasa luwes!
Dokter Puskesmas (PTT), guru-guru SMA/SMP negeri, tentara, polisi, asal Jawa dikenal sebagai muslim pendatang yang sangat luwes. Saking luwesnya, kerap kali mereka kecantol dengan gadis lokal (Flores Timur, non-Islam) lalu menikah. Pernikahan semacam ini hampir ‘mustahil’ dilakukan oleh komunitas muslim pesisir alias jenis kedua.
Teman-teman Islam jenis ketiga (muslim pendatang baru), bagi saya, punya nilai tersendiri bagi kami di Flores Timur. Kenapa? Mereka membuktikan bahwa masyarakat itu bisa tinggal berbaur di mana saja, bertetangga dengan siapa saja, apa pun agamanya. Segregasi alias pemisahan permukiman penduduk atas dasar agama berhasil ‘diterobos’ oleh muslim pendatang baru.
III. Masyarakat Islam pendatang baru
Nah, komunitas Islam pendatang baru ini mirip Islam jenis pertama, hanya saja tak punya kampung di Flores Timur.
Zaman makin maju. Orang Flores merantau ke mana-mana. Sehingga, tentu saja, komposisi masyarakat akan terus berubah, termasuk tiga jenis Islam ala Flores Timur ini.
Sumber: http://hurek.blogspot.com
Selasa, Januari 26, 2010
GAIRAH ISLAM KOTA ATAMBUA NTT
Terbentuknya Kajian Salaf di Kota Atambua - NTT, bermula dari keberadaan Al Akh Luqman Abu Royyan, sekembalinya beliau dari menuntut ilmu di Yogya, yang pada akhir tahun 2006 kemudian kembali ke kampung halamannya dan memperkenalkan dakwah salafiyah ini ke beberapa ikhwan yang memiliki ketertarikan untuk berjalan di atas manhaj yang haq. Berhubung kondisi serta sarana dan prasarana yang belum memadai – disamping jadwal kerja yang cukup padat dari sebagian ikhwan salafiyyin yang mayoritas adalah pegawai pemerintah— sehingga dakwah ini belum dapat berjalan dengan lancar. Sebagian waktu yang lowong di sela-sela kesibukan, kami gunakan untuk diskusi masalah agama dan ta’lim bahasa Arab oleh ikhwan yang memiliki kemampuan.
Karena terkendala dengan tidak adanya du’at salafiyyin di kota kami, padahal gairah menuntut ilmu dari ikhwah Atambua yang cukup tinggi, maka terbersit ide dari kami untuk mengadakan kajian via phone (kajian melalui sambungan handphone). Dengan berbekal pengalaman Al Akh Luqman yang cukup kenal dengan sejumlah ikhwan dan asatidzah salafiyyin di Jawa dan di beberapa daerah lainnya, maka Alhamdulillah ide ini pun dapat terlaksana.
Kajian via phone bukan tanpa kendala. Banyak rintangan yang menghadang, termasuk dari sejumlah masyarakat yang tidak senang dengan dakwah ini. Alhamdulillah, Allah Azza Wa Jalla masih memberikan jalan bagi kami untuk menegakkan sunnah di daerah kami yang minoritas muslim ini. Meski Ta’lim/ Kajian hanya dapat dilakukan seadanya dengan via phone karena terkendala jarak yang jauh, namun kenikmatan menuntut ilmu akhirnya dapat terpenuhi. Kajian yang pada awalnya hanya diikuti oleh segelintir ikhwah, kini perlahan-lahan masyarakat awam pun mulai tertarik dan mengenal dakwah ini.
Semoga Allah berkenan untuk menjaga kami agar tetap istoqomah dan ikhlas dalam menuntut ilmu, terutama lagi kami berharap agar suatu saat nanti ada ustadz yang mau berkenan untuk datang langsung ke daerah kami dalam rangka menyebarkan dakwah, sehingga kami dapat duduk langsung berhadapan, untuk mengambil faedah di halaqah-halaqah ilmu.
Jadwal Ta’lim Kota Atambua, Kab. Belu - NTT
Waktu :
Pekan ke 1 tiap bulan
Pemateri : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed (Murid Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Ustaimin)
Materi : Manhaj
Lokasi : Masjid Sakinah, Wehali – Atambua
Pekan ke 3 tiap bulan
Pemateri : Ustadz Ali Abbas (Murid Syaikh Muqbil Bin Hadi Al-Wadi’y dan Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuury dari Dammaj, Yaman)
Materi : Aqidah
Lokasi : Masjid Sakinah, Wehali – Atambua
Pekan ke 2 dan 4 tiap bulan
Pemateri : Ustadz Muh. Afifuddin
Materi : Kutubus Sittah
Lokasi : Rumah Ikhwah di Kec. Kota Atambua
Pemateri : Ustadz Abu Rifa’a
Materi : Fiqh
Lokasi : Rumah Ikhwah di Kec. Kota Atambua
NB : Jadwal Kajian dan Asatidzah pengisi Materi dapat berubah sewaktu-waktu
Informasi :
Abu Royyan Luqman, HP: 085239443572 (Koordinator Kajian)
Abu Hafizh Ainul Chudori, HP: 085253152405
Abu Rosyid, HP: 081524266282
_______________________________________________________
http://www.ende-islam.co.id
Karena terkendala dengan tidak adanya du’at salafiyyin di kota kami, padahal gairah menuntut ilmu dari ikhwah Atambua yang cukup tinggi, maka terbersit ide dari kami untuk mengadakan kajian via phone (kajian melalui sambungan handphone). Dengan berbekal pengalaman Al Akh Luqman yang cukup kenal dengan sejumlah ikhwan dan asatidzah salafiyyin di Jawa dan di beberapa daerah lainnya, maka Alhamdulillah ide ini pun dapat terlaksana.
Kajian via phone bukan tanpa kendala. Banyak rintangan yang menghadang, termasuk dari sejumlah masyarakat yang tidak senang dengan dakwah ini. Alhamdulillah, Allah Azza Wa Jalla masih memberikan jalan bagi kami untuk menegakkan sunnah di daerah kami yang minoritas muslim ini. Meski Ta’lim/ Kajian hanya dapat dilakukan seadanya dengan via phone karena terkendala jarak yang jauh, namun kenikmatan menuntut ilmu akhirnya dapat terpenuhi. Kajian yang pada awalnya hanya diikuti oleh segelintir ikhwah, kini perlahan-lahan masyarakat awam pun mulai tertarik dan mengenal dakwah ini.
Semoga Allah berkenan untuk menjaga kami agar tetap istoqomah dan ikhlas dalam menuntut ilmu, terutama lagi kami berharap agar suatu saat nanti ada ustadz yang mau berkenan untuk datang langsung ke daerah kami dalam rangka menyebarkan dakwah, sehingga kami dapat duduk langsung berhadapan, untuk mengambil faedah di halaqah-halaqah ilmu.
Jadwal Ta’lim Kota Atambua, Kab. Belu - NTT
Waktu :
Pekan ke 1 tiap bulan
Pemateri : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed (Murid Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Ustaimin)
Materi : Manhaj
Lokasi : Masjid Sakinah, Wehali – Atambua
Pekan ke 3 tiap bulan
Pemateri : Ustadz Ali Abbas (Murid Syaikh Muqbil Bin Hadi Al-Wadi’y dan Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuury dari Dammaj, Yaman)
Materi : Aqidah
Lokasi : Masjid Sakinah, Wehali – Atambua
Pekan ke 2 dan 4 tiap bulan
Pemateri : Ustadz Muh. Afifuddin
Materi : Kutubus Sittah
Lokasi : Rumah Ikhwah di Kec. Kota Atambua
Pemateri : Ustadz Abu Rifa’a
Materi : Fiqh
Lokasi : Rumah Ikhwah di Kec. Kota Atambua
NB : Jadwal Kajian dan Asatidzah pengisi Materi dapat berubah sewaktu-waktu
Informasi :
Abu Royyan Luqman, HP: 085239443572 (Koordinator Kajian)
Abu Hafizh Ainul Chudori, HP: 085253152405
Abu Rosyid, HP: 081524266282
_______________________________________________________
http://www.ende-islam.co.id
Rabu, Januari 20, 2010
PELAJARAN NASIHAT DAN PENCERAHAN
Pada suatu hari sahabat Abu Darda melihat sekelompok orang ramai-ramai sedang memukuli dan memaki-maki seseorang. Abu Darda kaget seraya bertanya, ''Kenapa dengan orang itu?'' Jawab mereka, ''Ia penjahat dan pendosa besar, Tuan.'' Lalu, Abu Darda bertanya lagi, ''Kalau ia jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan?'' Jawab mereka, ''Kami akan mengeluarkannya tuan.''
Mendengar jawaban mereka itu, Abu Darda berpesan. Katanya, ''Kalau begitu, jangan siksa dia, tapi berikan kepadanya pelajaran, nasihat, dan pencerahan.'' Rupanya, mereka mengikuti pesan Abu Darda. Mereka semua berhenti memukuli dan memaki sang penjahat dan pendosa itu. Yang terakhir inipun menangis tersedu-sedu, menyatakan tobat dan menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran berharga tentang metode dan pendekatan dakwah (manhaj al-da`wah). Paling tidak, ada tiga hal pokok yang bisa dipahami dari manhaj al-da`wah Abu Darda. Pertama, dakwah hendaknya dilakukan dengan kearifan (bi al-hikmah).
Kata hikmah memiliki makna dasar al-man`u, yaitu tercegah dari keburukan. Hikmah juga bermakna pemikiran mendalam, tepat, benar, atau mencapai kebenaran melalui ilmu dan amal. Menurut Sayyid Quthub, dakwah dengan hikmah bermakna dakwah dengan tingkat ketepatan yang tinggi dilihat dari segi materi, metode, dan waktu yang dipergunakan, sehingga kemungkinan dan peluang keberhasilannya menjadi besar.
Kedua, mencegah kemungkaran tidak boleh dengan kemungkaran pula, tetapi harus dengan kebaikan, melalui nasihat yang baik dan melalui dialog yang terbaik. Hal ini, karena Islam mengajarkan agar keburukan tak dilawan dengan keburukan serupa, tapi dengah kebaikan.
Firman-Nya, ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (QS Fushshilat [41]: 34).
Ketiga, para dai selain memerhatikan proses harus pula peduli pada pengaruh dakwah. Dalam realitas dakwah, aspek yang satu ini sering diabaikan. Banyak orang, kalau sudah naik mimbar, memberi orasi. Mereka merasa telah selesai melaksanakan tugas dakwah, tanpa perlu tahu apakah dakwah yang disampaikan didengar dan diterima oleh khalayak atau tidak?
Dakwah dinilai efektif manakala khalayak memahami pesan dakwah yang disampaikan, lalu daya tarik (rasa cinta), dan puncaknya perubahan sikap dan prilaku mereka seperti dakwah sahabat Abu Darda dalam kisah di atas.
Mendengar jawaban mereka itu, Abu Darda berpesan. Katanya, ''Kalau begitu, jangan siksa dia, tapi berikan kepadanya pelajaran, nasihat, dan pencerahan.'' Rupanya, mereka mengikuti pesan Abu Darda. Mereka semua berhenti memukuli dan memaki sang penjahat dan pendosa itu. Yang terakhir inipun menangis tersedu-sedu, menyatakan tobat dan menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran berharga tentang metode dan pendekatan dakwah (manhaj al-da`wah). Paling tidak, ada tiga hal pokok yang bisa dipahami dari manhaj al-da`wah Abu Darda. Pertama, dakwah hendaknya dilakukan dengan kearifan (bi al-hikmah).
Kata hikmah memiliki makna dasar al-man`u, yaitu tercegah dari keburukan. Hikmah juga bermakna pemikiran mendalam, tepat, benar, atau mencapai kebenaran melalui ilmu dan amal. Menurut Sayyid Quthub, dakwah dengan hikmah bermakna dakwah dengan tingkat ketepatan yang tinggi dilihat dari segi materi, metode, dan waktu yang dipergunakan, sehingga kemungkinan dan peluang keberhasilannya menjadi besar.
Kedua, mencegah kemungkaran tidak boleh dengan kemungkaran pula, tetapi harus dengan kebaikan, melalui nasihat yang baik dan melalui dialog yang terbaik. Hal ini, karena Islam mengajarkan agar keburukan tak dilawan dengan keburukan serupa, tapi dengah kebaikan.
Firman-Nya, ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (QS Fushshilat [41]: 34).
Ketiga, para dai selain memerhatikan proses harus pula peduli pada pengaruh dakwah. Dalam realitas dakwah, aspek yang satu ini sering diabaikan. Banyak orang, kalau sudah naik mimbar, memberi orasi. Mereka merasa telah selesai melaksanakan tugas dakwah, tanpa perlu tahu apakah dakwah yang disampaikan didengar dan diterima oleh khalayak atau tidak?
Dakwah dinilai efektif manakala khalayak memahami pesan dakwah yang disampaikan, lalu daya tarik (rasa cinta), dan puncaknya perubahan sikap dan prilaku mereka seperti dakwah sahabat Abu Darda dalam kisah di atas.
MENYISIR KAMPUNG NELAYAN ISLAM TAPIL SUMBA TIMUR NTT
Tapil memang tidak setenar tempat lain di Sumba Timur. Tapil hanya merupakan sebuah perkampungan nelayan di pesisir pantai Rindi. Lahirnya perkampungan ini atas budi baik Raja Praiawang Rende, Umbu Rara Lunggi. Hanya karena ikatan persahabatn yang begitu erat dengan Umar Tata Nabasiah (Haji Bugis), saudagar asal Bugis-Mandar, Sulawesi Selatan, yang saat itu menikah dengan perempuan bangsawan Sumba bernama Rambu Kahi, Raja Rende, Umbu Rara Lunggi menyerahkan sebagian tanah yang menjadi wilayah kekuasaannya di pesisir pantai Rindi kepada Raja Bugis pada tanggal 23 Mei 1924.
Haider Arsit, keturunan ketiga dari Umar Tata atau Raja Bugis, menuturkan, dari perkawinannya dengan prempuan Sumba, Umar Tata atau yang dikenal dengan nama Haji Bugis lahir lima orang anak, satu diantaranya lelaki bernama Abdullah. Abdullah ini lah yang menempati Kampung Tapil sedangkan empat saudara perempuannya memilih menetap di Melolo. Abdullah memiliki empat orang teman, masing-masing Usman, Rahi Sumba, Umbu Djawa Tanya dan Baso Daeng Nggiling. Bersama empat temannya, Abdullah yang saat itu menikah dengan perempuan Sumba keturunan Sabu bernama Tali Ngahu, membangun Tapil menjadi sebuah perkampungan Islam yang sangat religius.
Dari perkawainannya dengan perempuan Sumba asal Sabu itu, Abdullah dikaruniai lima orang anak, satu perempuan dan empat orang laki-laki. Keturunan Abdullah inilah yang saat ini mendiami Tapil. Dari catatan pemerintahan desa setempat, saat ini di perkampungan tersebut didiami 42 KK dengan 203 jiwa. Mereka ada yang keturunan asli Umar Tata atau Raja Bugis, ada juga para mualaf (orang yang baru masuk Islam), baik karena perkawinan atau karena keinginan sendiri.
Seiring dengan perkembangannya menjadi sebuah perkampungan Islam, maka tahun 1982, di masa kepemimpinan Bupati Sumba Timur, Lapoemoekoe, didirikan sebuah Masjid di Kampung tersebut yang diberi nama Masjid Al Ikhlas Tapil. Masjid tersebut baru direhab lagi pada tahun 2007 lalu.
Selain suasana kampung yang cukup religius, Tapil menyimpan potensi lain yang luar biasa. Seperti daerah pesisir lainnya. Masyarakat Tapil hidup mencari nafkah di laut sebagai nelayan selain dari kelapa sebagai cadangan. Tapil dikenal karena makanan lautnya lezat. Jika Anda termasuk orang yang baru pertama berkunjung ke tempat ini, anda pasti betah.
Selain panorama alamnya yang indah dengan pasir putih, pantai ini bisa menjadi pilihan alternatif bagi keluarga untuk menyaksikan indahnya matahari tenggelam di sore hari. Yang lebih menarik lagi makanan lautnya, terutama kepiting. Cara memasaknya sederhana dengan bumbu santan. Tapi rasanya luar biasa lezat karena kondisi ikan atau kepiting yang masih segar tanpa pengawet dan tanpa es. Di sini, para pengunjung juga dimanjakan dengan makanan laut lainnya seperti siput dan kerang.
Para pengunjung juga bisa mencari sendiri kerang atau siput karena dua binatang laut ini cukup banyak di pantai Tapil. Ditambah lagi air kelapa muda segar yang baru dipetik langsung dari pohonnya.
Kita semakin dimanjakan berada di tempat ini , karena masyarakatnya cukup ramah. Cuma satu hal yang menjadi keprihatinan masyarakat Tapil adalah krisis air tawar. Mereka harus berjalan sekitar satu mil untuk mendapatkan air tawar. Dengan jarak yang cukup jauh, air tawar hanya dipakai untuk minum. Sedangkan mandi dan cuci masyarakat terpaksa menggunakan air payau. Penasaran dengan lezatnya aneka masakan makanan laut Tapil, silakan berkunjung ke tempat ini.
Haider Arsit, keturunan ketiga dari Umar Tata atau Raja Bugis, menuturkan, dari perkawinannya dengan prempuan Sumba, Umar Tata atau yang dikenal dengan nama Haji Bugis lahir lima orang anak, satu diantaranya lelaki bernama Abdullah. Abdullah ini lah yang menempati Kampung Tapil sedangkan empat saudara perempuannya memilih menetap di Melolo. Abdullah memiliki empat orang teman, masing-masing Usman, Rahi Sumba, Umbu Djawa Tanya dan Baso Daeng Nggiling. Bersama empat temannya, Abdullah yang saat itu menikah dengan perempuan Sumba keturunan Sabu bernama Tali Ngahu, membangun Tapil menjadi sebuah perkampungan Islam yang sangat religius.
Dari perkawainannya dengan perempuan Sumba asal Sabu itu, Abdullah dikaruniai lima orang anak, satu perempuan dan empat orang laki-laki. Keturunan Abdullah inilah yang saat ini mendiami Tapil. Dari catatan pemerintahan desa setempat, saat ini di perkampungan tersebut didiami 42 KK dengan 203 jiwa. Mereka ada yang keturunan asli Umar Tata atau Raja Bugis, ada juga para mualaf (orang yang baru masuk Islam), baik karena perkawinan atau karena keinginan sendiri.
Seiring dengan perkembangannya menjadi sebuah perkampungan Islam, maka tahun 1982, di masa kepemimpinan Bupati Sumba Timur, Lapoemoekoe, didirikan sebuah Masjid di Kampung tersebut yang diberi nama Masjid Al Ikhlas Tapil. Masjid tersebut baru direhab lagi pada tahun 2007 lalu.
Selain suasana kampung yang cukup religius, Tapil menyimpan potensi lain yang luar biasa. Seperti daerah pesisir lainnya. Masyarakat Tapil hidup mencari nafkah di laut sebagai nelayan selain dari kelapa sebagai cadangan. Tapil dikenal karena makanan lautnya lezat. Jika Anda termasuk orang yang baru pertama berkunjung ke tempat ini, anda pasti betah.
Selain panorama alamnya yang indah dengan pasir putih, pantai ini bisa menjadi pilihan alternatif bagi keluarga untuk menyaksikan indahnya matahari tenggelam di sore hari. Yang lebih menarik lagi makanan lautnya, terutama kepiting. Cara memasaknya sederhana dengan bumbu santan. Tapi rasanya luar biasa lezat karena kondisi ikan atau kepiting yang masih segar tanpa pengawet dan tanpa es. Di sini, para pengunjung juga dimanjakan dengan makanan laut lainnya seperti siput dan kerang.
Para pengunjung juga bisa mencari sendiri kerang atau siput karena dua binatang laut ini cukup banyak di pantai Tapil. Ditambah lagi air kelapa muda segar yang baru dipetik langsung dari pohonnya.
Kita semakin dimanjakan berada di tempat ini , karena masyarakatnya cukup ramah. Cuma satu hal yang menjadi keprihatinan masyarakat Tapil adalah krisis air tawar. Mereka harus berjalan sekitar satu mil untuk mendapatkan air tawar. Dengan jarak yang cukup jauh, air tawar hanya dipakai untuk minum. Sedangkan mandi dan cuci masyarakat terpaksa menggunakan air payau. Penasaran dengan lezatnya aneka masakan makanan laut Tapil, silakan berkunjung ke tempat ini.
Senin, Januari 18, 2010
PROFIL YAYASAN AL-AMIN WATU LENDO LEMBOR MANGGARAI NTT
Kepala Ibrahim Baharu tertunduk, dari pelupuk matanya nampak terlihat jelas bulir-bulir air matanya membasahi pipinya yang sudah mulai keriput. Tidak hanya pipinya yang di basahi air mata, tikar tempatnya dudukpun di tetesi air mata. “Tolonglah kami pak, ajarilah kami agama. Kami tidak memiliki masjid untuk shalat dan mengaji, anak cucu kami sudah banyak yang keluar dari Islam, anak-anak kami sudah banyak yang putus sekolah,” ungkapnya.
Inilah yang terjadi di Desa Golo Ronggot, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, ketika kami mengunjungi daerah tersebut. Suatu kondisi yang sangat menyedihkan dan tak terbantahkan adanya. Kini, umat Islam di Datak Desa Golo Ronggot di hadapkan dengan ancaman pemurtadan. Ini terbukti dalam satu kepala keluarga (KK) terdapat dua atau tiga orang yang sudah keluar dari Islam. Tidak adanya pembinaan keagamaan merupakan faktor utama membuat mereka jauh dari ajaran Islam, di samping gencarnya upaya Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris.
Subhanallah, terpancar dari wajah mereka semangat yang membara untuk mempelajari Islam. Tentu, semangat ini akan pudar manakala kita tidak menjemputnya. Sekarang umat Islam di Datak, Desa Golo Ronggot, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat – NTT yang masih berdiri di atas landasan tauhid yang benar hanya lima kepala keluarga 19 jiwa. Itupun sudah tua renta. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda bila di bandingkan puluhan tahun yang lalu berjumlah ratusan KK.
Menyadari kondisi umat Islam di Datak, Desa Golo Ronggot tersebut. Marilah kita menggerakkan hati guna meringankan beban mereka dengan menyisihkan sebagian rezeki yang kita miliki untuk meringankan beban mereka serta menyelamatkan mereka dari ancaman permurtadan yang terus di lakukan oleh para misionaris.
Untuk menunjang pembinaan keagamaan di daerah tersebut, kini sedang dibangun masjid yang cukup sederhana berukuran 5 x 6 m, sebagai pusat pembinaan umat. Yang pasti saat ini mereka butuh al Qur’an dan Iqro’ untuk belajar mengaji, mereka butuh sajadah dan mukenah untuk shalat serta bantuan untuk mempercepat proses pembangunan masjid tersebut. Di samping itu, mereka juga butuh bantuan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, generasi penerus dakwah di daerah tersebut. Dan kami masih kesulitan untuk mencari donatur tetap untuk membiayai pendidikan anak-anak di Datak, Desa Golo Ronggot, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat NTT.
(Sumardi,Ketua Yayasan Al-Amin Watu Lendo, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat-NTT)
Inilah yang terjadi di Desa Golo Ronggot, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, ketika kami mengunjungi daerah tersebut. Suatu kondisi yang sangat menyedihkan dan tak terbantahkan adanya. Kini, umat Islam di Datak Desa Golo Ronggot di hadapkan dengan ancaman pemurtadan. Ini terbukti dalam satu kepala keluarga (KK) terdapat dua atau tiga orang yang sudah keluar dari Islam. Tidak adanya pembinaan keagamaan merupakan faktor utama membuat mereka jauh dari ajaran Islam, di samping gencarnya upaya Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris.
Subhanallah, terpancar dari wajah mereka semangat yang membara untuk mempelajari Islam. Tentu, semangat ini akan pudar manakala kita tidak menjemputnya. Sekarang umat Islam di Datak, Desa Golo Ronggot, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat – NTT yang masih berdiri di atas landasan tauhid yang benar hanya lima kepala keluarga 19 jiwa. Itupun sudah tua renta. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda bila di bandingkan puluhan tahun yang lalu berjumlah ratusan KK.
Menyadari kondisi umat Islam di Datak, Desa Golo Ronggot tersebut. Marilah kita menggerakkan hati guna meringankan beban mereka dengan menyisihkan sebagian rezeki yang kita miliki untuk meringankan beban mereka serta menyelamatkan mereka dari ancaman permurtadan yang terus di lakukan oleh para misionaris.
Untuk menunjang pembinaan keagamaan di daerah tersebut, kini sedang dibangun masjid yang cukup sederhana berukuran 5 x 6 m, sebagai pusat pembinaan umat. Yang pasti saat ini mereka butuh al Qur’an dan Iqro’ untuk belajar mengaji, mereka butuh sajadah dan mukenah untuk shalat serta bantuan untuk mempercepat proses pembangunan masjid tersebut. Di samping itu, mereka juga butuh bantuan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, generasi penerus dakwah di daerah tersebut. Dan kami masih kesulitan untuk mencari donatur tetap untuk membiayai pendidikan anak-anak di Datak, Desa Golo Ronggot, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat NTT.
(Sumardi,Ketua Yayasan Al-Amin Watu Lendo, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat-NTT)
Selasa, Januari 12, 2010
MANUSIA DAN AKAL
Manusia adalah salah satu makhluk yang diciptakan Allah SWT di samping makhluk-makhluk lain ciptaan-Nya. Di samping adanya perbedaan yang sangat mendasar antara penciptaan binatang dan manusia, ternyata masih ada kesamaan di antara keduanya. Kesamaannya, masing-masing baik binatang maupun manusia itu diciptakan secara fitrah memiliki kecenderungan memenuhi kebutuhan hawa nafsu. Adapun perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya adalah dalam proses pemenuhan hawa nafsu.
Binatang, oleh karena mereka tidak diberi akal maka naluri kecenderungan pemenuhan hawa nafsunya hanya sebatas fitrahnya. Misalnya, bila lapar lantas mereka pun akan segera mencari makanan untuk dimakan. Setelah kenyang mereka akan diam. Sebelum lapar mereka tidak akan makan, mereka akan makan hanya pada saat mereka betul-betul merasa lapar.
Dalam kehidupan binatang, ada yang berusaha menutupi kebutuhan hidupnya dengan sendiri-sendiri, ada pula yang membina kebersamaan di bawah satu kepemimpinan seperti dalam kelompok lebah atau tawon atau An Nahl. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah:”Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia”. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu) dari perut lebah itu keluar madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesung-guhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”(An Nahl, 16 :68-69).
Ayat di atas mengingatkan kita akan kebersamaan para lebah untuk menjadi contoh bagi kita, di bawah satu kepemimpinan mereka membina kesatuan, kerja sama yang sangat baik dan menghasilkan karya yang dapat dinikmati oleh manusia di antaranya madu yang bisa menjadi obat. Demikian pula, kehidupan semut pun dalam membina kebersamaan layaklah kita tiru.
Adapun manusia, di samping memiliki kecenderungan hawa nafsu untuk memenuhi kebutuhan hidup baik nafsu makan ataupun nafsu kebutuhan biologis, selain itu pula manusia diberi akal. Semestinya dengan akalnya ini manusia harus lebih bisa mengendalikan hawa nafsunya dibanding dengan binatang. Karena dengan akalnya, manusia harus bisa terbimbing untuk bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi hak orang lain, mampu membedakan mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh dimakan, dan harus mampu pula membedakan mana yang bisa dinikmati dan mana yang tidak boleh dinikmatinya. Sesungguhnya, manusia derajatnya harus lebih baik daripada binatang.
Tetapi dalam realita kehidupan, menurut Al Madudi, kita selalu menyaksikan hampir pada setiap zaman justru sebagian besar manusia itu lebih tidak terkendali dalam memenuhi kebutuhan hawa nafsunya dibanding dengan binatang. Ini terjadi akibat dari lepasnya kendali dalam dirinya, karena akal yang seharusnya berfungsi mengendalikan hawa nafsu, namun pada prakteknya malah dikendalikan hawa nafsu. Sekan-akan tugas dan fungsi akal hanyalah memikirkan bagaimana caranya untuk memuaskan hawa nafsu. Ini semua bisa terjadi tiada lain karena tidak adanya kendali agama.
Di dalam Al Qur’an, dijelaskan bahwa manusia-manusia yang seperti ini tidak ubahnya binatang ternak bahkan jauh lebih rendah daripada binatang. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al A’raaf, 7 : 179).
Mereka memiliki akal tetapi tidak dipergunakan untuk berfikir pada jalan yang benar, mereka memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat yang benar, mereka memiliki pendengaran juga tidak dipakai untuk mendengar kalimat-kalimat Allah yang seharusnya dapat menuntun hidup mereka. Akhirnya mereka tidak ada ubahnya seperti binatang bahkan lebih rendah daripada binatang.
Lebih lanjut, Al Madudi menyatakan, “Bila kita mau jujur melihat, kita tidak akan pernah menyaksikan ada sekelompok singa yang berusaha menyusun angkatan bersenjatanya untuk menyerang kelompok singa yang lain. Atau juga, kita tidak akan pernah menyaksikan ada seekor anjing yang berusaha untuk memperbudak anjing yang lain. Jujur saja, kita juga tidak akan pernah melihat ada seekor katak yang berusaha menutup mulut katak yang lain dengan tidak memberinya kesempatan untuk bersuara”. Bila dilihat dari sisi ini, ternyata hak asasi binatang (HAB) di dunia binatang itu jauh lebih terpenuhi dengan baik dibanding dengan hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan manusia.
Kata Al Madudi pula, kalau kita berbicara tentang binatang yang diberi gelar oleh manusia dengan gelar “Binatang Buas”. Padahal, sebuas-buasnya binatang tidak akan mengalahkan buasnya manusia. Sejak binatang buas dan manusia itu ada, berapa jumlah korban manusia yang pernah dimakan binatang buas dibandingkan kebuasan manusia atas manusia pada Perang Dunia I, misalnya. Bila dilhat dari sisi ini sebenarnya manusia lebih buas daripada binatang buas itu sendiri. Yakni manusia-manusia yang tidak mau mempergunakan hati, mata dan pendengaran mereka pada jalan yang benar. Mereka betul-betul termasuk, “kal an’aam” (binatang ternak), “bal hum adhallu” (bahkan mereka jauh lebih redah) daripada binatang.
Pertanyaannya, lantas hal apa yang sekiranya bisa meluruskan tingkah laku manusia yang sudah sedemikian rusak moralnya ? Jawabannya, Islamlah yang menjadi solusinya. Di dalam Al Quran dinyatakan, bahwa Rasulullah Saw ditamsilkan oleh Allah SWT sebagai sosok hamba-Nya yang memang hadir dalam kehidupan ini untuk menjadi suri teladan. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya engkau Muhammad adalah orang yang memiliki akhlak yang sangat agung atau mulia” (Al Qalam, 68 : 4)
Rasulullah Saw sendiri menyatakan bahwa: “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah SWT hanyalah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia” (HR. Sa’ad, Bukhari, Baihaqi dari Abu Hurairah). Oleh karena itu, kalau kita lihat risalah Islam baik itu yang menyangkut masalah akidah dan syariah maka seluruh risalah Islam ini bemuara pada pembentukan akhlak. Sehingga akan bisa menjadi ukuran bahwa seseorang itu sudah benar akidah dan ibadahnya bisa dilihat dari akhlaknya. Jadi, yang menjadi parameter atau ukurannya adalah akhlaknya. Sehinggga Ibnu Qayyim pernah menyatakan, bahwa agama itu adalah akhlak, barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya berarti dia bertambah baik agamanya. Ini sejalan dengan hadits, di mana Rasululah Saw pernah bersabda: “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya’ (HR. Turmudzi)
Ini adalah sebuah prinsip risalah Islam yang hadir untuk membawa manusia mencapai kepribadian atau akhlak yang mulia agar tidak terseret dalam kehidupan seperti binatang. Pertanyaannya, bagaimana cara Islam bisa membentuk itu semua ? Pembentukannya tiada lain diawali dengan pembentukan keimanan atau akidah, disadarkannya manusia tentang apa yang menjadi tujuan hidupnya. Orang yang “tidak” beragama maka jelas dia tidak akan memiliki tujuan hidupnya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)” (Ar Ra’d, 13 : 25).
Hawa nafsu bisa membuat manusia menjadi buta matanya, tuli telinganya dan tumpul akalnya tidak bisa berfikir ke jalan yang benar. Karena hawa nafsunya sudah menjadi ilah atau tuhannya. Allah SWT berfirman: “Dan siapakah orang yang lebih sesat dari orang yang telah mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah” (Al Qashash, 28 : 50). Dalam firman-Nya pula: “Tidakkah engkau perhatikan mereka orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsu mereka itu sebagai ilah atau tuhan” (Al Furqaan, 25 : 43)
Ayat di atas menggambarkan kondisi manusia yang hidup tanpa iman, mereka betul-betul sudah menjadikan nafsu mereka sebagai tuhannya. Maka kita tidak bisa banyak berharap akan lahir sifat-sifat kemanusiaan dari manusia-manusia seperti ini. Lebih berbahaya lagi jika orang-orang seperti ini bisa tampil sebagai pemimpin masyarakat, maka dia tidak akan peduli dengan rintihan atau jeritan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Segala macam cara untuk memperoleh kenikmatan dunia ia jalankan tanpa mau melihat lagi batasan halal dan haram.
Sebaliknya, bagi seorang mu’min tidaklah demikian. Dia akan menyadari betul apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dia menyadari bahwa hidup di alam dunia ini bukan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hawa nafsunya, bahkan dia pun sadar betul bahwa hidup di alam dunia ini sendiri bukanlah merupakan tujuan. Yang menjadi tujuan hidupnya tiada lain adalah akhirat dan ridha-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”(Al Qashash, 28 : 77).
Gambaran falsafah hidup seorang muslim terhadap dunia ini digambarkan oleh Allah SWT lewat firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu ?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) dan yang memohon ampun pada waktu sahur”(Ali Imran, 3 : 14-17).
Wallahu a’lam bish-shawab
Binatang, oleh karena mereka tidak diberi akal maka naluri kecenderungan pemenuhan hawa nafsunya hanya sebatas fitrahnya. Misalnya, bila lapar lantas mereka pun akan segera mencari makanan untuk dimakan. Setelah kenyang mereka akan diam. Sebelum lapar mereka tidak akan makan, mereka akan makan hanya pada saat mereka betul-betul merasa lapar.
Dalam kehidupan binatang, ada yang berusaha menutupi kebutuhan hidupnya dengan sendiri-sendiri, ada pula yang membina kebersamaan di bawah satu kepemimpinan seperti dalam kelompok lebah atau tawon atau An Nahl. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah:”Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia”. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu) dari perut lebah itu keluar madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesung-guhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”(An Nahl, 16 :68-69).
Ayat di atas mengingatkan kita akan kebersamaan para lebah untuk menjadi contoh bagi kita, di bawah satu kepemimpinan mereka membina kesatuan, kerja sama yang sangat baik dan menghasilkan karya yang dapat dinikmati oleh manusia di antaranya madu yang bisa menjadi obat. Demikian pula, kehidupan semut pun dalam membina kebersamaan layaklah kita tiru.
Adapun manusia, di samping memiliki kecenderungan hawa nafsu untuk memenuhi kebutuhan hidup baik nafsu makan ataupun nafsu kebutuhan biologis, selain itu pula manusia diberi akal. Semestinya dengan akalnya ini manusia harus lebih bisa mengendalikan hawa nafsunya dibanding dengan binatang. Karena dengan akalnya, manusia harus bisa terbimbing untuk bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi hak orang lain, mampu membedakan mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh dimakan, dan harus mampu pula membedakan mana yang bisa dinikmati dan mana yang tidak boleh dinikmatinya. Sesungguhnya, manusia derajatnya harus lebih baik daripada binatang.
Tetapi dalam realita kehidupan, menurut Al Madudi, kita selalu menyaksikan hampir pada setiap zaman justru sebagian besar manusia itu lebih tidak terkendali dalam memenuhi kebutuhan hawa nafsunya dibanding dengan binatang. Ini terjadi akibat dari lepasnya kendali dalam dirinya, karena akal yang seharusnya berfungsi mengendalikan hawa nafsu, namun pada prakteknya malah dikendalikan hawa nafsu. Sekan-akan tugas dan fungsi akal hanyalah memikirkan bagaimana caranya untuk memuaskan hawa nafsu. Ini semua bisa terjadi tiada lain karena tidak adanya kendali agama.
Di dalam Al Qur’an, dijelaskan bahwa manusia-manusia yang seperti ini tidak ubahnya binatang ternak bahkan jauh lebih rendah daripada binatang. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al A’raaf, 7 : 179).
Mereka memiliki akal tetapi tidak dipergunakan untuk berfikir pada jalan yang benar, mereka memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat yang benar, mereka memiliki pendengaran juga tidak dipakai untuk mendengar kalimat-kalimat Allah yang seharusnya dapat menuntun hidup mereka. Akhirnya mereka tidak ada ubahnya seperti binatang bahkan lebih rendah daripada binatang.
Lebih lanjut, Al Madudi menyatakan, “Bila kita mau jujur melihat, kita tidak akan pernah menyaksikan ada sekelompok singa yang berusaha menyusun angkatan bersenjatanya untuk menyerang kelompok singa yang lain. Atau juga, kita tidak akan pernah menyaksikan ada seekor anjing yang berusaha untuk memperbudak anjing yang lain. Jujur saja, kita juga tidak akan pernah melihat ada seekor katak yang berusaha menutup mulut katak yang lain dengan tidak memberinya kesempatan untuk bersuara”. Bila dilihat dari sisi ini, ternyata hak asasi binatang (HAB) di dunia binatang itu jauh lebih terpenuhi dengan baik dibanding dengan hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan manusia.
Kata Al Madudi pula, kalau kita berbicara tentang binatang yang diberi gelar oleh manusia dengan gelar “Binatang Buas”. Padahal, sebuas-buasnya binatang tidak akan mengalahkan buasnya manusia. Sejak binatang buas dan manusia itu ada, berapa jumlah korban manusia yang pernah dimakan binatang buas dibandingkan kebuasan manusia atas manusia pada Perang Dunia I, misalnya. Bila dilhat dari sisi ini sebenarnya manusia lebih buas daripada binatang buas itu sendiri. Yakni manusia-manusia yang tidak mau mempergunakan hati, mata dan pendengaran mereka pada jalan yang benar. Mereka betul-betul termasuk, “kal an’aam” (binatang ternak), “bal hum adhallu” (bahkan mereka jauh lebih redah) daripada binatang.
Pertanyaannya, lantas hal apa yang sekiranya bisa meluruskan tingkah laku manusia yang sudah sedemikian rusak moralnya ? Jawabannya, Islamlah yang menjadi solusinya. Di dalam Al Quran dinyatakan, bahwa Rasulullah Saw ditamsilkan oleh Allah SWT sebagai sosok hamba-Nya yang memang hadir dalam kehidupan ini untuk menjadi suri teladan. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya engkau Muhammad adalah orang yang memiliki akhlak yang sangat agung atau mulia” (Al Qalam, 68 : 4)
Rasulullah Saw sendiri menyatakan bahwa: “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah SWT hanyalah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia” (HR. Sa’ad, Bukhari, Baihaqi dari Abu Hurairah). Oleh karena itu, kalau kita lihat risalah Islam baik itu yang menyangkut masalah akidah dan syariah maka seluruh risalah Islam ini bemuara pada pembentukan akhlak. Sehingga akan bisa menjadi ukuran bahwa seseorang itu sudah benar akidah dan ibadahnya bisa dilihat dari akhlaknya. Jadi, yang menjadi parameter atau ukurannya adalah akhlaknya. Sehinggga Ibnu Qayyim pernah menyatakan, bahwa agama itu adalah akhlak, barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya berarti dia bertambah baik agamanya. Ini sejalan dengan hadits, di mana Rasululah Saw pernah bersabda: “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya’ (HR. Turmudzi)
Ini adalah sebuah prinsip risalah Islam yang hadir untuk membawa manusia mencapai kepribadian atau akhlak yang mulia agar tidak terseret dalam kehidupan seperti binatang. Pertanyaannya, bagaimana cara Islam bisa membentuk itu semua ? Pembentukannya tiada lain diawali dengan pembentukan keimanan atau akidah, disadarkannya manusia tentang apa yang menjadi tujuan hidupnya. Orang yang “tidak” beragama maka jelas dia tidak akan memiliki tujuan hidupnya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)” (Ar Ra’d, 13 : 25).
Hawa nafsu bisa membuat manusia menjadi buta matanya, tuli telinganya dan tumpul akalnya tidak bisa berfikir ke jalan yang benar. Karena hawa nafsunya sudah menjadi ilah atau tuhannya. Allah SWT berfirman: “Dan siapakah orang yang lebih sesat dari orang yang telah mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah” (Al Qashash, 28 : 50). Dalam firman-Nya pula: “Tidakkah engkau perhatikan mereka orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsu mereka itu sebagai ilah atau tuhan” (Al Furqaan, 25 : 43)
Ayat di atas menggambarkan kondisi manusia yang hidup tanpa iman, mereka betul-betul sudah menjadikan nafsu mereka sebagai tuhannya. Maka kita tidak bisa banyak berharap akan lahir sifat-sifat kemanusiaan dari manusia-manusia seperti ini. Lebih berbahaya lagi jika orang-orang seperti ini bisa tampil sebagai pemimpin masyarakat, maka dia tidak akan peduli dengan rintihan atau jeritan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Segala macam cara untuk memperoleh kenikmatan dunia ia jalankan tanpa mau melihat lagi batasan halal dan haram.
Sebaliknya, bagi seorang mu’min tidaklah demikian. Dia akan menyadari betul apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dia menyadari bahwa hidup di alam dunia ini bukan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hawa nafsunya, bahkan dia pun sadar betul bahwa hidup di alam dunia ini sendiri bukanlah merupakan tujuan. Yang menjadi tujuan hidupnya tiada lain adalah akhirat dan ridha-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”(Al Qashash, 28 : 77).
Gambaran falsafah hidup seorang muslim terhadap dunia ini digambarkan oleh Allah SWT lewat firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu ?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) dan yang memohon ampun pada waktu sahur”(Ali Imran, 3 : 14-17).
Wallahu a’lam bish-shawab
Rabu, Januari 06, 2010
MELACAK MASJID TERTUA
Ketika sampai di Madinah, setelah hijrah dari Mekkah, Nabi Muhammad SAW membangun Masjid Quba. Dari masjid inilah Nabi berdakwah dan menggembleng para sahabatnya menjadi pemeluk Islam yang tangguh. Kini Islam telah menyebar ke segenap penjuru dunia dengan jumlah pemeluk mencapai 1,2 miliar jiwa.
Begitu pula Wali Songo, ketika menyiarkan Islam di Nusantara, menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan dakwah. Ketika Falatehan mengusir Portugis dan mendirikan Jayakarta, dia pun membangun masjid. Masjid ini terletak di sebelah selatan Hotel Omni Batavia, antara Jl Kalibesar Barat dan Jl Roa Malaka, Jakarta Kota. Masjid ini dibakar oleh VOC letika menaklukkan Jayakarta.
Pada saat itu semua penduduk Jayakarta meninggalkan kota ke Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Di sini mereka membangun Masjid As-Shalafiah yang dijadikan sebagai markas untuk melawan penjajah. Masjid ini masih berdiri tegak, dan telah beberapa kali dilakukan perbaikan serta perluasan.
Penyebaran agama Islam di Jakarta terutama di bagian selatan Jayakarta -- telah dimulai sejak awal abad ke-15, sejak berdirinya Pesantren Quro di Karawang. Pesantren ini dibangun Syeikh Quro dari Kamboja, setelah beberapa lama tinggal di Timur Tengah.
Jadi, di mana masjid tertua di Jakarta? Sulit dipastikan. Yang jelas, ketika Islam menyebar di Jakarta, oleh Kerajaan Hindu yang kala itu berpusat di Galuh Pakuan (Bogor), para pengikutnya disebut kaum langgara. Karena, mereka menganut kepercayaan yang bertentangan dengan tradisi dan agama nenek moyang. Sedang tempat ibadah mereka disebut langgar.
Melacak masjid-masjid tua di Jakarta terdapat pula masjid yang dibangun oleh para tumenggung dari Mataram, pendatang dari Malabar (India), para imigran Hadramaut, keturunan Cina Islam dan kesultanan Banten.
Memasuki Jl Masjid I, Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan, misalnya, ada Masjid Al-Atiq. Masjid ini dipercaya peninggalan Sultan Maulana Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah. Menurut buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, masjid ini berdiri bertepatan dengan berdirinya masjid yang berada di Banten dan Karang Ampel (Jawa Tengah).
Seperti juga masjid-masjid tua lainnya, masjid ini telah beberapa kali direnovasi. Luas masjid sebelumnya dapat dilihat pada batas keempat tiang yang berdiri kokoh di dalamnya. Pada tahun 1619, ketika VOC berkuasa, keadaan masjid ini sangat memprihatinkan.
Ketika pengikut Pangeran Jayakarta tengah menelusuri Batavia melalui sungai Cikliwung dengan perahu, salah satu rombongan secara kebetulan melihat sebuah masjid yang tidak terpelihara, bahkan nyaris roboh. Sebagian dari mereka lantas memutuskan menetap di wilayah itu, sekaligus memperbaiki masjid.
Konon, masjid itu merupakan tempat persembunyian Si Pitung dan Ji'ih, jagoan Betawi yang terkenal membela rakyat kecil dan menentang kolonial Belanda setelah melarikan diri dari penjara Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1890.
Ada juga Masjid Al-Alam di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, yang dibangun para prajurit Mataram ketika menyerang Batavia-nya JP Coen pada 1628-1629.
Ketika prajuti-prajurit Mataram mendarat di pantai Marunda mereka bersembunyi dan memugar masjid, yang telah ada sebelumnya itu, sambil mengatur siasat perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian masjid itu telah memainkan peranan penting sebagai tempat penggemblengan mental para gerilyawan Kerajaan Matam.
Mengingat sejarahnya itu, tidak heran kalau pada masa revolusi fisik 1945, dari masjid tersebut dikumandangkan semangat jihad fi sabillah oleh para ulama dan pejuang. Sehingga, daerah Marunda sangat dibanggakan dalam perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan, karena menjadi ajang pertempuran antara pejuang dan NICA (Belanda).
Para tentara Mataram, sekalipun gagal merebut Batavia, banyak yang menetap di Jakarta. Mereka mengusir VOC dengan cara lain, dengan mendirikan masjid-massjid, sekaligus tempat pembinaan mental agama dan mengobarkan semangat menentang penjajahan. Di antara masjid yang dibangun para tumenggung Mataram, selain Al-Alam, adalah Masjid Al-Mansyur di Kampung Sawah, Kelurahan Tambora, Jakarta Barat, dan Masjid Al-Makmur di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Masjid Al-Mansyur dibangun keturunan Pangeran Tjakrajaya dari Mataram pada 1717. Masjid ini oleh KH Moh Mansyur, keturunan pendiri masjid, diperluas pada 25 Sya'ban 1356 Hijriah (1957). Nama Mansyur hingga sekarang diabadikan untuk nama masjid tersebut. Seperti juga dilakukan pendahulu-pendahulunya, oleh KH Moh Mansyur, ulama yang dikenal luas di Betawi, masjid ini sekaligus dijadikan pula sebagai tempat penggemblengan para jamaah tentang cinta Tanah Air dan kewajiban membelanya.
Tanpa merasa takut terhadap ancaman Belanda, pada masa revolusi fisik di masjid ini dikibarkan Sang Saka Merah Putih. Tidak heran kalau masjid ini pernah ditembaki NICA. KH Mansyur sendiri digiring ke markas polisi Belanda. Saat diinterogasi dengan tegas ia mengatakan, ''Setiap bangsa memiliki bendera sendiri, seperti juga bangsa Belanda.''
Kawasan Glodok yang selalu ingar bingar juga banyak memiliki masjid tua. Di Jl Pengukiran II, terdapat Masjid Al-Anshor yang didirikan oleh para pendatang dari Malabar pada 1648. Ada lagi Masjid Kampung Baru yang didirikan pada 1748 yang kini hanya tersisa beberapa bangunan aslinya. Masih terdapat puluhan lagi masjid tua di Jakarta yang ikut berperan dalam penyebaran Islam dan mempertahankan kemerdekaan.
Begitu pula Wali Songo, ketika menyiarkan Islam di Nusantara, menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan dakwah. Ketika Falatehan mengusir Portugis dan mendirikan Jayakarta, dia pun membangun masjid. Masjid ini terletak di sebelah selatan Hotel Omni Batavia, antara Jl Kalibesar Barat dan Jl Roa Malaka, Jakarta Kota. Masjid ini dibakar oleh VOC letika menaklukkan Jayakarta.
Pada saat itu semua penduduk Jayakarta meninggalkan kota ke Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Di sini mereka membangun Masjid As-Shalafiah yang dijadikan sebagai markas untuk melawan penjajah. Masjid ini masih berdiri tegak, dan telah beberapa kali dilakukan perbaikan serta perluasan.
Penyebaran agama Islam di Jakarta terutama di bagian selatan Jayakarta -- telah dimulai sejak awal abad ke-15, sejak berdirinya Pesantren Quro di Karawang. Pesantren ini dibangun Syeikh Quro dari Kamboja, setelah beberapa lama tinggal di Timur Tengah.
Jadi, di mana masjid tertua di Jakarta? Sulit dipastikan. Yang jelas, ketika Islam menyebar di Jakarta, oleh Kerajaan Hindu yang kala itu berpusat di Galuh Pakuan (Bogor), para pengikutnya disebut kaum langgara. Karena, mereka menganut kepercayaan yang bertentangan dengan tradisi dan agama nenek moyang. Sedang tempat ibadah mereka disebut langgar.
Melacak masjid-masjid tua di Jakarta terdapat pula masjid yang dibangun oleh para tumenggung dari Mataram, pendatang dari Malabar (India), para imigran Hadramaut, keturunan Cina Islam dan kesultanan Banten.
Memasuki Jl Masjid I, Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan, misalnya, ada Masjid Al-Atiq. Masjid ini dipercaya peninggalan Sultan Maulana Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah. Menurut buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, masjid ini berdiri bertepatan dengan berdirinya masjid yang berada di Banten dan Karang Ampel (Jawa Tengah).
Seperti juga masjid-masjid tua lainnya, masjid ini telah beberapa kali direnovasi. Luas masjid sebelumnya dapat dilihat pada batas keempat tiang yang berdiri kokoh di dalamnya. Pada tahun 1619, ketika VOC berkuasa, keadaan masjid ini sangat memprihatinkan.
Ketika pengikut Pangeran Jayakarta tengah menelusuri Batavia melalui sungai Cikliwung dengan perahu, salah satu rombongan secara kebetulan melihat sebuah masjid yang tidak terpelihara, bahkan nyaris roboh. Sebagian dari mereka lantas memutuskan menetap di wilayah itu, sekaligus memperbaiki masjid.
Konon, masjid itu merupakan tempat persembunyian Si Pitung dan Ji'ih, jagoan Betawi yang terkenal membela rakyat kecil dan menentang kolonial Belanda setelah melarikan diri dari penjara Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1890.
Ada juga Masjid Al-Alam di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, yang dibangun para prajurit Mataram ketika menyerang Batavia-nya JP Coen pada 1628-1629.
Ketika prajuti-prajurit Mataram mendarat di pantai Marunda mereka bersembunyi dan memugar masjid, yang telah ada sebelumnya itu, sambil mengatur siasat perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian masjid itu telah memainkan peranan penting sebagai tempat penggemblengan mental para gerilyawan Kerajaan Matam.
Mengingat sejarahnya itu, tidak heran kalau pada masa revolusi fisik 1945, dari masjid tersebut dikumandangkan semangat jihad fi sabillah oleh para ulama dan pejuang. Sehingga, daerah Marunda sangat dibanggakan dalam perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan, karena menjadi ajang pertempuran antara pejuang dan NICA (Belanda).
Para tentara Mataram, sekalipun gagal merebut Batavia, banyak yang menetap di Jakarta. Mereka mengusir VOC dengan cara lain, dengan mendirikan masjid-massjid, sekaligus tempat pembinaan mental agama dan mengobarkan semangat menentang penjajahan. Di antara masjid yang dibangun para tumenggung Mataram, selain Al-Alam, adalah Masjid Al-Mansyur di Kampung Sawah, Kelurahan Tambora, Jakarta Barat, dan Masjid Al-Makmur di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Masjid Al-Mansyur dibangun keturunan Pangeran Tjakrajaya dari Mataram pada 1717. Masjid ini oleh KH Moh Mansyur, keturunan pendiri masjid, diperluas pada 25 Sya'ban 1356 Hijriah (1957). Nama Mansyur hingga sekarang diabadikan untuk nama masjid tersebut. Seperti juga dilakukan pendahulu-pendahulunya, oleh KH Moh Mansyur, ulama yang dikenal luas di Betawi, masjid ini sekaligus dijadikan pula sebagai tempat penggemblengan para jamaah tentang cinta Tanah Air dan kewajiban membelanya.
Tanpa merasa takut terhadap ancaman Belanda, pada masa revolusi fisik di masjid ini dikibarkan Sang Saka Merah Putih. Tidak heran kalau masjid ini pernah ditembaki NICA. KH Mansyur sendiri digiring ke markas polisi Belanda. Saat diinterogasi dengan tegas ia mengatakan, ''Setiap bangsa memiliki bendera sendiri, seperti juga bangsa Belanda.''
Kawasan Glodok yang selalu ingar bingar juga banyak memiliki masjid tua. Di Jl Pengukiran II, terdapat Masjid Al-Anshor yang didirikan oleh para pendatang dari Malabar pada 1648. Ada lagi Masjid Kampung Baru yang didirikan pada 1748 yang kini hanya tersisa beberapa bangunan aslinya. Masih terdapat puluhan lagi masjid tua di Jakarta yang ikut berperan dalam penyebaran Islam dan mempertahankan kemerdekaan.
Langganan:
Postingan (Atom)