Cukup banyak anak-anak di negeri ini yang sudah belajar menabung sejak
dini. Oleh orang tuanya, ada yang dibelikan celengan untuk diisi
sejumlah uang setiap hari, setiap minggu, setiap dua minggu, dan
seterusnya.
Bahkan, terlepas dari pro dan kontra, tidak sedikit
sekolah dasar atau yang sederajat yang memfasilitasi siswanya menabung.
Tujuannya agar kelak sesudah dewasa mereka terbiasa atau terlatih
merancang masa depannya.
Ketika anak saya diajarkan untuk
menabung melalui guru di sekolahnya, saya berikan Rp 5.000 per minggu.
Saat itu saya berpikir sederhana saja, jika anak saya secara teratur
menabung Rp 5.000 per minggu maka dalam sebulan akan terkumpul Rp 20
ribu.
Asumsinya, dalam satu tahun pelajaran akan terkumpul Rp
200 ribu maka saat anak saya tamat sekolah dasar akan terkumpul Rp 1,2
juta. Jumlah yang lumayan besar. Apalagi, jika anak saya dapat menabung
dalam jumlah lebih besar.
Namun, angan-angan mengajarkan anak
saya menabung tidak berjalan mulus. Sejak anak saya kelas tiga atau
kelas empat, dia sudah mulai malas atau jarang menabung. Alasannya
macam-macam mulai dari gurunya berhalangan hadir hingga uangnya terpakai
untuk jajan.
Akibatnya, uang tabungan yang sudah disimulasikan
sejak awal tidak tercapai. Waktu berlalu hampir tidak terasa. Undangan
pelepasan kelas enam sudah di tangan. Alkisah, kami berbagi tugas. Saat
itu, istri saya berangkat menghadiri prosesi pelepasan kelas enam
tersebut.
Rupanya pada acara itulah seluruh tabungan siswa
dibagikan atau lebih tepatnya dikembalikan kepada pemiliknya. Hasilnya?
Anak saya hanya berhasil mengumpulkan Rp 575 ribu. Dia pun menyesal setelah tahu ada temannya yang mengumpulkan belasan juta rupiah!
Dalam konteks Islam, dalam hidup yang sebentar ini mestinya diisi dengan investasi atau menabung amal saleh. Kita mesti ingat, Ad-Dunyaa mazra’atu al-aakhirati atau dunia adalah ladang akhirat. Siapa menanam kebaikan, niscaya menuai kebaikan.
Siapa
menanam keburukan, niscaya menuai keburukan. Bahkan, bukan sekadar itu.
Siapa menanam banyak, niscaya menuai banyak. Siapa menanam sedikit,
niscaya menuai sedikit. Lalu, bagaimana?
Semua kita akan
dihadirkan atau dikumpulkan pada saat perhitungan amal. Saat itu semua
amal manusia akan diaudit secermat-cermatnya.
Allah SWT berfirman, "Barang
siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.’’ (QS az-Zalzalah [99] : 7 – 8).
Semua
orang beriman tidak meragukan akan terjadinya peristiwa ini. Peristiwa
ini niscaya adanya. Dalam berbagai referensi ditemukan sejumlah sinonim
Hari Kiamat di antaranya Hari Perhitungan (Yaum al-Hisaab), Hari Pembalasan (Yaum al-Jazaa), dan Hari Penyesalan (Yaum al-Hasrah).
Menyangkut
hari perhitungan amal dan hari pembalasan amal kiranya sudah cukup
jelas. Karena itu, tidak perlu dijelaskan (lagi) dalam rubrik ini.
Namun, menyangkut hari penyesalan saya kira masih diperlukan.
Diriwayatkan pada Yaum al-Hasrah, semua orang tak terkecuali yang di dunianya gemar beramal baik akan merasa menyesal. Mereka menyesal karena amal baiknya ternyata kurang banyak.
Laksana
orang yang gemar menabung, mereka bisa saja menyesal kalau ternyata
tabungannya kurang banyak. Apalagi orang yang sama sekali tidak pernah
beramal baik dan menyaksikan azab neraka telah tampak nyata di
hadapannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar