Media Umat
Rabu 07 April 2021
▪ □ ▪ □ ▪ □ ▪ □ ▪ □ ▪
AMBISI KEKUASAAN DUNIA YANG MEMBINASAKAN
▓ ▓ ▓
Ambisi kekuasaan merupakan bagian dari keinginan hawa nafsu. Memang wajar ambisi itu muncul, namun bukan berarti harus dituruti.
Islam mengajarkan bahwa hawa nafsu harus ditata dan dikendalikan sesuai petunjuk Allah SWT. Sebabnya, hawa nafsu itu sering memerintahkan pada keburukan (Lihat: QS Yusuf [12]: 53).
Banyak orang berlomba-lomba mewujudkan ambisi mereka atas kekuasaan. Hal itu tampak jelas, misalnya, dalam Pilkada. Puluhan ribu orang bersaing dan melakukan berbagai cara untuk meraih kekuasaan itu.
Tampak pula dalam kontestasi Pilpres. Memang, dalam Pilpres hanya beberapa pasangan yang bersaing. Namun, jutaan orang melibatkan diri untuk mendukung dan memilih pasangan mereka. Di antara mereka banyak petahana yang berambisi untuk mempertahankan jabatan dan kekuasaan mereka.
Mereka banyak yang mencalonkan kembali untuk masa jabatan kedua. Ambisi kekuasaan juga tampak saat belakangan mencuat ide agar masa jabatan presiden dibuat tiga periode.
Jauh-jauh hari Rasulullah saw. telah mensinyalir ambisi kekuasaan ini.
Beliau pun memperingatkan umatnya agar hati-hati terhadap akibatnya,
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya.” (HR Bukhari).
Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan bahwa Nabi saw. melarang meminta al-imârah (kepemimpinan/kekuasaan). Alasannya, kekuasaan itu bisa memberikan kekuatan kepada orang yang sebelumnya lemah dan memberikan kemampuan kepada orang yang sebelumnya tidak memiliki kemampuan. Semua itu bisa diambil oleh jiwa yang kasar dan cenderung pada keburukan.
Lalu kekuasaan itu dijadikan wasilah untuk balas dendam kepada orang yang dia anggap musuh. Sebaliknya, kekuasaan itu dia gunakan untuk hanya memperhatikan teman dan para pendukungnya, juga demi mewujudkan tujuan-tujuan zalim / rusak.
Ini jelas akan berakibat tidak baik dan tidak akan selamat. Karena itu, dalam kondisi demikian, yang lebih utama adalah al-imârah (kekuasaan) itu tidak diminta.
Al-Munawi di dalam Faydh al-Qadir menjelaskan bahwa kekuasaan itu bisa menggerakkan sifat-sifat terpendam. Jiwa bisa didominasi oleh kecintaan atas prestise dan kelezatan berkuasa, juga rasa suka agar segala perintahnya dijalankan. Semua itu merupakan kenikmatan dunia yang paling besar.
Jika semua itu dicintai, seorang penguasa bisa dikendalikan oleh hawa nafsunya. Dia akan selalu mengedepankan kepentingannya meski batil. Hal demikian bisa menjadikan dirinya binasa.
Karena itulah Rasul saw. memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang meminta kekuasaan atau jabatan tersebut.
Beliau pernah bersabda,
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
“Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya.” (HR Muslim).
Wallahu a’alam
▓ ▓ ▓
Sumber: Buletin Dakwah Kaffah
▪ □ ▪ □ ▪ □ ▪ □ ▪ □ ▪
Publikasi https://t.me/media_umat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar