Kesempatan sering tidak datang dua kali. Semoga Allah SWT menjadikan
kita semua sebagai orang yang pandai memanfaatkan kesempatan yang datang
untuk memperoleh kebaikan dan menghindarkan dari keburukan.
Rasulullah
SAW berpesan agar kita pandai memanfaatkan kesempatan sehat sebelum
datangnya sakit. Kesehatan dan waktu luang merupakan dua nikmat yang
membuat banyak manusia tertipu.
Doktor Muhammad Al Rusyaid
rahimahullah, mantan menteri pendidikan di Kerajaan Saudi Arabia,
memberikan wasiat yang sangat berkesan dalam akun Ttwitter-nya pada
pengujung 2013 sebelum beliau wafat.
"Di ruang isolasi penuh
dengan segala fasilitas, seperti lemari pakaian, pakaian yang baru,
kamar mandi yang bersih, perawatan yang intensif, tapi ada dua hal yang
tidak didapatkan, kesehatan dan kebebasan."
"Di ruang isolasi,
saya seperti dipenjara. Saya ikut merasakan kesulitan-kesulitan yang
dialami mereka yang berada di dalam sel. Saya menyadari kebodohan saya
dahulu yang menganggap mereka mudah beradaptasi. Betapa agungnya para
pejuang kebenaran yang sabar menghabiskan waktu yang lama tinggal di
balik teralis besi."
"Berempatilah kalian terhadap orang-orang
yang di penjara, baik mereka bersalah maupun tidak bersalah. Doakanlah
untuk kebaikan mereka. Sesungguhnya terisolasinya mereka dari dunia luar
membunuh mereka. Kesendirian mengakibatkan rasa waswas, membuka pintu depresi, dan menyebabkan penyakit fisik dan mental."
"Warna
putih yang mendominasi di rumah sakit tidak hanya mengingatkan saya
akan kain kafan, tapi justru mengingatkan saya akan noda-noda hitam
dalam kehidupan saya pada masa lalu. Warna putih yang saya lihat
memotivasi saya untuk membersihkan segala noda hitam yang ada pada
diriku."
"Di ruang isolasi ini, saya memiliki banyak kesempatan
untuk merenung. Setiap orang perlu menggunakan sebagian dari waktunya
untuk menyendiri, merenung, dan bertafakur. Cobalah!"
"Kesehatan
merupakan mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat, hanya
orang-orang sakit saja yang dapat melihat mahkota tersebut. Saya hafal
kalimat tadi sejak kecil, tapi baru memahami kedalaman maknanya saat
sekarang ini. Apakah Anda perlu pengalaman pahit terlebih dahulu untuk
mengetahui suatu hakikat?"
"Setelah dilakukan pencangkokan sumsum
tulang belakang dan pengobatan kemoterapi, selama 16 hari tanpa makan,
hilang selera makan. Minum pun hanya seseruput dan terpaksa.
Sesungguhnya nilai kesehatan itu mahal, siapakah yang mau memberi
peringatan kepada orang-orang yang sehat?!"
"Sebagian penyakit
tidak diketahui sebabnya seperti penyakitku ini, tapi masih banyak
penyakit yang diketahui sebab-sebabnya. Orang yang pandai adalah yang
memohon pertolongan kepada Allah, kemudian menghindari penyebab penyakit
dan menjaga kesehatannya."
"Penyakit itu di satu sisi merupakan
nikmat. Dengan sakit, ketergantunganku kepada Allah semakin kuat,
orang-orang yang saya cintai berdatangan menjengukku, jiwaku terasa
lebih jernih. Alhamdulillah."
"Pesanku untuk kalian!
Bacalah wasiat-wasiatku di atas dengan teliti agar kita merasakan hidup
ini penuh dengan kenikmatan! Ya Rabb, langgengkanlah kenikmatan untuk
kami. Studimu waktu SMA dan universitas, semua spesialisasimu bagaikan
debu sama sekali tidak bermanfaat saat malam pertamamu di kubur. Yang
tersisa hanya pelajaran kelas satu SD tentang pertanyaan, ‘Siapa Rabbmu?
Apa agamamu? Siapa nabimu?’"
Semoga Allah SWT menganugerahkan
kesehatan dan kesejahteraan kepada kita semua. Semoga Allah menetapkan
kesabaran bagi saudara kita yang sedang sakit dan keluarganya.
Semoga segala kesempatan yang Allah berikan kepada kami untuk
bertobat dan beramal saleh dalam sisa umur ini dapat kami manfaatkan
sebaik-baiknya. Amin
Kamis, Desember 18, 2014
Rabu, Desember 17, 2014
PENYEBAB LEMAH DAN PENYIMPANGAN AKIDAH
Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali mengatakan,
seorang yang tidak memiliki akidah secara benar sangat rawan termakan
oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran. Menurut Athian,
bila sudah putus asa, manusia yang lemah akidahnya mudah memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya ataupun keluar dari ajaran agama Islam.
Athian menjelaskan bahwa ada tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan akidah pada masa kini.
Pertama, kurangnya mengkaji ilmu tentang agama Islam, seperti saat sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi akidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran materialisme. Sehingga menurut Athian, mereka malas ketika diajak untuk melakukan kajian-kajian tentang ilmu Islam yang baik dan benar.
Kedua, Ta'ashshub atau fanatik terhadap nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal tersebut termasuk kebatilan.
Ketiga, Taklid buta atau mengikuti tanpa landasan dalil. Dalam hal ini, Athian menjelaskan perkara tersebut terjadi dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan akidah tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya.
"Banyak kelompok-kelompok yang kini menjadi aliran sesat karena kurang pahamnnya terhadap dalil dan kebenaran yang sebenarnya.
Keempat, Athian mengungkapkan banyak dari umat Islam yang berlebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. "Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia," ujar Athian.
Athian menjelaskan dalam perkara kelima, manusia lalai dalam merenungkan ayat-ayat Allah, baik dari ayat kauniyah maupun qur'aniyah. Menurut Athian, hal tersebut terjadi karena manusia terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembor-gemborkan oleh orang barat.
"Mereka berpikir kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka," kata Athian.
Keenam, Athian mengatakan kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal menurutnya, peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Athian mengatakan bahwa tersebut telah tertera dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. "setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR.Bukhari)
Athian mengatakan, faktor terakhir ketujuh, terjadinya penyimpangan akidah yaitu kebanyakan media informasi dan penyiaran yang lalai dalam menjalankan tugas pentingnnya sebagai pemberi informasi yang mendidik. Menurut Athian, sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan aturan agama.
"Sarana tersebut menjadi perusak generasi umat Islam," kata Athian.
Athian menjelaskan bahwa ada tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan akidah pada masa kini.
Pertama, kurangnya mengkaji ilmu tentang agama Islam, seperti saat sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi akidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran materialisme. Sehingga menurut Athian, mereka malas ketika diajak untuk melakukan kajian-kajian tentang ilmu Islam yang baik dan benar.
Kedua, Ta'ashshub atau fanatik terhadap nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal tersebut termasuk kebatilan.
Ketiga, Taklid buta atau mengikuti tanpa landasan dalil. Dalam hal ini, Athian menjelaskan perkara tersebut terjadi dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan akidah tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya.
"Banyak kelompok-kelompok yang kini menjadi aliran sesat karena kurang pahamnnya terhadap dalil dan kebenaran yang sebenarnya.
Keempat, Athian mengungkapkan banyak dari umat Islam yang berlebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. "Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia," ujar Athian.
Athian menjelaskan dalam perkara kelima, manusia lalai dalam merenungkan ayat-ayat Allah, baik dari ayat kauniyah maupun qur'aniyah. Menurut Athian, hal tersebut terjadi karena manusia terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembor-gemborkan oleh orang barat.
"Mereka berpikir kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka," kata Athian.
Keenam, Athian mengatakan kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal menurutnya, peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Athian mengatakan bahwa tersebut telah tertera dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. "setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR.Bukhari)
Athian mengatakan, faktor terakhir ketujuh, terjadinya penyimpangan akidah yaitu kebanyakan media informasi dan penyiaran yang lalai dalam menjalankan tugas pentingnnya sebagai pemberi informasi yang mendidik. Menurut Athian, sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan aturan agama.
"Sarana tersebut menjadi perusak generasi umat Islam," kata Athian.
Rabu, Desember 03, 2014
UKURAN KEBAHAGIAAN
Betapa tidak mudahnya seseorang menjadi bahagia. Kala kata itu
diartikan sebagai simbol materi, kemewahan, pangkat, golongan, status
sosial.
Secara tidak sadar, pola pikirnya sudah terbebani untuk mengejar segala jenis simbol yang sudah melekat padanya.
Ketika suatu saat simbol-simbol itu gagal didapat, ia akan menjadi kecewa bahkan putus asa seolah-olah hanya dengan meninggikan simbol saja kebahagiaan itu bisa diraihnya.
Memang, ada benarnya kalau materi, kedudukan, dan simbol lainnya bisa membawa seseorang menjadi bahagia. Apalagi, ada pepatah mengatakan, apa pun masalahnya, dengan uang segala urusan bisa menjadi lancar.
Dengan kedudukan, masalah bisa cepat teratasi. Hanya, simbol-simbol tersebut tidak melulu menjadikan seseorang lantas berbahagia.
Materi dan kedudukan di dunia sejatinya tidak akan dibawa ke alam kubur. Apalah arti sebuah simbol kalau dirinya masih jauh dari Tuhan, berbeda halnya kalau simbol tersebut digunakan untuk kebaikan pada diri dan sesama.
Kebiasaan orang yang meninggikan simbol tanpa esensi biasanya akan menganggap rendah dan memandang sebelah mata kepada orang yang hidup tanpa simbol kebahagiaan.
Mereka hanya akan menghormati orang-orang yang berharta, berpangkat dan mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat. Padahal, kemuliaan seseorang dilihat dari ketakwaan, bukan pada selainnya.
"Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujuraat ayat 13).
Inilah fenomena yang berkembang di masyarakat masa lalu maupun modern, banyak orang mengejar kebahagiaan dengan cara yang sulit. Padahal, ada yang lebih penting untuk diperhatikan, yaitu esensi bahagia.
Dengan menyederhanakan pola pikir dan pola hidup niscaya seseorang tidak akan jatuh ke dalam kesalahan berpikir. Siapa pun, pada dasarnya bisa berbahagia dengan mudah.
Karena, bahagia bukan hanya milik orang-orang elite saja. Kalangan menengah dan kalangan bawah pun bisa merasakan hal sama. Orang-orang tanpa pangkat, jabatan, bahkan status sosial pun tetap bisa merasakan kebahagiaan.
Kita tentu pernah mendengar kisah seseorang yang bekerja dengan penghasilan besar setiap bulannya, akan tetapi waktu, tenaga dan pikirannya lebih menguasai dirinya. Sebagian besar waktu habis terpakai untuk mencari materi.
Sedikit sekali waktu berkumpul dengan anak dan istrinya, tiada kehangatan yang bisa dirasakan kecuali pada waktu-waktu tertentu, bahkan tak jarang sang anak seperti kehilangan kasih sayang dari orang tua yang super sibuk dengan urusan-urusan dunia.
Waktu emas sang anak habis dengan orang lain. Alhasil anak pun menjadi lebih dekat dengan pengasuh atau orang yang mengurusinya sejak kecil daripada dengan orang tuanya.
Fenomena lain adalah saat seseorang hidup dengan penghasilan besar setiap bulannya ternyata rumah tangganya tidak harmonis.
Tak jarang, mereka akhirnya harus hidup berpisah karena memilih bercerai dan menjalani hidup masing-masing. Apakah materi dan status sosial belum cukup untuk membahagiakannya!?
Lalu, bagaimana dengan para pedagang kaki lima, petani, nelayan, atau orang-orang pinggiran yang berpenghasilan tidak tetap, terkadang rizki yang didapat hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Adakah mereka mendapat kebahagiaan? Jawabannya, tentu ada.
Kondisi ekonomi bukanlah menjadi alasan bagi seseorang untuk terhalang merasakan manisnya kehidupan selama ia bersabar, tetap berikhtiar, menjaga dirinya dari kemaksiatan, dan selalu bersyukur atas pemberian dari Tuhannya kendati sedikit maka selama itu pula Allah Ta’ala akan membimbingnya kepada kebahagiaan yang hakiki.
Secara tidak sadar, pola pikirnya sudah terbebani untuk mengejar segala jenis simbol yang sudah melekat padanya.
Ketika suatu saat simbol-simbol itu gagal didapat, ia akan menjadi kecewa bahkan putus asa seolah-olah hanya dengan meninggikan simbol saja kebahagiaan itu bisa diraihnya.
Memang, ada benarnya kalau materi, kedudukan, dan simbol lainnya bisa membawa seseorang menjadi bahagia. Apalagi, ada pepatah mengatakan, apa pun masalahnya, dengan uang segala urusan bisa menjadi lancar.
Dengan kedudukan, masalah bisa cepat teratasi. Hanya, simbol-simbol tersebut tidak melulu menjadikan seseorang lantas berbahagia.
Materi dan kedudukan di dunia sejatinya tidak akan dibawa ke alam kubur. Apalah arti sebuah simbol kalau dirinya masih jauh dari Tuhan, berbeda halnya kalau simbol tersebut digunakan untuk kebaikan pada diri dan sesama.
Kebiasaan orang yang meninggikan simbol tanpa esensi biasanya akan menganggap rendah dan memandang sebelah mata kepada orang yang hidup tanpa simbol kebahagiaan.
Mereka hanya akan menghormati orang-orang yang berharta, berpangkat dan mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat. Padahal, kemuliaan seseorang dilihat dari ketakwaan, bukan pada selainnya.
"Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujuraat ayat 13).
Inilah fenomena yang berkembang di masyarakat masa lalu maupun modern, banyak orang mengejar kebahagiaan dengan cara yang sulit. Padahal, ada yang lebih penting untuk diperhatikan, yaitu esensi bahagia.
Dengan menyederhanakan pola pikir dan pola hidup niscaya seseorang tidak akan jatuh ke dalam kesalahan berpikir. Siapa pun, pada dasarnya bisa berbahagia dengan mudah.
Karena, bahagia bukan hanya milik orang-orang elite saja. Kalangan menengah dan kalangan bawah pun bisa merasakan hal sama. Orang-orang tanpa pangkat, jabatan, bahkan status sosial pun tetap bisa merasakan kebahagiaan.
Kita tentu pernah mendengar kisah seseorang yang bekerja dengan penghasilan besar setiap bulannya, akan tetapi waktu, tenaga dan pikirannya lebih menguasai dirinya. Sebagian besar waktu habis terpakai untuk mencari materi.
Sedikit sekali waktu berkumpul dengan anak dan istrinya, tiada kehangatan yang bisa dirasakan kecuali pada waktu-waktu tertentu, bahkan tak jarang sang anak seperti kehilangan kasih sayang dari orang tua yang super sibuk dengan urusan-urusan dunia.
Waktu emas sang anak habis dengan orang lain. Alhasil anak pun menjadi lebih dekat dengan pengasuh atau orang yang mengurusinya sejak kecil daripada dengan orang tuanya.
Fenomena lain adalah saat seseorang hidup dengan penghasilan besar setiap bulannya ternyata rumah tangganya tidak harmonis.
Tak jarang, mereka akhirnya harus hidup berpisah karena memilih bercerai dan menjalani hidup masing-masing. Apakah materi dan status sosial belum cukup untuk membahagiakannya!?
Lalu, bagaimana dengan para pedagang kaki lima, petani, nelayan, atau orang-orang pinggiran yang berpenghasilan tidak tetap, terkadang rizki yang didapat hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Adakah mereka mendapat kebahagiaan? Jawabannya, tentu ada.
Kondisi ekonomi bukanlah menjadi alasan bagi seseorang untuk terhalang merasakan manisnya kehidupan selama ia bersabar, tetap berikhtiar, menjaga dirinya dari kemaksiatan, dan selalu bersyukur atas pemberian dari Tuhannya kendati sedikit maka selama itu pula Allah Ta’ala akan membimbingnya kepada kebahagiaan yang hakiki.
Senin, Desember 01, 2014
MENGENAL SHALAT SUNAH FAJAR
KITA sering sekali mendengar tentang keutamaan shalat Fajar. Dan
ingin sekali melakukakannya sebagai bentuk meningkatkan kualitas iman.
Timbul pertanyaan kapan waktu sholat Fajar itu? Terlepas dari itu, mari
kita bahas keutamaan shalat fajar terlebih dahulu, agar kita semakin
semangat mengerjakannya.
Terdapat banyak hadis yang menunjukkan keutamaan shalat sunah fajar. Diantaranya,
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kemudian, juga hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,
Jadi, kapan waktu shalat fajar?
Sebagian orang kebingungan antara shalat fajar dengan shalat qabliyah subuh. Sehingga ada yang melaksanakan dua kali. Shalat fajar dilakukan sebelum adzan subuh, kemudian shalat qabliyah subuh dilakukan setelah adzan subuh.
Dan jelas, ini adalah pemahaman yang tidak benar. Karena shalat fajar adalah shalat qabliyah subuh.
A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
Cerita A’isyah ini menunjukkan bahwa shalat sunah yang dimotivasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau rutinkan adalah shalat sunah qabliyah subuh.
Shalat ini dinamakan shalat fajar, karena shalat ini dilaksanakan tepat setelah terbit fajar, sebelum pelaksanaan shalat subuh.
Yuk, mulai istiqomahkan sholat Fajar…
Terdapat banyak hadis yang menunjukkan keutamaan shalat sunah fajar. Diantaranya,
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
”Dua rakaat fajar, lebih baik dari pada dunia seisinya.” (HR. Muslim 725, Nasai 1759, Turmudzi 416, dan yang lainnya).Kemudian, juga hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ
تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيِ الفَجْرِ
Tidak ada shalat sunah yang lebih diperhatikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada dua rakaat fajar. (HR. Bukhari 1169).Jadi, kapan waktu shalat fajar?
Sebagian orang kebingungan antara shalat fajar dengan shalat qabliyah subuh. Sehingga ada yang melaksanakan dua kali. Shalat fajar dilakukan sebelum adzan subuh, kemudian shalat qabliyah subuh dilakukan setelah adzan subuh.
Dan jelas, ini adalah pemahaman yang tidak benar. Karena shalat fajar adalah shalat qabliyah subuh.
A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ
”Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum dzuhur dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR.Bukhari 1182, Nasai 1758, dan yang lainnya).Cerita A’isyah ini menunjukkan bahwa shalat sunah yang dimotivasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau rutinkan adalah shalat sunah qabliyah subuh.
Shalat ini dinamakan shalat fajar, karena shalat ini dilaksanakan tepat setelah terbit fajar, sebelum pelaksanaan shalat subuh.
Yuk, mulai istiqomahkan sholat Fajar…
Langganan:
Postingan (Atom)