Sungguh berat tantangan dakwah di kelurahan Batakte, Kupang Barat,
Nusa Tenggara Timur. Di wilayah ini, tempat Pesantren Hidayatullah
berdiri, umat Islam yang minoritas harus beradaptasi dengan lingkungan
yang banyak dihuni oleh masyarakat Kristen. Di Batakte, adzan dilarang
menggunakan speaker. Jika nekad, siap-siap saja akan ada batu melayang
ke arah bangunan masjid dan pesantren.
“Kami disini hanya menggunakan toa ke dalam, suara azan tak sampai
keluar. Pernah dicoba, tapi berbuah lemparan batu oleh masyarakat yang
tinggal di wilayah sekitar sini. Begitu kami azan dengan toa
yang hanya bisa didengar oleh jamaah di dalam ruangan masjid, toh
aman-aman saja,” ujar Pimpinan Pesantren Hidayatullah Ustadz Usman
Mamang saat disambangi voa-Islam ketika melakukan perjalanan Jurnalistik ke Kupang.
Para da’i di Batakte, seperti dikatakan Ustadz Usman, memang harus
kuat mental dan banyak bersabar. Diakuinya, para da’i menjadi tak
leluasa ketika berdakwah di tengah masyarakat yang mayoritas beragama
Kristen. “Ketika para da’i masuk dan melakukan pendekatan dengan mereka
yang non-muslim, kami dituduh melakukan Islamisasi. Namun, yang namanya
pendakwah, tentu harus siap menghadapi resiko yang akan terjadi. Saat
qurban Idul Adha kemarin, kami bagi-bagikan daging kambing kepada warga
Kristen di sekitar sini.”
Bagi masyarakat setempat, keberadaan pesantren Hidayatullah di
Batakte dianggap ancaman buat mereka. Tak heran, bila pesantren ini
sempat digugat keberadaannya di wilayah Batakte. Saat Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah) di Kupang, ada politikus yang ingin memanfaatkan situasi
dengan menggugat Pesantren Hidayatullah.
“Yang jelas, kami sudah urus sertifikasinya ke Badan Pertanahan
Nasional (BPN), namun menurut tradisi di sini, meskipun telah memiliki
sertifikat, tetap harus ada upacara pelepasan hak dari yang punya
tanah,” jelas Usman.
Masyarakat di sini tidak pernah membayangkan, pesantren Hidayatullah
kian berkembang dan menjadi besar seperti sekarang ini. Ketika komplek
pesantren kian besar, masyarakat Kristen di sini nampak kaget dan sangat
terpukul, kok bisa ada pesantren di tengah komunitas mereka yang
mayoritas non Muslim.
Begitu juga, jika ada muallaf di Batakte, selalu ada yang merasa
heran seraya berkata, “Hebat juga kamu ya jadi orang Islam.” Maknanya,
kok bisa menjadi muslim di tengah-tengah komunitas Kristen.
Kekurangan Tenaga Da’I
Dikatakan Usman Mamang, Pesantren Hidayatullah di Kupang didirikan
oleh Ustadz Abdullah Azzam --jebolan Intitute Teknologi Surabaya (ITS)
-- tahun 1992. Sebelum pesantren ini berdiri di Batakte, rumah kost
Azzam di Kota Kupang dijadikan tempat anak-anak belajar TPA (Taman
Pendidikan Al Qur’an). Karena jumlah santri terus meningkat, maka
diupayakanlah untuk mencari lahan kosong untuk didirikan institusi
pendidikan pesantren. Menariknya, seorang anggota polisi yang tinggal di
Kupang memberikan tanah wakafnya di Kecamatan Kupang Barat, Kelurahan
Batakte, wilayah dimana Pesantren Hidayatullah akhirnya berdiri.
Pesantren Hidayatullah terdiri dari dua komplek, masing-masing Asrama
Putri seluas 6000 meter persegi, dan komplek Asrama Putra seluas 8
hektar (sekitar 1 km dari asrama putri). Saat ini santri yang belajar di
pesantren ini datang dari 14 kabupaten yang ada di NTT, diantaranya:
Attambua, Flores Timur, Alor, Bejawa, Ende, Rote dan wilayah lain.
Banyak mullaf yang belajar Islam di pesantren Hidayatullah.
Bicara tantangan dakwah di Kupang, dikatakan Usman, memang belum
sepenuhnya optimal. Namun, untuk di perkotaan sudah banyak da’I yang
diturunkan. Sedangkan di pelosok, ada banyak muslim, namun kurang
pembinaan.
Pernah terjadi, di pedalaman SoE, saat bulan puasa, seorang bapak
dari rumahnya datang memasuki masjid untuk shalat tanpa berwudhu
terlebih dulu. Ketika ditanya, kenapa bapak tidak wudhu dahulu? Lalu
dijawabnya, saya tidak tahu cara berwudhu. Kemudian diajarilah bapak itu
oleh ustadz dari Hidayatullah bagaimana cara berwudhu sebelum melakukan
shalat.
“Kami juga menjumpai seorang warga muslim yang masih saja memelihara
babi. Ketika ditanya, kenapa bapak sebagai muslim masih memelihara babi?
Lalu dengan entengnya menjawab, bukankah yang diharamkan hanya memakan
babi, bukan memeliharanya. Seperti itulah kondisi masyarakat Muslim di
pedalaman Kupang yang kurang dengan pembinaan,” cerita Usman.
Suatu ketika, ada raja (kepala suku) non muslim, ketika makan daging
babi, badannya menjadi gatal-gatal. Lalu disuruhlah salah seorang
kaumnya untuk ke kota, agama apa yang mengharamkan daging babi? Lalu
didapatlah jawabannya, yakni Islam. Sejak itulah, kepala suku masuk
Islam dengan mengucapkan kalimah syahadat.
Tak lama kemudian, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kupang
memberi kesempatan kepala suku yang bernama Gunawan Isoe itu naik haji
ke Tanah Suci. Sepulang dari haji, ia syahadatkan seluruh kaumnya di
pedalaman Kampung SoE, sekitar dua jam dari Kupang. Dari beberapa
kampung, ada sekitar 15.000 jiwa yang disyahadatkan. Sang Raja yang juga
menjabat sebagai Camat setempat, kemudian dipecat oleh Bupati yang
memimpin di wilayah tersebut, dikarenakan sang raja telah memeluk Islam.
Kurangnya pembinaan dakwah memang dirasakan di NTT, khususnya Kupang
dan sekitarnya. Di sebuah kampung, ada sebuah masjid yang dibangun
secara permanen. Di tempat masjid itu berada, terdapat 150 KK yang
beragama Islam. Namun ironisnya, masjid itu tidak terlihat lagi, jamaah
yang shalat Jum’at. Ketika ditanya kenapa begitu? Mereka beralasan,
karena tidak ada khatibnya, akhirnya mereka shalat Dzuhur
masing-masing.
“Dulu, kami sering ke kampung itu. Bahkan, kami sempat mengirim
alumni aliyah Pesantren Hidayatullah untuk memberi pembinaan kepada
masyarakat sekitar. Sejak itu, mulai hidup shalat secara berjamaah,
juga pelaksanaan shalat Jum’at plus khutbahnya. Begitu santri kembali
pulang ke kampung halamannya, Jumat berikutnya tak ada lagi jamaah yang
datang untuk melaksanakan shalat Jum’at. Ironis memang,” ungkap Usman.
Diakui Usman, kami memang kekurangan tenaga da’i. Dari sisi
pendanaan, sebetulnya sudah ada donator yang akan memberi sokongan
materi, namun hingga saat ini belum ada tenaga yang akan dikirim.
Hidayatullah sendiri sudah melakukan upaya dan kerjasama dengan beberapa
ormas Islam, seperti DDII dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kupang
untuk pengkaderan dai.
“Satu hal, harus ada penguatan untuk para dai yang akan diterjunkan.
Kadang, setelah sampai di sana, ada tawaran duniawi yang lebih
menggiurkan. Dan nyatanya, tak sedikit yang memilih tawaran itu. Mereka
cemas dengan masa depannya,” tukas Usman yang sudah empat tahun memimpin
Hidayatullah. Sebelumnya ia ditugaskan ke Aceh, saat tsunami menerjang
Kota Rencong itu.
Imbas Kerusuhan Kupang 1998
Pada saat Tragedi Kupang tahun 1998, Batakte termasuk wilayah yang
disatroni para perusuh. Bayangkan, jalan menuju pesantren, telah
diblokade oleh kelompok salibis. Yang boleh melalui jalan itu harus bisa
menyanyikan lagu Yesus atau gereja. Akibatnya, dengan sangat terpaksa,
rekan-rekan Hidayatullah harus berpura-pura menyanyikan lagu Kristen
tersebut.
Tidak hanya itu, pesantren Hidayatullah nyaris saja dibakar oleh
kelompok massa Kristen yang ketika itu diangkut dengan menggunakan dua
truk dan menggunakan ikat kepala berwarna merah. Untung saja, Allah
masih menjaga dan melindungi saudara muslim di Batakte.
“Teman-teman kami di Kota Kupang mengira, pesantren ini sudah habis
dibakar. Mengingat di Kota Kupang, banyak masjid, toko dan pemukiman
muslim yang dilempari batu dan dibakar. Pernah, selama sebulan, setiap
kali shalat Jumat, masjid yang berada di komplek pesantren ini
mendapatkan penjagaan aparat. Termasuk saat melakukan shalat Idul Fitri
maupun Idul Adha.”
Yang pasti, kerusuhan Kupang 1998 telah merepotkan umat Islam di
Batakte. Bayangkan, dalam suasana mencekam dan tak punya pasokan
makanan, teman-teman di Hidayatullah harus membagi sebutir telur kepada
delapan orang untuk makan.
Peristiwa Temanggung dan Ambon, juga berimbas ke Batakte. Ada isu
yang disebarkan lewat SMS, bahwa akan ada kerusuhan besar di Kupang,
menyerupai Tragedi Kupang 1998. Saat itu, ada masyarakat muslim Bugis di
Kupang yang siap berjihad sampai mati, jika Batakte menjadi sasaran
perusuh. “Hingga saat ini kami sering kontak Ketua MUI Kupang untuk
mendapatkan informasi terkini.
Satu hal yang membanggakan, kini bangunan masjid semakin bertambah
mengalahkan jumlah gereja yang ada di Kupang dan sekitarnya. Hal itu
bisa dirasakan, ketika kumandang azan mulai bersahut-sahutan di beberapa
wilayah di Kupang. Inikah yang menggentarkan kaum Salibis,
sampai-sampai melarang adzan di Batakte dengan menggunakan loud speaker.
Bahkan, jumlah pemilih muslim di Kupang saat Pilkada sudah mencapai
80.000 suara. Jika mau, bisa saja Pemimpin daerah di Kota Kupang akan
tampil dari kalangan Muslim. Jika keinginan itu diwujudkan, kaum Salibis
di Kupang, sudah pasti akan lebih paranoid lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar