Tuntutan sikap berpuasa terhadap yang tidak berpuasa sebagai berikut:
Pertama, secara alamiah, manusia diciptakan dalam
bentuk yang berbeda. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al Hujurat 13). Dengan demikian,
perbedaan yang terjadi di dunia ini merupakan sunatullah.
Kedua,
kita harus mengembangkan sikap dan prasangka positip (husnudzon)
terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, ras, golongan, dan jenis
kelamin. Meniadakan perbedaan adalah sesuatu yang mustahil. Karena itu
kita diperintahkan untuk bersikap positif dalam menerima perbedaan.
Tidak sekedar menerima perbedaan koeksistensi sosiologis, tetapi
memahamai sumber-sumber perbedaan dan menerima mereka yang berbeda
sebagai bagian integral masyarakat. (Mu’ti, 2009).
Al Qur’an
menegaskan “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. “ (QS. Al-Baqarah :
256). Dalam ayat lain dikatakan“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah
semua orang yang di muka bumi ini beriman. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya seluruh mereka menjadi orang-orang yang beriman?”
(QS. Yunus : 99). Begitu juga dalam surat Al-Kahf : 29 dan Al-An’am :
107.
Ketiga, kewajiban untuk membangun tanggung jawab sosial
bersama. Berbeda bukan berarti tidak bisa bergotong royong. Bahkan semua
ajaran agama dan tradisi budaya masing-masing suku di Indonesia
mengajarkan untuk saling membantu, sinergi dan berbagi. Dalam kehidupan
masyarakat, kita mengenal budaya dan tradisi asah, asih dan asuh, pela
gendong, gotong rotong dan sebagainya. Meski secara teologis dan
sosiologis bersifat ekslusiv, agama dan budaya memiliki universalitas
misi kemanusiaan.
Dalam Islam, keimanan seseorang tidak akan
sempurna jika tidak diimbangi dengan amal saleh; yakni berbuat kebajikan
yang memberikan manfaat untuk sesama. Al Qur’an menegaskan. “Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS An-Nisa 2).
Keempat.
Memfasilitasi dan mengakomodir mereka yang berbeda, sehingga dapat
menjalankan agama sesuai keyakinannya. Dalam piagam Madinah, semua
komunitas tanpa membedakan agama dan etnis, disebut sebagai “ummat”.
Sebagai penghormatan terhadap tamu dan keyakinan, Nabi Muhammad Saw
mengizinkan kaum Nasrani Najran menunaikan salat di Masjidnya (Mu’ti,
2009). Al Qur’an menegaskan ”Apabila kamu diberi penghormatan dengan
sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih
baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).
Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu” (QS. An Nisa: 86)
Dengan
demikian, jika ada warung makan atau restoran yang tetap buka di siang
hari pada bulan puasa, jika dalam konteks adalah memfasilitasi
orang-orang yang tidak berpuasa, maka tentu kita harus bersyukur. Karena
masih ada kepedulian terhadap mereka yang tidak berpuasa. Tentu saja
dengan syarat tidak buka secara sembarangan, tetapi dengan tetap menjaga
dan menghormati mereka yang berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar