Jumat, Januari 24, 2014

HIKMAH TELADAN INTEGRAL DAN UNIVERSAL



Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).

Dengan mengingat Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun, harusnya keadaan umat Islam semakin baik dalam semua aspeknya.
Jika realitasnya masih terpuruk, salah satu penyebabnya karena umat Muhammad SAW baru meneladani beliau secara parsial.

Ayat di atas memang konteksnya berisi seruan kepada kaum Muslimin dalam Perang Ahzab/Khandaq tahun 5 H agar meneladani panglima perang mereka, yaitu Rasulullah dalam kesabaran, keberanian, dan kesungguhannya.

Tapi sebenarnya, ayat tersebut memberikan pemahaman kepada kita agar meneladani Nabi secara integral (utuh) dan universal (menyeluruh). Sebab, beliaulah sosok yang mengaplikasikan ajaran Islam yang bersifat integral dan universal.

Hal ini diperkuat dengan penggunaan lafaz fii Rasulillah (pada diri Rasulullah) dalam ayat tersebut. Keteladanan bersifat parsial jika redaksi Alquran berbunyi fii aqwaali Rasulillah (pada ucapan Rasulullah) atau fii af’aali Rasulillah (pada perbuatan Rasulullah).

Namun, realitasnya tidaklah demikian. Karena itu, keteladanan dalam ayat di atas bersifat integral dan universal.
Jadi, Rasulullah adalah satu-satunya teladan utama kita dalam beribadah, berumah tangga, bermasyarakat, berdakwah, berekonomi, berpolitik, berjihad, dan mengatur negara.

Pemahaman seperti inilah yang tecermin dari penafsiran para ulama terhadap ayat di atas. Dalam kajian Ibnu Katsir, ayat ini merupakan pijakan utama meneladani Rasulullah dalam semua aspek, baik ucapannya, perbuatannya, dan semua keadaannya (Tafsir Ibnu Katsir IV/211).

Oleh karena itu, dalam banyak kesempatan, Nabi sering memerintahkan kaum Muslimin selalu ittiba’ (mengikuti) perintah, jejak, dan sunah beliau.
Seperti dalam urusan shalat, beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari no 631).

Saat memperagakan manasik haji, beliau bersabda, “Ambillah dariku manasik (haji) kalian.” (HR Baihaqi di As Sunan Al Kubra V/125, lihat pula HR Muslim no 1297).
Seorang Mukmin sejati memahami benar bahwa ucapan Nabi bermakna simbolik. Dengan sabdanya tersebut, sesungguhnya Nabi ingin juga menyatakan, “Berkeluargalah kalian sebagaimana kalian melihat aku berkeluarga.

Atau, “Jadilah kalian Muslim yang jujur sebagaimana kalian melihat aku menjadi orang yang jujur dan dipercaya” atau “Berdakwalah kalian sebagaimana kalian melihat aku berdakwah.” Atau, “Berekonomilah kalian sebagaimana kalian melihat aku berekonomi”. Begitu seterusnya dalam semua aspek kehidupan.

Jika tidak menerapkan keteladanan yang universal, berarti kita masih harus terus bersabar menghadapi bencana dan malapetaka.
Sebab, Allah menetapkan Qa’idah min Qawa’idi’l Hayah (kaidah kehidupan) bahwa mengabaikan atau menyalahi perintah Rasul akan memicu munculnya beragam fitnah atau krisis multidimensional.

Allah berfirman, “…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” (QS an-Nuur [24]: 63). Na’udzu billah min dzalik.

Tidak ada komentar: