Anak saleh dan berakhlak karimah menjadi dambaan setiap orang tua.
Allah swt mengajarkan agar orang tua berupaya sungguh-sungguh dan berdoa
agar termasuk orang yang saleh, bersyukur dan mendapatkan generasi yang
saleh (46:15).
Begitulah yang dicontohkan Nabi Ibrahim as
(37:100, 14:40) dan Nabi Sulaiman as (27:15). Anak saleh lahir dari
orang tua yang saleh, yakni yang berbakti kepada Allah dan rasul, orang
tuanya dan juga kepada anak-anaknya.
Dr Muhammad Nasih Ulwan dalam buku Tarbiyatul awlad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) menjelaskan lima metode pendidikan yang berpengaruh untuk menyiapkan generasi saleh.
Pertama,
pendidikan dengan Keteladanan. Keteladanan dalam pendidikan merupakan
metode yang terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk
aspek moral, spritual dan emosional anak.
Pertanyaannya, apakah
orang tua dan guru masih bisa menjadi teladan? Mereka belum bangga
menjadikan kita sebagai idola. Untuk itu, kita harus menjadikan
Rasulullah saw sebagai teladan.
Rasulullah saw diutus Allah SWT
sebagai teladan terbaik bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan
(33:21), baik sebagai orang tua, suami, tetangga, da’i, pemimpin,
pengusaha dan lain-lain.
Kedua, pendidikan dengan Kebiasaan.
Pembiasaan sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan pribadi anak,
karena terjadi proses pengulangan yang terus menerus. Sehingga, sadar
atau tidak, secara perlahan akan membekas dan menjadi kebiasaan.
Di
sinilah peran penting pendidik (orang tua dan guru) untuk memilih
perkataan, sikap dan perbuatan yang baik. Misalnya, menyuruh mereka
shalat pada usia tujuh tahun dan memukulnya pada usia 10 tahun jika
tidak menjalankannya (HR. Abu Dawud).
Pembiasaan yang paling
berpengaruh berasal dari kedua orang tua, guru dan teman-teman
(lingkungan). Dalam masa tertentu, pengaruh teman atau lingkungan
menjadi dominan, maka hendaklah melihat siapa yang menjadi temannya (HR.
At-Turmudzi).
Ketiga, pendidikan dengan nasehat. Setelah
keteladanan dan pembiasaan, anak-anak perlu petuah atau nasehat yang
baik. Petuah yang menyentuh hati sanubari di waktu yang khusus pula.
Petuah
yang tulus lahir dari kebersihan hati orang tua dan guru mampu memberi
sentuhan dan kesejukan dalam diri anak. Al-Qur’an mengajarkan kita cara
memberi nasehat yang baik dengan ungkapan lembut.
Hal ini tergambar pada seorang pendidik sejati yakni Lukman al-Kakim (31:13-19). Ungkapan yang santun, yaa bunayya laa tusrik billah
(Hai anakku jangan menyekutukan Allah). Begitu pula ungkapan Nabi Nuh
As. (Hud:42), Nabi Ya’kub as. (Yusuf:5), Nabi Ibrahim as. (2:132).
Keempat
; Pendidikan dengan perhatian (pengawasan). Keteladanan, pembiasaan dan
nasehat yang diberikan orang tua belum cukup jika tidak dibarengi
dengan perhatian atau pengawasan ketat.
Orang tua harus terlibat
dan memberikan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengiringi perkembangan
anak. Mereka tumbuh dalam zaman yang berbeda dengan kita dahulu.
Pengaruh dan godaan semakin kompleks dan bervariasi.
Seringkali
terjadi, karena kurang perhatian dan pengawasan orang tua, menyebabkan
anak kehilangan pegangan. Pemerkosaan, pembunuhan, hubungan seks bebas,
terlibat narkoba, kriminal dan seterusnya, sebagian besar terjadi karena
kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua.
Kelima ;
pendidikan dengan Hukuman. Upaya maksimal orang tua dan guru melalui
metode pendidikan di atas, adakalanya tidak berhasil atau kurang
mendapat perhatian anak.
Pendidikan Islam memberikan ruang untuk
melakukan hukuman atau sanksi (‘iqob) yang mendidik (ta’zir). Hukuman
bukan untuk menyakiti tapi pencegahan (preventif) dan menimbulkan efek
jera (kuratif).
Dalam pendidikan anak, hukuman harus dilakukan secara bertahap, lemah lembut dan menghindari kekerasan (HR. Bukhari).
Patut
kita renungkan, anak yang melihat orang tuanya berbuat dusta, ia tidak
mungkin akan belajar jujur. Anak yang melihat orang tuanya berkhianat,
ia tidak mungkin belajar amanah. Anak yang melihat orang tuanya
mengikuti hawa nafsu, ia tidak mungkin akan belajar keutamaan.
Anak
yang mendengar orang tuanya mencela, tidak mungkin ia akan belajar
bertutur manis. Anak yang melihat orang tuanya marah dan emosi, tidak
mungkin ia belajar sabar. Anak yang melihat orang tuanya bersikap keras,
tidak mungkin ia belajar kasih sayang. Allahu a’lam bish-shawab.
n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar