Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka. Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.
Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,
لما رغبت به عن أسماء أهل بيته؟
“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”Abdul Muthalib menjawab,
أردت أن يحمده الله تعالى في السماء وخلقه في الأرض
“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah ‘azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669).
Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?”
“Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.
Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”
Perawi menyatakan,
ولم يكن اسم محمد معروفا عند العرب
“Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad.
Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya.
Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili, “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).
Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,
فشق له من اسمه ليجله
فذو العرش محمود وهذا محمد
Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannyaKarena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad).
Wallahu a’lam bis showab.
__
Referensi: Al Lu’lu’u Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Ma’muun, karya Musa Rasyid Al ‘Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Suma’i, Riyadh.
Kota Nabi, 18 Rojab 1436 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar