Rabu, Januari 26, 2011

MARI DIDIK BUAH HATI DENGAN HATI

"Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada per ubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS ar-Ruum [30] : 30).

Pendidikan, galibnya bertujuan sangat mulia, yaitu membentuk manusia menjadi pribadi yang kuat, berkarakter khas, dan akhlak mulia. Dalam konteks Indonesia, tujuan dan fungsi pendidikan telah dirumuskan dengan indahnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tiga poin pertama tujuan itu adalah membentuk peserta didik menjadi insan yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun kenyataannya, tujuan indah itu terdistorsi menjadi bersifat sangat materialistik-sekularistik.

Peserta didik seolah-olah segera melupakan semua petuah guru tentang nilai-nilai kebajikan dan norma agama begitu mereka lulus dari lembaga pendidikan formal. Tidak ada lagi yang tersisa dari nilai dan norma itu kecuali hanya sedikit, karena mereka harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan. Inilah hidup mereka yang sebenarnya.

Dan, mereka harus keluar sebagai pemenang atau setidaknya tidak terpental dari orbit yang normal, lalu menjadi pecundang. Menarik sekali bila kita cermati akhirakhir ini, banyak petinggi negeri ini yang bicara tentang mendesaknya pelaksanaan pendidikan karakter dan budi pekerti (akhlak mulia) di sekolah dan kampus. Ini bisa dimengerti karena kita mendapati kenyataan betapa hasil pendidikan kita telah melenceng jauh dari yang dicita-citakan. Kita sedih bila melihat atau mendengar berita tentang buruknya perilaku para pelajar atau mahasiswa.

Mereka tawuran, terlibat narkoba, bahkan melakukan seks bebas.

Hati kita semakin miris saat mengetahui wajah dunia pendidik an kita juga ikut dicoreng oleh ulah segelintir oknum pendidik yang berperilaku tidak terpuji. Sesungguhnya pendidikan karakter dan akhlak mulia harus dimulai dari para pendidik. Mereka harus menjadi contoh dan teladan bagi para peserta didik dalam tutur kata dan tindakan.

Namun yang perlu juga diingat, bicara tentang pendidikan karakter dan akhlak mulia tidak lain bicara soal hati. Dan tidak ada yang mengerti soal hati kecuali Allah, Tuhan yang menciptakan manusia. Hanya firman Allah yang bisa menyentuh dan menyinari hati dengan cahaya kebenaran dan petunjuk. Sehingga, manusia kem bali kepada fitrah insaniah yang sebenarnya.

Agar tujuan pendidikan tercapai dan fungsinya juga terealisasi dalam kehidupan praktis, masyarakat Indonesia--yang mayoritas Muslim ini--harus menengok Alquran. Sebab, di sanalah melimpah-ruah `makanan' bagi hati anak-anak didik kita. Pendidikan karakter dan akhlak mulia, baru bisa berhasil bila menjadikan Alquran sebagai pedoman operasionalnya dan perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai landasan etikanya.

Tanpa itu, rasanya kita seperti meraba dalam ruangan luas yang gelap gulita. Wallahu a'lam

Senin, Januari 17, 2011

SUNGGUH PILIHAN YANG COOL

Ia masih kerap dipanggil dengan nama lahirnya, Elizabeth. Walau kini, ia telah mengganti semua dokumen resminya menjadi Safia Al-Kasaby, identitas barunya setelah menjadi seorang Muslimah.

Berita dia berpindah agama sempat menuai kontroversi di Amerika Serikat. Maklumnya, banyak hal yang tak nyambung mengapa kemudian dia menjatuhkan pilihan keyakinannya pada Islam.

Tak nyambung? Ya. Safia, 43 tahun, adalah keturunan Yahudi dan Puerto Rico. Kakeknya adalah korban Holocaust yang kemudian melarikan diri ke Puerto Rico. Mereka bersembunyi di sebuah rumah ibadah.

Dia juga  mantan sersan  pertama dalam Angkatan Udara AS. Dan, ini dia, Safia kehilangan delapan kerabat - satu paman dan tujuh sepupunya - dalam serangan 11 September yang mendudukkan Muslim sebagai "tersangka" pada 2001.

Namun bagi Safia, semua sambung-menyambung. Justru setelah duka Tragedi 11 September, ia mencari tahu tentang Islam. Dalam dirinya tumbuh keyakinan semakin Islam disudutkan di AS, ia merasa adalah yang salah di sana.

"Saya tidak peduli siapa yang melakukannya," ujarnya. "Saya hanya peduli kenapa Islam tiba-tiba dibenci. Saya tidak pernah membenci Islam, atau  membenci Muslim. Bagi saya untuk marah tentang apa yang terjadi pada menara kembar akan menjadi seperti saya membenci semua orang Jerman yang menewaskan orang-orang Yahudi."

Semakin ia melahap buku-buku tentang Islam, semakin ia jatuh hati pada agama yang disiarkan oleh manusia agung, Muhammad SAW. Ia makin gelisah. Akhirnya timbul keberanian, tahun 2005 atau empat tahun setelah tragedi yang merengut keluarganya itu, ia bersyahadat.

Seperti Muslim lainnya, Safia merasa ketegangan di sekelilingnya: tatapan penasaran karena dia mengenakan jilbab atau kerudung dan penjaga toko yang tiba-tiba meminta  identifikasi tambahan tiap kali ia pergi ke pusat perbelanjaan.

Bahkan pejabat di Kedutaan Besar AS di Kairo menolak permintaan awal dari calon suaminya, seorang pria asal Mesir, untuk visa sementara. Safia dianggap punya agenda tersembunyi lain dengan  menikahi pria Mesir.

Agama barunya juga telah memperluas jurang antara dia dan keluarganya. Ibunya, tiga saudara perempuan dan salah satu putrinya, Sylvia,  mempertanyakan  pilihannya.

Sylvia bahkan ingin tak ada hubungannya dengan dia.  Sylvia memarahi Safia habis-habisan ketika dia muncul di pemakaman suaminya mengenakan jilbab dan membawa Alquran.

Namun ia beruntung, satu anaknya yang lain, Natalia, mendukung pilihannya. "Agama yang dipilih mama sungguh cool," ujarnya.

Gadis 18 tahun ini menghargai transformasi keyakinan Safia. Ia kerap tidak tahan dengan orang-orang yang mengolok-olok Islam atau stereotip Muslim. "Saya berkata," Tunggu sebentar. ibu saya seorang Muslim," ujarnya menirukan kalau dia memotong pembicaraan rekan-rekannya. "Dan dia bukan teroris."

Selasa, Januari 11, 2011

BERCERMIN MELIHAT DIRI SENDIRI

Saya kira, anda, saya, dan kebanyakan kita sering bercermin. Berapa kali dan di mana kita bercermin, saya kira tak lagi terbilang jumlah dan tempatnya.
Bercermin adalah kegiatan yang sederhana. Setiap orang bisa melakukannya kapan dan di mana pun berada. Karena bercermin berarti melihat diri sediri melalui cermin. Namun, kegiatan yang sederhana ini memiliki manfaat yang luar biasa. Dengan becermin, kita akan tahu apa yang kurang dari penampilan kita.



Senin, Januari 03, 2011

PERSEPSI TERHADAP WAKTU

Ada sebuah istilah yang mengatakan, "Kegagalan itu penting karena jika tidak ada kegagalan, tidak ada penghargaan untuk keberhasilan."

Setiap manusia pasti pernah merasakan kegagalan, tapi bukan berati kegagalan menjadi sebuah nilai yang tak berarti bagi sebuah kesuksesan. Untuk merubah sebuah kegagalan mejadi sebuah keberhasilan, maka dibutuhkan proses, waktu, usaha dan kesungguhan. Seperti yang kita ketahui bahwa waktu memiliki tiga bagian: Masa lulu, Masa sekarang dan Masa yang akan datang.

Pertama: masa lalu. Dari masa lalu ini lah kita bisa mengambil hikmahnya dan menjadikan sebuah pelajaran agar nantinya tidak jatuh kembali ke lubang yang sama.

Kedua, masa sekarang. Masa sekarang adalah hal yang paling penting dan merupakan sebuah proses dan proses ini pula yang akan menentukan sukses dan gagalnya seseorang dimasa yang akan datang, karena masa depan dimulai dari sekaarang.

Ketiga, masa yang akan datang, masa yang dinanti-nanti oleh setiap manusia, masa ini yang akan menetukan, siapa yang akan menjadi juara, serta mampu meraih mimpi dan cita-cita.

Maka ada sebuah pepatah mengatakan, "Kita hanya memiliki dua pilihan, kita yang akan melewati waktu ataukah waktu yang akan melewati kita?" Jika waktu dilihat dari segi grametikal kebahasaan, waktu memiliki beberapa istilah tersendiri.

Dari sekian banyaknya bahasa yang di gunakan di setiap negara, pada sejatinya waktu hanyalah satu. Begitupun dengan jumlah bilangannya. Waktu sehari semalam di Indonesia adalah 24 jam, demikin pula di inggris, Australia, eropa dan di nagara-negar lalainya. Semuanya mendapatkan porsi yang sama yaitu 24 jam.

  Waktu yang begitu berharganya, sampai setiap orang memiliki persepsi masing-masing terhadap waktu:

    * Bagi orang barat waktu adalah uang.
    * Bagi seorang pelukis waktu adalah karya.
    * Bagi seorang pelajar waktu adalah ilmu
    * Bagi seorang pekerja kuli bangunan waktu adalah upah dan
    * Bagi seorang pejabat nakal waktu adalah kesempatan.

Waktu pula bagaikan sebuah pedang, jika kita tidak bisa mengunakanya, maka ia akan menebas leher kita. Waktu pun bagaikan sebuah kendaraan, jika kita tidak bisa mengunakanya, maka kita akan terlindas olehnya.

Dari semua istilah dan persepsi yang digunakan, pada hakekatnya waktu akan kembali pada satu kepastian dan satu kenyataan. Atau mungkin waktu hanya sebuah angin lalu yang memindahkan seseorang dari masa lalu ke masa yang akan datang, tidak ada hasil, tidak ada karya, waktu tercecer begitu saja di berbagai tempat, di warung, di terminal, di jalan ataupun di tempat-tempat lainnya.

Dalam waktu tertentu ada orang yang mampu memebuat jembatan layang, pesawat terbang, bangunan megah, segudang karya keilmuan, dan sebagainya. Dan ada pula yang sama sekali yang tidak menghasilkan apa-apa. Ia hanya terdiam bermalas-malasan tanpa ada usaha, tapi ketika kenyataan itu datang, ia selalu menyalahkan kaadaan. Oleh sebab itu allah SWT berfirman dalam sutat Al-'Ashr, yang artinya, "Demi waktu, sesungguhnya mausia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjalan amal sholeh…"

Jika orang-orang non Muslim bekerja di dunia hanya untuk mengejar kesenangan dan keduniaan, yang mana sifanya hanya sementara, maka bagi orang islam bukan hanya dunia yang dicari, tapi juga akhirat yang menjadi tujaun. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi seperti yang telah Allah SWT firmankan. Mari kita gunakan waktu dengan sebaik mungkin, besusaha dengan sungsuh-sunguh dan tidak pula meningalkan sebuah kewajiban.

Minggu, Januari 02, 2011

WUJUDKAN KELUARGA YANG BAHAGIA

Tidak mudah mewujudkan suasana yang selalu ceria di dalam rumah tangga. Sering saya menemukan, keluarga yang jarang sekali melakukan canda tawa di dalam rumahnya. Lebih sering pertengkaran yang terdengar, bila tidak antara ibu dan ayah, antara kakak dan adik.

Pertemuan antar anggota keluarga hanya diliputi dengan suasana dingin. Kalaupun ada canda, yang tertangkap adalah canda yang berupa ejekan sinis di antara sesama anggota keluarga. Ah, betapa tidak bahagianya hidup dalam rumah semacam itu.

Pernah juga saya temukan posisi ayah yang sangat sakral, isteri dan anak-anak sangat takut kepada sang ayah. Makan pun selalu ayah yang lebih dahulu disiapkan. Setelah sang ayah selesai, barulah ibu dan anak-anak makan bersama-sama. Saya berpikir, betapa sepinya sang ayah, menjadi orang yang dijauhi oleh semua anggota keluarga lainnya.

Sebenarnya faktor apa yang membuat suatu keluarga memancarkan keceriaan pada semua anggotanya. Apa yang membuat suatu keluarga menjadi tempat yang sehat bagi perkembangan karakter setiap anggotanya?

Ketika seseorang menikah, tidak ada yang tahu apa yang akan ditemuinya dalam perjalanan pernikahannya nanti. Pasti ada kerikil-kerikil tajam yang menghadang langkahnya untuk meraih kebahagiaan di dalam rumah tangga.

Ada orang-orang yang gagal menyingkirkan kerikil-kerikil tajam itu dan gagal mencicipi kebahagiaan, tetapi ada juga orang yang sukses menyingkirkan kerikil tajam tersebut dan memelihara kebahagiaan bersama keluarganya.

Belajar dari kisah hidup Rasulullah SAW dalam membangun keluarganya, ada banyak pelajaran yang bisa menjawab pertanyaan saya dalam mewujudkan keluarga ceria tersebut.

Pelajaran pertama  adalah kuatnya visi beliau dalam menjalankan pernikahan. Hal inilah yang mempengaruhi beliau dalam memilih pasangan untuk bersama-sama mencapai visi tersebut.

Visi beliau yang utama adalah visi untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Visi inilah yang dibawa oleh beliau ketika menikah dengan Khadijah, seorang wanita yang matang dan sangat memahami kebutuhan suaminya.

Khadijah pula yang sangat mendukung beliau di hari-hari pertama diangkatnya beliau sebagai Rasul. Rasulullah sangat bahagia bersama ibunda Khadijah saat itu.

Visi berikutnya adalah mendakwahkan Islam ke seluruh umat manusia. Visi inilah yang dibawa beliau ketika menikahi isteri-isterinya sesudah ibunda Khadijah.

Dengan visi yang kuat inilah yang membuat beliau mampu melewati berbagai rintangan yang dilaluinya dalam berumah tangga. Bahkan ujian-ujian beliau dalam mensyiarkan Islam, seperti peperangan, dan juga fitnah-fitnah yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam saat itu, tidak mampu menggoyang biduk rumah tangga beliau.

Pelajaran kedua adalah pemahaman beliau dalam memenuhi  kebutuhan para isterinya. Kebutuhan yang mendasar dari seorang isteri adalah mendapatkan perhatian penuh dari suaminya.

Perlakuan Beliau yang lembut kepada isteri-isterinya membuat semua isteri-isterinya merasa berbahagia menjadi isteri beliau. Begitu pun kesediaan beliau memenuhi kebutuhannya sendiri bila dilihatnya sang isteri sedang sibuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam satu riwayat, Beliau senang membantu keluarganya dalam urusan rumah tangga di antara kesibukannya sebagai pemimpin ummat.

Pelajaran ketiga adalah betapa hebatnya pola komunikasi yang dijalankan oleh Rasulullah kepada seluruh anggota keluarganya. Betapa lembutnya beliau berbicara kepada isteri-isterinya. Betapa lembutnya beliau kepada Fatimah anaknya dan juga cucu-cucunya.

Tidak ada sekat yang sengaja dipasang oleh beliau yang membuat anggota keluarganya enggan mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Semuanya menghormati beliau, tetapi tidak takut kepadanya.

Rasulullah juga mampu meredam api cemburu yang sering ada di hati para isterinya. Beliau mampu mengarahkan rasa cemburu itu ke arah yang lebih positif. Mengarahkannya untuk mencari cinta yang lebih tinggi lagi, yaitu keridhaan Allah SWT.

Betapa indahnya bila kita bisa bercermin dari Rasulullah dalam menjalankan rumah tangganya. Semoga Allah selalu menunjukkan jalan kepada kita dalam mewujudkannya. Amien.