Dalam kitab Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban diceritakan sebuah
kisah nyata yang sangat memikat diperankan seorang sahabat dengan
julukan Abu Qibalah. Khususnya, di kalangan pengamat isnad hadis dia sudah sangat dikenal.
Namanya sering kali disebut dalam isnad hadis.
Dia adalah salah seorang perawi hadis dari (jalur) Anas bin Malik.
Salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Selain itu, dia juga seorang perawi hadis dari (jalur) Malik bin
al-Khuwairits.
Abdullah bin Muhammad menuturkan, suatu hari dia
keluar menuju tepi pantai untuk memantau kawasan tersebut dari
kedatangan musuh. Tanpa terasa, dia telah berada di sebuah dataran yang
cukup lapang di tepi pantai.
Di sana, terdapat sebuah kemah yang
dihuni pria dengan kedua tangan dan kedua kaki yang buntung. Pendengaran
dan penglihatan dia sudah tidak berfungsi dengan baik. Bahkan, seluruh
anggota tubuhnya sudah tidak berfungsi, kecuali lidahnya.
Dengan lidahnya, dia berkata: “Ya
Allah, bimbinglah aku agar bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa mensyukuri
segala nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku. Sungguh, Engkau telah
melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk-Mu yang lain.”
Mendengar semua itu, Abdullah berkata dalam hatinya, “Demi
Allah, aku akan mendatangi pria itu. Aku akan bertanya, mengapa dia
mengatakan semua itu. Apakah dia memahami yang diucapkannya? Ataukah,
itu sebentuk ilham yang diturunkan dari langit kepadanya?”
Abdullah bertanya, “Wahai
saudaraku, nikmat mana yang telah Allah berikan, sehingga kamu merasa
perlu memanjatkan puji kepada-Nya? Kelebihan apa yang telah Allah
berikan kepadamu, sehingga kamu merasa perlu memanjatkan syukur
kepada-Nya?”
Pria tersebut menjawab, “Tidakkah engkau
lihat yang telah Rabbku lakukan terhadapku? Demi Allah, seandainya Dia
memerintahkan petir untuk menghajar tubuhku sehingga terbakar atau
memerintahkan gunung-gunung untuk menindih tubuhku sehingga remuk atau
memerintahkan laut untuk menyeretku sehingga tubuhku tenggelam atau
memerintahkan bumi untuk menelanku sehingga tubuhku terbenam, niscaya
hal itu akan membuatku lebih bersyukur lagi kepada-Nya. Lantaran, Dia
telah memberikan kenikmatan luar biasa kepadaku berupa lidahku ini.”
Kemudian, pria itu meminta bantuan kepada Abdullah. “Engkau
telah melihat keadaanku, bukan? Aku sungguh tidak bisa menolong diriku
sendiri dalam kondisi seperti ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” katanya.
Menurut
pria itu, dia memiliki seorang anak yang selalu melayaninya. Saat waktu
shalat tiba, anak itulah yang membantunya bewudhu. Saat lapar, dialah
yang menyuapi. Saat haus, dialah yang memberi minum. Tapi, sudah tiga
hari ini anak itu tidak menemuinya.
Ia memohon agar Abdullah
bersedia mencari kabar tentang anaknya. Abdullah segera berlalu untuk
mencari keberadaan anak (laki-laki) tersebut. Konon, tidak terlalu jauh
dari kemah pria tersebut Abdullah melihat gundukan pasir.
Ternyata,
di bawah gundukan pasir itulah terkubur sesosok mayat. Anak yang baik
hati itu rupanya telah tewas diterkam binatang buas. Abdullah berpikir
keras bagaimana menyampaikan berita duka itu agar pria tersebut tidak
larut dalam nestapa.
Di tengah perjalanan menuju kemah, dalam
pikiran Abdullah terlintas kisah Nabi Ayyub. Sesampainya di kemah,
Abdullah mengucapkan salam. Pria itu pun menjawab salamnya.
Lalu, pria itu bertanya: “Bukankah
engkau adalah pria yang tadi menemuiku? Bagaimana dengan permintaanku?”
Abdullah menceritakan kabar buruk yang telah menimpa anaknya dengan
menggambarkan kesabaran dan kesyukuran Nabi Ayyub.
Tujuannya,
agar pria tersebut tetap bersabar dan bersyukur dengan segala peristiwa
yang telah menimpa dirinya. Ternyata, pria tersebut sungguh luar biasa.
Dengan tenang, dia menyambut berita duka dengan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Setelah
itu, dia tampak menarik napas panjang, kemudian meninggal dunia.
Abdullah tersentak menyaksikan peristiwa menyedihkan itu. Dia segera
menutupi wajahnya dengan kain.
Belakangan, Abdullah diberi tahu
kalau pria tersebut adalah Abu Qibalah. Pria yang pandai bersabar dan
bersyukur kepada Allah yang patut diteladani. Nama lengkapnya Abdullah
bin Zaid al-Jarmi. Dia berasal dari Bashrah.
Dia dikenal sebagai
salah seorang ahli ibadah dan ahli zuhud. Dia wafat di Syam pada 104
Hijriyah. Yakni, pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar