Senin, Februari 18, 2013

ANAK SALEH DAMBAAN SETIAP ORANG TUA

Anak saleh dan berakhlak karimah menjadi dambaan setiap orang tua. Allah swt mengajarkan agar orang tua berupaya sungguh-sungguh dan berdoa agar termasuk orang yang saleh, bersyukur dan mendapatkan generasi yang saleh (46:15).

Begitulah yang dicontohkan Nabi Ibrahim as (37:100, 14:40) dan Nabi Sulaiman as (27:15). Anak saleh lahir dari orang tua yang saleh, yakni yang berbakti kepada Allah dan rasul, orang tuanya dan juga kepada anak-anaknya.
            
Dr Muhammad Nasih Ulwan dalam buku Tarbiyatul awlad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) menjelaskan lima metode pendidikan yang berpengaruh untuk menyiapkan generasi saleh.

Pertama, pendidikan dengan Keteladanan. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spritual dan emosional anak.

Pertanyaannya, apakah orang tua dan guru masih bisa menjadi teladan? Mereka belum bangga menjadikan kita sebagai idola. Untuk itu, kita harus menjadikan Rasulullah saw sebagai teladan.

Rasulullah saw diutus Allah SWT sebagai teladan terbaik bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan (33:21), baik sebagai orang tua, suami, tetangga, da’i, pemimpin, pengusaha dan lain-lain.

Kedua, pendidikan dengan Kebiasaan. Pembiasaan sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan pribadi anak, karena terjadi proses pengulangan yang terus menerus. Sehingga, sadar atau tidak, secara perlahan akan membekas dan menjadi kebiasaan.

Di sinilah peran penting pendidik (orang tua dan guru) untuk memilih perkataan, sikap dan perbuatan yang baik. Misalnya, menyuruh mereka shalat pada usia tujuh tahun dan memukulnya pada usia 10 tahun jika tidak menjalankannya (HR. Abu Dawud).  

Pembiasaan yang paling berpengaruh berasal dari kedua orang tua, guru dan teman-teman (lingkungan). Dalam masa tertentu, pengaruh teman atau lingkungan menjadi dominan, maka hendaklah melihat siapa yang menjadi temannya (HR. At-Turmudzi).

Ketiga, pendidikan dengan nasehat. Setelah keteladanan dan pembiasaan, anak-anak perlu petuah atau nasehat yang baik. Petuah yang menyentuh hati sanubari di waktu yang khusus pula.

Petuah yang tulus lahir dari kebersihan hati orang tua dan guru mampu memberi sentuhan dan kesejukan dalam diri anak. Al-Qur’an mengajarkan kita cara memberi nasehat yang baik dengan ungkapan lembut.

Hal ini tergambar pada seorang pendidik sejati yakni Lukman al-Kakim (31:13-19). Ungkapan yang santun, yaa bunayya laa tusrik billah (Hai anakku jangan menyekutukan Allah). Begitu pula ungkapan Nabi Nuh As. (Hud:42), Nabi Ya’kub as. (Yusuf:5), Nabi Ibrahim as. (2:132). 

Keempat ; Pendidikan dengan perhatian (pengawasan). Keteladanan, pembiasaan dan nasehat yang diberikan orang tua belum cukup jika tidak dibarengi dengan perhatian atau pengawasan ketat.

Orang tua harus terlibat dan memberikan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengiringi perkembangan anak. Mereka tumbuh dalam zaman yang berbeda dengan kita dahulu. Pengaruh dan godaan semakin kompleks dan bervariasi. 

Seringkali terjadi, karena kurang perhatian dan pengawasan orang tua, menyebabkan anak kehilangan pegangan. Pemerkosaan, pembunuhan, hubungan seks bebas, terlibat narkoba, kriminal dan seterusnya, sebagian besar terjadi karena kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua.

Kelima ; pendidikan dengan Hukuman. Upaya maksimal orang tua dan guru melalui metode pendidikan di atas, adakalanya tidak berhasil atau kurang mendapat perhatian anak.

Pendidikan Islam memberikan ruang untuk melakukan hukuman atau sanksi (‘iqob) yang mendidik (ta’zir). Hukuman bukan untuk menyakiti tapi pencegahan (preventif) dan menimbulkan efek jera (kuratif).  Dalam pendidikan anak, hukuman harus dilakukan secara bertahap, lemah lembut dan menghindari kekerasan (HR. Bukhari).
   
Patut kita renungkan, anak yang melihat orang tuanya berbuat dusta, ia tidak mungkin akan belajar jujur. Anak yang melihat orang tuanya berkhianat, ia tidak mungkin belajar amanah. Anak yang melihat orang tuanya mengikuti hawa nafsu, ia tidak mungkin akan belajar keutamaan.

Anak yang mendengar orang tuanya mencela, tidak mungkin ia akan belajar bertutur manis. Anak yang melihat orang tuanya marah dan emosi, tidak mungkin ia belajar sabar. Anak yang melihat orang tuanya bersikap keras, tidak mungkin ia belajar kasih sayang. Allahu a’lam bish-shawab.
n

Kamis, Februari 14, 2013

VALENTINE'S DAY ADALAH JAHILIYAH MODERN

Suatu ketika, Baginda Rasulullah Saw pernah berpesan yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Said Al-Khudri, ”Kamu akan mengikuti sunnah (tradisi) orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya :’Wahai Rasulullah, apakah yang Tuan maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani’ ? Rasul Menjawab; ’Kalau bukan mereka siapa lagi?”

Keprihatinan yang mendalam bagi kita orang tua yang memiliki anak remaja khususnya dan umat Islam seluruh dunia, terhadap fenomena yang sudah merasuk dan menggerogorti remaja Muslim, bukan hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia.

Tentu saja tidak cukup dengan keprihatinan, tapi harus dengan aksi nyata yakni meningkatkan peranan orang tua dan masyarakat dalam mendidikan generasi muda.

Setiap tanggal 14 Februari dirayakan sebagai Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang). Kasih sayang yang bermakna kebobrokan moral atau kemaksiatan yang berbaju kasih sayang.  Fenomena ini merambah luas  baik di perkotaan maupun di pedesaan.    
 
Kata Valentine berasal dari bahasa Latin yang berarti 'Yang Maha Perkasa', 'Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa'. Kata ini ditujukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi.

Jadi, ketika kita meminta orang menjadi to be my Valentine, berarti itu sama dengan kita meminta orang menjadi 'Sang Maha Kuasa' terhadap diri kita.

Di sinilah mulai muncul problem akidah, yakni kemusyrikan. Karena menjadikan sesuatu sebagai ilah (sesembahan dan penguasa hidup) yang bertentangan dengan Tauhid (mengesakan Allah SWT).

Perayaan Valentine’s day sendiri berasal dari perayaan ritual Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Pada hari itu, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak.

Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan nama gadis yang keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang.

Ketika Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini menjadi nuansa Katolik dan mengganti nama gadis-gadis tersebut dengan nama Paus atau Pastor. 

Pada abad ke-3 Masehi, Santo Valentine (seorang pemimpin Katolik) bersama temannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II. Kaisar memerintahkan menangkap dan memenjarakan Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan Romawi. 

Lalu ia dihukum gantung pada 14 Februari 269 M. Dari kejadian itulah, Paus Gelasius meresmikan 14 Februari 496 sebagai Valentine’s Day untuk mengenang Santo Valentine.

Oleh karena itu, setiap perayaan, seperti akad nikah, resepsi, acara keluarga dan sejenisnya yang mengaitkan dengan momentum Valentine’s Day, merupakan pengakuan akan ritual agama Romawi dan kristiani tersebut.   

Apalagi dijadikan sebagai justifikasi untuk melakukan kemaksiatan kolektif yang merusak akidah dan akhlak remaja kita (pesta seks dan hura-hura).

Bukan berarti Islam tidak mengajarkan Kasih Sayang. Justru, kasih sayang sendiri berasal dari nama Allah SWT. yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang mesti menghiasi (akhlak karimah) setiap pribadi Muslim. 

Cinta dan kasih sayang adalah fitrah dan karunia Ilahi yang semestinya dimuliakan dan tidak patut diekspresikan dalam bentuk kemaksiatan  untuk dan atas nama cinta.   

Perayaan Valentine’s Day merupakan kejahiliyahan modern yang lebih berbahaya dibanding dengan jahiliyah Bangsa Arab dahulu yang konvensional dan lokal.

Meniru dan ikut-ikutan terhadap suatu budaya berarti sama saja dengan mereka. Nabi SAW. mengingatkan hal ini jauh hari, ”Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka”. (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad dari Ibnu Umar). 

Jangan kita biarkan mereka tersesat, karena kita akan bertanggung jawab kelak di hadapan Pengadilan Rabbul Jalil, Allah SWT.

Untuk itu, setiap orang tua harus mengawasi dengan ketat anak-anak remajanya pada waktu perayaan itu tiba dan bertanggung jawab menjaga keluarga dari api neraka.(QS.66:6). Allahu a’lam bish-shawab

Sabtu, Februari 09, 2013

LESTARI ALAMKU LESTARI DESAKU

Rasulullah SAW memandang alam ini secara integral. Hubungan asasi dan timbal balik antarmanusia dan alam, dilandasi keyakinan bahwa perusakan akan membahayakan keselamatan dunia seisinya.
Karena itu, Rasul SAW meletakkan prinsip umum dalam melestarikan lingkungan berupa larangan melakukan perusakan di muka Bumi.

Pertama, melarang pencemaran lingkungan. "Jauhilah tiga perilaku terlaknat; buang kotoran di sumber air, di pinggir jalan, dan di bawah naungan pohon." (HR Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Kedua, menghilangkan segala bahaya di jalan dan melarang duduk-duduk di pinggir jalan. "Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Para sahabat bertanya,
"Bagaimana kalau terpaksa untuk duduk dan mengobrol?" Rasulullah menjawab, "Bila terpaksa, maka tunaikan semua hak jalan."

Mereka bertanya, "Apa haknya wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menundukkan pandangan mata, menjauhkan bahaya, menjawab salam, amar makruf dan nahi mungkar." (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga, menjaga kebersihan lingkungan. "Semua amalan umatku ditampakkan kepadaku baik dan buruknya. Aku dapatkan di antara amal kebajikan adalah menghilangkan bahaya dari jalanan dan aku temukan di antara amalan yang buruk adalah membuang ingus di masjid dan tidak dibersihkan." (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).

Keempat, melarang melakukan pencemaran lingkungan. "Sesungguhnya Allah itu Mahabaik yang mencintai kebaikan, Mahabersih yang mencintai kebersihan. Oleh sebab itu, bersihkanlah halaman-halaman rumah kamu dan jangan menyerupai Yahudi." (HR Tirmidzi dan Abu Ya'la).

Rasulullah melarang untuk membuang air kecil dalam air yang tidak mengalir karena akan merusak air itu. (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi). Rasulullah juga menyuruh kita untuk selalu tampil bersih dan wangi, sehingga mendatangkan ketenangan jiwa dan rasa simpati dari orang lain.

Kelima, menganjurkan umat manusia untuk menghidupkan lahan mati dan menanaminya dengan pepohonan. "Tidaklah seorang Muslim menanam pohon kecuali buah yang dimakannya menjadi sedekah, yang dicuri sedekah, yang dimakan binatang buas adalah sedekah, yang dimakan burung adalah sedekah, dan tidak diambil seseorang kecuali menjadi sedekah." (HR Muslim dan Ahmad).

Dalam hadis lain disebutkan: "Barang siapa yang menghidupkan lahan mati, baginya pahala. Dan semua yang dimakan burung dan binatang menjadi sedekah baginya." (HR An-Nasai, Ibnu Hibban dan Ahmad).

Keenam, melakukan penghematan energi. Suatu hari, Rasulullah melewati Sa'ad sedang berwudhu (dan banyak menggunakan air). Beliau mengkritik, "Mengapa boros wahai Sa'ad?" Sa'ad menjawab, "Apakah ada pemborosan air dalama wudhu?" Rasul menjawab, "Ya, walaupun kamu berada di sungai yang mengalir." (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Bila kita meneladani Rasulullah dan mengamalkan ajarannya, pastilah alam ini akan bersahabat dengan kita. Dan kita akan hidup aman, sentosa, dan makmur.

Rabu, Februari 06, 2013

MERAIH KUNCI PINTU KEBAHAGIAAN

Kebahagiaan (as-sa’adah) adalah harapan meski dipahami berbeda oleh setiap insan sesuai keyakinan dan pemahaman hidupnya. Karena itu, jalan yang ditempuh untuk meraihnya pun berbeda pula.
Kebahagian harus dicari dan diusahakan, tidak datang dengan sendirinya (QS.28:77).

Makna kebahagiaan seorang Muslim adalah pencapaian dunia dan akhirat, material dan spritual, individual dan sosial, emosional dan intlektual. Sebuah kebahagiaan yang utuh (integrated) dan menyeluruh (komprehensif).

Mahatma Gandhi pernah mengatakan .”Happiness is when what you think, what you say and what you do are in harmony”.(Kebahagian adalah ketika apa yang Anda pikirkan, katakan dan lakukan terdapat kesesuaian).
 
Imam Al-Gazali  membagi kesenangan manusia itu pada dua tingkatan yakni lazaat yaitu kepuasan (lezat) dan sa’adah (kebahagiaan). Yang pertama lebih pada aspek indrawi dan sesaat (material) sedangkan yang kedua pada aspek batini (rasa dan langgeng).

Puncak tertinggi dari kepuasan dan kebahagiaan manusia adalah ma’rifatullah yakni mengenal Allah. Kebahagiaan itu bergerak dalam ranah kalbu (rasa), tapi ekspresinya kongkrit berupa keceriaan, keindahan, kelapangan, ketaatan dan kemanfaatan hidup. 

Hati manusia adalah tempat berlabuhnya sifat ilahiyyah, maka setiap kata, sikap dan perilaku yang bersesuaian (yang tergambar dalam asma al-husna) akan menentramkan. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengannya akan merisaukan. (QS.91:8-10),

Dalam sebuah Riwayat, Nabi saw berpesan : “Kebahagiaan manusia itu ada tiga dan deritanya pun ada tiga. Kebahagiaan itu adalah istri yang shalehah, rumah yang bagus dan kendaraan yang baik. Sedangkan derita manusia yaitu : istri yang jahat, rumah yang buruk dan kendaraan yang jelek”. (Hadits Riwayat. Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqash ra).

Pertama ; Istri shalehah (al-mar’atush shalihah).  Ia adalah jalan mendapatkan anak yang saleh dan rumah yang nyaman (keluarga sakinah).  Kriteria kesalehan istri adalah menyenangkan jika dipandang, merasa nyaman jika ditinggalkan, menjaga kehormatan, harta dan patuh jika diperintahkan (HR. Al-Hakim dan An-Nasai).

Agama menuntun agar menikah karena agamanya, bukan karena kecantikan dan hartanya sebab akan membuatnya binasa dan durhaka (sombong). “Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri salehah”.  (Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar). 

Kedua ; Rumah yang bagus (al-maskanush shalih).  Dalam riwayat lain dijelaskan dengan “rumah besar yang banyak didatangi tamu” (ad-daru takuunu waasi’atan katsiroh al-marofiqi).

Rumah tidak hanya tempat berteduh dari panasnya terik matahari dan dinginnya udara malam serta melepaskan lelah. Tapi ia juga tempat  membangun kehidupan keluarga dan  pemimpin umat masa depan.

Rumah adalah tempat menyusun strategi perjuangan dakwah dan sumber inspirasi meraih kesuksesan. Baitii jannatii (rumahku adalah surgaku). Demikian Nabi saw.

Secara fisik, rumah yang bagus adalah besar, lega, bersih dan indah dengan pekarangan  tertata rapi. Tapi, secara sosial ia terbuka menerima tamu (silaturrahim) terutama orang-orang lemah (dhuafa dan mustad’afin).

Secara spritual ia menjadi tempat dilantunkan ayat suci Al-Qur’an, mengkaji dan mengajarkannya kepada anak-anak (madrasah), ditegakkan shalat dan untuk taqarrub kepada Allah.  

Ketiga ; Kenderaan yang baik (al-markabush shalih).  Kendaraan adalah simbol status sosial, mobilitas dan interaksi sosial dalam mencari keberuntungan hidup. Kendaraan adalah alat untuk mencapai tujuan dengan cepat, mudah, aman dan nyaman.

Jika kita menempuh perjalanan dengan kendaraan yang bagus, ber-AC, harum dan cepat, maka perjalanan akan mudah dan menyenangkan. Ketika panas terik tak berkeringat, ketika hujan tak kebasahan, takkala angin kencang tak terhempaskan. 

Tapi, jangan lupa kendaraan juga harus bermafaat dalam membangun umat, menolong sesama dan mempermudah jalan dakwah. Ketiga pintu kebahagiaan tersebut merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Jika salah satunya tiada, yang lain tak bermakna. 

Kita mesti sadari, ketiga hal tersebut bukan tujuan hidup, tapi hanya sarana untuk meraih kebahagiaan hakiki, yakni berjumpa dengan Allah kelak di surga.  

Jika ketiga hal itu sebagai faktor eksternal, maka kebahagiaan harus ditopang dengan kualitas internal yakni dikokohkan dengan pondasi keimanan, buka pintunya dengan kunci keikhlasan, hiasi dengan pengharum kesyukuran.

Selain itu, pagari dengan tembok kesabaran, isi dengan mebeler ilmu pengetahuan dan selalu bersihkan dengan sapu ketauhidanAllahu a’lam bish-shawab.

Minggu, Februari 03, 2013

MEMORI SUARA ISLAM BATAKTE KUPANG BARAT - NTT 2012

Sungguh berat tantangan dakwah di kelurahan Batakte, Kupang Barat, Nusa Tenggara Timur. Di wilayah ini, tempat Pesantren Hidayatullah berdiri, umat Islam yang minoritas harus beradaptasi dengan lingkungan yang banyak dihuni oleh masyarakat Kristen. Di Batakte, adzan dilarang menggunakan speaker. Jika nekad, siap-siap saja akan ada batu melayang ke arah bangunan masjid dan pesantren. “Kami disini hanya menggunakan toa ke dalam, suara azan tak sampai keluar. Pernah dicoba, tapi berbuah lemparan batu oleh masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar sini. Begitu kami azan dengan toa yang hanya bisa didengar oleh jamaah di dalam ruangan masjid, toh aman-aman saja,” ujar Pimpinan Pesantren Hidayatullah Ustadz Usman Mamang saat disambangi voa-Islam ketika melakukan perjalanan Jurnalistik ke Kupang.
Para da’i di Batakte, seperti dikatakan Ustadz Usman, memang harus kuat mental dan banyak bersabar. Diakuinya, para da’i menjadi tak leluasa ketika berdakwah di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Kristen. “Ketika para da’i masuk dan melakukan pendekatan dengan mereka yang non-muslim, kami dituduh melakukan Islamisasi. Namun, yang namanya pendakwah, tentu harus siap menghadapi resiko yang akan terjadi. Saat qurban Idul Adha kemarin, kami bagi-bagikan daging kambing kepada warga Kristen di sekitar sini.”
Bagi masyarakat setempat, keberadaan pesantren Hidayatullah di Batakte dianggap ancaman buat mereka. Tak heran, bila pesantren ini sempat digugat keberadaannya di wilayah Batakte. Saat Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Kupang, ada politikus yang ingin memanfaatkan situasi dengan menggugat Pesantren Hidayatullah.
“Yang jelas, kami sudah urus sertifikasinya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun menurut tradisi di sini, meskipun telah memiliki sertifikat, tetap harus ada upacara pelepasan hak dari yang punya tanah,” jelas Usman.
Masyarakat di sini tidak pernah membayangkan, pesantren Hidayatullah kian berkembang dan menjadi besar seperti sekarang ini. Ketika komplek pesantren kian besar, masyarakat Kristen di sini nampak kaget dan sangat terpukul, kok bisa ada pesantren di tengah komunitas mereka yang mayoritas non Muslim.
Begitu juga, jika ada muallaf di Batakte, selalu ada yang merasa heran seraya berkata, “Hebat juga kamu ya jadi orang Islam.” Maknanya, kok bisa menjadi muslim di tengah-tengah komunitas Kristen.

Kekurangan Tenaga Da’I
Dikatakan Usman Mamang, Pesantren Hidayatullah di Kupang didirikan oleh Ustadz Abdullah Azzam --jebolan Intitute Teknologi Surabaya (ITS) -- tahun 1992. Sebelum pesantren ini berdiri di Batakte, rumah kost Azzam di Kota Kupang dijadikan tempat anak-anak belajar TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Karena jumlah santri terus meningkat, maka diupayakanlah untuk mencari lahan kosong untuk didirikan institusi pendidikan pesantren. Menariknya, seorang anggota polisi yang tinggal di Kupang memberikan tanah wakafnya di Kecamatan Kupang Barat, Kelurahan Batakte, wilayah dimana Pesantren Hidayatullah akhirnya berdiri.
Pesantren Hidayatullah terdiri dari dua komplek, masing-masing Asrama Putri seluas 6000 meter persegi, dan komplek Asrama Putra seluas 8 hektar (sekitar 1 km dari asrama putri). Saat ini santri yang belajar di pesantren ini datang dari 14 kabupaten yang ada di NTT, diantaranya: Attambua, Flores Timur, Alor, Bejawa, Ende, Rote dan wilayah lain. Banyak mullaf yang belajar Islam di pesantren Hidayatullah.

Bicara tantangan dakwah di Kupang, dikatakan Usman, memang belum sepenuhnya optimal. Namun, untuk di perkotaan sudah banyak da’I yang diturunkan. Sedangkan di pelosok, ada banyak muslim, namun kurang pembinaan.
Pernah terjadi, di pedalaman SoE, saat bulan puasa, seorang bapak dari rumahnya datang memasuki masjid untuk shalat tanpa berwudhu terlebih dulu. Ketika ditanya, kenapa bapak tidak wudhu dahulu? Lalu dijawabnya, saya tidak tahu cara berwudhu. Kemudian diajarilah bapak itu oleh ustadz dari Hidayatullah bagaimana cara berwudhu sebelum melakukan shalat.
“Kami juga menjumpai seorang warga muslim yang masih saja memelihara babi. Ketika ditanya, kenapa bapak sebagai muslim masih memelihara babi? Lalu dengan entengnya menjawab, bukankah yang diharamkan hanya memakan babi, bukan memeliharanya. Seperti itulah kondisi masyarakat Muslim di pedalaman Kupang yang kurang dengan pembinaan,” cerita Usman.
Suatu ketika, ada raja (kepala suku) non muslim, ketika makan daging babi, badannya menjadi gatal-gatal. Lalu disuruhlah salah seorang kaumnya untuk ke kota, agama apa yang mengharamkan daging babi? Lalu didapatlah jawabannya, yakni Islam. Sejak itulah, kepala suku masuk Islam dengan mengucapkan kalimah syahadat.
Tak lama kemudian, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kupang memberi kesempatan kepala suku yang bernama Gunawan Isoe itu naik haji ke Tanah Suci. Sepulang dari haji, ia syahadatkan seluruh kaumnya di pedalaman Kampung SoE, sekitar dua jam dari Kupang. Dari beberapa kampung, ada sekitar 15.000 jiwa yang disyahadatkan. Sang Raja yang juga menjabat sebagai Camat setempat, kemudian dipecat oleh Bupati yang memimpin di wilayah tersebut, dikarenakan sang raja telah memeluk Islam.
Kurangnya pembinaan dakwah memang dirasakan di NTT, khususnya Kupang dan sekitarnya. Di sebuah kampung, ada sebuah masjid yang dibangun secara permanen. Di tempat masjid itu berada, terdapat  150 KK yang beragama Islam. Namun ironisnya, masjid itu tidak terlihat lagi, jamaah yang shalat Jum’at. Ketika ditanya kenapa begitu? Mereka beralasan, karena  tidak ada khatibnya, akhirnya mereka shalat Dzuhur masing-masing.
“Dulu, kami sering ke kampung itu. Bahkan, kami sempat mengirim alumni aliyah Pesantren Hidayatullah untuk memberi pembinaan kepada masyarakat sekitar.  Sejak itu, mulai hidup shalat secara berjamaah, juga pelaksanaan shalat Jum’at plus khutbahnya. Begitu santri kembali pulang ke kampung halamannya, Jumat berikutnya tak ada lagi jamaah yang datang untuk melaksanakan shalat Jum’at.  Ironis memang,” ungkap Usman.
Diakui Usman, kami memang kekurangan tenaga da’i. Dari sisi pendanaan, sebetulnya sudah ada donator yang akan memberi sokongan materi, namun hingga saat ini belum ada tenaga yang akan dikirim. Hidayatullah sendiri sudah melakukan upaya dan kerjasama dengan beberapa ormas Islam, seperti DDII dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kupang untuk pengkaderan dai.
“Satu hal, harus ada penguatan untuk para dai yang akan diterjunkan. Kadang, setelah sampai di sana, ada tawaran duniawi yang lebih menggiurkan. Dan nyatanya, tak sedikit yang memilih tawaran itu. Mereka cemas dengan masa depannya,” tukas Usman yang sudah empat tahun memimpin Hidayatullah. Sebelumnya ia ditugaskan ke Aceh, saat tsunami menerjang Kota Rencong itu.

Imbas Kerusuhan Kupang 1998
Pada saat Tragedi Kupang tahun 1998, Batakte termasuk wilayah yang disatroni para perusuh. Bayangkan, jalan menuju pesantren, telah diblokade oleh kelompok salibis. Yang boleh melalui jalan itu harus bisa menyanyikan lagu Yesus atau gereja.  Akibatnya, dengan sangat terpaksa, rekan-rekan Hidayatullah harus berpura-pura menyanyikan lagu Kristen tersebut.
Tidak hanya itu, pesantren Hidayatullah nyaris saja dibakar oleh kelompok massa Kristen yang ketika itu diangkut dengan menggunakan dua truk dan menggunakan ikat kepala berwarna merah. Untung saja, Allah masih menjaga dan melindungi saudara muslim di Batakte.
“Teman-teman kami di Kota Kupang mengira, pesantren ini sudah habis dibakar. Mengingat di Kota Kupang, banyak masjid, toko dan pemukiman muslim yang dilempari batu dan dibakar.  Pernah, selama sebulan, setiap kali shalat Jumat, masjid yang berada di komplek pesantren ini mendapatkan penjagaan aparat. Termasuk saat melakukan shalat Idul Fitri maupun Idul Adha.”
Yang pasti, kerusuhan Kupang 1998 telah merepotkan umat Islam di Batakte. Bayangkan, dalam suasana mencekam dan tak punya pasokan makanan, teman-teman di Hidayatullah harus membagi sebutir telur kepada delapan orang untuk makan.
Peristiwa Temanggung dan Ambon, juga berimbas ke Batakte. Ada isu yang disebarkan lewat SMS, bahwa akan ada kerusuhan  besar di Kupang, menyerupai Tragedi Kupang 1998. Saat itu, ada masyarakat muslim Bugis di Kupang yang siap berjihad sampai mati, jika Batakte menjadi sasaran perusuh. “Hingga saat ini kami sering kontak Ketua MUI Kupang untuk mendapatkan informasi terkini.
Satu hal yang membanggakan, kini bangunan masjid semakin bertambah mengalahkan jumlah gereja yang ada di Kupang dan sekitarnya. Hal itu bisa dirasakan, ketika kumandang azan mulai bersahut-sahutan di beberapa wilayah di Kupang. Inikah yang menggentarkan kaum Salibis, sampai-sampai melarang adzan di Batakte dengan menggunakan loud speaker.
Bahkan, jumlah pemilih muslim di Kupang saat Pilkada sudah mencapai 80.000 suara. Jika mau, bisa saja Pemimpin daerah di Kota Kupang akan tampil dari kalangan Muslim. Jika keinginan itu diwujudkan, kaum Salibis di Kupang, sudah pasti akan lebih paranoid lagi.