Namanya Jundub bin Junadah, tetapi lebih dikenal dengan panggilan Abu Dzar al-Ghiffari. Sahabat Nabi ini terkenal dengan sikap zuhudnya serta pandangan khasnya tentang harta. Bagi Abu Dzar, menyimpan harta dalam jumlah yang berlebih dari kebutuhan keluarga adalah haram. Ayat yang sering dikutip Abu Dzar: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka, (mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS at-Taubah [9]: 34).
Abu Dzar tidak pernah menyimpan harta lebih dari persiapan hidup tiga hari. Tidak jarang dia berhari-hari hanya makan beberapa biji kurma dan air. Sewaktu tinggal di Damaskus, pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan pernah mengujinya dengan mengirimkan uang 100 dinar pada satu malam dan besok paginya memintanya kembali dengan alasan salah kirim. Ternyata uang tersebut sudah habis dibagikan malam itu juga kepada fakir miskin. Abu Dzar berjanji akan mengumpulkannya kembali dalam tiga hari jika Muawiyah menginginkannya.
Suatu hari, seseorang datang ke kediaman Abu Dzar. Tamu itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumahnya. Dia tidak melihat apa-apa di rumah itu. "Hai Abu Dzar! Di mana barang-barang Anda?" Abu Dzar menjawab, "Kami mempunyai rumah yang lain. Barang-barang kami yang bagus telah kami kirim ke sana."
Tamu itu rupanya mengerti bahwa yang dimaksud Abu Dzar adalah akhirat. Lalu tamu tadi berkata, "Tetapi, Anda juga memerlukan barang-barang itu di rumah ini?" Maksudnya, di dunia. Abu Dzar dengan tangkas menjawab, "Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal di sini buat selama-lamanya."
Abu Dzar sering menyampaikan kepada kaum dhuafa bahwa pada harta orang-orang kaya itu ada hak mereka. Sebagai gubernur, Muawiyah khawatir kalau-kalau cara pandang Abu Dzar itu akan mendorong orang-orang miskin merampasi harta kekayaan orang kaya. Dia melaporkan Abu Dzar kepada Khalifah Usman di Madinah. Khalifah memanggil Abu Dzar dan dua sahabat ahli tafsir untuk menguji penafsiran Abu Dzar terhadap surah at-Taubah ayat 34 itu. Keduanya menyatakan bahwa yang diancam oleh ayat tersebut adalah orang-orang yang menimbun kekayaan dan tidak menunaikan kewajibannya membayar zakat.
Setelah peristiwa itu, Abu Dzar tidak mau kembali lagi ke Damaskus dan juga tidak mau menetap di Madinah. Dalam pandangan dia, umat Islam di kedua kota tersebut tidak lagi hidup secara sederhana seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dia minta izin tinggal di Rabdzah, sebuah kampung kecil di luar Kota Madinah.
Suatu hari, Abu Dzar berpesan kepada putrinya. Jika lewat kafilah di kampung kita ini, jamulah mereka makan. Setelah itu tanyakan kepada mereka, apakah Abu Dzar termasuk ahli surga atau bukan. Putrinya heran, karena biasanya pertanyaan itu diajukan setelah seseorang meninggal dunia. Mengetahui ada kafilah datang dan putrinya sudah menyiapkan jamuan, Abu Dzar mengambil air wudhu lalu shalat dua rakaat dengan khusyuk. Setelah shalat, dia berbaring dan melipat kedua tangannya, kemudian tenang. Pada saat itulah Allah SWT memanggilnya. Alangkah indahnya kematian sahabat kaum dhuafa ini.
Jumat, Oktober 21, 2011
Selasa, Oktober 11, 2011
MASJID TERAPUNG KUALA PERLIS MALAYSIA
Foto Masjid Terapung Kuala Perlis - Malaysia
Tak hanya Jeddah yang kini memiliki masjid megah yang terapung di atas laut. Malaysia kini membangun masjid sejenis di Kuala Perlis. Masjid yang memiliki dua menara kembar heksagonal ini dirancang untuk mampu menampung 1.000 jamaah dalam satu kali kesempatan shalat.
Masjid Terapung Al-Hussain, demikian namanya, diresmikan oleh Raja Perlis, Tuanku Syed Sirajuddin Putra Jamalullail, akhir pekan lalu. Masjid ini sangat trategis karena lokasinya di Kuala Perlis, jalur turisme yang ramai yang menghubungkan Malaysia daratan dengan pulau yang kaya akan sejarah Islam, Langkawi.
Disain masjid ini terbilang unik.Gerbang masjid berada di daratan, namun ruang ibadahnya menjorok ke laut. Biaya seluruhnya 12 juta ringgit, yang berhasil dikumpulkan oleh pengusaha sukses negeri itu, Tan Sri Mohd Ariffin Yusof dan keluarga besarnya.
Menara masjid, selain berbentuk heksagonal, juga akan memberi warna berbeda saat waktu shalat Isya dan subuh, yang berfungsi sebagai 'mercusuar shalat' bagi nelayan. Masjid Al Hussain adalah masjid ke-104 yang dibangun di Perlis.
Senin, Oktober 10, 2011
PIAGAM ANUGERAH ANTARA MUSLIM DENGAN NON MUSLIM
Bangsa Indonesia kembali dikejutkan aksi bom bunuh diri. Terbaru adalah pada Ahad, 25 September lalu, di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kapunton, Solo, Jawa Tengah. Sebagai umat Islam, kita miris melihat kondisi ini. Perdamaian yang tumbuh subur di negeri Muslim ini kembali tercabik oleh aksi bom bunuh diri. Terlebih aksi bom bunuh diri selalu dikaitkan dengan agama.
Sungguh aneh. Padahal, perdamaian merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam. Perintah untuk selalu berdamai tidak hanya terdapat pada ayat-ayat Alquran tetapi juga dicontohkan langsung dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat dikenal dengan kepribadian dan budi pekertinya yang baik. Banyak perjanjian yang dibuat Rasul SAW bertujuan untuk menghindari konflik dan berupaya membangun perdamaian. Mulai dari perjanjian Hudaibiyah, piagam Madinah, perjanjian dengan delegasi Najran, dan masih banyak lagi.
Dalam hubungan dengan kalangan non-Muslim, Rasulullah menuliskannya dalam 'Piagam Anugerah' yang kini tersimpan di Gereja St Catherine's Monastery, Bukit Sinai, Mesir. Surat itu diberikan kepada seorang delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah.
"Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.
Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.
Jika ada yang memgambil hal-hal tersebut maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci.
Tidak ada yang memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa.
Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaiki dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir."
Karena itu, sudah sepantasnya kita hidup berdampingan dan saling menghormati antarsesama anggota masyarakat guna memperkuat tali persaudaraan sesama anak bangsa, agar terwujud masyarakat yang ideal, yakni aman, makmur, dan sentosa. Inilah masyarakat yang didambakan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan senantiasa mendapat ampunan dari Allah SWT).
Sungguh aneh. Padahal, perdamaian merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam. Perintah untuk selalu berdamai tidak hanya terdapat pada ayat-ayat Alquran tetapi juga dicontohkan langsung dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat dikenal dengan kepribadian dan budi pekertinya yang baik. Banyak perjanjian yang dibuat Rasul SAW bertujuan untuk menghindari konflik dan berupaya membangun perdamaian. Mulai dari perjanjian Hudaibiyah, piagam Madinah, perjanjian dengan delegasi Najran, dan masih banyak lagi.
Dalam hubungan dengan kalangan non-Muslim, Rasulullah menuliskannya dalam 'Piagam Anugerah' yang kini tersimpan di Gereja St Catherine's Monastery, Bukit Sinai, Mesir. Surat itu diberikan kepada seorang delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah.
"Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.
Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.
Jika ada yang memgambil hal-hal tersebut maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci.
Tidak ada yang memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa.
Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaiki dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir."
Karena itu, sudah sepantasnya kita hidup berdampingan dan saling menghormati antarsesama anggota masyarakat guna memperkuat tali persaudaraan sesama anak bangsa, agar terwujud masyarakat yang ideal, yakni aman, makmur, dan sentosa. Inilah masyarakat yang didambakan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan senantiasa mendapat ampunan dari Allah SWT).
Kamis, Oktober 06, 2011
MARI SEMUA PARTISIPASI UNTUK GERAKAN DAKWAH NELAYAN FLORES
Usman Maratu Selolong melipat-lipat kecil uang Rp 20.000 kemudian menyelipkannya ke dalam saku celana. Itulah bagian untuknya, kelima belas anak buahnya pun mendapatkan jumlah yang sama. Lelaki usia 60 tahun ini membagi rata uang Rp 320.000, hasil menjual ikan yang ditangkap nelayan dalam kelompoknya setelah dikurangi biaya pembelian bahan bakar.
Demikianlah keseharian warga nelayan di pesisir laut Flores, Nusa Tenggara Timur. Hari ini ia bisa membawa pulang uang untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan keempat anaknya, namun belum tentu esok hari. Terkadang hasil tangkapan tidak mampu menutupi biaya operasional dan bahan bakar selama melaut.
Laut Flores sebenarnya kaya akan ikan. Namun sarana yang kurang menyebabkan mereka kesulitan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memadai. Perahu Ketinting yang mereka gunakan untuk melaut adalah perahu sebesar sampan yang terbatas daya muatnya, belum lagi jarak yang harus ditempuh oleh nelayan untuk menjual hasil tangkapannya ke pasar yang memakan waktu perjalanan sampai 6 jam. Daya serap pasar lokal inipun terbatas sehingga selalu ada dilema, bahkan saat musim panen ikanpun, nelayan tidak bisa tangkap banyak-banyak selain karena perahu Ketintingnya tidak mampu muat banyak, juga saat di pasar, boleh dikatakan percuma menangkap ikan banyak-banyak karena tidak laku dijual.
Sebenarnya ada pasar yang cukup besar yang mampu menyerap hasil tangkapan nelayan yakni pasar untuk ekspor. Bahkan perusahaan Jepang, Taiwan dan Korea sudah membangun tempat penampungan hasil laut di sekitar pelabuhan Maumere, Flores Tengah. Sayangnya pasar ekspor ini hanya menerima jenis ikan tuna dan cakalang.
Melihat situasi yang dihadapi oleh nelayan di NTT yang sebagian besar adalah muslim itu, maka Badan Wakaf Al Qur’an (BWA) bersama partner lapangnya ust. Arifuddin Anwar berinovasi untuk merombak sebuah kapal yang sebelumnya untuk angkut logistik, menjadi kapal dakwah nelayan yang dapat menampung hasil tangkapan nelayan.
Kapal dakwah nelayan ini akan di renovasi dan dilengkapi sarana pembeku ikan dan palka penyimpanan yang mampu memuat sampai dengan 20 ton. Nantinya kapal ini akan berfungsi sebagai kapal penampung ikan hasil tangkapan nelayan di tengah laut, dengan demikian ikan tangkapan dapat dipertahankan kesegarannya, sehingga harga jual terutama ikan tuna dan cakalang untuk pasar ekspor tetap tinggi.
Keuntungan lainnya adalah, ikan selain tuna dan cakalang dapat di jual ke pasar yang lebih besar yakni ke Surabaya bahkan sampai Jakarta. “Pedagang besar ikan di Surabaya dan Jakarta sudah menyatakan kesediaannya untuk menampung ikan segar tersebut, berapapun jumlah hasil tangkapannya,” tegas Arifuddin Anwar.
Keseluruhan proses renovasi ini bila tidak ada aral melintang membutuhkan waktu sekitar 4 bulan, insya Allah dimulai bulan September 2011 dengan mengganti mesin utama penggerak kapal dengan mesin yang lebih besar powernya. Setelah mesin utama terpasang, selanjutnya bagian kapal akan di rombak untuk palka pembeku dan penyimpanan ikan. Adapun proses instalasi dan pemasangan alat pembeku dan pendingin akan dilakukan di Muara Baru, Jakarta Utara. Diperkirakan akhir Januari 2012, kapal siap untuk berangkat kembali ke Flores, NTT, dan menjalankan tugas membantu nelayan tradisional di sana sekaligus sebagai sarana dakwah yang ampuh.
Perombakan kapal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. BWA dan nelayan di pesisir laut Flores mengetuk hati kaum Muslim untuk berpartisipasi dalam kegiatan wakaf bagi Kapal Dakwah Nelayan ini.
Demikianlah keseharian warga nelayan di pesisir laut Flores, Nusa Tenggara Timur. Hari ini ia bisa membawa pulang uang untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan keempat anaknya, namun belum tentu esok hari. Terkadang hasil tangkapan tidak mampu menutupi biaya operasional dan bahan bakar selama melaut.
Laut Flores sebenarnya kaya akan ikan. Namun sarana yang kurang menyebabkan mereka kesulitan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memadai. Perahu Ketinting yang mereka gunakan untuk melaut adalah perahu sebesar sampan yang terbatas daya muatnya, belum lagi jarak yang harus ditempuh oleh nelayan untuk menjual hasil tangkapannya ke pasar yang memakan waktu perjalanan sampai 6 jam. Daya serap pasar lokal inipun terbatas sehingga selalu ada dilema, bahkan saat musim panen ikanpun, nelayan tidak bisa tangkap banyak-banyak selain karena perahu Ketintingnya tidak mampu muat banyak, juga saat di pasar, boleh dikatakan percuma menangkap ikan banyak-banyak karena tidak laku dijual.
Sebenarnya ada pasar yang cukup besar yang mampu menyerap hasil tangkapan nelayan yakni pasar untuk ekspor. Bahkan perusahaan Jepang, Taiwan dan Korea sudah membangun tempat penampungan hasil laut di sekitar pelabuhan Maumere, Flores Tengah. Sayangnya pasar ekspor ini hanya menerima jenis ikan tuna dan cakalang.
Melihat situasi yang dihadapi oleh nelayan di NTT yang sebagian besar adalah muslim itu, maka Badan Wakaf Al Qur’an (BWA) bersama partner lapangnya ust. Arifuddin Anwar berinovasi untuk merombak sebuah kapal yang sebelumnya untuk angkut logistik, menjadi kapal dakwah nelayan yang dapat menampung hasil tangkapan nelayan.
Kapal dakwah nelayan ini akan di renovasi dan dilengkapi sarana pembeku ikan dan palka penyimpanan yang mampu memuat sampai dengan 20 ton. Nantinya kapal ini akan berfungsi sebagai kapal penampung ikan hasil tangkapan nelayan di tengah laut, dengan demikian ikan tangkapan dapat dipertahankan kesegarannya, sehingga harga jual terutama ikan tuna dan cakalang untuk pasar ekspor tetap tinggi.
Keuntungan lainnya adalah, ikan selain tuna dan cakalang dapat di jual ke pasar yang lebih besar yakni ke Surabaya bahkan sampai Jakarta. “Pedagang besar ikan di Surabaya dan Jakarta sudah menyatakan kesediaannya untuk menampung ikan segar tersebut, berapapun jumlah hasil tangkapannya,” tegas Arifuddin Anwar.
Keseluruhan proses renovasi ini bila tidak ada aral melintang membutuhkan waktu sekitar 4 bulan, insya Allah dimulai bulan September 2011 dengan mengganti mesin utama penggerak kapal dengan mesin yang lebih besar powernya. Setelah mesin utama terpasang, selanjutnya bagian kapal akan di rombak untuk palka pembeku dan penyimpanan ikan. Adapun proses instalasi dan pemasangan alat pembeku dan pendingin akan dilakukan di Muara Baru, Jakarta Utara. Diperkirakan akhir Januari 2012, kapal siap untuk berangkat kembali ke Flores, NTT, dan menjalankan tugas membantu nelayan tradisional di sana sekaligus sebagai sarana dakwah yang ampuh.
Perombakan kapal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. BWA dan nelayan di pesisir laut Flores mengetuk hati kaum Muslim untuk berpartisipasi dalam kegiatan wakaf bagi Kapal Dakwah Nelayan ini.
Langganan:
Postingan (Atom)