Seperti biasa, setiap akhir pekan, sepasang suami istri meluangkan waktu
untuk membeli surat kabar di sudut pasar yang tidak jauh dari rumahnya.
Sang suami, termasuk sosok yang berikap ramah kepada siapa pun.
Takdir
Allah, akhir pekan itu sang penjual surat kabar ternyata tidak menjaga
jualannya. Tetapi kios kecilnya tetap buka dengan penjaga yang tidak
dikenal. Sosoknya cuek dan sangat tidak perhatian terhadap pembeli,
termasuk sang suami tadi.
Akan tetapi, sang suami tetap lembut,
ramah, dan melempar senyum kepada sang penjual pengganti itu. Tidak ada
perubahan pada cara sang suami menghadapi orang, termasuk kepada
pedagang pengganti yang cuek itu.
Sang istri yang memperhatikan
kejadian itu, langsung bertanya kepada suaminya, “Mas, kenapa sih, sama
penjual yang kurang perhatian, kok masih ramah juga, pakai senyum
lagi,” ucapnya dengan nada kesal.
Sang suami pun menatap wajah
sang istri sembari menggenggam tangan lembut istrinya. “Mama, kita
berbuat baik itu hanya karena Allah bukan yang lainnya. Apakah kebaikan,
jika kecuekan dibalas dengan kecuekan yang sama? Lagian, kita bersikap
baik kepada siapapun itu bukan karena orang lain berbuat baik kepada
kita. Tetapi karena kita ingin Allah ridha kepada kita,” papar sang
suami.
Peristiwa tersebut, tepatnya apa yang ada pada sosok sang
suami adalah bentuk konkret dari independensi mental. Yakni suatu sikap
positif atau akhlak mulia yang terus dijaga, diipertahankan dan
dilestarikan meski orang lain atau bahkan lingkungan justru negatif.
Hal
itu pula yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad kala dakwah di Makkah.
Setiap kali Rasulullah SAW hendak beribadah ke Baitullah, ada orang
kafir yang selalu meludahi beliau. Namun, Nabi Muhammad SAW tidak
bereaksi apa pun.
Hal itu sama sekali tidak mengundang kemarahan
apalagi dendam dalam hatinya. Kejadian berikutnya justru mengejutkan.
Kala Rasulullah SAW menuju Ka’bah dan ternyata tidak ada yang meludah,
beliau justru bertanya, kemana orang yang biasa meludahinya itu?
Setelah
mendapat kabar orang itu ternyata sakit, Nabi SAW langsung
menjenguknya. Sebagian orang masih bingung dengan peristiwa inspiratif
tersebut. Bagaimana mungkin orang yang jahat kepada beliau justru beliau
kasihi dan sayangi.
Sebagian berpendapat itu bisa dilakukan
karena beliau adalah Nabi. Ternyata, kalau kita gali lebih mendalam,
sikap demikian adalah bentuk kemampuan seorang Muslim berpikir jernih,
sehingga setiap tindakannya tidak lain hanya berlandaskan keimanan dan
ketakwaan.
Dengan cara seperti itu, independensi mental akan
mewujud, sehingga kebaikan tidak saja bisa dilakukan kepada orang yang
berbuat baik kepada kita semata. Kepada orang yang jahat pun kita bisa
berikan kebaikan.
Itulah yang Nabi Muhammad SAW sebut dengan ihsan. “Ihsan
adalah hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau
melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.’’ (HR Muslim). Hanya dengan ihsan, independensi mental akan terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar