DOSA KARENA PILKADA
Beberapa hari lagi, tepatnya tanggal 27 Juni 2018, sebagian saudara kita akan menghadapi pemilihan kepala (pemimpin) daerah (PILKADA). Pemilihan ini dilakukan secara serentak di 171 daerah. Sebagai mayoritas, suara umat Islam tentu sangat menentukan hasil PILKADA ini. Karena umat Islam-lah yang menjadi pemilih terbanyak. Namun sayangnya, masih ada sebagian dari umat Islam yang tidak peduli dengan prosesi pemilihan pemimpin ini. Bahkan tak cukup sampai di situ, ada pula yang sengaja mengajak umat Islam agar tidak menggunakan hak pilihnya. _Nastaghfirullah.._
*Memilih Pemimpin adalah Ibadah*
Hal pertama yang perlu dipahami oleh seluruh umat Islam adalah bahwa memilih pemimpin itu termasuk ibadah. Bahkan dalam agama kita, memilih pemimpin merupakan salah satu ibadah yang sangat penting. Hal ini tergambar dalam perkataan Nabi Muhammad SAW :
_Apabila ada tiga orang yg keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin!_ (HR. Abu Daud)
Bayangkan, jika dalam urusan perjalanan yang hanya diikuti oleh 3 orang saja, Rasulullah SAW memerintahkan agar ditunjuk seorang pemimpin, apatah lagi dengan urusan yang menyangkut hajat hidup ratusan ribu bahkan jutaan orang? Tentulah memililh pemimpin untuk urusan tersebut menjadi jauh lebih penting lagi. Hal ini pulalah yang dipahami oleh para sahabat ketika Rasulullah SAW wafat. Di saat jenazah mulia Rasulullah SAW masih terbujur di kamar Aisyah RA, yang dilakukan oleh para sahabat bukanlah segera menguburkan beliau, tetapi melakukan pemilihan pemimpin. Padahal menyegerakan penguburan mayat sangat dianjurkan, apalagi jasad mulia seorang nabi. Namun mengingat urgensi kehadiran seorang pemimpin menggantikan Rasulullah SAW membuat para sahabat lebih mendahulukan urusan tersebut. Karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim menolak untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan pemimpin.
*Fardhu Kifayah atau Fardhu ‘Ain?*
Berdasarkan jumhur (pendapat mayoritas) ulama, memilih pemimpin hukumnya fardhu kifayah, di mana ketika sekelompok orang Islam sudah melakukannya maka kewajibannya pun menjadi gugur. Dan jika tidak ada yang melakukan sama sekali, maka semua umat Islam yang berada di wilayah itu akan berdosa.
Namun hukum ini menurut kami lebih tepat diterapkan pada pemerintahan yang:
relatif sudah Islami sehingga siapa pun yang melakukan pemilihan, pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang baik
dalam pemilihan pemimpin menggunakan sistem perwakilan yang terdiri atas orang-orang yang berkompeten (ahlul halli wal aqdi)
calon pemimpin yang akan dipilih terdiri atas orang-orang baik, sehingga siapa pun yang terpilih tetap memberikan maslahat bagi umat
Sedangkan kondisi di Indonesia saat ini tidak mencerminkan 3 kondisi di atas.
*Pertama*, sistem pemerintahan kita masih jauh dari kata islami, bahkan yang sering terjadi justru kepentingan umat Islam dikebiri.
*Kedua*, sejak belasan tahun lalu sistem pemilihan pemimpin di negara kita tidak lagi berdasarkan perwakilan seperti sebelumnya. Melainkan dilakukan secara langsung oleh rakyat. Setiap rakyat yang memenuhi syarat, wajib dan berhak menggunakan hak pilihnya.
*Ketiga*, calon-calon yang berlaga dalam pemilihan tidak semuanya merupakan orang baik dalam kacamata syariat. Misalnya ada di antara mereka yang permisif terhadap paham yang merusak Islam (liberal) bahkan menyetujui LGBT, ada pula yang semasa memerintah di level lebih rendah mengajarkan kemusyrikan, mencampurkan ajaran agama lain dengan Islam, kemudian ada pula calon yang ketika menjabat di sebuah jabatan strategis melakukan kriminalisasi terhadap ulama dan peserta bela Islam.
Dengan kondisi Indonesia yang seperti ini, *maka hukum memilih pemimpin yang baik, bisa saja menjadi fardhu ‘ain (wajib bagi setiap diri muslim yang memiliki hak)*. Terlebih karena kita tidak tahu berapa suara yang dibutuhkan oleh calon yang baik untuk terpilih menjadi pemimpin. Sehingga hal ini membuat satu suara pun menjadi begitu berarti.
Penetapan hukum fardhu ‘ain ini kita ambil dari sisi kewajiban setiap muslim dalam mencegah kemungkaran. Rasulullah SAW bersabda :
_"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman..”_ (HR. Muslim)
Salah satu kemungkaran yang amat besar adalah membiarkan terpilihnya pemimpin yang tidak baik. Karena pemimpin yang tidak baik akan memproduksi berbagai macam bentuk kemungkaran. Maka menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mencegah kemungkaran ini terjadi. Mereka harus mencegahnya dengan semua daya yang mereka bisa. Dan daya yang paling menentukan serta amat mudah dilakukan adalah hak pilih mereka. Mereka harus menggunakan hak pilihnya untuk pemimpin yang baik. Lalu jika diperlukan, ikut serta berpartisipasi dalam menjaga kecurangan terhadap suara yang telah mereka berikan.
Orang-orang baik dan shaleh harusnya tidak cuek dengan proses pemilihan pemimpin. Mereka tidak boleh hanya sibuk memperbaiki diri, beribadah, menuntut ilmu, lalu mengabaikan kemungkinan terpilihnya pemimpin yang buruk. Sebab pemimpin yang buruk akan memberikan kemudharatan kepada umat.
Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri dan bahkan merasakan kemudharatan dari pemimpin-pemimpin yang buruk itu. Ulama dikriminalisasi, penista agama dihormati, kepentingan umat Islam dikebiri, korupsi merajalela, hukum tebang pilih, rakyat kecil dipersulit, pajak selangit, dan masih banyak lagi yang lainnya. Orang-orang shaleh tak boleh diam atas kemungkaran yang terjadi. Karena bencana akibat kemungkaran itu tidak hanya akan menimpa orang-orang zalim saja, tapi juga orang-orang baik dan tidak bersalah. Allah berfirman :
_ Dan takutlah kalian terhadap siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya._ (QS al-Anfal : 25)
Nah, masihkah Kita akan berdiam diri? Mari kita cegah kemungkaran besar yang akan terjadi karena terpilihnya pemimpin yang buruk. Ingatlah, mencegah kemungkaran itu fardhu ‘ain. Apalagi jika kita bisa melakukannya dengan mudah, hanya berjalan ke TPS lalu memberikan suara kepada calon pemimpin yang baik. Jangan sampai kita berdosa dan merasakan siksaan Allah SWT karena membiarkan terpilihnya pemimpin yang buruk..
Wallahu A’lam Bish Shawab.
✍ M. Putra
Mohon bantuannya untuk meng-share tulisan ini terutama kepada saudara-saudara kita yang akan menghadapi Pilkada