Jakarta, 14 Juni 2007
Sepatah kata dari penulis
Assalamu’alaikum Warohmatullahi, Wabarokatuh
Manifestasi dari sikap iman yang baik dan benar - dimana dalam konsekuensi sikap iman ini memberikan penegasan kepada segenap umat manusia untuk mengatakan atau berbicara tentang kebenaran walaupun hanya sepatah dua kata, mengingatkan saya bahwa dalam membahas permasalahan seperti ini saya harus ada dalam wilayah bonum publicum.
Ada satu hal yang perlu saya garis bawahi tentang buku ini bahwa buku ini tidak berada dalam kerangka filsafat gnostic tetapi berada dalam kerangka moral umum Kristologi ; dimana Kristologi telah menjadi antropologi yang transendental dan antropologi sudah menjadi kristologi yang tidak sempurna untuk dikaji lagi secara lebih luas dan mendalam .
Sehubungan dengan Kristologi - antropologi yang transendental dan atropologi adalah kristologi yang tidak sempurna, maka yang perlu diperhatikan - berkaitan dengan persoalan ini adalah: Antropology transendental, yakni analisis filosofis – theologies atas manusia. Secara filosofis, manusia adalah keterbukaan terhadap ada serta keseluruhan.
Dalam keadaan yang kongkret, Dia sudah selalu sedang menunjukan dirinya dengan berusaha mengaktualisasikan dirinya, melampaui dirinya didunia, dan terarah kepada Allah. Mengapa ? Karena manusia itu tidak pernah ada disana atau ada begitu saja atau ada secara kebetulan. Dia adalah potentia oboedientialis, yakni potensi dari dalam bentuk terbuka, terarah dan mendengarkan firman Allah. Potensi ini identik dengan eksistensinya. Secara teologis, manusia adalah makluk yang diciptakan oleh Allah dengan akhibat bahwa dia ditentukan untuk mencari dan menanggapi Allah yang mengkomunikasikan atau mewahyukan diriNya sendiri secara penuh kedalam sejarah manusia.
Sebab eksistensi merupakan bagian ontologis kodrat manusia, sesuatu yang ada disana dan tentangnya kita semua tidak punya pilihan seperti kesejarahaan, ketergantungan, ada didunia, dan lain lain. Eksitensiel (eksistensi ?) menunjuk pada aktualisasi dari sesuatu yang sudah ada disana. Eksistensi manusia yang hakiki itu selalu ditetapkan atau di konstitusikan secara historis dan dengan demikian selalu berada dalam konfrontasi atau berhadapan dengan agama apapun baik sebagai rahmat maupun sebagai warta yang historis. Mustahil manusia memahami dirinya sendiri tanpa kaitan dengan pengalaman historis.
Pemahaman diri ini sebenarnya menunjukan bahwa dia adalah mahluk yang transenden, ‘terbuka’ dan ‘terarah’ pada ‘ada secara keseluruhan’. Keterarahan ini bersifat hakiki dan membuatnya ‘menjadi pribadi’. Dalam konteks ini, Islam dan Kristen memiliki persamaan.
Berdasarkan analisis filosofis-theologis tersebut kita dapat melihat bahwa hakekat manusia sebagai “roh yang berada didunia sekaligus sang pendengar atau penanti sabda”. Dalam konteks ini manusia dipahami sebagai mahluk yang – dalam setiap realisasi eksistensinya seperti aktivitas mengetahui dan bertindak bebas – sudah senantiasa mencari, merindukan, membutuhkan penyelamat dalam sejarah. Situasi eksistensial umat
manusia adalah berada dalam keadaan menanti atau mengantisipasi penyelamat mutlak.
Persoalan kristologi seperti ini timbul karena tiga faktor yaitu : 1. Pluralisme keyakinan, 2. kesadaran akan sejarah dan 3. konsep atau bahasa teologis yang kaku. Pertama : Pluralisme keyakinan. Hal ini berkaitan dengan kesadaran manusia modern akan dirinya sendiri sebagai subyek yang otonom, bebas dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam suasana itu, akal budi merupakan tolak ukur dan pengadilan tertinggi untuk menerima atau menolak apa yang diterima manusia baik dari segi tradisi maupun dari sejarah masyarakatnya. Kesanggupan akal budi dalam memecahkan masalah kehidupan dijunjung tinggi. Kesadaran yang demikian membuat agama dilihat sebagai hambatan bagi kebebasan individu dan tidak lagi menjadi satu satunya jaminan atau jawaban atas persoalan persoalan hidupnya.
Kedua : Kesadaran akan sejarah. Hal ini akan menyata dalam pendapat bahwa sesuatu yang historis tidaklah bersifat mutlak atau abadi. Waktu kini dilihat sebagai sesuatu yang langka, tak terulangi dan bergerak terus. Maka, peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam waktu yang bersifat kontingen, tidak niscaya dan karena itu, tidak perlu selalu menentukan hidup saya. Saya misalnya, dapat mengetahui peristiwa historis Yesus Kristus, namun tidak berarti bahwa peristiwa itu menyangkut makna terdalam dari seluruh kehidupan saya. Dalam suasana seperti itu, peristiwa historis Yesus tidak lebih dari mitology.
Ketiga : Konsep konsep Teologis yang kaku. Hampir semua orang kristiani menerima begitu saja rumusan rumusan iman yang diajarkan oleh katekismus resmi gereja, tanpa mengerti maksud dan maknanya. Kenyataan ini menimbulkan keterpisahan atau keterpecahan antara rumusan - rumusan iman resmi gereja dengan pengalaman kongkret sehari hari.
Dalam kebagusan konsep ini muncul pertanyaan serius : Manakah struktur dasar eksistensi manusia yang memungkinkan dia mendengar, menanggapi dan mengakui sabda Allah itu didunia atau sejarah ? Nec ridere Nec flere, Nec laudara sed intelligere !!
Mungkin terlalu filosofis pertanyaan dasariah ini. kan tetapi sudah seharusnya pertanyaan diatas ini dipersoalkan. sebab sublimasi kasus dan pertanyaan dasariah ini berada dalam etik filsafat dan etik teologis.
Memang Filsafat dan teologi berbeda. Tetapi tidak berarti bahwa kedua aspek ini tidak berhubungan satu sama lain. Filsafat menjadi teologi fundamental dimana kita merefleksikan perihal eksistensi keimanan kita dan pendasaran-pendasarannya. Maka, kesatuan filsafat dan teologi bermaksud menunjukan : pertama – eksistensi sebagai pertanyaan universal ; kedua – keterkaitan antara dimensi transendental dan histories didalam diri manusia yang memungkinkan penerimaannya akan Hidayah dari Allah SWT.
Transendental disini menunjuk pada dua hal yakni : filsafat transendental dan filsafat mengenai transendensi diri. Yang dimaksud dengan filsafat transendental adalah filsafat yang menyelidiki kondisi kondisi kemungkinan suatu tindakan pemahaman dan
pengetahuan. Kondisi kondisi tersebut merupakan struktur yang niscaya dan tak terhindarkan dari subyek yang mengetahui. Obyek obyek pengalamannya menjadi mungkin karena ada struktur tersebut.
Yang dimaksud dengan filsafat mengenai transendensi adalah refleksi atas pengalaman transendental yakni pengalaman akan keterbukaan atau transendensi dimana struktur pengalaman menjadi subyek dan karena itu struktur terakhir dari semua obyek pengetahuan kategorial hadir bersama dan dalam identitasnya.
Pengalaman transendensi ini tidak selalu disadari secara tegas. Ada tiga alasan orang mudah mengabaikan pengalaman transendental (transendensi) dirinya : yaitu kebanalan dan kenaifan ( tidak usah merefleksikannya karena lebih masuk akal untuk tidak memusingkan diri), kekecutan atau ketidak sanggupan lantaran mengelak untuk menghadapi pertanyaan pertanyaan terakhir, dan keterlibatan tanpa harapan diwilayah kategorial manusia yang mencapai puncaknya dalam pengakuan bahwa semua itu tidak bermakna.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa salah satu ciri utama dari kebudayaan modern ialah menjadi sentral kedudukan manusia ditengah tengah kosmos ini. Dengan kemampuan berefleksi secara kristis manusia kini menjadi subyek yang dapat menguasai alam, subyek yang menentukan perkembangan sejarah, tetapi terutama juga subyek moral yang otonom dan bebas. Akal budi menjadi tolak ukur yang menetukan apa yang baik dan buruk, apa yang sebaiknya dikerjakan atau sebaliknya diabaikan. Segala macam otoritas diluar dirinya dipertanyakan dan diuji juga secara kritis oleh akal budi manusia sebagai subyek. Dihadapan tahta pengadilan akal budi ini, otoritas lama yaitu gereja gugur.
Tetapi tidak hanya itu. Pemahaman diri secara baru sebagai pusat kosmos, sebagai subyek yang menentukan sejarah dan subyek moral yang otonom pada prinsipnya menolak segala macam perintah, aturan, yang berasal dari instansi asing diluar dirinya sendiri. Termasuk dalam instansi asing itu akhirnya Allah SWT sendiri yang selama ini dipandang sebagai instansi asing tertinggi. Pendek kata ; “dengan modernitas , kebenaran wahyu diuji dihadapan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik, dan
kesahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Sehubungan dengan semua persoalan diatas, maka materi perbandingan teologis dua agama yang berbeda ini hanya bersifat pemaparan data dengan sedikit analisis. Dalam kesempatan ini saya memaparkan beberapa rumusan tentang konsep dogma Gereja Kristen / Katolik dan pertentangan-pertentangannya, Keotentikan Kitab Suci, sumber teologi gereja, dan misteri penyaliban Yesus, tentunya disertai defenisi apa itu Kristen dan apa itu Katolik.
Demikian juga halnya dengan pembahasan tentang Islam. Pembahasan tentang Islam juga hanya dari beberapa aspek saja yaitu : Defenisi Islam, sumber teologi Islam, sejarah turunnya Al-Qur’an, pengumpulan naskah Al-Qur’an dan sedikit tentang riwayat hidup Muhammad SAW.
Saya berharap, semoga buku ini bermanfaat buat pencari-pencari kebenaran dan saya berdoa semoga Allah SWT menunjukan jalan yang benar dan lurus untuk kita semua. Amen.
DEDIKASI
Puji serta syukur atas segala ni’mat kasih dan karunia dari Allah SWT yang telah memberikan aku suatu ‘diri’ yang baru untuk kehidupan ‘yang lebih baru’ dalam menapaki sebuah determinasiatas atas kehidupan lain sesudah kematian ragawi, sebagaimana halnya dengan janji-Nya dalam kebajikan teologis, terutama dalam nilai eskatologis dalam Surah-surah yang diturunkan di Mekkah, yaitu janji selamat untuk penganut – penganutNya dan celaka untuk penentang- penentang Nya.
Ungkapan terimakasih yang sedalam dalamnya saya tujukan kepada bang S.M.Amien Kelly (Karni) dan keluarga, Bapa H. Nuzly Arismal dan Keluarga, Dr Fuad Bawazier dan keluarga, Bp Adi Sasono dan keluarga, KH Syuhada Bahri Lc, KH Kholil Ridwan Lc, bang Zunaidy T Sutan Nurdin dan keluarga, bang Amlir Syaifa Yasin, Mas Adi Sulthani M.A, Dr Rifyal Ka’bah. M.A., KH Maryadi M.Kewang, KH Abdul Rozak, KH Wahid Alwi Lc,Bang Tamsil Linrung dan keluarga, Bang dr Hariman Siregar, Ir Zainal Muhamad Saleh Mekotonda dan keluarga, Bp Joharudin Husein, sdr Suhendrawan dan keluarga, Yusuf Fajar dan keluarga singkatnya keluarga besar Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan semua pihak yang begitu rela dan ikhlas membantu saya dalam
mengenal diriku kembali.
Kiranya Kasih karunia Allah SWT selalu menuntun dan mengayomi langkah kita semua didalam mencari hadirat-Nya, dan semoga amal baiknya mendapat pahala yang berlipat ganda. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar