Selain sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, anak merupakan
karunia dan hibah dari Allah SWT sebagai penyejuk pandangan mata,
kebanggaan orang tua, dan sekaligus sebagai perhiasan dunia, serta
belahan jiwa (QS al-Kahfi [18]: 46).
Karena itu, perlakukan anak
dengan penuh cinta dan kasih sayang, lebih-lebih bagi anak perempuan.
Terkait anak perempuan, secara khusus Rasulullah SAW melarang
memperlakukannya dengan kasar.
Dari Uqbah bin Amir berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah
kalian memperlakukan anak-anak perempuan dengan kasar, karena
sesungguhnya mereka adalah manusia yang berpembawaan lembut lagi peka
perasaannya.” (HR Ahmad).
Hadis di atas menuntun kita, para
orang tua, untuk mendidik anak-anak perempuan dengan baik dan bijak,
serta tidak memperlakukannya dengan kasar. Sebab, perlakuan kasar dapat
memicu rasa sakit hati dan dendam yang tidak mudah hilang dari
ingatannya.
Bagaimana jika anak perempuan itu melakukan perbuatan
yang menjengkelkan? Orang tua hendaknya dapat meluruskannya dengan baik
dan bijak. Karena perlakuan kasar itu tidak dapat menyelesaikan
masalah. Alih-alih meluruskan kesalahan anak, orang tua malah dijauhi.
Oleh
karena itu, hindarkan tindakan menuduh, berburuk sangka, dan bermuka
masam terhadap anak perempuan. Perlakukan anak perempuan dengan
kelembutan dan kasih sayang.
Dan, sungguh beruntung orang tua
yang dikaruniai anak perempuan dan ia dapat memperlakukannya dengan
baik, bijak, dan penuh kesabaran. Maka, baginya balasan kemuliaan, yaitu
surga. Subhanallah.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa
mempunyai tiga anak perempuan, lalu bersikap sabar terhadap keluh-kesah,
suka-duka, dan jerih-payah mengasuh (mendidik) mereka, niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayangnya kepada mereka.”
Dalam hadis yang lain, “Barang
siapa mempunyai tiga orang anak perempuan atau tiga saudara perempuan,
dua orang anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu ia
memperlakukan mereka dengan baik dan bertakwa kepada Allah dalam
mengasuh mereka, maka baginya surga.” (HR Tirmidzi).
Hadis lainnya, “Barang
siapa menanggung tiga anak perempuan, lalu mendidiknya, menikahkannya,
dan memperlakukannya dengan baik, maka baginya surga.” (HR Abu Dawud).
Semoga
Allah mengaruniai kita, para orang tua, tambahan kesabaran dan
ketakwaan dalam mendidik anak-anak, terutama anak perempuan dengan penuh
cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab. Aamiin
Senin, April 28, 2014
Senin, April 21, 2014
CINTA BUKU DAN ILMU
Generasi salafus shalih pernah menguasai dunia berkat
keimanan mereka yang kokoh bagai gunung dan keilmuan mereka yang
mendalam bagai lautan. Kecintaan mereka pada iman, ilmu, dan amal
melebihi cinta manusia biasa pada harta, anak, dan istri.
Dalam konteks kecintaan terhadap ilmu, Imam Ibnu Qayyim menyatakan, “Adapun pecinta ilmu, kecintaannya pada ilmu melebihi kecintaan seseorang kepada kekasih. Dan banyak di antara mereka tidak tergoda melihat manusia tercantik di dunia sekalipun.”
Simak pula Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi, “Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat.”
Seseorang tidak bisa menjadi pecinta ilmu sebelum buku/kitabnya lebih berharga daripada bajunya. Konon ada orang melihat seseorang duduk di atas kitabnya, lalu dia ditegur, “Apakah pakaianmu lebih berharga bagimu dibanding kitabmu?”
Hal itu karena orang tersebut duduk beralaskan kitabnya agar pakaiannya tidak terkena debu. Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga.
Diriwayatkan, Abul Hasan Al-Fali (w 448 H), salah seorang ahli nahwu dari Baghdad, Irak pernah memiliki kitab Al-Jamharah karya Ibnu Duraid yang sangat bagus.
Akibat terdesak oleh kebutuhan, ia terpaksa menjual kitab tersebut seharga 60 dinar. Kehilangan kitab itu membuatnya berduka hingga kematian menjemputnya.
Menurut Al-Jahidz, orang yang belanjanya untuk membeli buku tidak lebih nikmat daripada belanjanya pecinta biduan dan penggila bangunan, maka ia tidak akan sampai pada tingkat ilmu yang memuaskan.
Orang tersebut tidak akan memperoleh manfaat dari belanjanya sampai ia mau memprioritaskan pembelian buku sebagaimana orang badui memprioritaskan kudanya untuk diberi susu daripada keluarganya.
Selain itu, ia mau menaruh harapan besar terhadap ilmu sebagaimana orang badui menaruh harapan besar pada kudanya.
Sikap Al-Jahidz sangat mendasar. Pecinta ilmu akan memprioritaskan apapun untuk memuaskan dahaga keilmuannya.
Seperti kisah unik seorang syaikh penggila buku yang rela melepas sebagian pakaiannya untuk membeli buku yang dipandangnya berharga. Sebab, pada saat itu ia tidak memiliki uang. Salah satu kisah unik lainnya terkait Imam Ibnu Daqiqil Ied.
Ia antusias mendapati ada yang menjual kitab As-Syarhul Kabir karya Ar-Rafi’i Al-Qazwini sebesar 12 jilid. Ia pun membelinya seharga 1.000 dirham. Karena terlalu asyik menelaah kitab tersebut, ia sampai hanya melakukan shalat fardhu saja.
Kitab itu terbeli bukan berarti karena ia kaya harta. Meskipun menjabat Qadhil Qudhat (hakim agung), ia sering terlilit utang. Hal itu akibat kecintaannya kepada ilmu.
Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.
Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.
Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.
Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya.
"Gerakkan Cinta Buku & Ilmu"
Dalam konteks kecintaan terhadap ilmu, Imam Ibnu Qayyim menyatakan, “Adapun pecinta ilmu, kecintaannya pada ilmu melebihi kecintaan seseorang kepada kekasih. Dan banyak di antara mereka tidak tergoda melihat manusia tercantik di dunia sekalipun.”
Simak pula Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi, “Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat.”
Seseorang tidak bisa menjadi pecinta ilmu sebelum buku/kitabnya lebih berharga daripada bajunya. Konon ada orang melihat seseorang duduk di atas kitabnya, lalu dia ditegur, “Apakah pakaianmu lebih berharga bagimu dibanding kitabmu?”
Hal itu karena orang tersebut duduk beralaskan kitabnya agar pakaiannya tidak terkena debu. Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga.
Diriwayatkan, Abul Hasan Al-Fali (w 448 H), salah seorang ahli nahwu dari Baghdad, Irak pernah memiliki kitab Al-Jamharah karya Ibnu Duraid yang sangat bagus.
Akibat terdesak oleh kebutuhan, ia terpaksa menjual kitab tersebut seharga 60 dinar. Kehilangan kitab itu membuatnya berduka hingga kematian menjemputnya.
Menurut Al-Jahidz, orang yang belanjanya untuk membeli buku tidak lebih nikmat daripada belanjanya pecinta biduan dan penggila bangunan, maka ia tidak akan sampai pada tingkat ilmu yang memuaskan.
Orang tersebut tidak akan memperoleh manfaat dari belanjanya sampai ia mau memprioritaskan pembelian buku sebagaimana orang badui memprioritaskan kudanya untuk diberi susu daripada keluarganya.
Selain itu, ia mau menaruh harapan besar terhadap ilmu sebagaimana orang badui menaruh harapan besar pada kudanya.
Sikap Al-Jahidz sangat mendasar. Pecinta ilmu akan memprioritaskan apapun untuk memuaskan dahaga keilmuannya.
Seperti kisah unik seorang syaikh penggila buku yang rela melepas sebagian pakaiannya untuk membeli buku yang dipandangnya berharga. Sebab, pada saat itu ia tidak memiliki uang. Salah satu kisah unik lainnya terkait Imam Ibnu Daqiqil Ied.
Ia antusias mendapati ada yang menjual kitab As-Syarhul Kabir karya Ar-Rafi’i Al-Qazwini sebesar 12 jilid. Ia pun membelinya seharga 1.000 dirham. Karena terlalu asyik menelaah kitab tersebut, ia sampai hanya melakukan shalat fardhu saja.
Kitab itu terbeli bukan berarti karena ia kaya harta. Meskipun menjabat Qadhil Qudhat (hakim agung), ia sering terlilit utang. Hal itu akibat kecintaannya kepada ilmu.
Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.
Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.
Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.
Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya.
"Gerakkan Cinta Buku & Ilmu"
Selasa, April 08, 2014
RINDU PEMIMPIN TELADAN
Umar masuk sambil membawa pedang terhunus. Mengetahui hal itu, mereka ketakutan. Namun, tuan rumah kemudian berkata kepada Umar: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh aku telah berbuat salah; dan sekarang aku bertobat kepada Allah di hadapanmu, terimalah permohonan maafku"! Umar menjawab: "Saya datang kemari justeru untuk memukulmu (menghukummu)."
"Wahai Amirul Mukminin, bagaimana mungkin engkau akan menghukumku?Aku hanya melakukan satu kesalahan, sedangkan engkau sendiri melakukan tiga kesalahan sekaligus?" Pemilik rumah itu lalu menunjukkan tiga kesalahan Umar.
"Wahai Umar, Allah SWT telah berfirman: "Janganlah kamu mencari-cari (memata-matai) kesalahan orang lain..." (QS al-Hujurat /49: 12). Engkau salah karena telah melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan) saya dengan mengendus-endus rumah saya!
"Wahai Umar, Allah berfirman: "Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya ..." (QS al-Baqarah/2: 189). Engkau salah karena tidak masuk melalui pintu, tetapi melalui atap. Wahai Umar, Allah juga berfirman: "Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... (QS an-Nur/24: 27). Engkau salah karena masuk rumahku tanpa izin dan tanpa salam."
Karena itu, lanjut tuan rumah, “Amirul Mukminin tidak sepantasnya menghukumku karena aku melakukan satu kesalahan, sementara pada saat yang sama aku sendiri sudah bertobat kepada Allah di hadapanmu. Sedangkan engkau sendiri telah melakukan tiga kesalahan tersebut."
Umar pun dengan tulus dan terbuka mengakui kesalahannya. Kepada tuan rumah itu Umar akhirnya menyatakan: "Anda benar, apa yang Anda sampaikan kepadaku tidak salah. Karena itu, aku mohon kepadamu agar engkau juga bertobat kepada Allah SWT dan sekaligus memohonkan ampunan dari Allah untukku."
Seperti itulah antara lain profil figur pemimpin teladan yang jujur, adil, terbuka dan bijaksana. Umar tidak main hakim sendiri ketika warganya melakukan kesalahan.
Umar justeru jujur dan terbuka mengakui tiga kesalahannya di hadapan rakyatnya sendiri, dan dalam waktu yang sama mau bertobat atas tiga kesalahannya karena telah mengganggu kenyamanan warganya.
Jika para pemimpin sudah mampu bersikap jujur, terbuka, adil, dan bijaksana dalam menegakkan hukum, niscaya kewibawaan penegakan hukum di negeri ini dapat diwujudkan.
Kita merindukan pemimpin teladan yang merakyat, mau menyapa, mendengar, dan mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi rakyatnya.
Pemimpin dipilih bukan untuk menikmati kekuasaan dan aji mumpung dengan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, melainkan untuk melayani, bukan minta dilayani, karena pemimpin itu mengemban amanah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan hukum, memberikan perlindungan dan keamanan, sekaligus menyejahterakan, mendamaikan, dan menentramkan kehidupan rakyatnya.
Rakyat tidak merasa nyaman jika pemimpinya lebih sibuk mementingkan urusan pribadi dan pencitraan dirinya daripada mengurusi dan melayani rakyat.
Pemimpin teladan rela berjuang dan berkorban demi kemaslahatan semua, bukan kepentingan politik keluarga dan partainya.
Pemimpin teladan seperti Umar itu sejatinya selalu hadir memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi rakyat, bukan mudah terprovokasi karena urusan pribadinya terusik atau khawatir terkuak keburukannya.
Pemimpin teladan tidak pernah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, karena setiap pemimpin itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab!
Jumat, April 04, 2014
INSPIRASI ULAMA BESAR BUYA HAMKA
Buya Hamka tidak pernah merendahkan atau menyepelekan orang lain.
Namanya adalah Haji Abdul Malik Karim Abdullah. Saat menulis buku dan artikel, ia menggunakan nama HAMKA yang merupakan singkatan dari nama lengkapnya. Publik kemudian mengenalnya dengan nama Buya Hamka.
Ia lahir di Maninjau, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908. Sudah 106 tahun yang lalu ulama besar ini lahir dan meninggalkan kita pada 24 Juli 1981. Meskipun Buya Hamka telah tiada, ceramah dan pemikiran, juga karya-karyanya masih bisa dijadikan pegangan oleh umat Islam.
Banyak tokoh Islam yang terinspirasi dan kagum pada sosoknya. Salah satunya adalah mantan wakil presiden Jusuf Kalla.
Bagi pria asal Makassar ini, Buya Hamka adalah salah satu contoh ulama yang sangat cerdas dan patut ditiru caranya dalam berceramah. “Setiap ceramah, isinya selalu berbeda, ia selalu punya bahan yang kaya untuk diceritakan kepada umat,” ujarnya.
Ceramah dan pidatonya juga selalu menjadi inspirasi, menurut tokoh Muslim perempuan, Tuty Alawiyah. “Buya Hamka seperti guru bagi saya,” ujarnya. Setiap ceramahnya membuat umat tergugah dan membentuk pribadi Muslim menjadi lebih baik.
Ia ingat, saat dulu setelah mendengar ceramah Buya Hamka, ia kemudian merasa lebih kuat, seperti ada yang mendorongnya untuk selalu bisa menjadi pribadi yang penuh dengan kemenangan. “Secara tidak langsung, ia menguatkan saya. Bahwa saya mampu untuk memimpin masyarakat, pribadi, dan keluarga,” katanya.
Menurutnya, Buya Hamka adalah pribadi yang sangat cerdas. Masih terkenang dalam ingatannya, waktu itu ayahnya mengundang Buya Hamka dalam acara peresmian masjidnya. Saat itu, Buya Hamka diundang sebagai tamu, namun tiba-tiba ayahnya meminta untuk berceramah.
“Dalam waktu singkat, Buya Hamka bisa meramu ceramahnya, menghubung-hubungkan dengan apa yang dilihatnya saat itu, menjadi sebuah ceramah yang membuat orang terkagum-kagum,” kata Tuty.
Ia juga kagum dengan sosok Buya Hamka yang tidak pernah merendahkan atau menyepelekan orang lain. Saat ia masih muda dulu, Tuty pernah menyurati Buya Hamka, menyatakan ketidaksetujuannya karena menyebut Allah dengan kata “seorang” pada novelnya, Di Bawah Lindungan Ka'bah.
“Buya Hamka tidak marah atau menghina atas sikap kritis seseorang yang masih muda. Ia kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan gamblang dalam surat sebanyak tiga lembar, mengatakan bahwa keputusannya menggunakan kata ‘seorang’ tersebut ada maksudnya,” ujar Ketua BKMT in
Namanya adalah Haji Abdul Malik Karim Abdullah. Saat menulis buku dan artikel, ia menggunakan nama HAMKA yang merupakan singkatan dari nama lengkapnya. Publik kemudian mengenalnya dengan nama Buya Hamka.
Ia lahir di Maninjau, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908. Sudah 106 tahun yang lalu ulama besar ini lahir dan meninggalkan kita pada 24 Juli 1981. Meskipun Buya Hamka telah tiada, ceramah dan pemikiran, juga karya-karyanya masih bisa dijadikan pegangan oleh umat Islam.
Banyak tokoh Islam yang terinspirasi dan kagum pada sosoknya. Salah satunya adalah mantan wakil presiden Jusuf Kalla.
Bagi pria asal Makassar ini, Buya Hamka adalah salah satu contoh ulama yang sangat cerdas dan patut ditiru caranya dalam berceramah. “Setiap ceramah, isinya selalu berbeda, ia selalu punya bahan yang kaya untuk diceritakan kepada umat,” ujarnya.
Ceramah dan pidatonya juga selalu menjadi inspirasi, menurut tokoh Muslim perempuan, Tuty Alawiyah. “Buya Hamka seperti guru bagi saya,” ujarnya. Setiap ceramahnya membuat umat tergugah dan membentuk pribadi Muslim menjadi lebih baik.
Ia ingat, saat dulu setelah mendengar ceramah Buya Hamka, ia kemudian merasa lebih kuat, seperti ada yang mendorongnya untuk selalu bisa menjadi pribadi yang penuh dengan kemenangan. “Secara tidak langsung, ia menguatkan saya. Bahwa saya mampu untuk memimpin masyarakat, pribadi, dan keluarga,” katanya.
Menurutnya, Buya Hamka adalah pribadi yang sangat cerdas. Masih terkenang dalam ingatannya, waktu itu ayahnya mengundang Buya Hamka dalam acara peresmian masjidnya. Saat itu, Buya Hamka diundang sebagai tamu, namun tiba-tiba ayahnya meminta untuk berceramah.
“Dalam waktu singkat, Buya Hamka bisa meramu ceramahnya, menghubung-hubungkan dengan apa yang dilihatnya saat itu, menjadi sebuah ceramah yang membuat orang terkagum-kagum,” kata Tuty.
Ia juga kagum dengan sosok Buya Hamka yang tidak pernah merendahkan atau menyepelekan orang lain. Saat ia masih muda dulu, Tuty pernah menyurati Buya Hamka, menyatakan ketidaksetujuannya karena menyebut Allah dengan kata “seorang” pada novelnya, Di Bawah Lindungan Ka'bah.
“Buya Hamka tidak marah atau menghina atas sikap kritis seseorang yang masih muda. Ia kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan gamblang dalam surat sebanyak tiga lembar, mengatakan bahwa keputusannya menggunakan kata ‘seorang’ tersebut ada maksudnya,” ujar Ketua BKMT in
Rabu, April 02, 2014
IAIN PONTIANAK SIAPKAN TERJEMAHAN AL-QUR'AN BAHASA DAYAK
Institut Agama Islam Negeri Pontianak menyiapkan terjemahan Alquran
dalam bahasa Dayak Kanayatn dan ditargetkan tuntas pada tahun ini.
"Tujuan kami untuk memperkaya khazanah dan ikut melestarikan salah satu bahasa dari Dayak Kanayatn," kata Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IAIN Pontianak, Lukman Abdul Jabbar.
Dayak Kanayatn merupakan salah satu sub etnis di Kalbar dengan sebaran di sejumlah daerah seperti Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Landak dan sebagian wilayah Tayan, Kabupaten Sanggau.
Menurut Lukman, pembuatan terjemahan itu juga untuk menghilangkan kesan bahwa agama Islam hanya milik etnis atau kelompok tertentu saja. Pihaknya menyiapkan terjemahan tersebut sejak tahun 2012 dengan didukung berbagai elemen seperti Kementerian Agama RI.
"Sekarang baru peluncuran draf terjemahan, nanti baru divalidasi lagi juz ke-13 sampai 30. Kemudian diuji kembali, baru diperbanyak," kata dia.
Ia mengakui, ada kesulitan dalam menyusun terjemahan Dayak Kanayatn karena belum terstruktur secara konseptual. "Jadi harus mengundang yang berkompeten untuk menyesuaikan kosa kata dan pilihan simbol," kata dia.
Ke depan, ia berencana untuk menerjemahkan Alquran ke bahasa lain serta dalam bentuk tulisan dan suara.
"Tujuan kami untuk memperkaya khazanah dan ikut melestarikan salah satu bahasa dari Dayak Kanayatn," kata Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IAIN Pontianak, Lukman Abdul Jabbar.
Dayak Kanayatn merupakan salah satu sub etnis di Kalbar dengan sebaran di sejumlah daerah seperti Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Landak dan sebagian wilayah Tayan, Kabupaten Sanggau.
Menurut Lukman, pembuatan terjemahan itu juga untuk menghilangkan kesan bahwa agama Islam hanya milik etnis atau kelompok tertentu saja. Pihaknya menyiapkan terjemahan tersebut sejak tahun 2012 dengan didukung berbagai elemen seperti Kementerian Agama RI.
"Sekarang baru peluncuran draf terjemahan, nanti baru divalidasi lagi juz ke-13 sampai 30. Kemudian diuji kembali, baru diperbanyak," kata dia.
Ia mengakui, ada kesulitan dalam menyusun terjemahan Dayak Kanayatn karena belum terstruktur secara konseptual. "Jadi harus mengundang yang berkompeten untuk menyesuaikan kosa kata dan pilihan simbol," kata dia.
Ke depan, ia berencana untuk menerjemahkan Alquran ke bahasa lain serta dalam bentuk tulisan dan suara.
Langganan:
Postingan (Atom)