Kamis, Agustus 12, 2010

POTRET DASAR ISLAM DI KUPANG NTT

Masjid Agung Al-Baitul Qadim Airmata merupakan potret dasar masuknya Islam di Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur (NTT). Masjid yang sudah berusia sekitar 200 tahun itu dibangun oleh Syahban bin Sanga Kala pada 1806 bersama umat Kristiani yang ada di sekitar kampung Airmata Kupang.
Syahban bin Sanga Kala merupakan warga Muslim pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Timor dalam pelayarannya dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur. "Syahban bin Sanga Kala berasal dari Mananga, sebuah kampung di Pulau Solor bagian barat," kata Imam Kepala Masjid Agung Al-Baitul Qadim Airmata H Abulrahim Mustafa.

Menurut Munandjar Widiyatmika, peneliti masuknya agama Islam di NTT, Islam masuk pertama kali di NTT mulai dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur pada abad ke-15. Penulis buku tentang sejarah masuknya Islam di NTT ini menambahkan, penyebaran agama Islam di NTT yang dimulai dari Pulau Solor itu, dilakukan oleh para pedagang dari Palembang, Sumatera.

Berdasarkan hasil penelitiannya, ulama dari Palembang yang pertama kali menyebarkan agama Islam di NTT yang dimulai dari Mananga, Pulau Solor itu adalah Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. Syahbudin bin Salman Al Faris disapa dengan Sultan Mananga, karena pertama kali membawa misi penyebaran agama Islam di NTT dari Mananga, Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur. "Dari Mananga, Islam kemudian perlahan-lahan masuk ke Pulau Flores, Alor dan Kupang seperti di Airmata itu," katanya.

Solor menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam di NTT karena letaknya strategis dengan bandar-bandar penting di Pamangkayo, Lohayong, Menanga, dan Labala di Pulau Lembata bagian selatan. "Letak pulau itu sangat strategis bagi kapal-kapal yang menunggu angin untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Timor dan Maluku serta Flores dan Alor," katanya.

Menurut Mustafa, Al-Baitul Qadim yang dibangun Syah Ban bin Sanga Kala pada 1806 secara gotong royong bersama penduduk setempat itu, merupakan masjid tertua di Pulau Timor, dan dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam pada saat itu sampai ke Timor Portugis (Timor Leste sekarang).

"Hampir sekitar enam tahun lamanya baru masjid itu selesai dibangun (1806-1812)," katanya dan menambahkan, Syahban bin Sanga merupakan warga Muslim pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Timor.  Dia datang dari Desa Menanga di Kabupaten Flores Timur.

Pada 1984, imam masjid turunan ketujuh,  Birando bin Tahir, mulai melakukan pemugaran atas masjid bersejarah itu guna melestarikan keberadaannya sebagai pusat penyebaran Islam di Pulau Timor. "Masjid ini merupakan pemersatu warga Muslim dan nonmuslim. Tak mengherankan jika masjid tersebut dijadikan sebagai objek wisata rohani di Kota Kupang," kata Mustafa.

Masjid itu dibangun dengan perpaduan arsitek antara unsur budaya Flores Timur dan Arab sebagai simbol perlawanan warga Airmata terhadap koloni Belanda dan Jepang pada masa itu. Masjid Agung Al-Baitul Qadim telah menurunkan tujuh orang imam kepala, di antaranya Birando bin Syaban, Ali bin Birando,  Djamaludin,  Abdul Gani,  Tahin bin Ali Birando dan Birando bin Tahir.

Masuknya Islam di NTT, dibawa oleh para pedagang dari Palembang sehingga sangat wajar kalau penyebarannya dilakukan mulai di sekitar bandar-bandar startegis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam dari luar, dan Solor adalah daerah peristirahatan sebelum ke pusat penghasil cendana di Pulau Timor pada saat itu.

Wilayah Kepulauan Solor, merupakan lumbung tanaman cendana terbesar di NTT pada abad tersebut, sehingga pulau kecil mungil yang terletak di antara Pulau Adonara, Lembata dan Flores itu menjadi incaran para pedagang dari kawasan Timur Tengah.

Bahkan Portugis sendiri membangun benteng di Pulau Solor karena Solor merupakan daerah yang paling tepat untuk berisiraharat sambil menunggu angin baik untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Timor. Portugis pada abad itu, tidak hanya membawa misi penyebaran agama Katolik di NTT yang dimulai dari ujung timur Pulau Flores, tetapi juga membawa misi dagang untuk membawa tanaman cendana beraroma wangi ke negaranya.

Secara perlahan-lahan, Islam kemudian menyebar ke daerah lain di NTT seperti Alor dan seluruh Flores serta Timor seperti di Kupang dan Sumba seperti di Waingapu. Tak mengherankan jika banyak muslim di Kupang bernama Arab, seperti Alkatiri, Aljufri dan lain-lain. Perkampungan Muslim di Kota Kupang, terdapat di Air Mata, Bonipoi dan Kampung Solor. Mereka umumnya pedagang muslim dari Solor dan turunan Arab.

Mereka hidup rukun dan damai dalam bingkai kultur bersama umat agama lainnya seperti Katolik dan Protestan, tanpa adanya persoalan.

Pembantu Rektor I Universitas Muhamadiyah Kupang (UMK), Ahmad Atang mengatakan, umat muslim di NTT dapat hidup damai dan tenteram di tengah mayoritas Katolik dan Protestan, karena telah membangun relasi atas bingkai kultur.

"Orang NTT tidak membangun hubungan atas dasar agama tetapi budaya. Itulah sebabnya umat muslim dapat hidup damai dan tenteram di tengah masyarakat NTT yang mayoritas beragama Katolik dan Protestan," katanya. Atang yang juga sosiolog ini menambahkan, "budaya lebih dahulu membentuk nilai sosial orang NTT sebelum masuknya agama-agama di wilayah provinsi kepulauan ini".

"Tak mengherankan, jika dalam satu rumah tangga terdapat keluarga yang berbeda agama. Ada yang Katolik, dan ada pula yang Islam. Kondisi ini biasa dan sudah membudaya dalam kehidupan orang NTT, karena hubungan persaudaraan dibangun bukan atas dasar agama," katanya menjelaskan.

Hal ini terlihat dari kerukunan warga Airmata membangun Masjid Agung Al-Baitul Qadim pada masa itu. Potret kerukunan hidup antarumat beragama dan antaragama seperti itulah yang terus menjalar sampai saat ini, karena membangun relasi hidup di wilayah provinsi kepulauan atas dasar bingkai budaya.

"Tidak mengherankan jika muslim dan Kristen di NTT tetap saja rukun dan damai, karena membangun bingkai hidup atas dasar budaya, bukan latar belakang agama," kata Atang.

Tidak ada komentar: