Dilatarbelakangi kekalahan mereka dari kaum muslimin pada peperangan
di Lembah Badar (17 Ramadhan 1 H), kaum Quraisy (Makkah) bersepakat
membalas dendam.
Lalu, mereka menyiapkan pasukan berkekuatan sekitar 3.000 prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb.
Pasukan sebesar itu ternyata merupakan gabungan dari kaum Quraisy,
sejumlah warga Habsyah dan warga Arab dari Bani Kinanah dan Bani
Tihamah.
Setelah informasi tersebut diketahui Rasulullah SAW,
tanpa membuang-buang waktu beliau berkonsolidasi dengan para sahabat
untuk mencari jalan ke luar terbaik.
Setelah perdebatan panjang, kaum muslimin bersepakat menghadang mereka di luar Kota Madinah yakni di Gunung Uhud.
Dengan kekuatan sekitar 1.000 prajurit, Rasul berangkat ke Gunung Uhud menghadang musuh (pertengahan Syaban 2 H).
Maka berkecamuklah peperangan itu. Berbeda dengan peperangan di
Lembah Badar tahun sebelumnya, peperangan di Gunung Uhud berakhir dengan
kemenangan pihak musuh.
Kekalahan tersebut terasa sangat
menyakitkan. Bukan saja karena banyaknya korban di kalangan kaum
muslimin namun karena ketidakdisiplinan prajurit Islam sendiri. Konon,
prajurit pemanah yang berjaga di punggung gunung sekonyong-konyong
meninggalkan pos mereka.
Mereka tergiur harta benda yang
ditinggalkan begitu saja oleh pihak musuh. Dengan begitu, ketika
prajurit Islam yang serakah tersebut sedang mengambil harta benda di
kaki Gunung Uhud seketika itu pula disergap musuh.
Maka
terjadilah malapetaka yang sangat menyakitkan itu. Hamzah bin Abdul
Muthalib, panglima perang sekaligus paman Rasulullah SAW terbunuh
ditombak dari belakang oleh Wahsyi, budak milik Muth’im bin Jubair.
Dalam
suatu riwayat dikemukakan, pada peperangan di Gunung Uhud itu, gugur 64
orang dari kalangan Anshar dan enam orang dari kalangan Muhajirin
termasuk Hamzah. Semua prajurit Islam itu anggota tubuhnya dikoyak-koyak
dengan kejam.
Bahkan, ketika Hindun bin Uthbah (istri Abu Sufyan
bin Harb) melihat jasad Hamzah yang sudah tidak bernyawa, dihampirinya
dengan penuh kebencian. Lalu, dia belah dadanya. Dia keluarkan
jantungnya. Dia mengunyahnya, dan menelannya. Biadab!
Maka berkatalah kaum Anshar, “Jika kami mendapat kemenangan, kami akan berbuat lebih dari apa yang mereka lakukan.” (HR At-Tirmidzi dari Ubay bin Ka’ab).
Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah berdiri SAW di hadapan jenazah Hamzah beliau berkata, “Aku akan bunuh 70 orang dari mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap dirimu.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Kitab Ad-Dalail dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah).
Apa
yang diungkapkan kaum Anshar dan Rasulullah SAW menyiratkan keinginan
membalas dendam. Mereka saat itu beranggapan, yang dilakukan musuh telah
melampaui batas peri kemanusiaan. Maka menurut mereka sepantasnya
dibalas dengan balasan yang setimpal.
Allah SWT berfirman, “Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu
dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16] : 126 -128).
Menurut
Ibnu Hishar ayat-ayat tersebut diturunkan hingga tiga kali. Mula-mula
diturunkan di Makkah, lalu di Gunung Uhud, selanjutnya saat Fathu
Makkah. Kandungan ayat itu juga sangat menarik. Dalam keadaan sesulit
apapun, kaum muslimin diajarkan untuk bersabar.
Dalam situasi
seperti itu, bersabar akan terasa sangat berat. Namun, Allah SWT
menjanjikan pertolongan. Dalam ayat lain ditegaskan pertolongan Allah
itu dekat. Karena itu, tidak perlu bersedih hati dan tidak perlu
bersempit dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar