Kamis, April 16, 2015

FIGUR INSPIRASI UMAT ISLAM

APAKAH kita mengenal dengan baik nama-nama di bawah ini?

1. Abu Bakar Siddiq radhiallahu ‘anhu
2. Umar Bin Khatab radhiallahu ‘anhu
3. Usman Bin Affan radhiallahu ‘anhu
4. Ali Bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
5. Thalhah Bin Abdullah radhiallahu ‘anhu
6. Zubair Bin Awaam
7. Sa’ad bin Abi Waqqas radhiallahu ‘anhu
8. Sa’id Bin Zaid radhiallahu ‘anhu
9. Abdurrahman Bin Auf radhiallahu ‘anhu
10. Abu Ubaidillah Bin Jarrah radhiallahu ‘anhu


Atau beberapa nama di bawah ini :

1.Khadijah Binti Khuwailid radhiallahu ‘anha
2. Saudah Binti Zam’ah radhiallahu ‘anha
3. Aisyah Binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha
4. Hafshah Binti Umar radhiallahu ‘anha
5. Zainab Binti Khuzaimah radhiallahu ‘anha
6. Hindun binti Hudzaifa (Ummu Salamah) radhiallahu ‘anha
7. Zainab Binti Jahsy radhiallahu ‘anha
8.Juwairiyah Binti Al-Harits radhiallahu ‘anha
9.Ramlah Binti Abu Sufyan radhiallahu ‘anha
10. Shafiyyah Binti Huyay radhiallahu ‘anha
11. Maimunah Binti Al-Harits radhiallahu ‘anha
12. Fatimah Binti Rasulullah radhiallahu ‘anha
13. Asma’ Binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha


Barangkali banyak dari kita hanya tahu sedikit saja tentang mereka, bahkan ada dari kita yang sama sekali kita tak tahu apa-apa tentang mereka.

Jadi wajarlah, kalau kemudian kita lebih memilih mengambil inspirasi dan figur teladan ataupun menempatkan panutan orang -orang dari kalangan artis lokal maupun luar, motivator, atlit olahraga, hingga tokoh-tokoh non muslim dan sebagainya.

Karena, kebanyakan kita tak kenal generasi terbaik sepanjang sejarah peradaban manusia setelah para Nabi dan Rasul. Kita malas mencari tau tentang mereka, manusia-manusia yang sarat dengan taqwa, karena senantiasa terpupuk dengan Al Quran dan As-Sunnah.

Bukan hanya itu, pengorbanan dan kegigihan mereka dalam membela akidahnya, mengorbankan segala yang dimiliki untuk kepentingan Islam dan tidak jerih dengan kezhaliman, siksaan, dan kematian yang harus dihadapi.

Mengapa bukan manusia-manusia terbaik tersebut yang kita jadi insipirasi kita? Agar kualitas beragama kita minimal bisa meningkat?
Mengapa memilih artis baru hijrah yang notabene cara berhijabnya pun masih belum sempurna dan cenderung tabarruj?

Tapi, kemudian kita selalu berdalih jangan lihat penampilannya tapi lihat hal-hal baik dari dirinya. Maka, berkaitan dengan soal penampilan itu saya meminjam nasehat seorang ustadz :
Kita sepertinya meninggalkan kalam Umar yang terkenal itu; “Saat ini wahyu telah terputus,maka kami akan menghukumi orang-orang sesuai zhohirnya adapun bathin-nya kami serahkan kepada Allah.”
Kita malah kebalik.
“Kita hukumi bathinnya berdasarkan praduga dan zhohirnya diserahkan pada Allah.”
Saya ikut Umar bin khatab saja lah.

Kalau selalu kata-kata abaikan penampilannya dipakai beralasan, maka apa gunanya yang penampilan yang berjanggut, bercelana cingkrang atau berhijab syar’i? Toh, yang penting ambil saja yang baik-baik saja.
Patutlah inspirator pilihan kita, sering jauh dari kesan Islami.

Jumat, April 10, 2015

PERBAIKI HATI AGAR TIDAK KARAT

"Sesungguhnya, hati itu dapat berkarat sebagaimana besi berkarat. Rasulullah SAW lalu ditanya: Apa yang bisa membuat hati agar tidak berkarat? Rasul menjawab: Membaca Alquran dan mengingat kematian." (HR al-Baihaqi).

Ilustrasi dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa hati manusia itu potensial menjadi seperti besi yang kemudian berubah menjadi berkarat. Sebelum berkarat, besi itu kuat, tapi ketika sudah berkarat, ia akan berubah menjadi rapuh.

Hati yang berkarat adalah hati yang berpenyakit atau sudah tidak sehat dan kuat. Agar hati tidak berkarat, Rasulullah SAW memberi solusi, yaitu membaca Alquran. Badiuzzaman Said Nursi dalam al-Mu'jizat al-Qur'aniyyah menjelaskan bahwa Alquran adalah Kalam Allah.

Ia adalah kitab suci yang menebarkan hikmah yang turun dari lingkup nama-Nya yang paling agung. Ia menatap kepada apa yang diliputi Arasy yang paling agung. Jangankan hati yang berkarat! Bebatuan gunung yang kuat dan kokohpun dapat "takluk dan tunduk" kepada Alqur dan sekiranya diturunkan kepadanya. (QS al-Hasyr [59]:21).

Hati adalah cermin cahaya (nur) ilahi. Karena itu, wajar jika hati yang berkarat akan kembali memancarkan cahaya te rang apabila diasupi hidangan rabbani. Sebab, Alquran merupakan "jamuan spesial" Allah SWT (ma'dubatullah) bagi hamba-Nya.

Jamuan kemuliaan ini tentu harus dinikmati dan dimaknai. Memaknai Alquran identik dengan membaca, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan mengamalkan seruan berpikir rasional, pesan-pesan moral dan spiritualnya.

Dengan kata lain, agar hati tidak berkarat, mudarasah Al quran harus terus dilakukan dan dibudayakan; bukan sekadar mengaji (tilawah), membaca, dan mempelajari pesannya (qira'ah wa tadarus), melainkan memahami, menerjemahkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya dalam ke hidupan nyata (mudarasah), sehingga spirit Alquran itu menjiwai dan menggelorakan kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keadilan, keindahan, dan kedamaian.

Mudarasah Alquran merupakan peneduh hati yang gersang dan penjinak watak "keras kepala dan keras hati". Sejarah membuktikan bahwa Umar bin al-Khattab yang sebelum masuk Islam dikenal berwatak keras kepala dan liar, hatinya luluh dan berubah 360 derajat setelah mendengar lantunan ayat-ayat Alquran yang dibacakan adik kandungnya yang telah masuk Islam, Fatimah binti al-Khattab.

Ayat yang didengarnya adalah QS Thaha ayat 2-4,"Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu men - jadi susah (sengsara), tetapi sebagai peringatan bagi orang- orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.

"Jika jujur berintrospeksi diri, tampaknya kita umat Islam belum banyak melakukan mudarasah Alquran. Kita masih jauh dari naungan Alquran. Kita belum bisa menikmati jamuan Allah yang diturunkan pada bulan yang suci ini.

Boleh jadi, salah satu penyebab kemunduran, keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan yang mendera umat Islam saat ini adalah masih jauhnya kita dari naungan dan pangkuan Alquran. Padahal, menurut Sayyid Qutub dalam pengantar tafsir Fi Zhilal Alquran, hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat. Wallahu a'lam bish-shawab!

Rabu, April 08, 2015

BIMBINGLAH ANAK KITA

Anak merupakan titipan dan amanah Allah kepada orang tua yang sejatinya harus dididik dengan nilai-nilai luhur keislaman. Anak merupakan titipan karena anak bukanlah hak milik 100% orang tua, karena sebenarnya anak adalah 100% milik Allah. Anak merupakah amanah karena dengannyalah lapang jalan kita ke surga, namun dengannya pula orang tua dapat dilapangkan jalannya ke neraka.
Sungguh ironis jika kita lihat dewasa ini anak-anak atau remaja bahkan orang-orang dewasa terlalu berpikiran materialistis. Bagaimana kita bisa anak-anak kecil yang lebih mengenal uang dari pada buku “Iqro” atau remaja yang lebih memilih pergi ke pusat perbelanjaan daripada pergi ke pengajian atau majelis taklim.

KBahkan yang lebih mengherankan lagi adalah ketika anak sudah mengukur tingkat kasih sayang orang tua dengan seberapa besar materi yang diberikan orangang tua kepadanya.
Mungkin terdapat banyak faktor yang yang menjadikan generasi muda dan anak-anak kita begitu materialis. Salah satu faktor yang dominan adalah foktor orang tua itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas orang tua mendoktrin anaknya dengan pendekatan materialistis bahkan ketika anak masih dalam kandungan.

Ketika calon anak masih dalam kandungan, orang tua mereka sering berangan-angan dengan ucapan semoga anak mereka menjadi dokter, polisi, atau presiden, dan pekerjaan lain yang motif nya adalah materi.

Setelah anak lahir ke dunia, mereka sering ditimang-timang supaya menjadi tentara, pilot, atau apapun. Sebenarnya tidak ada masalah dengan semua profesi karena sejatinya semua profesi itu baik, namun yang menjadi masalah adalah doktrin yang ditanam di benak anak-anak yang masih bersih itu adalah pendekatan materi. Terlebih lagi jika kita tengok bagaimana sering kita jumpai ketika anak marah atau ngambek, maka yang orang tua lakukan adalah memberikan materi tertentu bukan nasehat atau pengertian.

Sehingga ketika tumbuh remaja, anak-anak yang tumbuh dengan doktrin materialisme biasanya akan mengukur segala sesuatu dengan nominal, bukan dengan manfaat yang diperoleh.
Bahkan lebih parah lagi apabila anak mengukur kasih sayang orang tua dengan nominal pula, bisa jadi kelak saat mereka dewasa, mereka akan meninggalkan orang tuanya karena mereka menganggap orang tua sudah tidak menguntungkan mereka lagi.

Bukan maksud untuk menggurui atau sok mengerti, namun marilah kita sebagai orang tua mengembalikan anak kita dalam fitrahnya. Anak itu adalah titipan, bukan barang milik yang bisa menghasilkan berpundi-pundi uang.

Anak itu amanah, mari kita didik dengan ibadah. Timanglah anak dalam kandungan dengan bacaan alquran dan dengan sholawat. Sadarkanlah anak kita bahwa tujuan kita hidup didunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Doktrinlah anak kita untuk menjadi dokter, polisi, atau pilot untuk beribadah kepada Allah. Bimbinglah mereka menuju dewasa dengan pendekatan-pendekatan yang isalami yang jauh dari sifat-sifat materialisme.

Insya Allah dengan demikian generasi muda penerus kita adalah generasi yang islami yang mengukur segala sesuatu dengan ridho Allah bukan dengan seberapa besar nominal yang didapat.

(Muhammad Lutfi/ Alumnus Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Selasa, April 07, 2015

DAMPAK IKAN BUSUK

PENGGEMAR ikan tentu tahu bila di dalam keranjang ada satu ikan yang sudah busuk dibiarkan, maka akan menularkan aroma busuk kepada ikan yang lainnya. Segera buang atau pisahkan ikan busuk itu agar tidak merugikan pemilik ikan.

Begitu pula dalam kehidupan umat manusia, kebusukan akan cepat menyebar ke berbagai kalangan. Oleh karena itu, jangan jadi ikan busuk saat kita berada dalam suatu perusahaan, komunitas atau tim. Ingatlah “kebusukan” Anda dampaknya bukan hanya untuk Anda tetapi bagi orang-orang di sekitar Anda. Kebusukan itu menular dengan sangat cepat.

Kebusukkan dalam kehidupan sehari-hari muncul dari ucapan dan tindakan seseorang yang kotor dan negatif. Dan uniknya, penyebar kebusukan sebagian besar biasanya miskin prestasi, jarang mencapai target dan tidak perform dalam pekerjaannya. Sekali-kali boleh iseng ngomong kepada sumber “kebusukan” khususnya saat ia datang ingin mempengaruhi Anda, “Pasti belum punya prestasi hebat, ya?”

Ikan busuk itu tak ada harganya, kalaupun ada, pasti sangat murah. Ikan busuk bukan untuk dikonsumi manusia. Bahkan, sebagian binatang pun enggan mengonsumsinya. Seseorang yang menjadi “ikan busuk” dalam kehidupan juga harganya murah dan sulit untuk naik derajat hidupnya.

Jangan jadi ikan busuk di kantor.
Jangan jadi ikan busuk di lingkungan Anda.
Jangan jadi ikan busuk dimanapun dan kapanpun.

Salam SuksesMulia!

Sumber: www.jamilazzaini.com

Senin, April 06, 2015

SEDEKAH DENGAN SEBUTIR KURMA

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Adi ibn Hatim bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Berlindunglah dari api neraka sekalipun hanya dengan (sedekah) sebutir kurma.” Dalam riwayat lain ada tambahan, “Kalau itu pun tidak ada (kurma), maka (sedekah) dengan kata-kata yang baik”.

Inilah gambaran konsistensi keimanan seseorang untuk senantiasa beramal saleh. Konsisten sedekah walaupun sedikit adalah awal untuk bersedekah yang lebih banyak.

Ibnu Hajar mengatakan, “Tidak boleh meremehkan dan memandang rendah orang yang bersedekah dengan sedikit hartanya, sedikitnya saja sudah bisa menghindarkannya dari api neraka”.

Kata “sebutir kurma” dalam hadis di atas merupakan mubalaghah fil qillah, kiasan tentang amal-amal yang ringan, bahkan paling ringan di mata manusia, namun bernilai tinggi di mata Allah SWT.

Allah SWT berfirman, "Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya". (QS al-Zalzalah: 7)

Bersedekah tidak mesti selalu banyak, bersedekah juga bisa dengan memberi sekali banyak dan sesekali ala kadarnya. Inilah yang dicontohkan oleh Siti Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, ia biasa memberi makan fakir miskin yang setiap hari menemuinya.

Yang menarik, terkadang ia memberikan semua makanannya, terkadang hanya memberi sebutir anggur. Bersedekah tidak mesti dengan harta. Kita tidak mampu bersedekah dengan harta, maka dengan kata-kata yang baik pun dijamin oleh Rasulullah Saw sebagai sedekah.

Kalimat yang baik akan menjadi sedekah jika bermanfaat bagi yang mengucapkan sendiri dan orang lain yang mendengarnya. Bagi diri sendiri akan terasa damai, tentram dan tenang jika kita senantiasa berkata dengan baik. Tidak menyindir orang lain, tidak melukai orang lain. Dengan begitu tidak akan pernah mempunyai musuh.

Bersedekah membimbing jiwa untuk menjadi pemurah, dan jauh dari serakah. Cukuplah kisah Qarun menjadi pelajaran berharga. Pemuda dari bani Israil yang memperoleh kelapangan rizki, hingga kunci gudang hartanya saja tidak mampu dibawa oleh para pekerjanya seorang diri.

Setiap kali kaumnya memohon bantuan dan kemurahnnya ia tolak. Setap kali penasehatnya memberi nasehat, tidak bertambah kecuali Qarun semakin sombong. Dan tidak berapa lama Allah SWT pun melenyapkan seluruh kenikmatan itu, harta lenyap dan istana pun ditelan bumi.

Bersedekah berarti mengimplementasikan doa sapu jagat yang sering diucapkan selesai shalat. Berharap bahagia di dunia, kemudian dilanjutkan dengan kebahagiaan di akhirat.

Kejahatan yang sering terjadi, hilangnya rasa aman di jalanan, pembegalan dimana-mana, pencurian di perumahan-perumahan mewah dan kejahatan lainnya. Itu semua bukan saja karena kemiskinan harta akan tetapi bisa juga dikarenakan kemiskinan struktural yang disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan keenganan berbagi.

Sedekah menjadi instrument penting untuk antisipasi kejahatan yang mungkin terjadi, sebab dalam sedekah ada ikatan yang terjadi antara yang kaya dan yang miskin.

Memberi makan orang yang membutuhkan berarti memberikan jaminan kesejahteraan bagi yang diberi dan keamanan bagi yang memberi karena tidak akan diganggu keamanannya oleh yang diberi.

Dan sebagai langkah awal adalah dengan melakukan edukasi yang tepat mengenai konsep sedekah sehingga muncul kesadaran akan pentingnya mengeluarkan zakat, infak dan dana sosial keagamaan lainnya. Wallahua’lam