Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para
petani bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya,
namun keadaan gelap gulita. Para pegawai dan pekerja pun demikian,
bangun sejak awal, agar mereka bisa berangkat ke tempat tugasnya, namun
kegelapan benar-benar pekat. Hal yang sama juga menimpa pelajar dan
mahasiswa, di mana mereka tidak bisa berangkat ke tempat studinya karena
gelap begitu mencekam.
Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada
yang melakukan aktivitas. Mereka semua menganggur dan kehidupan pun
terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya
menggigil dan lemas karena kedinginan. Kecemasan dan ketakutan
menghantui semua orang.
Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak
tampak! Orang-orang pun semuanya berangkat ke tempat ibadahnya,
meneriakkan selawat dan menghamburkan doa. Mereka berteriak histeris
seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali bersinar. Malam itu,
tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Keesokan
harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari
orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan
yang tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak
henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling
memberikan ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.
Kemudian,
salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa kalian
hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini
saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian
tahu kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”
Itulah
sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia, ketika
mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka
kembali pada Allah (an-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu
pun hanya terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak
nikmat Allah yang dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa
disadarinya.
Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian
dengan hal-hal material atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta
melimpah, jabatan dan posisi yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus
dalam testing sekolah atau pekerjaan, dan pendamping atau pasangan
hidup yang setia.
Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan
pada hamba-Nya di setiap tarikan napas mereka, yang sekaligus menjadi
penopang utama kehidupan mereka, tanpa mereka sadari. Misalnya, jantung
yang terus berdetak, napas yang terus menghirup udara bebas, mata yang
bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung yang bisa mengendus
rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan
dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka, dan
seterusnya.
Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang
berkali-kali dalam surah ar-Rahman: “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah
yang kamu dustakan?”
Maka, betapa lancungnya dan tidak etis
sekali, jika kita hanya mau taat dan beribadah kepada Allah di kala kita
didera kesulitan dan menyimpan segudang keinginan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar